PENOKOHAN DAN KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA NOVEL FORGIVEN KARYA MORRA QUATRO : ANALISIS PSIKOLOGI
SASTRA
SKRIPSI
DESY ARYANTI NIM 100701040
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
▸ Baca selengkapnya: tokoh dan penokohan cerpen tanah air karya martin aleida
(2)PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang ditulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Juni 2014
Penulis,
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan hasil akhir dari kegiatan akademik selama penulis
menuntut ilmu di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
Adapun judul skripsi ini adalah Penokohan dan Konflik Batin Tokoh Utama Novel Forgiven Karya Morra Quatro : Analisis Psikologi Sastra.
Pemilihan judul dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang
bagaimana penokohan dan konflik batin tokoh utama dalam novel Forgiven
untuk memperkaya pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu sastra.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapat bantuan dari berbagai
pihak, baik moral maupun material serta secara langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Bapak Dr.
Syamsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, Bapak Drs. Yuddi Adrian
Muliadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya
3. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen
Sastra Indonesia.
4. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P selaku Sekretaris Departemen
Sastra Indonesia dan Dosen Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran
membimbing dan memberikan saran-saran yang sangat membangun
untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Dra. Yulizar Yunas, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang
selalu memberi saran-saran yang cukup berharga kepada penulis.
6. Ibu Dr. Dwi Widayati, M. Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang selalu memberikan motivasi belajar bagi penulis.
7. Seluruh dosen yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada
penulis selama masa perkuliahan.
8. Ayahanda J.P Panggabean dan Ibunda M. br Lubis yang telah
memberikan kasih sayang, doa, dan dorongan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan perkuliahan.
9. Kepada keluarga saya terkhusus Bapaktua E. Panggabean yang tidak
henti – hentinya selalu memberikan dukungan positif bagi penulis.
10. Teman – teman seperjuangan Ervina Silalahi, Basaria Simanjuntak, Pesta
Natalia Sinaga, Retta Silitonga, Eli Fernando, Melda Gultom, Chintya,
Osen, Bunga, Hotman, Irhamna, Evi Marlina, Sri Purwanti, Indira
11. Teman – teman terdekat penulis yang selalu memberikan nasehat dan
dukungan positif bagi penulis Emilia Pranata, Yanti Hutagaol, Nela Neli
Nasution yang jauh di Padangsidimpuan, dan Adli Abdillah Nababan.
12. Saudara – saudara KTB “Erga Agatha” KMK FIB USU Ka Novita,
Siska, Mia, dan Sheba yang selalu memberikan dukungan dan doa.
13. Teman – teman stambuk 2010 yang membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
segi isi maupun penyajiannya karena itu penulis berharap kiranya pembaca
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga seluruh pihak yang berjasa kepada
penulis, senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya dan semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Juni 2014
ABSTRAK
PENOKOHAN DAN KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA NOVEL FORGIVEN KARYA MORRA QUATRO : ANALISIS PSIKOLOGI
SASTRA
Oleh Desy Aryanti
Penelitian ini mendeskripsikan tentang bagaimana penokohan dan konflik batin tokoh utama yang bernama Karla dalam novel Forgiven dengan mempergunakan teori psikologi sastra melalui pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud.
Pendekatan psikoanalisis meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu : id, ego, dan
superego. Id adalah aspek kepribadian dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu – nafsu yang sering disebut “energi buta”, sedangkan ego
berkembang atas prinsip kenyataan, selanjutnya superego mengontrol energi – energi buta dari id tersebut.
Berdasarkan analisis penokohan ditemukan penokohan tokoh utama adalah seorang gadis yang tomboy, memiliki rambut panjang, bermata sipit seperti orang Tionghoa, dan setia kawan. Berdasarkan analisis psikologis, dapat diungkapkan, pertama, munculnya konflik batin tokoh utama yang dipicu berbagai peristiwa, yaitu perceraian orangtuanya, pengkhianatan kekasihnya sewaktu SMA, dan dengan Will orang yang paling istimewa di hidupnya. Kedua, solusi yang dilakukan tokoh utama untuk mengatasi konflik batinnya adalah proyeksi, represi, dan regresi. Ketiga, kepribadian tokoh utama didominasi oleh superego meskipun terdapat satu kegagalan superego dalam mengatasi konflik batin tokoh.
DAFTAR ISI
ABSTRAK
Daftar isi
BAB 1 PENDAHULUAN………... 1
1.1Latar Belakang………..……….. 1
1.2Rumusan Masalah……….. 4
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian…..………. 4
1.3.1 Tujuan Penelitian……….. 4
1.3.2 Manfaat Penelitian……….………... 4
1.3.2.1Manfaat Teoritis……….……….. 4
1.3.2.2Manfaat Praktis……….……… 4
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA... 5
2.1 Konsep……… 5
2.1.1 Forgiven……….……….. 5
2.1.2 Tokoh………..…….……… 6
2.1.3 Penokohan……… 8
2.1.4 Psikologi Sastra……… 8
2.1.5 Konflik Batin……….. 9
2.2 Landasan Teori..………..12
BAB III METODE PENELITIAN……… 17
3.1 Metode Penelitian……….. 17
3.2 Teknik Pengumpulan Data……… 18
3.3 Teknik Analisis Data………. 19
BAB IV Analisis Penokohan dan Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Forgiven………..…22
4.1 Tokoh dan Penokohan Tokoh Utama……….…………22
4.2 Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Forgiven………27
4.2.1 Beberapa Konflik Batin yang Dialami Tokoh Utama………28
4.2.1.1 Konflik Batin Tokoh Utama Dipicu Perceraian Orangtuanya……….………30
4.2.1.2 Konflik Batin dengan Kekasihnya………32
4.2.1.3 Konflik Batin dengan Will……….…35
4.2.2 Solusi yang Dilakukan Tokoh Utama……….……….….48
4.2.2.1 Proyeksi……….………..49
4.2.2.2 Represi……….………50
BAB V PENUTUP……….……….………52
5.1 Simpulan……….52
5.2 Saran………...53
Daftar Pustaka………...54
Lampiran
ABSTRAK
PENOKOHAN DAN KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA NOVEL FORGIVEN KARYA MORRA QUATRO : ANALISIS PSIKOLOGI
SASTRA
Oleh Desy Aryanti
Penelitian ini mendeskripsikan tentang bagaimana penokohan dan konflik batin tokoh utama yang bernama Karla dalam novel Forgiven dengan mempergunakan teori psikologi sastra melalui pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud.
Pendekatan psikoanalisis meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu : id, ego, dan
superego. Id adalah aspek kepribadian dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu – nafsu yang sering disebut “energi buta”, sedangkan ego
berkembang atas prinsip kenyataan, selanjutnya superego mengontrol energi – energi buta dari id tersebut.
Berdasarkan analisis penokohan ditemukan penokohan tokoh utama adalah seorang gadis yang tomboy, memiliki rambut panjang, bermata sipit seperti orang Tionghoa, dan setia kawan. Berdasarkan analisis psikologis, dapat diungkapkan, pertama, munculnya konflik batin tokoh utama yang dipicu berbagai peristiwa, yaitu perceraian orangtuanya, pengkhianatan kekasihnya sewaktu SMA, dan dengan Will orang yang paling istimewa di hidupnya. Kedua, solusi yang dilakukan tokoh utama untuk mengatasi konflik batinnya adalah proyeksi, represi, dan regresi. Ketiga, kepribadian tokoh utama didominasi oleh superego meskipun terdapat satu kegagalan superego dalam mengatasi konflik batin tokoh.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra adalah suatu bentuk hasil dari imajinasi seorang pengarang
yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Biasanya yang menjadi topik dari
karya sastra adalah tentang kehidupan manusia, baik itu pengalaman dari
pengarang itu sendiri, maupun fenomena yang terjadi di sekitarnya. Karya sastra
adalah konsumsi masyarakat sebagai pembacanya baik itu untuk kesenangan di
saat senggang maupun untuk penelitian di bidangnya.
Sebagai penikmat karya sastra tentu kita harus mempunyai pengetahuan
lain untuk dapat menemukan hubungan karya sastra dengan hidup (kehidupan).
Dengan kemampuan yang baik dalam menganalisis karya sastra itu, maka kita
akan menemukan manfaat lain dari karya itu selain dari unsur
kenikmatan.Karena itu lahirlah metode penelitian psikologi sastra yang
selanjutnya akan menjelaskan bagaimana teori psikologi itu sangat berpengaruh
dalam menganalisis karya sastra dengan pengarangnya atau karya sastra dengan
pembacanya.
Endaswara (2008 : 96) menyatakan asumsi dasar penelitian psikologi
sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :
1. Adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar atau
sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
2. Kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek – aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup. Sentuhan – sentuhan emosi melalui dialog ataupun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinilitas karya.
Hal ini secara gamblang dikemukakan oleh Jatman (Endaswara, 2008 : 97) sebagai berikut :
”Karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung, karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan yang fungsional karena sama – sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif.”
Dari pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah
gambaran kehidupan manusia yang memiliki unsur kejiwaan yang disampaikan
dalam bentuk tulisan.
Pengamatan penelitian ini dilakukan terhadap perilaku psikis tokoh
utama dalam novel Forgiven karya Morra Quatro. Dalam novel ini banyak sekali
dikisahkan tentang polemik kehidupan antar manusia yang saling berinteraksi.
Hal yang menjadi sorotan peneliti dalam novel ini adalah kondisi kepribadian
tokoh utama yang sangat kompleks. Cinta pertama pada saat duduk di bangku
tidak dapat dilupakan semuanya dirangkai dengan rapi dalam novel ini sehingga
mampu mengajuk perasaan para penikmat novel. Gaya penulisan Morra yang
ringan mampu menciptakan rasa penasaran pada diri kita sebagai pembaca, dan
cerita dari novel ini benar-benar mampu memainkan emosi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dikaji adalah :
1. Bagaimanakah penokohan tokoh utama dalam novel Forgiven ?
2. Bagaimanakah konflik batin tokoh utama dalam novel Forgiven ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan gambaran tentang :
1. Penokohan dalam novel Forgiven karya Morra Quatro.
2. Konflik bathin tokoh utama dalam novel Forgiven.
1.3.2 Manfaat Penelitian 1.4.2.1 Manfaat Teoritis
1. Pembaca dapat memahami teori psikologi sastra yang saat ini sering
dipergunakan dalam pengkajian karya sastra.
2. Penelitian ini dapat memberi manfaat kepada pengamat sastra
dalam bidang pengkajian perilaku psikis dalam karya sastra.
3. Memperkaya pengkajian Sastra Indonesia, khususnya kajian
4. Menjadi bahan bacaan bagi pengkaji sastra dalam sudut pandang
lain.
1.4.2.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala apresiasi pembaca
umum terhadap studi psikologi sastra.
2. Hasil penelitian ini dapat menambah perkembangan penelitian
karya sastra dengan pengkajian psikologi sastra.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep 2.1.1 Forgiven
Forgiven merupakan bentuk ketiga dari forgive (maaf). Forgiven adalah
bentuk pasif, dalam bahasa Indonesia dibubuhkan awalan di- sehingga
mempunyai arti “yang dimaafkan”.
Menurut kamus Oxford (1942) forgiven adalah keinginan seseorang
untuk memaafkan seorang yang lain tanpa syarat dan tidak mempunyai hasrat
untuk menghukum atau membalas dendam.
“Forgiven (past participle) means one no longer has the wish to punish somebody.”
Selanjutnya dalam Wikipedia, forgiven berasal dari kata forgiveness yang
berarti “memaafkan”. Kata ini sudah dikategorikan ke dalam konsep psikologi
dan kebajikan. Memaafkan (forgiveness) juga dapat dikategorikan dalam hal
seseorang yang memaafkan tanpa menuntut balasan, yang meliputi memaafkan
diri sendiri, dan dalam hubungan; orang yang memaafkan dan dimaafkan (in
terms of the relationship between the forgiver and the person forgiven). Dalam
banyak konteks memaafkan dapat ditafsirkan sebagai harapan tanpa merusak
keadilan, tanpa balasan dari orang yang disakiti kepada orang yang dimaafkan
(forgiven).
social sciences and medicine. Forgiveness may be considered simply in terms of the person who forgives including forgiving themselves, in terms of the person forgiven or in terms of the relationship between the forgiver and the person forgiven. In most contexts, forgiveness is granted without any expectation of restorative justice, and without any response on the part of the offender (for example, one may forgive a person who is incommunicado or dead). In practical terms, it may be necessary for the offender to offer some form of acknowledgment, an apology, or even just ask for forgiveness, in order for the wronged person to believe himself able to forgive.
Dalam novel Forgiven yang berperan sebagai pemaaf (forgiver) adalah
tokoh utama Karla dan yang dimaafkan (forgiven) adalah Will yang berkali-kali
menyakiti Karla. Dalam cerita pada novel Will berkali-kali dimaafkan oleh
Karla adalah sebagai bentuk rasa cinta Karla yang tanpa pamrih, tanpa
mengharapkan balasan dan tidak pernah menuntut balas atas apapun yang sudah
terjadi. Karla sebagai tokoh utama walaupun mengalami konflik batin namun
lebih condong kepada mengikhlaskan setiap hal yang terjadi. Kepergian Will
mampu memporakporandakan hati Karla. Jarak membuat rindu Karla merajalela.
Dia merasa kehilangan bagian terbaik dalam hidupnya. Namun apa pun bentuk
kehilangan yang dirasakan Karla tidak mampu membuatnya membenci atau
bahkan melupakan Will sampai pada saat Karla mengetahui semua kebenaran
tentang menghilangnya Will di sisa hidup Will yang divonis hukuman mati.
2.1.2 Tokoh
Fananie (2001 : 86) mengatakan dalam novel sudah tentu ada tokoh yang
akan menjalankan cerita. Sebagian besar tokoh – tokoh di dalam fiksi adalah
tokoh – tokoh rekaan. Kendati pun hanya berupa rekaan atau imajinasi tetapi
tersebut tidak hanya berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan
untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 1995:165) :
“Tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita.”
Tokoh – tokoh itu sendiri dapat dibedakan dalam beberapa bagian. Ada
tokoh yang selalu muncul di hampir setiap bagian cerita dan mendominasi alur
cerita pada novel yang disebut dengan tokoh utama. Ada pula tokoh yang hanya
mendapat beberapa bagian dari dialog dan jarang muncul yang sering disebut
sebagai figuran / tokoh tambahan.
Menurut Nurgiyantoro (1995:176) berdasarkan peranan dan tingkat
pentingnya, tokoh terdiri atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalan novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan kejadiannya lebih sedikit
dibandingkan tokoh utama. Kejadiannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh
utama secara langsung.
Dalam novel – novel tertentu tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap
kejadian dan dijumpai dalam setiap halaman novel yang bersangkutan. Misalnya
tokoh Karla dalam novel Forgiven yang selalu mengalami dan sebagai pelaku
tokoh utama atau kehadirannya sangat diperlukan untuk memperkuat karakter
tokoh utama.
2.1.3 Penokohan
Gambaran mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya dan batinnya
yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat
istiadatnya, dan sebagainya disebut dengan penokohan.
Menurut Suroto (1989:92) ada dua hal yang penting dalam penokohan,
yaitu teknik penyampaian dan kepribadian tokoh yang ditampilkan. Keduanya
memiliki hubungan yang erat karena penggambaran tokoh harus sesuai dengan
watak/kepribadian tokoh itu sendiri.
Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro,1995:165) penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita.
2.1.4 Psikologi Sastra
Dalam menganalisis novel ini, penulis mempergunakan teori psikologi
sastra. Teori psikologi bukanlah hal yang baru dalam sastra, karena tokoh dalam
sebuah karya sastra memiliki jiwa yang dibahas dalam psikologi. Jiwa itu sendiri
bersifat abstrak, tidak dapat dilihat, diraba, ataupun disentuh, dan hanya timbul
melalui reaksi sebagai hasil observasi. Hasilnya itu dapat kita lihat dalam bentuk
tingkah laku seseorang, seperti seseorang sedang menangis, tertawa, ataupun
marah. Ekspresi sangat penting meskipun tidak semua hal dapat dilihat dari
Dalam prosesnya peneliti melakukan penelitian dengan
mempergunakan teori psikologi sastra melalui pendekatan psikoanalisa yang
dikembangkan oleh Sigmund Freud. Freud meyakini bahwa kehidupan individu
sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar. Sehingga tingkah laku banyak
didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti keinginan, impuls, atau
dorongan. Keinginan atau dorongan yang ditekan akan tetap hidup dalam alam
bawah sadar dan sewaktu-waktu akan menuntut untuk dipuaskan atau dipenuhi.
Endaswara berpendapat dalam bukunya (2008 : 99) bahwa meskipun
karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, pencipta tetap memanfaatkan hukum –
hukum psikologi untuk menghidupkan karakter tokoh – tokohnya. Pencipta
sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam – diam.
Kemudian Ratna ( 2004:343) mengemukakan bahwa ada tiga cara yang
dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra,
yaitu : a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b)
memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksi dalam karya sastra, dan c)
memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.
2.1.5 Konflik Batin
Salah satu kondisi psikologis yang akan dibahas adalah konflik batin.
Hardjana (1994 : 23) mengemukakan bahwa konflik terjadi manakala hubungan
antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang lain, sehingga salah satu
atau keduanya saling terganggu. Konflik adalah percekcokan, perselisihan, atau
pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama yakni pertentangan anatara dua
dan sebagainya. Pengertian konflik batin menurut Alwi, dkk (2005 : 587) adalah
konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih, atau keinginan
yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah
laku.
Freud ( http://bintangmuhammad81.blogspot.com/2013/03/konflik-batin.html?m) menyatakan bahwa faktor – faktor yang memegang peranan penting dalam beberapa gangguan batin antara lain:
a. Teori Agresi
Teori ini menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri. Agresi yang diarahkan pada diri sendiri sebagai bagian dari nafsu bawaan yang bersifat merusak. Prosesnya terjadi akibat kehilangan atau perasaan terhadap objek yang sangat dicintai.
b. Teori Kehilangan
Teori kehilangan merujuk pada perpisahan traumatik individu dengan benda atau seseorang yang sebelumnya dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Hal penting dalam teori ini adalah kehilangan dan perpisahan sebagai faktor predisposisi terjadinya depresi dalam kehidupan yang menjadi faktor pencetus terjadinya stress.
c. Teori Kepribadian
Teori kepribadian merupakan konsep diri yang negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor. Pandangan ini memfokuskan pada variable utama dari psikososial yaitu harga diri rendah.
d. Teori kognitif
Teori kognitif menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sendiri, dunia seseorang dan masa depannya. Individu dapat berpikir tentang mencoba memahami kemampuannya.
e. Teori Ketidakberdayaan
Teori ketidakberdayaan menunjukkan bahwa konflik batin dapat menyebabkan depresi dan keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang adaptif.
Teori perilaku menunjukkan bahwa penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan. Individu tidak dipandang sebagai objek yang tidak berdaya terhadap lingkungan, tetapi juga bebas dari pengaruh lingkungan dan melakukan apa saja yang mereka pilih tetapi antar individu dengan lingkungan memiliki pengaruh yang bermakna antar satu dengan yang lainnya.
2.2 Landasan Teori
Novel adalah gambaran singkat tentang suatu kehidupan manusia dan
beberapa masalahnya. Manusia merupakan makhluk dinamis dan selalu
berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya, baik secara fisik maupun
psikis. Lingkungan tempat seseorang itu hidup adalah faktor yang terpenting
yang dapat membentuk kepribadiannya, misalnya yang menyangkut status
sosial, ekonomi, atau segala sesuatu yang mengelilingi seseorang sepanjang
hidupnya. Hubungan antara seseorang dengan lingkungannya terdapat hubungan
yang saling timbal balik yaitu lingkungan dapat mempengaruhi psikologis
seseorang, begitu juga sebaliknya psikologis seseorang juga dapat
mempengaruhi lingkungannya. Banyak sastrawan yang mempelajari psikologi
untuk memantapkan karyanya karena unsur psikologi dapat membantu
merangsang sebuah karya untuk lebih hidup.
Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Ratna 2004 : 61) menunjukkan
empat model pendekatan psikilogis, yang dikaitkan dengan pengarang, proses
kreatif, karya sastra, dan pembaca. Meskipun demikian, pendekatan psikologis
pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu : pengarang, karya
banyak berhubungan dengan pendekatan ekspresi, sebaliknya, apabila perhatian
ditujukan pada karya, maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan
objektif.
Suwardi Endaswara (2003 : 101) berpendapat bahwa psikoanalisa adalah
wilayah kajian psikologi sastra yang pertama kali diumumkan oleh Sigmund
Freud. Freud berpendapat bahwa seseorang yang tengah menciptakan sebuah
karya sastra akan terserang penyakit neurosis yang membuatnya seperti tertekan
dan kehilangan akal sehat (bukan berarti gila). Ketaksadaran ini menyublim ke
dalam produk kreatif pengarang. Hal ini dalam psikosastra dipandang sebagai
psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu :
id, ego, dan superego.
Id adalah aspek kepribadian dalam bawah sadar manusia yang berisi
insting dan nafsu-nafsu yang sering disebut “energi buta”, sedangkan ego
berkembang atas prinsip kenyataan, selanjutnya superego mengontrol
energi-energi buta dari Id tersebut. Melalui kateksis dari id pengarang akan mampu
menciptakan simbol – simbol tertentu dalam karyanya. Namun, jika diperlukan
anti kateksis dari ego dan superego akan menekan gerak-gerik yang tidak
bijaksana dari id. Rintangan oleh anti kateksis terhadap kateksis inilah yang
dinamakan pertentangan batin.
Poduska ( 1990 : 77 ) mengatakan bahwa psikoanalisa memberikan
mempelajari perkembangan kepribadian dan perilaku abnormal daripada
pendekatan psikologi lainnya.
Selanjutnya menurut Milner (dalam Endaswara,2008 : 101) ada dua hal
yang dinyatakan sebagai hubungan antara sastra dan psikoanalisa, pertama ada
kesamaan antara hasrat – hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang
menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan
kita,karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap hasrat – hasrat
rahasia tersebut. Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini
kita menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang
oleh Freud disebut “pekerjaan mimpi”.
Itulah sebabnya proses kreativitas penulis dalam menciptakan karyanya
sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk
menyembunyikan atau memutarbalikkan hal – hal penting yang ingin dikatakan
atau mendorongnya untuk mengatakan dalam bentuk langsung atau telah diubah.
Ratna ( 2004 : 63 ) menyebutkan dalam penelitian, sebagai
psikoanalisis Freud bertumpu pada a) bahasa pasien, jadi juga keterlibatan
sastra, b) memakai objek mimpi, fantasi, dan mite, yang dalam sastra ketiganya
merupakan sumber imajinasi.
Teori Freud tentang alam bawah sadar memang penting bagi
pembahasan psikologi sastra karena mampu mempengaruhi kejiwaan siapa saja
“keadaan jiwa’ pencipta sehingga muncul ide teks sastra. Peneliti psikologi
sastra pada akhirnya juga akan mampu membaca rentetan psikologi pembaca.
Teks sastra merupakan rangsangan bawah sadar pada pembaca. Semakin tinggi
tingkat daya rangsang sebuah teks dapat mempengaruhi jiwa pembaca, maka
semakin berkualitas pula karya sastra itu.
2.3 Tinjauan Pustaka
Novel Forgiven karya Morra Quatro adalah novel yang sarat dengan
kompleksnya kehidupan khususnya kehidupan remaja dan persahabatan. Cara
penyampaian Morra Quatro sangat menarik karena rangkaian kata demi kata
mampu disusun dengan hati – hati dan sarat akan perbendaharaan kata dan
istilah. Sepanjang pengetahuan peneliti, belum ada yang mengkaji novel tersebut
mengingat peredarannya baru sekitar tahun 2010.
Sebelumnya telah banyak dilakukan penelitian sastra dengan
menggunakan analisis psikosastra. Penelitian dengan pendekatan psikosastra
tetapi dengan objek yang berbeda telah dilakukan oleh Lissa Ernawati dalam
skripsinya yang berjudul Novel Rojak karya Fira Basuki : Analisis Psikosastra.
Lissa menganalisis keadaan psikologis tokoh – tokohnya dari segi kesepian,
frustasi, dan kepribadian.
Penelitian lain mengenai perilaku psikis tokoh dilakukan oleh Farida
Buduri dalam skripsinya yang berjudul Novel Deana Pada Suatu Ketika karya
penelitiannya tersebut, Farida menemukan perilaku psikis dan perilaku trauma
psikis yang terjadi pada tokoh sebelum dan sesudah mengetahui penyakit yang
dideritanya.
Penelitian berikutnya adalah oleh Pipiet dalam tulisannya yang
berjudul Konflik dan Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Pertemuan Dua
Hati karya NH. Dini. Dalam tulisannya Pipiet mengungkapkan bagaiman
kepribadian tokoh utama dalam novel dan bagaima konflik psikologis dari tokoh
tersebut terhadap interaksinya dengan dunia luar.
Selanjutnya oleh Muhammad Bintang dalam tulisannya yang berjudul
Konflik Batin mengungkapkan bahwa faktor – faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi kepribadian manusia. Dia juga menjelaskan hubungan antara
psikologi dengan sastra sehingga penelitian dalam karya sastra melalui teori
psikologi dapat dilakukan.
Pada skripsi Ririn Ambarini yang berjudul Konflik Batin Dolour Darcy
“Pendekatan Psikoanalisis Freud Terhadap Tokoh Utama” Novel POOR MAN’S
ORANGE Karya Ruth Park. Dalam skripsinya, Ririn membahas tentang konflik
batin yang dialami Dolour sebagai tokoh utama atas cinta terlarangnya dengan
kakak iparnya sendiri. Dibahas bahwa keinginan tokoh utama untuk segera
memiliki kekasih di usia enam belas tahun bertentangan dengan kenyataan yang
selalu membuatnya kecewa, baik itu dari fisiknya sendiri maupun dari
lingkungan. Ririn menggunakan teori psikoanalisa dan struktural untuk mengkaji
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian
Karya ilmiah pasti memerlukan data-data yang dapat dipercaya untuk
membantu pembahasan dan pengambilan keputusan. Tanpa data terpercaya itu
maka hasil penelitian tentulah akan diragukan kebenarannya. Titik tolak yang
paling utama adalah mengadakan penelitian pada obyek yang telah ditentukan
yang memerlukan pendekatan atau metode yang tepat untuk mengatasi
permasalahan. Dalam penelitian kali ini saya akan menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif. Metode yang membicarakan beberapa
kemungkinan untuk memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan
data, menyusun atau mengklasifikasinya, menganalisis, dan
menginterpretasikannya.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan dua jenis data, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang memang hanya akan kita
peroleh dari sumber asli, dalam skripsi ini adalah novel Forgiven. Sedangkan
data sekunder adalah data yang memang telah tersedia dan kita hanya perlu
mencari dan mengumpulkannya baik itu melalui perpustakaan, kantor, atau
organisasi yang diperuntukan untuk melengkapi penelitian terhadap data primer.
Data primer :
Judul Naskah : Forgiven
Pengarang : Morra Quatro
Jumlah Halaman : 265
Cetakan : Kedua
Tahun terbit : 2010
Warna Sampul : Biru, putih, dan hitam.
Data penelitian sekundernya tentang psikologi sastra dalam novel
meliputi : (a) penokohan, (b) konflik batin.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi pustaka dan
simak catat. Bahan pustaka merupakan teknik pengumpulan data melalui
teks-teks tertulis maupun soft-copy edition, seperti buku, ebook, artikel-artikel dalam
majalah, surat kabar, buletin, jurnal, laporan atau arsip organisasi, makalah,
publikasi pemerintah, dan lain-lain. Bahan pustaka yang berupa soft-copy edition
biasanya diperoleh dari sumber-sumber internet yang dapat diakses secara
online. Pengumpulan data melalui bahan pustaka menjadi bagian yang penting
dalam penelitian ketika peneliti memutuskan untuk melakukan kajian pustaka
dalam menjawab rumusan masalahnya. Pendekatan studi pustaka sangat umum
dilakukan dalam penelitian karena peneliti tidak perlu mencari data dengan turun
langsung ke lapangan tetapi cukup mengumpulkan dan menganalisis data yang
tersedia dalam pustaka.
Kajian pustaka tidak dapat dilepaskan dari kegiatan penelitian. Seorang
peneliti berkewajiban mempelajari teori-teori yang mendasar masalah dan
penelitian-penelitian dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan masalah
penelitiannya untuk menghindari terjadinya pengulangan penelitian serupa atau
duplikasi-duplikasi yang tidak diinginkan. Dengan melakukan kajian
bahan-bahan pustaka yang ada, peneliti dapat memperoleh informasi secara sistematis,
kemudian menuangkannya dalam bentuk rangkuman yang utuh.
Pengumpulan data melalui studi pustaka menunjukkan bahwa telah
banyak laporan penelitian yang dituliskan dalam bentuk buku, jurnal, publikasi
dan lain-lain. Sehingga hasil laporan penelitian itu dapat menjadi data yang
dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya. Hal itu terjadi
karena sifat utama data ini tidak terbatas pada ruang dan waktu sehingga
memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi
di waktu silam. Dengan demikian, studi pustaka sangat tergantung pada
penulisan hasil laporan atau fenomena yang ada dalam masyarakat diungkapkan
melalui teks tertulis. Hal penting dalam teknik ini adalah peneliti harus
mencantumkan sumber yang ia dapat dalam bentuk sistem referensi yang
terstandardisasi. Sehingga, darimana data itu diperoleh akan jelas dan mudah
untuk ditinjau kembali.
Teknik simak catat adalah teknik yang dilakukan dengan jalan membaca
dan mempelajari objek penelitian kemudian diadakan inventarisasi data sebagai
3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data dapat dilakukan dengan membaca heuristik dan
hermeneutik. Heuristik merupakan langkah untuk menemukan makna melalui
pengkajian struktur bahasa dengan mengintrepetasikan teks sastra secara
referensial melalui tanda-tanda linguistik. Langkah ini berasumsi bahwa bahasa
bersifat referensial, artinya bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal nyata.
Heuristik, merupakan langkah melakukan interpretasi secara referensial melalui
tanda-tanda linguistik. Dalam hal ini pembaca diharapkan mampu memberi arti
terhadap bentuk-bentuk linguistik yang mungkin saja tidak gramatikal
(ungramaticalities). Pembaca berasumsi bahwa bahasa itu bersifat referensial,
dalam arti bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal yang nyata. Realisasi dari
pembacaan heuristik dapat berupa sinopsis, pengucapan teknik cerita, gaya
bahasa yang dipergunakan atau pesan yang dikemukakan.
Hermeuneutik merupakan pembacaan berulang melalui teks dari awal
hingga akhir. Proses pembacaan ini merupakan interpretasi tahap kedua yang
bersifat retroaktif yang mempergunakan banyak kode di luar bahasa dan
menggabungkannya secara integratif sampai pembaca dapat menganalisis secara
struktural untuk mengungkapkan makna (singificance) dalam sistem tertinggi,
yakni makna keseluruhan teks sebagai sistem tanda.
Menurut Moleong (dalam Ratna 2004 : 45) hermeneutika di dalam sastra
dan filsafat disejajarkan dengan interpretasi, pemahaman, verstehen, dan
analisis isi, alamiah, naturalistik, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan
fenomenologi, yang biasanya dipertentangkan dengan metode kuantitatif.
Bleicher (2003 : 5) mengatakan bahwa hermeneutika secara konsekuen
terikat pada dua tugas yaitu : pertama memastikan isi dan makna sebuah kata,
kalimat, teks, dsb; kedua, menemukan instruksi – instruksi yang terdapat di
dalam bentuk – bentuk simbolis. Tugas hermeneutik harus membuat sesuatu
yang kabur jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan
dapat dipahami.
Teknik analisis data meliputi :
1. Menyajikan data sesuai dengan masalah penelitian yang terdapat
dalam objek penelitian.
2. Menganalisis data sesuai dengan permasalahan penelitian.
3. Menginterpretasikan hasil analisis.
4. Menyimpulkan hasil analisis dan pembahasannya sehingga diperoleh
BAB IV
ANALISIS PENOKOHAN DAN KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL FORGIVEN
4.1 Tokoh dan Penokohan Tokoh Utama
Karla adalah tokoh utama dalam novel Forgiven. Tokoh Karla sendiri
merupakan tokoh protagonis dalam cerita karena merupakan tokoh yang
mendukung jalannya cerita. Tokoh Karla juga merupakan tokoh bulat karena
cerita dalam novel mengungkapkan semua hal tentang kehidupan Karla, baik
dari karakter, gaya hidup, dan konflik yang terjadi pada Karla.
Dalam novel Forgiven tokoh Karla digambarkan sebagai gadis yang
tomboy, berpenampilan apa adanya dan cenderung ingin seperti anak laki – laki.
Ia memiliki rambut yang panjang lurus, bermata sipit seperti keturunan
Tionghoa. Paragraf berikut menunjukan keadaan fisik Karla yang memang mirip
dengan ayahnya dan bagaimana usahanya memastikan bahwa keluarganya tidak
memiliki saudara orang Tionghoa, karena ia tidak suka dipanggil “Amoy” oleh
kawan-kawannya.
”Amoy itu panggilan untukku, karena aku mirip Tionghoa. Padahal bukan, aku tidak suka dipanggil begitu…” (Morra,2010 : 16)
“…Dia memiliki rambut panjang sepertiku, yang lebih sering dicepol di belakang kepalanya dengan sebatang kayu yang seperti sumpit.” (Morra,2010 : 64)
Penampilan fisik Karla yang mirip seperti keturunan Tionghoa ini pun
dipertegas melalui percakapannya dengan teman-teman dekatnya.
“Udah deh, Amoy pulang.” (Morra,2010 : 16)
“Ayolah, Moy. Kan cuma lo yang punya akses sejauh itu.” Kata Wahyu.
“Lagian lo larinya kencang.” Kata Laut lagi.” (Morra,2010 : 31)
Pada bab selanjutnya dalam novel diceritakan juga bahwa pada saat
Karla mengunjungi William di Boston, Nicholas Hakim saudara dari William
pun memanggilnya “Amoy”.
“Nicholas berkata saat melihat padaku lagi,”Katanya cewek Will itu amoy – amoy” (Morra 2010 : 146)
Karla tidak terlalu senang bergaul dengan anak gadis seusianya karena
menurut pendapatnya anak perempuan sangat rumit, ia lebih senang bergaul
dengan anak laki – laki yang menurutnya tidak terlalu memusingkan hal – hal
yang sepele seperti halnya perempuan.
“Aku jarang bergaul dengan anak perempuan. Teman – temanku laki – laki semua—yang juga adalah teman Will”
(Morra, 2010 : 14)
“…bagiku anak laki – laki selalu lebih menyenangkan. Mereka lebih banyak tertawa, dan tidak pernah terlalu sibuk dengan warna kulit, rambut, berat badan, apalagi masalah percintaan. Satu hal lagi, mereka tidak perlu ditemani kalau harus ke toilet.” (Morra,2010 : 14)
Kebiasaannya bergaul dengan laki – laki ini mungkin yang membuat Karla
menyenangi olahraga khususnya olahraga bidang atletik lari dan selama SMA
selalu menjadi juara dalam lomba di bidang olahraga ini.
Karla juga adalah seseorang yang sangat setia kawan.Bagi Karla teman –
temannya sudah seperti keluarganya sendiri. Ia begitu mempercayai persahabatan
mereka itu.
“Ada yang tidak matching dengan semua detail ini. Entahlah, aku pun tidak yakin. Aku tidak menyaksikan semuanya, dan masih ingin berpikir yang baik – baik tentang kawan – kawanku.” (Morra,2010 : 39)
Hal ini dibuktikan ketika teman – temannya yang lain ingin balas dendam
dengan kepala sekolah mereka yang sudah memukuli salah seorang temannya,
Karla yang merupakan ketua kelas dan satu – satunya perempuan di dalam
persahabatan mereka itu pun ikut ambil bagian dan mempertaruhkan jabatan
ketua kelasnya terancam.
“Ini sebuah rencana, kemudian aku mendengar beberapa gumam persetujuan. Aku tidak suka melanggar peraturan sekolah. Aku ingin teman – temanku pun begitu. Saat ini, aku dapat memilih untuk ikut atau tidak rencana itu. Tapi aku tidak membatalkannya, meski tak ada gambaran dalam benakku seperti apa hadiah yang setimpal yang akan diterima Pak Juandi. Tapi rasanya—di dasar hatiku terdalam—aku ingin dia mendapatkannya.”
( Morra,2010 : 42)
Hal ini dipertegas ketika Karla yang menjadikan jabatannya sebagai ketua
kelas sebagai alasan untuk tidak masuk kelas untuk melancarkan rencana balas
dendam terhadap Pak Juandi.
Dan pada saat akhirnya sekolah memberikan skors kepada Karla atas
perbuatannya yang tertangkap basah oleh para guru. Karla tidak diperbolehkan
masuk sekolah selama dua minggu. Pada saat itu teman – temannya yang lain
berusaha menjenguk Karla ke rumah, namun mama Karla melarang untuk
bertemu.
“Aku tidak mau kehilangan persahabatan ini.” (Morra,2010 : 68;69)
“ Sehari setelah kedatangan ketiga orang itu, aku menangis, tidak tertahan. Kupikir aku harus berbicara pada Mama, karena aku tidak pantas diperlakukan seperti ini. Tapi aku tidak tahu apa yang ahrus aku katakan. Pada waktu itu, rasanya aku mau memberikan apapun untuk bisa bertemu dengan salah satu saja dari teman – temanku.” ( Morra,2010 :69)
Di sela-sela persahabatannya dengan kumpulan anak laki - laki yang
dianggapnya keluarga keduanya itu ternyata Karla menyimpan sebentuk rasa
terhadap Will. Ia memandang Will lebih dari sekedar sahabat meskipun pada saat
itu ia sudah berpacaran dengan Alfan.
“…Aku dan Alfan berpacaran—baru beberaoa waktu belakangan. Meski begitu kami lebih sering berenam daripada berdua karena pertemanan ini telah dimulai terlebih dahulu.” (Morra,2010 : 14)
“Tekanan suara, dan nada serius dalam kata-katanya membuatku tidak bisa membantah. Aku sempat berpikir kenapa aku tidak merasakan hal seperti ini kepada Alfan. Lalu kujawab sendiri, bahwa mungkin setiap orang berbeda. Sekarang ini, mungkin itulah yang dimiliki Will.” (Morra,2010 : 28)
Hal ini juga dijelaskan pada saat teman – temannya ketahuan menghisap
tindakan bodoh itu. Namun saat dia mengetahui bahwa Will juga ikut menghisap
rokok itu, Karla sangat kecewa. Kecewa yang dirasakannya berbeda dengan
kecewanya terhadap kawan – kawan yang lain.
“Besar harapanku Will tidak akan mengeluarkan jawaban yang berbeda. Aku menatapnya, hampir putus asa, dan dia mengangguk serasa menjawab pelan,”Ya.” Kurasakan separuh diriku hancur. Will tidak merokok. Will tidak memasukkan benda – benda aneh yang tidak seirama dengan metabolism manusia ke dalam tubuhnya. Will bahkan tidak akan menelan parasetamol kalau dia sakit kepala.” (Morra,2010 : 42)
Dan pada saat Will akan berangkat ke Brussel untuk mengikuti olimpiade
Fisika, Karla pun merasa kehilangan.
“Aku terhenyak. Baru ingat, ini sudah Februari. Aku menoleh lagi padanya. Dia mentapku, berharap. Tatapan itu, tiba – tiba membuatku sedih, gelisah, entah apa. Tapi pada saat itu aku hanya menerjemahkannya dengan perasaan kehilangan, karena dia akan pergi jauh. Jauh dan lama. (Morra,2010:87)
Di samping itu tokoh Karla dalam novel juga digambarkan sebagai tokoh
yang tegar dan mandiri. Ia tidak mau orang lain tahu apa yang sedang
dirasakannya. Sama halnya tentang perceraian orangtuanya. Tetapi Karla
tetaplah seorang wanita yang walaupun di luar tampak tegar, terkadang untuk
beberapa hal ia adalah anak perempuan yang mudah menangis. Diceritakan
beberapa kali ia menangis karena beberapa hal.
“Sehari setelah kedatangan tiga orang itu, aku menangis tidak tertahan.” ( Morra 2010 : 69)
“Aku masuk ke dalam kamar, membanting pintu. Menangis, sampai sesunggukan.” (Morra 2010 : 74)
membuatku merasa boleh menangis sejadi – jadinya.” ( Morra 2010 : 75)
“Mungkin aku sudah jadi anak cengeng sekarang. Mungkin aku memang telah begitu sayang padanya. Entahlah. Tapi, berdiam menenangkan diri sementara melihatnya seperti itu membuat air mataku menetes. Aku menangis pelan, karena kutahan napas sebisanya agar Will tidak tahu.” (Morra 2010 : 95)
“Aku menangis menyusuri lingkungan perumahan itu. Kuucapkan selamat tinggal kepadanya dalam hati.” (Morra 2010 : 114)
“Aku menangis juga.” (Morra 2010 : 154)
Karla pun menangis ketika William mengatakan kepadanya untuk tidak
lagi meneruskan pertemuan mereka karena Will sudah menemukan kekasih baru.
4.2 Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Forgiven
Dalam novel Forgiven Karla mengalami beberapa konflik batin yang
mempengaruhi kehidupannya. Orangtuanya yang berbeda agama memutuskan
untuk bercerai dan ibunya yang sibuk dengan kehidupannya membuat Karla
lebih betah berkumpul bersama dengan sahabat – sahabatnya. Karla yang tidak
menyukai hal – hal yang rumit tidak terlalu senang bergaul dengan anak
perempuan. Dan pada Will, salah satu sahabatnya, ia mulai menemukan sebuah
perasaan yang berbeda.
Lulus dari SMA, Karla semakin yakin dengan perasaannya pada Will.
Ketika Will menghilang dan tidak ada kabar, Karla merasakan kehilangan yang
sangat mendalam.
bertemu dengannya lagi. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.” ( Morra,2010 : 113)
Satu hal yang diinginkan Karla meskipun mengalami kekecewaan berkali
– kali oleh Will adalah tetap bersama Will dan akan terus mengenang Will.
Hanya Will yang mampu membuat hari – hari Karla berwarna.
“Dia menghilang. Dan segalanya terasa berbeda. Ternyata tidak butuh begitu banyak waktu untuk membawa perubahan yang begitu besar.” (Morra,2010 : 115)
Keinginannya untuk bertemu dengan Will sangat kuat. Semua hal yang
dilakukannya berantakan dan hanya terpikir kepada Will. Hingga pada saat Will
tiba – tiba muncul dihadapannya, seketika saja Karla seperti menemukan dirinya
yang telah lama hilang.
4.2.1 Beberapa Konflik Batin yang Dialami Tokoh Utama
Hall (1995 : 29) mengatakan bahwa seluruh kepribadian, seperti yang
dirumuskan oleh Freud, terdiri dari tiga sistem yang peting. Ketiga sistem itu
dinamakan id, ego, super ego. Dalam diri seseorang yang mempunyai jiwa yang
sehat ketiga sistem ini merupakan satu susunan yang bersatu dan harmonis.
Dengan bekerja sama secara teratur ketiga sistem ini memungkinkan seoramg
individu untuk bergerak secara efisien dan memuaskan dalam lingkungannya.
Tujuan dari gerak – gerik ini adalah untuk memenuhi keperluan dan keinginan
manusia yang pokok. Sebaliknya, kalau ketiga sistem kepribadian ini
bertentangan satu sama lain, maka orang yang bersangkutan dinamakan orang
yang yang tidak dapat menyesuaikan diri. Ia tidak puas dengan diri sendiri dan
Ketidakseimbangan dari ketiga aspek inilah yang akhirnya dapat
menimbulkan kecemasan. Oleh sebab itu dalam psikoanalisa kecemasan
merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan kepribadian maupun
dinamika berfaalnya kepribadian.
Menurut Hall (1995 : 56) kecemasan adalah suatu pengalaman peranan
yang menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan – ketegangan dalam alat –
alat intern dari tubuh. Ketegangan – ketegangan ini adalah akibat dari dorongan
– dorongan dari dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat syaraf yang
otonom. Misalnya, kalau seseorang menghadapi keadaan yang berbahaya
hatinya berdenyut lebihh cepat, ia bernafas lebih pesat, mulutnya menjadi kering
dan tapak tangannya berkeringat.
Dalam novel Forgiven tokoh utama merupakan karakter yang mencintai
sosok Will yang sangat rumit. Ia menemukan kenyamanan dalam hubungannya
dengan Will yang sangat pendiam dan misterius. Ia merasa bahwa Will sangat
berbeda dengan Alfan, kekasihnya. Karla tidak mendapatkan kehangatan dan
kenyamanan dalam hubungannya dengan Alfan akan tetapi ia tetap menjalani
hubungannya dengan Alfan dengan tidak merasakan apa – apa dan tanpa kesan
apa pun sampai pada akhirnya ia mengetahui kebenaran tentang Alfan.
“ Tekanan suara, dan nada serius dalam kata-katanya membuatku tidak bisa membantah. Aku sempat berpikir kenapa aku tidak merasakan hal yang seperti ini kepada Alfan. Lalu kujawab sendiri, bahwa mungkin setiap orang berbeda. Sekarang ini, itulah yang dimiliki Will.” (Morra,2010 : 28)
4.2.1.1 Konflik Batin yang Dipicu Perceraian Orang Tuanya
Konflik batin yang pertama yang dialami oleh Karla adalah dengan
orangtuanya yang sudah bercerai begitu mempengaruhinya. Kenyataan ini
mengharuskan ia harus terpisah jauh dari ayahnya yang sekarang menetap di
Singapura. Dan untuk bertemu dengan ayahnya setidaknya dalam setahun ia
empat kali harus singgah ke Singapura. Sedangkan ibunya yang kini sedang
berkencan dengan Sean, pria bule Amerika sudah berencana akan menikah lagi.
Sebenarnya Karla memakluminya namun ia tetap merasa Sean calon ayah
barunya itu sudah terlalu cepat memasuki rumahnya yang masih banyak
menyimpan kenangan Karla dengan ayahnya dulu
“Saat ini Mamaku sedang dekat dengan bule Amerika yang kelak akan ia nikahi. Aku tahu ini wajar, dan Mama pantas mendapatkannya. Tapi kurasa Sean—bule Amerika itu— telah masuk ke rumahku terlalu cepat. Rumahku adalah kenanganku dengan papa, dan setiap kenangan dengan papa adalah momen yang sangat pribadi dan emosional untukku. Setiap Mama memasak untuk Sean, aku berpikir, siapa yang memasak untuk Papa? Papa memang bisa memasak sendiri, dan Papa senang melakukannya. Tapi harus ada seseorang yang memasak untuknya.” (Morra,2010 : 33)
Karla sangat menyayangi ayahnya. Semua kenangan dengan ayahnya
membuatnya begitu ingin tetap selalu dekat dengan ayahnya. Karla tidak ingin
melukai hati ayahnya atau mengecewakannya.
“….Aku tak tahu hukuman seperti apa yang akan aku terima. Mama akan mendengar tentang semua ini. Dengan begitu, papa juga. Pikiran yang terakhir itu membuatku ingin menangis.” (Morra,2010 : 56)
Kehadiran Sean di hidupnya sebenarnya sangat mengganggu. Namun ia
karena bagaimana pun ibu Karla masih muda. Walaupun memaklumi keadaan
ibunya, namun dalam diri Karla sebenarnya tidak mau hidup dan tinggal kelak
bersama dengan Sean.
“Aku tidak mau hidup dengan Sean. Waktu itu aku tidak tahu kalau di Amerika para mahasiswa tinggal di asrama – asrama kampus. …..” (Morra,2010 : 66)
Kehendak id pada diri Karla menginginkannya menolak kehadiran Sean
di hidupnya. Tetapi superego dalam diri Karla tidak menghendakinya, karena ia
sangat memahami keberadaan Sean sangat berarti untuk ibunya. Ia menyayangi
ibunya, oleh sebab itu ia harus berusaha menerima keberadaan Sean. Untuk
menyelamatkan ego dari kecemasan, ego menghapus kehendak dengan menekan
hasrat tidak suka yang menimbulkan penolakan terhadap hadirnya Sean kekasih
ibunya tetap berada dalam tidak sadar (id) dan tidak muncul ke kesadaran (ego)
sehingga tidak menimbulkan pertengkaran dengan ibunya. Meskipun ia tidak
menyukai Sean dan enggan berbicara dengannya namun ia selalu berusaha untuk
bersikap biasa saja di depannya karena menghargai ibunya.
Tentang hal perceraian orangtuanya ini Karla masih sering
menyembunyikan kesedihannya bahkan dari teman - temannya sekalipun. Ia
tidak ingin orang lain tahu sisi rapuhnya sebagai seorang anak broken home.
”Aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan – perubahan ini. Tapi tak seorang pun temanku yang tahu tentang hal itu. Aku pun tak ingin mereka tahu. Mereka bahkan tak pernah melihatku menangis. Tidak juga Alfan.” (Morra,2010 : 33)
Di sisi lain, Karla membiasakan diri untuk mandiri karena menyadari
dan butik yang dikelolanya sejak bercerai dengan ayah Karla. Namun bagaimana
pun keadaan keluarganya yang sekarang, ia tetap menyayangi kedua orang
tuanya. Kehidupannya yang sekarang membuatnya membutuhkan sosok yang
mampu memberikan rasa nyaman dan ketenangan untuknya, dan untuk
menghilangkan kecemasan tentang itu ia banyak menghabiskan waktu dengan
sahabat – sahabatnya.
4.2.1.2 Konflik Batin Tokoh Utama dengan Kekasihnya
Dalam novel Forgiven diceritakan bahwa pada masa SMA Karla
menjalin hubungan kekasih dengan salah seorang dari sahabatnya yang bernama
Alfan. Namun meskipun telah menjadi sepasang kekasih, mereka lebih sering
menghabiskan waktu bersama – sama dengan sahabat – sahabatnya yang lain
daripada berdua.
“….Aku dan Alfan berpacaran—baru beberapa waktu belakangan. Meski begitu kami lebih sering berenam daripada berdua karena pertemanan ini telah dimulai lebih dulu. “ (Morra,2010 : 14)
Alfan adalah anak laki – laki yang tergolong nakal. Dan Karla tidak
nyaman dengan hal itu. Alfan sering tidak mengindahkan perkataan Karla dan
itu membuat Karla enggan berurusan dengan Alfan.
Meskipun Alfan kekasihnya, tapi Karla tidak pernah merasakan hal yang
spesial tentang Alfan. Dan belakangan ia pun mengenal Alfan lebih dalam lagi
setelah peristiwa balas dendam terhadap kepala sekolah mereka. Seharusnya
Alfan ada di saat rencana itu berlangsung, namun di saat kejadian yang tidak
diinginkan terjadi Alfan menghilang dan lepas tanggung jawab.
“Aku pakai rok, mana mungkin bisa memanjati pagar ini secepat itu. Tapi, aku bisa mengandalkan kedua kakiku untuk segera berlari dan meghilang begitu mencapai tanah. Aku teringat Alfan. Mana Alfan? Harusnya dia melakukan sesuatu saat ini.” (Morra,2010 : 54)
Pada saat itu Karla menyadari ada yang tidak beres dengan Alfan. Karla
menghubungkan peristiwa saat Will dan Alfan bertengkar dengan kejadian balas
dendam itu.
“Lalu aku teringat pembicaraan itu. Pembicaraan antara Will dan Alfan, dan ketegangan – ketegangan di tengah – tengah mereka. Aku berusaha mencocokkan bagian itu dengan gambar – gambar yang lain, dan entah bagaimana, kurasa itu bagian yang berbeda.” ( Morra,2010 : 58)
Karla sangat terpukul saat mengetahui bahwa Alfan merencanakan hal
yang buruk dari Wahyu. Alfan menginginkan hal yang tidak senonoh dengan
Karla. Karla tidak menyangka, Alfan bisa berpikiran seperti itu.
“Aku tidak mampu mengangkat wajah. Lututku terasa lemas. Sadar betapa berat dan jauh dari akal sehatku semua rentetan kejadian ini. Wahyu memegang tanganku. Bisiknya,”Aku nggak suka bilangnya. Maaf. Kita memang anak-anak nakal.”” (Morra,2010 : 60)
Karla begitu kecewa pada Alfan. Kekasih yang juga merupakan
”Aku masih mencoba tersenyum sekali lagi sebelum berbalik ke ruang guru. Sejumlah pikiran tentang Alfan, tentang Will, tentang persahabatan ini, mulai menyerang lagi. Aku begitu lelah. Aku menoleh ke deretan kelas tiga. Mencoba menemukan Alfan.. dan Will” (Morra,2010 : 6)
Pada saat Karla diskors oleh kepala sekolah, Karla melihat Alfan sedang
bersama seseorang. Kenyataan bahwa selama dia tidak masuk sekolah Alfan
sudah mempunyai kekasih baru cukup membuat Karla terhenyak.
“Kemudian aku melihat Alfan. Dia ada di sisi lapangan yang berseberangan denganku. Dia bersama dengan seseorang. Anak perempuan. Aku tidak tahu siapa namanya, tapi dia anak dari salah satu kelas IPS. Bahasa tubuh di antara mereka sama seperti yang ada di antara Laut dan Lala.” (Morra 2010 : 89)
Hal yang lebih membuat Karla kecewa dan sadar sifat Alfan yang
sebenarnya adalah saat mengetahui Alfan bersih dari tuduhan mengenai kejadian
balas dendam dengan kepala sekolah mereka. Dalam benak Karla tentang Alfan
adalah sosok yang tidak pernah memiliki rasa tanggungjawab. Dia hanya mampu
memikirkan dirinya sendiri dan bagaimana lepas dari masalah.
“Kata Will, entah bagaimana guru – guru akhirnya memutuskan Alfan bersih dari segala keterlibatan dengan Robby dan tikus mati itu. Dia dipanggil menghadap Pak Juandi—Will dan Robby tidak dipanggil—dan semua orang menyaksikannya. Kupikir, begitu juga dengan Will, hanya satu yang bisa meloloskannya dri tuduhan yaitu kemampuan bersilat lidah yang hebat. Ini, dan pertengkarannya dengan Will di garasi itu, sudah cukup menunjukkan siapa Alfan sebenarnya.” ( Morra 2010 : 89)
Karla memang cukup kecewa dengan sifat – sifat Alfan yang baru dia
ketahui, namun ia memutuskan untuk tidak terhanyut dalam emosi dan
“Will sudah tidak bicara lagi dengannya. Aku tidak tahu bagaimana dengan keempat orang yang lain. Tapi aku—aku tidak ingin memiliki kebencian terhadap seseorang. Begitulah yang dikatakan papa. Jadi, kepada Alfan, aku hanya merasa aku tidak mau mengenalnya lagi.” (Morra 2010 : 89)
Kekecewaan terhadap Alfan menyadarkan Karla bahwa ia belum benar –
benar mengenal sosok kekasihnya yang sekaligus sudah dianggapnya sebagai
salah satu sahabatnya. Alfan bukanlah sosok yang diinginkannya, yaitu seorang
laki-laki yang penuh dengan kehangatan, pengorbanan, pengertian, dan
tanggungjawab.
4.2.1.3 Konflik Batin Tokoh Utama dengan William
William adalah sahabatnya di SMA yang pada cerita berikutnya akan
menjadi seseorang yang sangat dicintai Karla. Mengenai Will, Karla mampu
menyebutkan banyak hal yang membuatnya begitu nyaman dengan Will.
Baginya, Will adalah tempat berbagi rahasia dan mimpi – mimpi yang tidak
sembarangan orang tahu. Will tidak bisa digantikan oleh siapapun di hati Karla.
Pada akhirnya kenyataan – kenyataan tentang Will yang ia tidak ketahui selama
ini sangat membuatnya terpuruk dan penuh penyesalan. Kedekatan mereka
terlihat pada paragraf berikut yang menceritakan betapa persahabatan di antara
mereka sangat tulus dan dekat, setidaknya begitu menurut Karla sebelum
mendapati banyak hal yang disembunyikan Will darinya.
Katanya, dulu, siapa peduli Indonesia berada di garis lintang dan garis bujur berapa—lempengan bumi akan terus
bergeser dan hitungan ini akan terus berubah.” ( Morra 2010 :3)
“Dalam tahun – tahun itu aku berusaha mendefinisikan mekanisme pertahanan diri Will. Aku sering mendapati kebohongan – kebohongannya, yang di kemudian hari akan ia akui tanpa rasa berdosa. Will tidak suka menerima dirinya disalahkan, tapi ia pernah meneleponku pagi – pagi buta, dengan penuh sesal menceritakan pertengkarannya dengan orangtuanya. Dari semua eksperimen ini, aku tidak pernah menemukan satu pun mekanisme yang tipikal. Tidak pernah—hingga akhirnya aku meragukan apakah aku benar – benar mengenalnya.” ( Morra 2010 : 4)
Sejak semula di antara sahabat – sahabatnya yang lain, Karla memang
memposisikan Will menjadi yang terdekat dengannya. Jika dengan yang lain
Karla dapat merasa biasa saja lain halnya dengan Will yang mampu membuat
Karla malu, cemas, bahkan merasa nyaman secara bersamaan. Untuk beberapa
hal tentang Karla, Will adalah orang yang pertama kali mengetahuinya.
“Aku segera berbalik. Wajahku terasa panas entah seperti apa. Ini bukan pertama kali Will mendapati menstruasiku yang bocor dan tiba – tiba, tapi tetap saja rasanya memalukan. Sakit perut itu kian menjadi. Kusambut jas yang dipakaikan Will lewat punggungku. Dia tertawa.” ( Morra 2010 : 11)
“ Ada hal – hal yang tidak kuceritakam kepada kelima temanku. Hal – hal ‘perempuan’, tentu saja, seperti jadwal menstruasiku meski sekarang teritorinya sudah dimasuki Will.” (Morra 2010 : 32)
Bahkan ketika ‘menangis’ adalah hal yang selama ini Karla sembunyikan
dari siapa pun akhirnya Will lah yang pertama kali mendapatinya. Hal ini dapat
ditemukan dalam paragraf berikut :
“Luka di bibirnya sudah mulai menutup, lekas sembuhnya kalau dia tidak banyak bicara. Mata kirinya hanya mampu membuka separuh, tapi ia menatapku. Hatiku seperti teriris. Aku teringat Leyla di bawah, gambar dan krayon-krayonnya. Aku ingin menangis, tapi tidak mau mereka melihatku menangis.” ( Morra 2010 : 41)
Kedua paragraf ini menjelaskan betapa Karla tidak ingin siapa pun
melihat kelemahannya. Namun berbeda saat di hadapan Will ketika Karla
mendapat hukuman dari sekolahnya.
“Dia membuka pintu perlahan setelah mengetuknya sebanyak dua kali. Aku tidak mengira harus seperti ini. Aku tidak ingin dia mendapatiku menangis, tapi dia ada di sana saat aku meringkuk dan membenamkan wajah di atas bantal. Lalu Will menaikkan kaki, berlutut di atas tempat tidurku. Ia mngulurkan tangan. Aku tidak mengira dia akan melakukannya. Tapi aku hanya tahu satu yang perlu kuperbuat waktu itu, menghambur ke dalam pelukannya. Kedua lengan itu menerimaku.” (Morra 2010 : 74)
“Will juga orang pertama di antara mereka yang melihatku menangis.” (Morra 2010 : 75)
Pada saat sahabat – sahabatnya kedapatan merokok, yang paling
membuat Karla terkejut adalah ketika mengetahui Will juga ikut merokok
bersama dengan yang lain.
“Besar harapanku Will akan mengeluarkan jawaban yang berbeda. Aku menatapnya, hampir putus asa, dan dia mengangguk serasa menjawab pelan, “Ya”” (Morra 2010 : 40)
Ada perasaan yang mungkin sedikit berlebihan ketika mendapati Will
merokok. Perasaan yang berbeda sewaktu mendapati sahabat yang lainnya
“Kurasakan separuh diriku hancur. Will tidak merokok. Will tidak akan memasukkan benda – benda aneh yang tidak seirama dengan metabolisme manusia ke dalam tubuhnya. Will bahkan tidak menelan parasetamol kalau ia sakit kepala.” (Morra 2010 : 41)
Setiap hal yang berkaitan dengan Will membuat Karla menemukan
dirinya seperti merasakan hal yang berbeda, tetapi Karla tidak bisa mengartikan
perasaan itu dan masih saja menganggap bahwa perasaannya terhadap Will sama
dengan perasaannya dengan sahabatnya yang lain. Setiap kali ia berdekatan atau
kontak fisik dengan Will selalu membuatnya sadar ada hal yang lain terjadi pada
dirinya.
“Ada sesuatu yang berbeda di mata Will saat itu. Aku tidak tahu bagaimana mendefenisikannya. Suatu kekuatan yang membuat jantungku bedetak keras waktu ia meletakkan sehelai kertas kosong dan pensil di hadapanku. Katanya,”Coba gambar.”” (Morra 2010 : 46)
“Harusnya bisa mendarat dengan tepat dan mulus. Tapi ketika itu kedua kaki yang pernah membawaku ke berbagai kejuaraan ini tidak dapat menekuk dengan lentur dan kuat seperti biasa. Lututku terluka saat aku jatuh. Aku sempat melihat Will. Ia bergegas maju. Aku tahu ia ingin datang sebelum kepala sekolah dan Bu Novi menahannya agar tetap di sana. Aku masih melihat sinar cerahnya, dan saat itu—entah kenapa—aku merasa dia sungguh berharga.” ( Morra 2010 : 55)
Kenyataan bahwa Will sangat berharga bagi Karla membuatnya ingin
melindungi Will. Pada saat rencana untuk balas dendam kepada kepala sekolah
mereka ternyata gagal, Karla berusaha melindungi Will dengan menanggung
semua hukuman yang diberikan dengan mengatakan bahwa semuanya adalah
idenya sendiri sedangkan yang lain hanya mengikuti idenya. Dan ketika
tenang meskipun ia harus menerima hukuman skorsing selama lima belas hari
dari sekolah.
“Will bersih. Setidaknya ini sedikit menghiburku.” (Morra 2010 : 64)
Will lah yang mampu untuk pertama kalinya masuk menemui dan
menghibur Karla di saat Karla merasa sedih karena hukuman itu, setelah
membujuk ibu Karla.
“Will adalah orang pertama yang menembus pertahanan Mama.” (Morra 2010 : 75)
“Kini lenyap sudah kesedihan yang kurasakan sejak hari pertama pengasingan itu.” (Morra 2010 : 81)
“Aku tersenyum. Yah—ada Will di sampingku. Segalanya baik - baik saja. “ (Morra 2010 : 88)
Pada saat Will mengalami kebutaan sementara sebelum berangkat ke
Brussel untuk pertandingan olimpiade Fisika yang pada saat itu Karla tidak
mengetahui apa penyebabnya, ia sangat tertekan. Di pikirannya hanya ada
bagaimana caranya Will bisa sembuh sebelum berangkat ke Brussel, walaupun
sebenarnya ia tidak tahu caranya. Baginya, Will adalah segalanya.
“Will harus sembuh sebelum berangkat ke Brussel. Tak ada yang bisa kulakukan untuk itu. Tapi aku bisa membuatnya senang.” (Morra 2010 : 99)
Namun apapun yang dirasakan Karla terhadap Will semasa sekolah tidak
pernah benar – benar membuat Karla memiliki Will sebagai seorang kekasih,
mereka tetap berteman hingga lulus SMA. Perhatian yang Will berikan kepada
Karla tidak mampu membuat Karla mengakui perasaannya yang sebenarnya.
Dan pada saat Karla akan melanjutkan pendidikan kuliah ke luar negeri. Saat itu
ia hendak memberitahu Will akan keberangkatannya, saat itu pulalah Will tiba –
tiba menghilang dan tidak ada kabar.
“Tiba – tiba aku merasa takut. Kutekan lagi bel rumah itu, dan memanggil,”William…” tetap tidak ada jawaban.” (Morra 2010 : 112)
Hilangnya Will yang secara tiba – tiba dan tanpa kabar itu membuat
Karla benar - benar merasa kehilangan. Apa pun yang terjadi dan yang akan
terjadi, di pikiran Karla hanya ingin bertemu dengan Will.
“Will tidak ada—dan baru kusadari betapa aku kehilangan dan merindukannya. Aku tidak sempat bertemu dengannya lagi. Aku bahkan tidak sempat mengatakan selamat tinggal.” (Morra 2010 : 113)
“Aku menangis lagi ketika menyusuri lingkungan perumahan itu. Kuucapkan selamat tinggal kepadanya dalam hati.” (Morra 2010 : 114)
Hal itu terus berlanjut sampai Karla tiba di Singapura. Karla
menyibukkan diri dengan kelas trainingnya untuk mempersiapkan diri menuju
dunia perkuliahan. Hal ini tetap saja tidak membuat ia lupa akan Will, Karla
masih saja terus memikirkan pria yang sangat dirindukannya itu. Apa pun yang
dilakukannya Will terus saja mampu menduduki peringkat pertama dalam
otaknya. Dan hal ini membuatnya malas berinteraksi dengan lingkungan dan
perilaku yang merupakan salah satu faktor gangguan batin. Teori ini mengacu
pada kurangnya keinginan individu berinteraksi dikarenakan depresi yang
dialaminya.
“Dan saat ini aku hanya menginginkan Will.” (Morra 2010 : 120)
“Mereka benar tentang itu,bahwa orang tidak akan sadar apa yang mereka miliki sampai ia hilang. Dan aku sudah kehilangan Will.” (Morra 2010 : 121)
Semua yang dilakukannya hanya mengingatkannya pada Will. Dan
sebenarnya Karla sangat membenci itu. Perasaan tertekan ini menimbulkan
konflik batin pada diri Karla. Dalam hal ini, id dalam diri Karla terus menuntut
ego untuk tetap memikirkan dan mencari tahu keberadaan Will, akan tetapi
superego juga menekan ego bahwa hal itu tidaklah mudah mengingat memang
tidak ada sedikit pun hal yang bisa menunjukkan dimana Will berada saat itu.
Karla ingin melupakan semua tentang Will. Namun semakin Karla
mencoba untuk melupakannya, semua hal semakin mengingatkannya pada Will,
dan pada akhirnya Karla harus menerima kekalahannya, ia jatuh sakit.
“Tiba – tiba aku merasa segenap amarah naik ke kepala—
sialan kamu,Will—disertai sejumlah material berputar pada perutku. Reaksi itu datang lagi, hingga aku harus berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semuanya di atas wastafel.” (Morra 2010 : 123)
Pada saat itu juga tiba – tiba Will muncul. Karla tidak membutuhkan
penjelasan apa – apa mengenai hilangnya Will. Begitu Will muncul di
hadapannya Karla hanya ingin satu hal, tidak lagi kehilangan Will untuk kedua
kalinya. Hal ini ditunjukkan pada paragraf berikut.
“Aku masih tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Kenapa dia tidak bisa dihubungi, ke mana dia waktu aku mendatangi rumahnya. Tapi, pada saat dia berada dekat di hadapanku, aku tahu aku hanya menginginkan ini. Aku tidak mau membahas apa – apa. Aku hanya menginginkan dia ada di dekatku. Itu lebih penting. Aku tidak peduli sisanya.” (Morra 2010 : 130)
Pada saat itu Karla sadar bahwa ia sudah jatuh cinta pada Will.
“Aku juga tahu aku sudah jatuh cinta padanya. Aku hanya tidak tahu sudah berapa lama.” (Morra 2010 : 134)
Namun kedatangan Will ke Singapura hanya sebentar, karena Will harus
ke Boston untuk melanjutkan kuliah, katanya. Meskipun begitu, Karla sudah
cukup tenang. Setidaknya ia tidak lagi harus merasa kehilangan Will karena ia
sudah kini Will ada dimana dan sedang apa. Sementara Karla baru akan
menyusul Will ke Amerika di awal tahun, mereka tetap berhubungan melalui
telepon dan saling memberi kabar. Hal itu terus berlanjut sampai Karla pun
sudah berada di Amerika. Mereka pun saling bertemu. Hingga pada akhirnya
Karla lagi – lagi merasa kehilangan, kali ini bukan karena Will menghilang lagi
dan tak ada kabar, tapi karena Will tiba – tiba menginginkan perpisahan. Saat itu
Karla menemui Will ke apartemennya. Namun Karla belum menyadarinya, yang
ia tahu ia hanya merindukan Will dan ingin bertemu dengannya.
“Aku tersenyum selama berada sendirian, di dalam lift.
panjang di sepanjang punggung yang tertutup mantel biruku. Senangkah Will bertemu denganku lagi? Keep you hair long, ucapnya dulu, you look pretty with it. Will. Akhirnya. Kupeluk tas karton berisi penutup topi wol yang kubeli di Rittenhouse, minggu sebelumnya, dan kaos kaki dari Mama untuknya. Aku benar-benar rindu. Saat ini