• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Analisis Penokohan dan Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel

4.1 Tokoh dan Penokohan Tokoh Utama

Karla adalah tokoh utama dalam novel Forgiven. Tokoh Karla sendiri merupakan tokoh protagonis dalam cerita karena merupakan tokoh yang mendukung jalannya cerita. Tokoh Karla juga merupakan tokoh bulat karena cerita dalam novel mengungkapkan semua hal tentang kehidupan Karla, baik dari karakter, gaya hidup, dan konflik yang terjadi pada Karla.

Dalam novel Forgiven tokoh Karla digambarkan sebagai gadis yang tomboy, berpenampilan apa adanya dan cenderung ingin seperti anak laki – laki. Ia memiliki rambut yang panjang lurus, bermata sipit seperti keturunan Tionghoa. Paragraf berikut menunjukan keadaan fisik Karla yang memang mirip dengan ayahnya dan bagaimana usahanya memastikan bahwa keluarganya tidak memiliki saudara orang Tionghoa, karena ia tidak suka dipanggil “Amoy” oleh kawan-kawannya.

”Amoy itu panggilan untukku, karena aku mirip Tionghoa. Padahal bukan, aku tidak suka dipanggil begitu…” (Morra,2010 : 16)

“…Dia memiliki rambut panjang sepertiku, yang lebih sering dicepol di belakang kepalanya dengan sebatang kayu yang seperti sumpit.” (Morra,2010 : 64)

“…Ia memakai kaos bergaris dan bercelana pendek. Papa putih, bermata kecil dan berambut lurus, seperti orang Tionghoa. Karena itu aku juga mirip orang Tionghoa. Padahal sudah kutelusuri silsilah keluargaku sampai tiga generasi di atas papa dan mama, dan tak ada satupun orang Tionghoa di sana.” ( Morra,2010 : 78)

Penampilan fisik Karla yang mirip seperti keturunan Tionghoa ini pun dipertegas melalui percakapannya dengan teman-teman dekatnya.

“Udah deh, Amoy pulang.” (Morra,2010 : 16)

“Ayolah, Moy. Kan cuma lo yang punya akses sejauh itu.” Kata Wahyu.

“Lagian lo larinya kencang.” Kata Laut lagi.” (Morra,2010 : 31)

Pada bab selanjutnya dalam novel diceritakan juga bahwa pada saat Karla mengunjungi William di Boston, Nicholas Hakim saudara dari William pun memanggilnya “Amoy”.

“Nicholas berkata saat melihat padaku lagi,”Katanya cewek Will itu amoy – amoy” (Morra 2010 : 146)

Karla tidak terlalu senang bergaul dengan anak gadis seusianya karena menurut pendapatnya anak perempuan sangat rumit, ia lebih senang bergaul dengan anak laki – laki yang menurutnya tidak terlalu memusingkan hal – hal yang sepele seperti halnya perempuan.

“Aku jarang bergaul dengan anak perempuan. Teman – temanku laki – laki semua—yang juga adalah teman Will”

(Morra, 2010 : 14)

“…bagiku anak laki – laki selalu lebih menyenangkan. Mereka lebih banyak tertawa, dan tidak pernah terlalu sibuk dengan warna kulit, rambut, berat badan, apalagi masalah percintaan. Satu hal lagi, mereka tidak perlu ditemani kalau harus ke toilet.” (Morra,2010 : 14)

Kebiasaannya bergaul dengan laki – laki ini mungkin yang membuat Karla menyenangi olahraga khususnya olahraga bidang atletik lari dan selama SMA selalu menjadi juara dalam lomba di bidang olahraga ini.

“Aku pernah mrnjuarai PORSENI—Pekan Olahraga dan Seni anak sekolah. Sampai kelas tiga, rekor sprint-ku tidak terpecahkan.” (Morra 2010 : 23)

Karla juga adalah seseorang yang sangat setia kawan.Bagi Karla teman – temannya sudah seperti keluarganya sendiri. Ia begitu mempercayai persahabatan mereka itu.

“Ada yang tidak matching dengan semua detail ini. Entahlah, aku pun tidak yakin. Aku tidak menyaksikan semuanya, dan masih ingin berpikir yang baik – baik tentang kawan – kawanku.” (Morra,2010 : 39)

Hal ini dibuktikan ketika teman – temannya yang lain ingin balas dendam dengan kepala sekolah mereka yang sudah memukuli salah seorang temannya, Karla yang merupakan ketua kelas dan satu – satunya perempuan di dalam persahabatan mereka itu pun ikut ambil bagian dan mempertaruhkan jabatan ketua kelasnya terancam.

“Ini sebuah rencana, kemudian aku mendengar beberapa gumam persetujuan. Aku tidak suka melanggar peraturan sekolah. Aku ingin teman – temanku pun begitu. Saat ini, aku dapat memilih untuk ikut atau tidak rencana itu. Tapi aku tidak membatalkannya, meski tak ada gambaran dalam benakku seperti apa hadiah yang setimpal yang akan diterima Pak Juandi. Tapi rasanya—di dasar hatiku terdalam—aku ingin dia mendapatkannya.”

( Morra,2010 : 42)

Hal ini dipertegas ketika Karla yang menjadikan jabatannya sebagai ketua kelas sebagai alasan untuk tidak masuk kelas untuk melancarkan rencana balas dendam terhadap Pak Juandi.

“Waktu kami tidak banyak. Situasi inspeksi ini sebenarnya menguntungkan, karena guru – guru yang akan mengajar pasti sedikit terlambat masuk kelas, kami pun bisa tiba di sana lebih dulu. Yang mungkin terlambat adalah aku, Wahyu, dan Laut. Tapi sebagai ketua kelas, aku bisa punya banyak alasan. Wahyu dan Laut akan mencari alasannya sendiri” (Morra,2010 : 50)

Dan pada saat akhirnya sekolah memberikan skors kepada Karla atas perbuatannya yang tertangkap basah oleh para guru. Karla tidak diperbolehkan masuk sekolah selama dua minggu. Pada saat itu teman – temannya yang lain berusaha menjenguk Karla ke rumah, namun mama Karla melarang untuk bertemu.

“Aku tidak mau kehilangan persahabatan ini.” (Morra,2010 : 68;69)

“ Sehari setelah kedatangan ketiga orang itu, aku menangis, tidak tertahan. Kupikir aku harus berbicara pada Mama, karena aku tidak pantas diperlakukan seperti ini. Tapi aku tidak tahu apa yang ahrus aku katakan. Pada waktu itu, rasanya aku mau memberikan apapun untuk bisa bertemu dengan salah satu saja dari teman – temanku.” ( Morra,2010 :69)

Di sela-sela persahabatannya dengan kumpulan anak laki - laki yang dianggapnya keluarga keduanya itu ternyata Karla menyimpan sebentuk rasa terhadap Will. Ia memandang Will lebih dari sekedar sahabat meskipun pada saat itu ia sudah berpacaran dengan Alfan.

“…Aku dan Alfan berpacaran—baru beberaoa waktu belakangan. Meski begitu kami lebih sering berenam daripada berdua karena pertemanan ini telah dimulai terlebih dahulu.” (Morra,2010 : 14)

“Tekanan suara, dan nada serius dalam kata-katanya membuatku tidak bisa membantah. Aku sempat berpikir kenapa aku tidak merasakan hal seperti ini kepada Alfan. Lalu kujawab sendiri, bahwa mungkin setiap orang berbeda. Sekarang ini, mungkin itulah yang dimiliki Will.” (Morra,2010 : 28)

Hal ini juga dijelaskan pada saat teman – temannya ketahuan menghisap rokok yang dicampur dengan marijuana. Karla berharap Will tidak ikut dalam

tindakan bodoh itu. Namun saat dia mengetahui bahwa Will juga ikut menghisap rokok itu, Karla sangat kecewa. Kecewa yang dirasakannya berbeda dengan kecewanya terhadap kawan – kawan yang lain.

“Besar harapanku Will tidak akan mengeluarkan jawaban yang berbeda. Aku menatapnya, hampir putus asa, dan dia mengangguk serasa menjawab pelan,”Ya.” Kurasakan separuh diriku hancur. Will tidak merokok. Will tidak memasukkan benda – benda aneh yang tidak seirama dengan metabolism manusia ke dalam tubuhnya. Will bahkan tidak akan menelan parasetamol kalau dia sakit kepala.” (Morra,2010 : 42)

Dan pada saat Will akan berangkat ke Brussel untuk mengikuti olimpiade Fisika, Karla pun merasa kehilangan.

“Aku terhenyak. Baru ingat, ini sudah Februari. Aku menoleh lagi padanya. Dia mentapku, berharap. Tatapan itu, tiba – tiba membuatku sedih, gelisah, entah apa. Tapi pada saat itu aku hanya menerjemahkannya dengan perasaan kehilangan, karena dia akan pergi jauh. Jauh dan lama. (Morra,2010:87)

Di samping itu tokoh Karla dalam novel juga digambarkan sebagai tokoh yang tegar dan mandiri. Ia tidak mau orang lain tahu apa yang sedang dirasakannya. Sama halnya tentang perceraian orangtuanya. Tetapi Karla tetaplah seorang wanita yang walaupun di luar tampak tegar, terkadang untuk beberapa hal ia adalah anak perempuan yang mudah menangis. Diceritakan beberapa kali ia menangis karena beberapa hal.

“Sehari setelah kedatangan tiga orang itu, aku menangis tidak tertahan.” ( Morra 2010 : 69)

“Aku masuk ke dalam kamar, membanting pintu. Menangis, sampai sesunggukan.” (Morra 2010 : 74)

“Ini seperti yang diberikan Wahyu beberapa hari sebelumnya di taman sekolah. Tapi kali ini aku benar – benar menangis. Will mengusap kepalaku, membungkukkan tubuhnnya,

membuatku merasa boleh menangis sejadi – jadinya.” ( Morra 2010 : 75)

“Mungkin aku sudah jadi anak cengeng sekarang. Mungkin aku memang telah begitu sayang padanya. Entahlah. Tapi, berdiam menenangkan diri sementara melihatnya seperti itu membuat air mataku menetes. Aku menangis pelan, karena kutahan napas sebisanya agar Will tidak tahu.” (Morra 2010 : 95)

“Aku menangis menyusuri lingkungan perumahan itu. Kuucapkan selamat tinggal kepadanya dalam hati.” (Morra 2010 : 114)

“Aku menangis juga.” (Morra 2010 : 154)

Karla pun menangis ketika William mengatakan kepadanya untuk tidak lagi meneruskan pertemuan mereka karena Will sudah menemukan kekasih baru.

Dokumen terkait