• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Pandangan Brown tentang as-Sunnah

Dalam dokumen MENYOAL RELEVANSI SUNNAH DALAM ISLAM MODERN (Halaman 32-51)

Berangkat dari isu krusial tentang perjuangan kuam muslim modern ini, Brown membagi bukunya dalam enam bab. Bab pertama, yang berisi enam sub bab mendiskusikan konsep klasik tentang kewenangan Rasulullah s.a.w.. Brown tampaknya mengangap ini bagian penting perlu disuguhkan dalam rangka memahami perjuangan pemikiran kembali sunnah berdasarkan sunnah yang dipahami dalam tahap awal. Pada bagian awal ini khusus membahas pemahaman sunnah dalam tahap awal sekali dan dalam pandangan kesarjanaan klasik khususnya masa Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w. 204 H.) dan setelahnya. Pada bab ini tampaknya Brown ingin

menunjukkan gagasan sunnah pada tahun-tahun awal Islam sangat berbeda

dengan defenisi klasik. Perbedaan tersebut dapat dilihat: pertama,

orang-orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. lebih tinggi dari sunnah-sunnah orang muslim terkemuka lainnya, terutama

para khalifah yang pertama beserta sahabat-sahabatnya; kedua, pada tahap

awal ini, orang-orang muslim tidak selalu mengidentifikasikan sunnah dengan riwayat khsusus mengenai Nabi Muhammad s.a.w., yaitu riwayat hadis tidak menjadi wahana ekslusif bagi sunnahnya, seperti yang terjadi kemudian; ketiga, orang-orang muslim awal tidak membuat perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan, terutama antara sunnah dan al-Qur’an yang dilukiskan dengan begitu saksama oleh para

pakar terkemudian.33

Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengemukakan sejumlah bukti yang ia kutip dari ahli-ahli fiqh yang dalam anggapannya cukup kuat. Misalnya, riwayat bahwa Nabi Muhammad dan Abu Bakar mengenakan empat puluh kali cambukan sebagai huuman untuk mabuk-mabukan, sementara Umar menerapkan delapan puluh kali cambukan. Dan “kesemua

ini adalah sunnah”, seperti yang dinyatakan oleh Abu Yusuf.34 Tentang gagasan sunnah secara konseptual tetap terlepas dari preseden hadis spesifik, bukti-bukti yang lebih kuat diperoleh dari tulisan tulisan teologis

awal, seperti dalam Kitab al-Qadr karya Al-Hasan al-Basri yang

menyebutkan sunnah Rasul dengan cara yang sangat umum namun tidak

merujuk kepada kasus-kasus khusus. Demikian pula dalam kitab al-Irja’

karya al-Hasan ibn Muhammamad Muhammad ibn al-Hanafiyyah,

pemilahan yang tegas antara sunnah dan hadis dapat terlihat dengan jelas.35

Berkaitan dengan itu, maka menurutnya diferensiasi al-Qur’an dan sunnah yang keseluruhannya ditandai dengan aura wahyu, dan keterkaitannya satu sama lain baru terjadi belakangan ketika timbul kebutuhan untuk menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan alasan-alasan yang diajukan orang untuk yang menentang akitab konflik

mengguncang masyarakat.36

34Brown, Menyoal …, hal. 23.

35Brown, Menyoal …, hal. 25.

Asy-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir al-Sunnah adalah orang yang

paling bertanggung jawab atas perubahan pandangan terhadap sunnah ini.37

Usahanya yang besar terhadap identifikasi ekslusif sunnah dengan hadis Nabi Muhammad s.a.w., penegakan superioritas sunnah Nabi atas sumber-sumber preseden lainnya dan juga sifat kewahyuan sunnah tampak cukup berhasil. Keberhasilan ini ditandai dengan istilah sunnah jarang ditemukan untuk penggunaan selain sunnah Nabi setelah Asy-Syafi’i dalam waktu yang cukup lama hingga perdebatan mengenai sunnah muncul kembali pada abad kesembilan belas.

Berangkat dari pergeseran pandangan tentang sunnah Nabi s.a.w. tersebut, dalam bab selanjutnya ia sangat berkepentingan untuk membahas munculnya tantangan modern terhadap sunnah. Pada bab-2 ini Brown ingin menunjukkan bahwa gagasan pemikiran kembali sunnah Nabi telah memunyai akar yang kuat dalam abad ke-18 M dan telah memberikan kekuatan baru bagi para reformis abad ke-19 dan 20. Gagasan-gagasan yang dikemukakan pada abad ke-18 nyata sekali telah memberikan landasan dan merintis kategori-kategori utama respon yang digunakan kaum muslim

37Brown, Menyoal …, hal. 19. Untuk lebih jauh tentang peran

asy-Syafi’i terhadap sunnah, lihat misalnya, Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Mizan, 1984).

abad kesembilan belas dan kedua puluh ketika menghadapi tantangan baru. Pada awalnya gagasan-gagasan ini munculnya didesak oleh kerusakan moral. Dalam mendiagnosis keadaan ini, para pemikir zaman ini segera menemukan penyakitnya: orang muslim telah menyimpang dari sunnah

Rasul s.a.w. dan diracuni oleh Bid’ah dan taklid terhadap kitab-kitab

penafsiran hukum klasik. Sebagian praktik sufi ikut pula menjadi kanker yang membahayakan. Obatnya adalah kembali kepada sumber utama: al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.. Di bawah bendera pembangkitan kembali

sunnah (ihyâ’ as-sunnah), para ulama yang berorientasi reformasi bergerak

melampaui kumulan dan penafsiran hukum klasik dan mulai mempelajari himpunan hadis-hadis yang pertama.

Di sini, walaupun secara tidak jelas dikemukakan Brown, dari pembahasannya tentang kecenderungan pemikiran terhadap sunnah, tampak bahwa tantangan-tantangan yang dimunculkan terhadap sunnah Nabi s.a.w. secara bertingkat. Dalam masa awal sekali, tokoh yang paling menonjol seperti Syah Waliyullah dari India dan Muhammad asy-Syaukani dari Yaman, menekankan perhatiannya pada melalukan studi terhadap sunnah yang dianggap sudah mapan dalam keilmuan klasik. Sedangkan generasi berikutnya Ahmad Khan dan Abduh skeptisme mereka terhadap

hadis menjadi semakin jelas, walaupun tokoh yang disebutkan belakangan lebih berhati-hati. Tetapi, pada generasi berikutnya, dengan tokoh-tokoh seperti Taufiq Shidqi, Ghulam Ahmad Parwez, Abu Rayyah, tidak hanya skeptis terhadap hadis, bahkan menyatakannya sebagai hadis sebagai penyebab kemalangan di dunia Islam. Karena itu, perhatian mereka hanya tertuju pada al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam. Tetapi, nyata sekali, seperti yang ditulis Brown38, yang terakhir ini tidak diterima secara luas.

Tentu saja tantangan-tantangan terhadap sunnah ini didahului kritik terhadap sunnah, baik itu terhadap proses sejarah yang dilalui, seperti pencatatan, maupun proses transformasi, terutama sekali bangunan ilmu hadis, serta otoritasnya. Karena itu dalam karya ini, pembahasan-pembahasan tentangnya sebagai pemikiran tokoh-tokoh muslim bahkan juga orientalis tak terlewatkan dalam karya Brown ini. Karena itu, kita menemui pembahasannya tentang batas-batas wahyu pada bab-3 di mana yang menjadi permasalahan dasar adalah mengenai hakikat wahyu. Di mana wahyu berakhir dan penafsiran dimulai? Apa yang membedakan suara Tuhan dengan suara manusia yang menyampaikan atau yang

menafsirkannya? Demikian pula bab-4 yang membahas sifat dasar otoritas Rasulullah s.a.w. dengan sub-sub bahasan seperti “memanusiawikan Rasulullah s.a.w., Rasulullah s.a.w. sebagai perantara, Rasulullah s.a.w. sebagai paradigma, Rasulullah s.a.w. sebagai teladan. Bab-5 yang membahas adalah para sahabat, keaslian hadis memuat sub-sub pembahasan tentang pelestarian dan penyampaian hadis, kefektifan kritik isnad, dan sunnah tanpa hadis? .

Bab-6 yang menjadi bab inti karya ini berisi tentang sunnah dan

kebangkitan-kembali Islam yang memperlihatkan kesibukan dan

“perjuangan” para pembaru Islam di Mesir dan Pakistan dalam mengatasi masalah kemodernan dengan berbekal tradisi, dalam hal ini sunnah Nabi.

Tampaknya, menurut Brown, buku al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah

Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, yang mengetengahkan banyak tema krusial dalam diskusi muslim modern tentang otoritas religius, seperti hubungan antara al-Qur’an dan sunnah, posisi otoritas Nabi sebagai sumber hukum Islam dan metode kritik hadis, dapat dianggap mewakili gambaran tentang kesibukan dan perjuangan kaum pembaru. Ini terlihat dari pembuka

bab-6 yang menyuguhkan karya al-Ghazali dalam beberapa paragraf.39

Menurut Brown, para pembaru Islam bergerak ke pusat debat modern tentang otoritas religius, berdasarkan fakta sederhana bahwa bahwa mereka adalah pembaru, yang memiliki komitmen untuk menghidupkan dan menonjolkan kembali Islam. Ditekankannya perjuangan tanpa henti untuk menghidupkan dan mengangkat kembali Islam di dunia merupakan karakteristik paling penting dari gerakan kebangkitan. Akibatnya, kebanyakan pemimpin kebangkitan Islam pada mulanya adalah aktivis, dan kemudian menjadi sarjana. Mereka sibuk dengan isu praktis hukum Islam

dan tidak cukup bersabar dengan memahami teori-teorinya.40

Pendekatan para pembaru terhadap sunnah dicirikan oleh: pertama,

dukungan penuh untuk otoritas sunnah dan keotentikan literatur hadis pada umumnya. Beberapa pendukung sunnah terutama sekali Maududi di Pakistan dan al-Siba’i di Mesir adalah pemikir yang berada di garis depan medan pertempuran melawan para penentang hadis, dan karya-karya mereka adalah paling sering dikutip dalam mendukung hadis. Jelas sekali bahwa mereka tak menyetujui apapun yang tampak merongrong otoritas sunnah. Bagi mereka sunnah bersifat fundamental bagi program mereka

untuk menghidupkan kembali Islam. Kedua, tentu saja pembaruan mereka

lebih langsung berkaitan dengan kita di sini. Mereka ingin mengenalkan kembali Islam dalam bentuk yang relevan dan karenya mereka menjadi prakmatis dalam praktik. Sikap mereka terhadap sunnah menghindar dari dua ekstrem dan mencari jalan tengah, yakni pendekatan alternatif terhadap hadis yang akan melengkapi sistem klasik dan akan memberinya fleksibelitas baru tanpa merusak.

Untuk dapat memberikan fleksibelitas, maka pengujian kembali keotentikan hadis tentu merupakan satu keharusan. Dâri penjelasan Brown yang panjang, kita dapat menjelaskan bahwa pengujian kembali sunnah oleh pembaru modern salah satunya dengan melakukan pembalikan metode pengujian yang sebetulnya juga merupakan warisan klasik yang terabaikan,

terutama dari warisan mazhab Hanafi.41 Kecenderungan umum sebelumnya

adalah menggunakan hadis untuk mengakhiri monopoli faqih dalam menginterpretasi syariah, tetapi oleh pembaru menggunakan metode faqih besar untuk mengoreksi keterikatan harfiah dan doktriner kepada hadis. Artinya, kriteria kritik hadis ketat dari faqih yang tampak diabaikan oleh ahli hadis—terutama sekali dalam kritik matan seperti apakah sebuah riwayat selaras dengan penalaran, dengan sifat dasar manusia, dan dengan

kondisi sejarah–harus digunakan kembali. Demikian pula dalam hal hubungan al-Qur’an dengan hadis. Jika kecenderungan keilmuan klasik memandang sunnah sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungkin salah dan dibatalkan oleh al-Qur’an karena membuat perintah-perintah al-Qur’an yang umum menjadi lebih spesifik, maka kaum pembaru justeru membawa hadis kembali ke bawah pengayoman prinsip-prinsip al-Qur’an.

Tokoh-tokoh yang menjadi lokomotif pembaru dalam kebangkitan kembali Islam yang dikutip Brown di dalam karya ini adalah tokoh-tokoh semisal Al-Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi dan As-Siba’i dari Mesir, sedangkan dari Pakistan disebut nama-nama seperti Syibli Nu’mani dan Maududi. Walaupun tokoh-tokoh ini sama dalam rangka kebangkitan kembali Islam, namun tentu saja terdapat kecenderungan-kecenderungan tertentu dari para tokoh ini. Tetapi -- dari penjelas Brown -- dalam level yang lebih luas, meskipun kaum pembaru cenderung menggunakan metode faqih, namun pembaru-pembaru Pakistan sedikit lebih menekankan kualitas faqih. Karena itu, individu-individu yang memiliki kualitas yang faqih yang

disebut Maududi mizâj syinâsi rasûl, semacam internalisasi temperamen

(mizâj) Nabi s.a.w., akan lebih memiliki otoritas dalam menilai sunnah. Dia bebas menolak hadis yang isnadnya tidak cacat, apabila instingnya

menyatakan bahwa hadis tersebut tidak sesuai dengan Islam. Dengan demikian, maka pembaru Pakistan tampak lebih berani dalam melakukan gerakan kebangkitan kembali Islam.

VIII. Catatan Akhir: ”Kritik dan Apresiasi atas Karya Daniel W. Brown”

Harus diakui bahwa karya Brown ini salah satu karya yang komprehensif menampilkan persoalan-persoalan klasik dengan bahasa yang menggairahkan, seperti peran akal dalam menerima wahyu, dilema kritik hadis dan tentang apa sunnah dan hadis serta metodologi yang bagaimana dibawa oleh pembaru seperti Syibli Nu’mani, Muhammad Ghazali, al-Maududi, as-Siba’i dan Yusuf al-Qaradhawi. Hal yang paling penting dicatat dari buku ini adalah bahwa perdebatan mengenai sunnah telah bergeser, dari para penentang hadis ke kaum pembaru, dan ini sesungguhnya menggambarkan sebuah wajah baru kebangkitan Islam yang paling penting, namun jarang dipresentasikan. Mencermati ini Barat salah menanggapi gerakan pembaru Islam muslim. Meskipun kadang-kadang, gerakan pembaru cenderung kepada kekerasan, memusuhi kepentingan geopolitik Barat, namun tidaklah sepenuhnya benar. Disamping itu,

pendekatan kaum pembaru terhadap sunnah bukan karena

bahwa Islam semakin kuat. Karena Islam sedang mendapatkan kembali inisiatif, sebuah cetak biru yang diperlukan untuk membimbing proses ini.

Tetapi, karya Brown yang ilmiah ini -- terutama tentang konsep sunnah seperti yang telah dijelaskan di atas -- tampak tidak berbeda jauh dari penulis-penulis Barat terdahulu semisal Ignaz Golziher dan Schacht. Karena itu, konsepnya tentang sunnah—meskipun karya ini lahir jauh lebih belakang—hanya pengulangan terhadap karya-karya terdahulu, meskipun gagasan-gagasan karya tersebut telah mendapat tantangan karena

keberatan-keberatan logika dan sejarah, seperti Fazlur Rahman42, Ahmad

Hasan43 dan bahkan Musthafa A’zami44. Keberatan-keberatan yang diajukan

terhadap konsep sunnah dari penulis-penulis tersebut sama sekali tak mendapat perhatian Brown, meskipun ia pada awal tulisannya menyatakan bahwa bukunya ini mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman.

Brown, ketika mengemukakan pendapatnya tentang sunnah tampak tidak dibangun dari bukti-bukti yang komprehensif, sehingga dengan demikian, kesimpulan-kesimpulannya pun menjadi parsial, seperti kesimpulannya tentang sunnah Rasulullah s.a.w., misalnya, yang dalam

42Fazlur Rahman, Islam, (Pustaka: Bandung: 1984), hal. 56.

43Ahmad Hasan, Pintu ..., hal. 78-79.

44Muhammad Musthafa A’zami, Studies in Hadith Methodology and

pandangan kaum muslim awal tidak dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya. Pada hal terdapat cukup bukti lain yang menyatakan bahwa sunnah Rasulullah s.a.w. dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya, bahkan bukti dari tindakan Umar sendiri. Secara logika sangat sulit dipahami, bagaimana mungkin orang muslim memandang sunnah Nabi sebagai hal yang biasa saja, padahal jelas sekali bahwa, dari petunjuk al-Qur’an kaum muslim memandang perilaku Rasulullah sebagai suatu pola teladan dan contoh bagi mereka semenjak diturunkannya wahyu. Dengan demikian jelas sekali sunnah Nabi s.a.w. yang sifat normatifnya sudah mendapat legalitas dari Allah dibanding sunnah-sunnah lainnya. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah, mengirim utusan ke berbagai kota dengan tujuan untuk mengajar penduduk kota-kota itu agama (din) dan sunnah Rasul s.a.w., bukan sunnah Umar. Surat al-Hasan dari Bashrah (w. 110 H.) pada Abdul Malik bin Marwan memuat menggandengkan perintah Allah

denan sunnah Rasul.45

Dâri sini, sunnah Rasululllah s.a.w. jelas sekali telah mendapat perhatian yang cukup serius dan menjadi rujukan utama di setelah al-Qur’an. Meskipun tindakan umat diatur oleh al-Qur’an, tetapi

lah s.a.w. lah yang memberikan bentuk konkrit dan praktis bagi ajaran-ajarannya. Cara-cara Rasul menerapkan ajaran-ajaran al-Qur’an menjadi hukum bagi masyarakat. Itulah sebabnya, Ahmad Hasan mengatakan, bagaimana mungkin kita mengandaikan bahwa para sahabat di sekitar Rasulullah melalaikan peritah beliau yang melalui beliaulah al-Qur’an

diajarkan kepada mereka.46 Dengan demikian, al-Qu’ran dan sunnah saling

terkait erat bahkan terjalin sedemikian rupa sehingga keduanya satu sama lain tak bisa dipisahkan. Kita dapat menyebutkan keduanya sebagai satu

keseluruhan yang terpadu.47

Sunnah Nabi s.a.w. yang normatif dan paling penting bagi umat berlangsung terus dalam generasi-generasi kaum muslim. Tetapi, tidak semua mereka, bahkan para sahabat, tidak mengetahui sunnah Nabi. Karena

46Orientalis -- seperti Margoliouth -- menyatakan bahwa ketika setiap

kali Nabi disandingkan dengan Allah dalam al-Qur’an, ini hanya merujuk kepada konteks al-Qur’an itu sendiri yakni, hanya mempunyai rujukan intra-Qur’ani. Artinya, bahwa ia ingin mengatakan Nabi Muhammad tidak mempunyai sunnah ekstra Qur’ani yang mungkin telah dicatat dalam beberapa hadis. Tetapi, seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, hal ini tak dapat diterima, sebab terdapat kasus-kasus di mana ketika al-Qu’ran berbicara tentang otoritas Nabi yang ekstra Qur’ani, seperti pembagian harta rampasan perang, yang kemudian didukung oleh al-Qur’an sendiri dengan

pernyataannya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu ambillah, dan apa yang

dilarangnya, hentikanlah. (Rahman, 1984: 62-63).

47 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka:

itu ada dua cara bagi orang untuk mengetahui sunnah Nabi, yaitu praktik umat dan hadis. Karena itu, identifikasi sunnah dengan hadis telah ada sejak masa yang paling awal, bukan hanya pasca asy-Syafi’i. Namun jelas sekali bahwa sunnah dalam masa tertentu berjalan murni, terutama sekali hingga pada masa empat khalifah. Setelah itu sunnah mulai mengalami perubahan. Karena itu adalah wajar sekali jika asy-Syafi’i menjadikan hadis sebagai wahana ekslusif bagi sunnah Nabi s.a.w. ketika praktik umat tidak lagi

berjalan murni.48, sehingga dapat dinyatakan cukup wajar bila Syafi’i sangat

berpegang teguh pada hadis. Hal ini adalah dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan pemekaran politik, hukum dan kalam pada saat itu yang mengacu pada disintegritas.

Akhirnya, dapat penulis katakan bahwa membaca karya Brown ini memang sangat menarik dan menggugah pikiran tentang relevani sunnah dalam kehidupan modern. Tetapi, jelas sekali bahwa karya ini harus dibaca dengan bekal gagasan-gagasan tentang sunnah kaum muslim dan pandangan kritis, terutama sekali tentang konsep sunnah yang tampak tak jauh berbeda dengan gagasan-gagasan Barat sebelumnya seperti Ignaz Golziher, Margoliouth, Schacht.

48M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?

IX. Epilog

Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak

bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahih, tidaklah menutup

kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tampak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi menjadi ‘kafir’. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justeru akan mengkanter hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.

Brown, dengan empati, telah mencoba menelaah hadis dengan beragam kontroversinya di Mesir -- dengan pendekatan sosio-historisnya, yang tentu saja terbuka untuk dikritik, dan tidak harus di’amini’ (dipercaya

secara apriori), apalagi diimani, tetapi juga tidak seharusnya ditolak secara apriori. Karena, sebagai sebuah kajian ilmiah pasti tidak akan sempurna dan tetap bernilai relatif.

Tugas kita sebagai intelektual adalah melanjutkan kajian kritis ini, yang untuk selanjutnya juga tetap terbuka untuk diapresiasi dan dikritik secara jujur dan terbuka, sebagai karya Brown yang tengah kita kritisi ini.

Mudah-mudahan karya penelitian dalam bentuk Book-Review ini

bermanfaat dan bisa menjadi pemicu penelitian selanjutnya.

Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak

bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahîh, tidaklah menutup

kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tanpak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi

ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi menjadi kafir. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justeru akan menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditasan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.

Referensi:

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996.

Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi s.a.w.”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992.

Amin, Ahmad, Fajr al-Islam, Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965.

Azami, M.M. Studies in Hadith Methodology and Literature,

Washington: American Truth Publication, 1977.

Brown, Daniel W, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj),

Bandung: Mizan, 2000.

Al-Bukhari, Abu Abdillah, Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim bin

Al-Ghazali, Muhammad, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh. Munawir Az Zahidi Surabaya: Dunia Ilmu: Surabaya, 1997.

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka,

1984.

Juynboll, G.H.A., Kontroversi Hadis di Mesir (1990-1960), terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1999.

‘Itr, Nuruddin., Manhaj fî Ulûm al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1981.

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,

Beirut: Dâr al-Fikr, 1991.

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian

Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Mubarakfuriy, Abu al-A’la Muhammad Abd al-Rahman bin Abd

Dalam dokumen MENYOAL RELEVANSI SUNNAH DALAM ISLAM MODERN (Halaman 32-51)

Dokumen terkait