• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Analisis Penokohan dan Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel

4.2 Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Forgiven

4.2.1 Beberapa Konflik Batin yang Dialami Tokoh Utama

Hall (1995 : 29) mengatakan bahwa seluruh kepribadian, seperti yang dirumuskan oleh Freud, terdiri dari tiga sistem yang peting. Ketiga sistem itu dinamakan id, ego, super ego. Dalam diri seseorang yang mempunyai jiwa yang sehat ketiga sistem ini merupakan satu susunan yang bersatu dan harmonis. Dengan bekerja sama secara teratur ketiga sistem ini memungkinkan seoramg individu untuk bergerak secara efisien dan memuaskan dalam lingkungannya. Tujuan dari gerak – gerik ini adalah untuk memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang pokok. Sebaliknya, kalau ketiga sistem kepribadian ini bertentangan satu sama lain, maka orang yang bersangkutan dinamakan orang yang yang tidak dapat menyesuaikan diri. Ia tidak puas dengan diri sendiri dan demgan dunia: dan efisiensinya menjadi berkurang.

Ketidakseimbangan dari ketiga aspek inilah yang akhirnya dapat menimbulkan kecemasan. Oleh sebab itu dalam psikoanalisa kecemasan merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan kepribadian maupun dinamika berfaalnya kepribadian.

Menurut Hall (1995 : 56) kecemasan adalah suatu pengalaman peranan yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan – ketegangan dalam alat – alat intern dari tubuh. Ketegangan – ketegangan ini adalah akibat dari dorongan – dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat syaraf yang otonom. Misalnya, kalau seseorang menghadapi keadaan yang berbahaya hatinya berdenyut lebihh cepat, ia bernafas lebih pesat, mulutnya menjadi kering dan tapak tangannya berkeringat.

Dalam novel Forgiven tokoh utama merupakan karakter yang mencintai sosok Will yang sangat rumit. Ia menemukan kenyamanan dalam hubungannya dengan Will yang sangat pendiam dan misterius. Ia merasa bahwa Will sangat berbeda dengan Alfan, kekasihnya. Karla tidak mendapatkan kehangatan dan kenyamanan dalam hubungannya dengan Alfan akan tetapi ia tetap menjalani hubungannya dengan Alfan dengan tidak merasakan apa – apa dan tanpa kesan apa pun sampai pada akhirnya ia mengetahui kebenaran tentang Alfan.

“ Tekanan suara, dan nada serius dalam kata-katanya membuatku tidak bisa membantah. Aku sempat berpikir kenapa aku tidak merasakan hal yang seperti ini kepada Alfan. Lalu kujawab sendiri, bahwa mungkin setiap orang berbeda. Sekarang ini, itulah yang dimiliki Will.” (Morra,2010 : 28)

4.2.1.1 Konflik Batin yang Dipicu Perceraian Orang Tuanya

Konflik batin yang pertama yang dialami oleh Karla adalah dengan orangtuanya yang sudah bercerai begitu mempengaruhinya. Kenyataan ini mengharuskan ia harus terpisah jauh dari ayahnya yang sekarang menetap di Singapura. Dan untuk bertemu dengan ayahnya setidaknya dalam setahun ia empat kali harus singgah ke Singapura. Sedangkan ibunya yang kini sedang berkencan dengan Sean, pria bule Amerika sudah berencana akan menikah lagi. Sebenarnya Karla memakluminya namun ia tetap merasa Sean calon ayah barunya itu sudah terlalu cepat memasuki rumahnya yang masih banyak menyimpan kenangan Karla dengan ayahnya dulu

“Saat ini Mamaku sedang dekat dengan bule Amerika yang kelak akan ia nikahi. Aku tahu ini wajar, dan Mama pantas mendapatkannya. Tapi kurasa Sean—bule Amerika itu— telah masuk ke rumahku terlalu cepat. Rumahku adalah kenanganku dengan papa, dan setiap kenangan dengan papa adalah momen yang sangat pribadi dan emosional untukku. Setiap Mama memasak untuk Sean, aku berpikir, siapa yang memasak untuk Papa? Papa memang bisa memasak sendiri, dan Papa senang melakukannya. Tapi harus ada seseorang yang memasak untuknya.” (Morra,2010 : 33)

Karla sangat menyayangi ayahnya. Semua kenangan dengan ayahnya membuatnya begitu ingin tetap selalu dekat dengan ayahnya. Karla tidak ingin melukai hati ayahnya atau mengecewakannya.

“….Aku tak tahu hukuman seperti apa yang akan aku terima. Mama akan mendengar tentang semua ini. Dengan begitu, papa juga. Pikiran yang terakhir itu membuatku ingin menangis.” (Morra,2010 : 56)

Kehadiran Sean di hidupnya sebenarnya sangat mengganggu. Namun ia sadar bahwa ibunya memerlukan sosok seorang pria pengganti ayah Karla,

karena bagaimana pun ibu Karla masih muda. Walaupun memaklumi keadaan ibunya, namun dalam diri Karla sebenarnya tidak mau hidup dan tinggal kelak bersama dengan Sean.

“Aku tidak mau hidup dengan Sean. Waktu itu aku tidak tahu kalau di Amerika para mahasiswa tinggal di asrama – asrama kampus. …..” (Morra,2010 : 66)

Kehendak id pada diri Karla menginginkannya menolak kehadiran Sean di hidupnya. Tetapi superego dalam diri Karla tidak menghendakinya, karena ia sangat memahami keberadaan Sean sangat berarti untuk ibunya. Ia menyayangi ibunya, oleh sebab itu ia harus berusaha menerima keberadaan Sean. Untuk menyelamatkan ego dari kecemasan, ego menghapus kehendak dengan menekan hasrat tidak suka yang menimbulkan penolakan terhadap hadirnya Sean kekasih ibunya tetap berada dalam tidak sadar (id) dan tidak muncul ke kesadaran (ego) sehingga tidak menimbulkan pertengkaran dengan ibunya. Meskipun ia tidak menyukai Sean dan enggan berbicara dengannya namun ia selalu berusaha untuk bersikap biasa saja di depannya karena menghargai ibunya.

Tentang hal perceraian orangtuanya ini Karla masih sering menyembunyikan kesedihannya bahkan dari teman - temannya sekalipun. Ia tidak ingin orang lain tahu sisi rapuhnya sebagai seorang anak broken home.

”Aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan – perubahan ini. Tapi tak seorang pun temanku yang tahu tentang hal itu. Aku pun tak ingin mereka tahu. Mereka bahkan tak pernah melihatku menangis. Tidak juga Alfan.” (Morra,2010 : 33)

Di sisi lain, Karla membiasakan diri untuk mandiri karena menyadari bahwa ibunya sudah cukup sibuk dengan segala kesibukan – kesibukan rumah

dan butik yang dikelolanya sejak bercerai dengan ayah Karla. Namun bagaimana pun keadaan keluarganya yang sekarang, ia tetap menyayangi kedua orang tuanya. Kehidupannya yang sekarang membuatnya membutuhkan sosok yang mampu memberikan rasa nyaman dan ketenangan untuknya, dan untuk menghilangkan kecemasan tentang itu ia banyak menghabiskan waktu dengan sahabat – sahabatnya.

4.2.1.2 Konflik Batin Tokoh Utama dengan Kekasihnya

Dalam novel Forgiven diceritakan bahwa pada masa SMA Karla menjalin hubungan kekasih dengan salah seorang dari sahabatnya yang bernama Alfan. Namun meskipun telah menjadi sepasang kekasih, mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama – sama dengan sahabat – sahabatnya yang lain daripada berdua.

“….Aku dan Alfan berpacaran—baru beberapa waktu belakangan. Meski begitu kami lebih sering berenam daripada berdua karena pertemanan ini telah dimulai lebih dulu. “ (Morra,2010 : 14)

Alfan adalah anak laki – laki yang tergolong nakal. Dan Karla tidak nyaman dengan hal itu. Alfan sering tidak mengindahkan perkataan Karla dan itu membuat Karla enggan berurusan dengan Alfan.

“Alfan baru keluar dari kantin bersama dua orang yang lain. Perasaanku mendadak tidak nyaman. Menstruasi ini menyiksa, tapi bukan karena itu. Entahlah, tapi perasaan ini pernah datang pada waktu aku tahu pasti Alfan habis merokok. Begitu ia mendekat, aku tahu itu terulang lagi.” (Morra,2010 : 15)

Meskipun Alfan kekasihnya, tapi Karla tidak pernah merasakan hal yang spesial tentang Alfan. Dan belakangan ia pun mengenal Alfan lebih dalam lagi setelah peristiwa balas dendam terhadap kepala sekolah mereka. Seharusnya Alfan ada di saat rencana itu berlangsung, namun di saat kejadian yang tidak diinginkan terjadi Alfan menghilang dan lepas tanggung jawab.

“Aku pakai rok, mana mungkin bisa memanjati pagar ini secepat itu. Tapi, aku bisa mengandalkan kedua kakiku untuk segera berlari dan meghilang begitu mencapai tanah. Aku teringat Alfan. Mana Alfan? Harusnya dia melakukan sesuatu saat ini.” (Morra,2010 : 54)

Pada saat itu Karla menyadari ada yang tidak beres dengan Alfan. Karla menghubungkan peristiwa saat Will dan Alfan bertengkar dengan kejadian balas dendam itu.

“Lalu aku teringat pembicaraan itu. Pembicaraan antara Will dan Alfan, dan ketegangan – ketegangan di tengah – tengah mereka. Aku berusaha mencocokkan bagian itu dengan gambar – gambar yang lain, dan entah bagaimana, kurasa itu bagian yang berbeda.” ( Morra,2010 : 58)

Karla sangat terpukul saat mengetahui bahwa Alfan merencanakan hal yang buruk dari Wahyu. Alfan menginginkan hal yang tidak senonoh dengan Karla. Karla tidak menyangka, Alfan bisa berpikiran seperti itu.

“Aku tidak mampu mengangkat wajah. Lututku terasa lemas. Sadar betapa berat dan jauh dari akal sehatku semua rentetan kejadian ini. Wahyu memegang tanganku. Bisiknya,”Aku nggak suka bilangnya. Maaf. Kita memang anak-anak nakal.”” (Morra,2010 : 60)

Karla begitu kecewa pada Alfan. Kekasih yang juga merupakan sahabatnya itu tega merencanakan hal yang tidak terpuji seperti itu.

”Aku masih mencoba tersenyum sekali lagi sebelum berbalik ke ruang guru. Sejumlah pikiran tentang Alfan, tentang Will, tentang persahabatan ini, mulai menyerang lagi. Aku begitu lelah. Aku menoleh ke deretan kelas tiga. Mencoba menemukan Alfan.. dan Will” (Morra,2010 : 6)

Pada saat Karla diskors oleh kepala sekolah, Karla melihat Alfan sedang bersama seseorang. Kenyataan bahwa selama dia tidak masuk sekolah Alfan sudah mempunyai kekasih baru cukup membuat Karla terhenyak.

“Kemudian aku melihat Alfan. Dia ada di sisi lapangan yang berseberangan denganku. Dia bersama dengan seseorang. Anak perempuan. Aku tidak tahu siapa namanya, tapi dia anak dari salah satu kelas IPS. Bahasa tubuh di antara mereka sama seperti yang ada di antara Laut dan Lala.” (Morra 2010 : 89)

Hal yang lebih membuat Karla kecewa dan sadar sifat Alfan yang sebenarnya adalah saat mengetahui Alfan bersih dari tuduhan mengenai kejadian balas dendam dengan kepala sekolah mereka. Dalam benak Karla tentang Alfan adalah sosok yang tidak pernah memiliki rasa tanggungjawab. Dia hanya mampu memikirkan dirinya sendiri dan bagaimana lepas dari masalah.

“Kata Will, entah bagaimana guru – guru akhirnya memutuskan Alfan bersih dari segala keterlibatan dengan Robby dan tikus mati itu. Dia dipanggil menghadap Pak Juandi—Will dan Robby tidak dipanggil—dan semua orang menyaksikannya. Kupikir, begitu juga dengan Will, hanya satu yang bisa meloloskannya dri tuduhan yaitu kemampuan bersilat lidah yang hebat. Ini, dan pertengkarannya dengan Will di garasi itu, sudah cukup menunjukkan siapa Alfan sebenarnya.” ( Morra 2010 : 89)

Karla memang cukup kecewa dengan sifat – sifat Alfan yang baru dia ketahui, namun ia memutuskan untuk tidak terhanyut dalam emosi dan membenci Alfan, tapi lebih memilih untuk tidak lagi mengenal Alfan.

“Will sudah tidak bicara lagi dengannya. Aku tidak tahu bagaimana dengan keempat orang yang lain. Tapi aku—aku tidak ingin memiliki kebencian terhadap seseorang. Begitulah yang dikatakan papa. Jadi, kepada Alfan, aku hanya merasa aku tidak mau mengenalnya lagi.” (Morra 2010 : 89)

Kekecewaan terhadap Alfan menyadarkan Karla bahwa ia belum benar – benar mengenal sosok kekasihnya yang sekaligus sudah dianggapnya sebagai salah satu sahabatnya. Alfan bukanlah sosok yang diinginkannya, yaitu seorang laki-laki yang penuh dengan kehangatan, pengorbanan, pengertian, dan tanggungjawab.

4.2.1.3 Konflik Batin Tokoh Utama dengan William

William adalah sahabatnya di SMA yang pada cerita berikutnya akan menjadi seseorang yang sangat dicintai Karla. Mengenai Will, Karla mampu menyebutkan banyak hal yang membuatnya begitu nyaman dengan Will. Baginya, Will adalah tempat berbagi rahasia dan mimpi – mimpi yang tidak sembarangan orang tahu. Will tidak bisa digantikan oleh siapapun di hati Karla. Pada akhirnya kenyataan – kenyataan tentang Will yang ia tidak ketahui selama ini sangat membuatnya terpuruk dan penuh penyesalan. Kedekatan mereka terlihat pada paragraf berikut yang menceritakan betapa persahabatan di antara mereka sangat tulus dan dekat, setidaknya begitu menurut Karla sebelum mendapati banyak hal yang disembunyikan Will darinya.

“Aku dan Will bersahabat selama bertahun – tahun. Selama SMA kami duduk di deretan paling belakang, sama – sama melempari Ibu Shanti, guru mata pelajaran Geografi, dengan kapur tulis setiap kali ia membelakangi murid. Will benci dengan Geografi, dan ia selalu menghasutku.

Katanya, dulu, siapa peduli Indonesia berada di garis lintang dan garis bujur berapa—lempengan bumi akan terus

bergeser dan hitungan ini akan terus berubah.” ( Morra 2010 :3)

“Dalam tahun – tahun itu aku berusaha mendefinisikan mekanisme pertahanan diri Will. Aku sering mendapati kebohongan – kebohongannya, yang di kemudian hari akan ia akui tanpa rasa berdosa. Will tidak suka menerima dirinya disalahkan, tapi ia pernah meneleponku pagi – pagi buta, dengan penuh sesal menceritakan pertengkarannya dengan orangtuanya. Dari semua eksperimen ini, aku tidak pernah menemukan satu pun mekanisme yang tipikal. Tidak pernah—hingga akhirnya aku meragukan apakah aku benar – benar mengenalnya.” ( Morra 2010 : 4)

Sejak semula di antara sahabat – sahabatnya yang lain, Karla memang memposisikan Will menjadi yang terdekat dengannya. Jika dengan yang lain Karla dapat merasa biasa saja lain halnya dengan Will yang mampu membuat Karla malu, cemas, bahkan merasa nyaman secara bersamaan. Untuk beberapa hal tentang Karla, Will adalah orang yang pertama kali mengetahuinya.

“Aku segera berbalik. Wajahku terasa panas entah seperti apa. Ini bukan pertama kali Will mendapati menstruasiku yang bocor dan tiba – tiba, tapi tetap saja rasanya memalukan. Sakit perut itu kian menjadi. Kusambut jas yang dipakaikan Will lewat punggungku. Dia tertawa.” ( Morra 2010 : 11)

“ Ada hal – hal yang tidak kuceritakam kepada kelima temanku. Hal – hal ‘perempuan’, tentu saja, seperti jadwal menstruasiku meski sekarang teritorinya sudah dimasuki Will.” (Morra 2010 : 32)

Bahkan ketika ‘menangis’ adalah hal yang selama ini Karla sembunyikan dari siapa pun akhirnya Will lah yang pertama kali mendapatinya. Hal ini dapat ditemukan dalam paragraf berikut :

“…Mereka bahkan tak pernah melihatku menangis. Tidak juga Alfan.” (Morra 2010 : 33)

“Luka di bibirnya sudah mulai menutup, lekas sembuhnya kalau dia tidak banyak bicara. Mata kirinya hanya mampu membuka separuh, tapi ia menatapku. Hatiku seperti teriris. Aku teringat Leyla di bawah, gambar dan krayon-krayonnya. Aku ingin menangis, tapi tidak mau mereka melihatku menangis.” ( Morra 2010 : 41)

Kedua paragraf ini menjelaskan betapa Karla tidak ingin siapa pun melihat kelemahannya. Namun berbeda saat di hadapan Will ketika Karla mendapat hukuman dari sekolahnya.

“Dia membuka pintu perlahan setelah mengetuknya sebanyak dua kali. Aku tidak mengira harus seperti ini. Aku tidak ingin dia mendapatiku menangis, tapi dia ada di sana saat aku meringkuk dan membenamkan wajah di atas bantal. Lalu Will menaikkan kaki, berlutut di atas tempat tidurku. Ia mngulurkan tangan. Aku tidak mengira dia akan melakukannya. Tapi aku hanya tahu satu yang perlu kuperbuat waktu itu, menghambur ke dalam pelukannya. Kedua lengan itu menerimaku.” (Morra 2010 : 74)

“Will juga orang pertama di antara mereka yang melihatku menangis.” (Morra 2010 : 75)

Pada saat sahabat – sahabatnya kedapatan merokok, yang paling membuat Karla terkejut adalah ketika mengetahui Will juga ikut merokok bersama dengan yang lain.

“Besar harapanku Will akan mengeluarkan jawaban yang berbeda. Aku menatapnya, hampir putus asa, dan dia mengangguk serasa menjawab pelan, “Ya”” (Morra 2010 : 40)

Ada perasaan yang mungkin sedikit berlebihan ketika mendapati Will merokok. Perasaan yang berbeda sewaktu mendapati sahabat yang lainnya ketahuan merokok.

“Kurasakan separuh diriku hancur. Will tidak merokok. Will tidak akan memasukkan benda – benda aneh yang tidak seirama dengan metabolisme manusia ke dalam tubuhnya. Will bahkan tidak menelan parasetamol kalau ia sakit kepala.” (Morra 2010 : 41)

Setiap hal yang berkaitan dengan Will membuat Karla menemukan dirinya seperti merasakan hal yang berbeda, tetapi Karla tidak bisa mengartikan perasaan itu dan masih saja menganggap bahwa perasaannya terhadap Will sama dengan perasaannya dengan sahabatnya yang lain. Setiap kali ia berdekatan atau kontak fisik dengan Will selalu membuatnya sadar ada hal yang lain terjadi pada dirinya.

“Ada sesuatu yang berbeda di mata Will saat itu. Aku tidak tahu bagaimana mendefenisikannya. Suatu kekuatan yang membuat jantungku bedetak keras waktu ia meletakkan sehelai kertas kosong dan pensil di hadapanku. Katanya,”Coba gambar.”” (Morra 2010 : 46)

“Harusnya bisa mendarat dengan tepat dan mulus. Tapi ketika itu kedua kaki yang pernah membawaku ke berbagai kejuaraan ini tidak dapat menekuk dengan lentur dan kuat seperti biasa. Lututku terluka saat aku jatuh. Aku sempat melihat Will. Ia bergegas maju. Aku tahu ia ingin datang sebelum kepala sekolah dan Bu Novi menahannya agar tetap di sana. Aku masih melihat sinar cerahnya, dan saat itu—entah kenapa—aku merasa dia sungguh berharga.” ( Morra 2010 : 55)

Kenyataan bahwa Will sangat berharga bagi Karla membuatnya ingin melindungi Will. Pada saat rencana untuk balas dendam kepada kepala sekolah mereka ternyata gagal, Karla berusaha melindungi Will dengan menanggung semua hukuman yang diberikan dengan mengatakan bahwa semuanya adalah idenya sendiri sedangkan yang lain hanya mengikuti idenya. Dan ketika mengetahui Will tidak dilibatkan dalam kasus ini, cukup membuat Karla sedikit

tenang meskipun ia harus menerima hukuman skorsing selama lima belas hari dari sekolah.

“Will bersih. Setidaknya ini sedikit menghiburku.” (Morra 2010 : 64)

Will lah yang mampu untuk pertama kalinya masuk menemui dan menghibur Karla di saat Karla merasa sedih karena hukuman itu, setelah membujuk ibu Karla.

“Will adalah orang pertama yang menembus pertahanan Mama.” (Morra 2010 : 75)

“Kini lenyap sudah kesedihan yang kurasakan sejak hari pertama pengasingan itu.” (Morra 2010 : 81)

“Aku tersenyum. Yah—ada Will di sampingku. Segalanya baik - baik saja. “ (Morra 2010 : 88)

Pada saat Will mengalami kebutaan sementara sebelum berangkat ke Brussel untuk pertandingan olimpiade Fisika yang pada saat itu Karla tidak mengetahui apa penyebabnya, ia sangat tertekan. Di pikirannya hanya ada bagaimana caranya Will bisa sembuh sebelum berangkat ke Brussel, walaupun sebenarnya ia tidak tahu caranya. Baginya, Will adalah segalanya.

“Will harus sembuh sebelum berangkat ke Brussel. Tak ada yang bisa kulakukan untuk itu. Tapi aku bisa membuatnya senang.” (Morra 2010 : 99)

“Lalu aku berjanji dalam hati. Ucapku, apabila Tuhan mengembalikan segalanya seperti sedia kala, dan semuanya baik – baik saja setelah ini, maka aku akan memberikan apa pun yang bisa kuberi untuk Will.” (Morra 2010 : 99)

Namun apapun yang dirasakan Karla terhadap Will semasa sekolah tidak pernah benar – benar membuat Karla memiliki Will sebagai seorang kekasih, mereka tetap berteman hingga lulus SMA. Perhatian yang Will berikan kepada Karla tidak mampu membuat Karla mengakui perasaannya yang sebenarnya. Dan pada saat Karla akan melanjutkan pendidikan kuliah ke luar negeri. Saat itu ia hendak memberitahu Will akan keberangkatannya, saat itu pulalah Will tiba – tiba menghilang dan tidak ada kabar.

“Tiba – tiba aku merasa takut. Kutekan lagi bel rumah itu, dan memanggil,”William…” tetap tidak ada jawaban.” (Morra 2010 : 112)

Hilangnya Will yang secara tiba – tiba dan tanpa kabar itu membuat Karla benar - benar merasa kehilangan. Apa pun yang terjadi dan yang akan terjadi, di pikiran Karla hanya ingin bertemu dengan Will.

“Will tidak ada—dan baru kusadari betapa aku kehilangan dan merindukannya. Aku tidak sempat bertemu dengannya lagi. Aku bahkan tidak sempat mengatakan selamat tinggal.” (Morra 2010 : 113)

“Aku menangis lagi ketika menyusuri lingkungan perumahan itu. Kuucapkan selamat tinggal kepadanya dalam hati.” (Morra 2010 : 114)

Hal itu terus berlanjut sampai Karla tiba di Singapura. Karla menyibukkan diri dengan kelas trainingnya untuk mempersiapkan diri menuju dunia perkuliahan. Hal ini tetap saja tidak membuat ia lupa akan Will, Karla masih saja terus memikirkan pria yang sangat dirindukannya itu. Apa pun yang dilakukannya Will terus saja mampu menduduki peringkat pertama dalam otaknya. Dan hal ini membuatnya malas berinteraksi dengan lingkungan dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri Karla sedang berlaku teori

perilaku yang merupakan salah satu faktor gangguan batin. Teori ini mengacu pada kurangnya keinginan individu berinteraksi dikarenakan depresi yang dialaminya.

“Dan saat ini aku hanya menginginkan Will.” (Morra 2010 : 120)

“Mereka benar tentang itu,bahwa orang tidak akan sadar apa yang mereka miliki sampai ia hilang. Dan aku sudah kehilangan Will.” (Morra 2010 : 121)

Semua yang dilakukannya hanya mengingatkannya pada Will. Dan sebenarnya Karla sangat membenci itu. Perasaan tertekan ini menimbulkan konflik batin pada diri Karla. Dalam hal ini, id dalam diri Karla terus menuntut ego untuk tetap memikirkan dan mencari tahu keberadaan Will, akan tetapi superego juga menekan ego bahwa hal itu tidaklah mudah mengingat memang tidak ada sedikit pun hal yang bisa menunjukkan dimana Will berada saat itu.

Karla ingin melupakan semua tentang Will. Namun semakin Karla mencoba untuk melupakannya, semua hal semakin mengingatkannya pada Will, dan pada akhirnya Karla harus menerima kekalahannya, ia jatuh sakit.

“Tiba – tiba aku merasa segenap amarah naik ke kepala—

sialan kamu,Will—disertai sejumlah material berputar pada perutku. Reaksi itu datang lagi, hingga aku harus berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semuanya di atas wastafel.” (Morra 2010 : 123)

“Mulutku pahit. Aku berkumur. Lalu kukeringkan, kembali ke kamar dan telentang di atas tempat tidur. Masih enam soal. Tiga yang pertama belum tentu benar. Kepalaku

Dokumen terkait