I. Prawacana: “Studi Kritis Atas Hadis”
Bersama al-Qur’an, hadis menjadi krusial, tidak saja karena posisinya
sebagai sumber ajaran Islam, tetapi juga karena ia menjadi tambang
informasi bagi pembentukan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fiqh,
historiografi dan bangunan budaya Islam. Tetapi, berbeda dengan
al-Qur’an, hadis tidaklah bersifat qath’iy al-wurûd, sebab sebagian besar
periwayatannya tidak melalui proses yang tawâtur. Karena itu sebagaian
besar hadis Nabi bersifat zhanniy al-wurûd, yakni “diduga kuat”
disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w.. Di sisi lain, tidak tercatatnya
sebagian besar hadis Nabi sejak masa yang paling awal dan penyebarannya
secara lisan membawa implikasi atas sifat orisinil hadis, baik itu terhadap
sebagian teks hadis karena riwâyat bi al-ma’na, maupun terhadap
keseluruhan: sanad dan matan, karena pemalsuan-pemalsuan.
Melihat fenomena hadis yang demikian, studi kritis atas hadis nabi
yang berisikan telaah ulang dan peengembangan pemikiran atas hadis Nabi
tampaknya sangat relevan sekali. Tetapi, kenyataannya—terutama sekali
dalam pemahaman hadis—justeru para ulama mengembangkan sikap
mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reserve (segan). Ini mungkin
kritikus-kritikus hadis dahulu tidak dirasakan. Bila dibandingkan dengan
al-Qur’an, tampaknya pengembangan pemikiran terhadap al-Qur’an sangat
terbuka sekali, bahkan tanpa kekhawatiran penafsir akan berkurangnya
otoritas al-Qur’an.
Tulisan ini, mencoba melihat studi kritis atas hadis Nabi, sebuah
pandangan umum meliputi segi kesejarahan dan relevaninya. Kritik di sini
haruslah dipahami dalam makna positif seperti yang akan dijelaskan
selanjutnya. Tetapi di sini dicoba dalam skala yang lebih luas; tidak hanya
studi kritis pada aspek material: sanad dan matan, tetapi juga dimensi
pemahaman atas hadis Nabi (fiqh al-hadîts).
II. Wacana Fiqh al-Hadîts
Sebagian gagasan Islam klasik tentang autoritas keagamaan dalam
berbagai bidang telah mulai mendapat tantangan sejak pertengahan abad
ke-19. Tantangan ini langsung dan terutama dihadapkan pada
lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam. Jelas sekali bahwa tantangan ini—
seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman1—bukan berangkat dari
anggapan bahwa lembaga-lembaga dan etika sosial Islam tersebut salah atau
tidak rasional, tetapi adalah kenyataan bahwa sistem sosial yang ada perlu
dimodifikasi dan disesuaikan. Pada masa lalu sistem sosial ini betul-betul
rasional dan bekerja sempurna. Persoalannya adalah bahwa kaum muslim
harus menghadapi perkembangan situasi.
Tantangan terhadap sebagian gagasan Islam klasik tentu saja
menimbulkan pergolakan pemikiran yang bermuara pada pengujian
kembali sumber-sumber klasik. Sunnah Nabi -- praktik normatif yang
dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. -- merupakan bagian yang paling
penting dari pengujian ini, sebab ia merupakan simbol kewenangan Nabi
s.a.w. sebagai sebuah sumber kewenangan keagamaan setelah al-Qur’an,
dan merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu. Karenanya,
diskusi-diskusi tentang sunnah dari sarjana-sarjana muslim tak dapat lagi
terhindarkan dan akhirnya meluas. Tidak hanya oleh pakar-pakar di
bidangnya (muhadditsin) tapi juga melibatkan sarjana-sarjana di bidang lain
semisal teolog dan filosof.2 Diskusi yang intens dan lebih serius terjadi di
Mesir dan Pakistan.
2Lihat misalnya G.H.A. Juynboll, G.H.A. Kontroversi Hadis di Mesir
(1890-1960) (Mizan: Bandung, 1999), hal. 1. Dalam karyanya tersebut, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), ia mengemukakan para teolog Mesir sering membahas literatur Islam yang berkenaan dengan hadis seperti isu
tentang tadwin, ‘adalah, wadh’ periwayatan hadis, israiliyyat, dan hadis-hadis
Buku Daniel W. Brown3 yang dibahas di sini sesungguhnya ingin
memotret keterlibatan kaum muslim modern dalam proses memikirkan
kembali tradisi mereka4. Karena itu fokus karya ini adalah kaum pembaharu
yang berjuang untuk merestrukturisasi sunnah terutama sekali di Mesir dan
juga Pakistan. Tentu saja, menurutnya, keterlibatan kaum muslim modern,
sebagian ada yang menyangkal memiliki hubungan dengan tradisi dan
sebagian lagi menyangkal bahwa aktivitas mereka dapat disebut
“memikirkan kembali”, dan memilih untuk melihat hal ini sebagai
kebangkitan kembali atau pemeliharaan bebeapa model yang ideal dan
tidak berubah. Bagi para penentang tradisi yang paling radikal sekalipun
tidak meninggalkan tradisi, tetapi mencetaknya dan mencoba meletakkan
klaim otentisitas yang dari yang diberitakannya. Sementara itu, pendukung
3Daniel Brown adalah direktur Institut untuk Studi Agama di Timur
Tengah (ISRME). Dia telah tinggal di Mesir dan di Pakistan, dan ia kini berbasis di Istanbul, Turki. Pada tahun 1993 ia menerima gelar Ph.D. dalam Studi Islam dari University of Chicago. Ia telah menjadi dosen tamu di Universitas Islam Internasional di Islamabad, Institut Kebudayaan Islam di Lahore, dan Universitas Kairo dan telah mengajar Studi Islam di Mount
Holyoke, Amherst dan Smith Colleges. Buku pertamanya, Rethinking Tradisi
dalam Pemikiran Islam Modern (Cambridge, 1999), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Turki. Ia juga penulis Pengenalan Baru Islam (Blackwell, 2nd Ed. 2009).
4Daniel W. Brown, Menyoal Relevani Sunnah dalam Islam Modern, terj.
tradisi yang paling konservatif hanya dapat membentuk kembali tradisi
yang mereka coba lindungi agar tidak berubah.
Salah satu tesisnya adalah tentang dorongan kuat munculnya
perhatian dan pertanyaan kaum muslim modern terhadap hadis Nabi s.a.w..
Tampaknya ia menolak anggapan sepenuhnya bahwa desakan bagi kaum
muslim melakukan pengkajian kembali terhadap sunnah sema-mata datang
dari luar, yakni dampak Barat yang pada abad ke-19 (periode modernisasi di
dunia muslim) merupakan periode hegemoni Barat yang berkaitan dengan
kelemahan politik dan agama masyarakat muslim, di mana secara politis
Barat adalah penguasa situasi dan secara psikologis adalah tak terkalahkan
akibat kemajuan teknologinya. Bahkan lebih lanjut ia menyatakan adalah
suatu kesalahan serius kalau menyimpulkan demikian5. Menurutnya,
meskipun dorongan kuat dari luar tersebut jelas ada dan berpengaruh,
namun pola peninjauan ulang hadis sebagai alat untuk beradaptasi dengan
perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang muslim merasakan
dampak langsung dari hegomoni Barat. Hal terpenting dari kecenderungan
ini adalah kemunculan gerakan reformis yang penting pada abad ke-18 dan
ke-19 dengan tokoh-tokoh Syah Waliyullah6 dan Muhammad asy-Syaukani.7
Dâri pandangannya ini maka potret gerakan-gerakan reformasi abad ke-18
6Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin
Wajih al-Din al-Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Aḥmad bin Maḥmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 4 Syawal 1114 H. atau 21 Februari 1703 M. di Phulat, sebuah kota kecil di dekat Delhi. Ulama yang hidup di abad 18 ini merupakan pengikut sirhindi yang melanjutkan pembaharuan dalam situasi lingkungan di bawah kemunduran imperium Mughal. Kemunduran ini sendiri terjadi sepeninggal Raja Awrangzeb, sementara pengganti berikutnya lebih lemah dan tak bisa meneruskan estafet kepemimpinan dengan baik. Ketika kematian Awrangzeb ini terjadi, al-Dihlawi berusia empat tahun. Adapun transformasi ide dan gerakannya dilakukan setelah ia melakukan pengembaraan intelektual dari Makkah, kota pusat kaum pembaharu. Ia menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Nabi dan keharusan memurnikan Islam (purifikasi) dari pemujaan pada para wali lantaran bertentangan tidak konsisten terhadap ajaran Nabi.
7Beliau adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah
juga tak terelakkan untuk ditampilkan Brown. Dengan demikian, rentang
waktu yang menjadi concern karya Brown ini adalah abad ke-18 dan 19 M..
Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Fazlur Rahman—
tokoh yang dinyatakan Brown memberikan inspirasi terhadap karyanya ini.
Tetapi berbeda dengan Brown, Fazlur Rahman hanya melihat
gerakan-gerakan tersebut sebagai pencetus dan pembuka jalan bagi tantangan
terhadap sebagian lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam dengan
penolakan mereka atas otorita-otorita zaman pertengahan dan desakan atas
ijtihad serta penegasan mereka kembali kepada otoritas al-Qur’an dan
teladan Nabi.8
III. Perkembangan Studi Kritis Atas Hadis
Berangkat dari istilah kritik dalam wacana hadis di atas, maka kita
punya cukup argumen untuk mengatakan bahwa studi kritis atas hadis
telah ada pada masa yang paling awal, bahkan pada masa Nabi masih
hidup. Tentu saja sebagai sebuah kritik, studi kritis memiliki metode dan
kaedah-kaedah tersendiri. Tetapi, haruslah diakui bahwa pada masa paling
awal, metode dan kaedah-kaedah tersebut dipraktikkan dalam tingkatan mengajak untuk meninggalkan ilmu filsafat dan ilmu kalam, untuk kembali kepada aqidah salaf yang shahih.
yang sederhana, dan materi kritik hanya terbatas pada sisi material hadis,
yakni pada sanad dan baru kemudian dilakukan pada matan karena
beberapa tuntutan yang mendesak. Sedangkan kritik pada pemahaman
makna tanpaknya belum mengental pada tahap ini, apalagi kritik dari segi
kesejarahan periwatan hadis. Hal ini dapat dipahami karena sejarah belum
begitu jauh bergerak. Sementara pemahaman atas hadis nabi adalah bersifat
individual dan belum tersosialisasikan secara luas. Baru kemudian studi
kritis atas pemahaman dan sejarah mengambil tempat dalam
diskursus-diskursus tentang hadis. Dan akhirnya metode dan kaedah-kaedah kritik
hadis pun berkembang menjadi sebuah metode dan kaedah yang sangat
cermat, teliti dan terkesan rumit. Azami menyebut sebagai sebuah ilmu ang
paling handal yang tidak tertandingi pada masa itu.
Berkenaan dengan kritik hadis khususnya pada matan, pada tahap
awal sekali dimana Rasul masih hidup, sebagian sahabat melakukan
konfirmasi kepada Rasul terhadap apa yang disampaikan sahabat atas nama
Rasul. Tetapi, tentu saja proses kritik semacam ini terhenti dengan wafatnya
Rasul. Konsekuensinya mereka harus meneliti lebih cermat. Kritik sanad pun
mulai dilakuan.Umar dan Usman, meneruskan sikap Abu Bakar meminta
saksi, juga mengharuskan orang yang menyampaikan hadis mengambil
sumpah. Berbeda halnya dengan Aisyah, ketika ia mendengar hadis yang
disampaikan sahabat, ia terkadang membandingkannya dengan al-Qur’an.
Demikian, ketika ia mendengar hadis yang disampaikan Abu Hurairah
bahwa orang mati diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya. Ia
menyatakan bahwa Nabi tidak mengucapkan hadis sebab bertentangan
dengan firman Allah,
ْلق
يْغ
هّل
يغْب
اًب
ه
ّ
لك
ءْيش
ا
بسْكت
لك
سْفن
اإ
ا ْيّع
ا
زت
ة
ْ
ْخ
ّث
لإ
ّكب
ّْكعجْ ّ
ّك ّنيف
ا ب
ّْتنك
هيف
فّتْخت
“Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah
Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain [Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri]. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali,
dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."(QS. al-An’âm,
إ
هّل
يزيل
فاكْل
اب ع
ءاكّب
هّْه
هْيّع
“Sesungguhnya orang kafir akan memperoleh (tambahan) siksaan disebabkan tangis
keluarganya terhadapnya”.9
Pada masa Rasul kritik hadis yang dilakukan sahabat dalam bentuk
konfirmasi masih merupakan proses konsolidasi dengan tujuan agar mereka
merasa lebih tentram seperti mana dalam kasus Ibrahim as yang dipaparkan
al-Qur’an. (QS al-Baqarah, 2: 260). Tiba pada masa khalifah yang empat,
kepentingan pada kritik hadis menjadi lebih penting dari sekedar
konsolidasi yang menenteramkan hati. Pada masa khalifah Ali, kritik hadis
lebih dalam upaya pengketatan periwayatan yang bertujuan untuk
mengkanter munculnya hadis-hadis palsu sebagai ekses dari perpecahan
umat pada masa itu. Tetapi pada masa tabiin dan sesudahnya kritik hadis
merupakan kebutuhan yang mendesak. Pertama, jalur periwayatan semakin
panjang atau jauh dengan Rasul. Kedua, penyebaran hadis berjalan simultan
dengan penyebaran Islam ke berbagai wilayah. Lasykar Islam yang
menaklukkan Irak, Palestina, Persia, dan Mesir mencakup sejumlah besar
9Muhammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh. Munawir
sahabat yang membawa hadis ke mana pun mereka pergi. Kedua faktor ini
sangat sangat berpeluang memberikan kekeliruan atau kesalahan pada
hadis Nabi.
Tiba pada masa ini, kritik hadis memasuki babak baru. Ada semacam
trend bahwa melakukan perjalan ke berbagai wilayah Islam adalah bagian
yang tak terpisahkan dari kritik hadis. Dengan demikian, sejak awal abad
kedua hingga beberapa abad sesudahnya, tuntutan umum bagi seorang
pengkaji hadis adalah melakukan perjalanan yang ekstensif untuk
mempelajari hadis.
Dâri sini, maka kritik yang dilakukan tidak hanya terbatas
ulama-ulama pada satu daerah saja, tetapi telah meluas ke berbagai wilayah. Dâri
kenyataan ini, maka beberapa pusat kegiatan hadis yang baru pun
bermunculan dengan sejumlah tokoh-tokoh yang masyhur. Pada abad
kedua dapat disebutkan Syu’bah dari Wasith (83-100 H), Yahya bin Sa’id
al-Qaththan dari Bashrah (w. 198 H.), Abdurrahman bin Mahdi dari Bashrah
(w. 198 H.), dan lain-lain. Pada abad ketiga–murid-murid dari tokoh-tokoh
abad kedua–dapat disebutkan Yahya bin Ma’in dari Baghdad (w. 233 H), Ali
bin al-Madini dari Bashrah (w. 234 H.), Ahmad bin Hanbal dari Baghdad (w.
murid-murid yang terkenal dan menjadi mukharrij, seperti ad-Dârimi, al-Bukhari,
Muslim Hajjaj, Abu Hatim ar-Razi dan lain-lain yang melahirkan kitab-kitab
hadis yang sebagiannya diakui sebagai kitab standar.
Datanglah kemudian, studi kritis atas sanad dan matan hadis
tampaknya telah menunjukkan intensitas yang mulai menurun. Sepertinya,
ada kepuasan tersendiri dari munculnya literatur-literatur hadis yang mulai
disusun secara sitematis. Intensitas kajian-kajian kritis terhadap hadis
semakin menunjukkan grafik yang menurun bersamaan dengan periode
taklid yang melanda kaum muslim. Tetapi setelah masa kebangkitan
kembali muncul, sikap-sikap kritis terhadap hadis Nabi mulai kembali
dikembangkan. Kitab-kitab hadis seperti Bukhari dan Muslim yang selama
ini sangat dihormati, tak luput dari kritik. Adalah Ahmad Amin,
Muhammad Husein Haikal, Abu Rayyah dan Muhammad al-Ghazali
tercatat sebagai tokoh-tokoh yang mengembangkan sikap kritis terhadap
literatur-literatur hadis yang dianggap telah mapan. Mereka melihat ada
semacam pernyataan-pernyataan yang tidak rasional dari literatur-literatur
hadis tersebut. Tetapi Muhammad al-Ghazali jelas berbeda dengan
Perbedaan terletak pada sikap terhadap hadis. Bila tokoh-tokoh
seperti Ahmad Amin, Muhammad Husein Haikal dan Abu Rayyah
menyatakan banyak hadis-hadis yang termuat dalam literatur hadis yang
dianggap mapan oleh kaum muslim tak dapat diterima redaksinya karena
bertentangan dengan rasio atau akal, dan karena itu lalu mereka
meninggalkannya, maka al-Ghazali tidak demikian. Terhadap hadis-hadis
yang dari segi sanad dapat diterima validitasnya, ia pahami dengan
pendekatan kontekstual. Karena itu studi kritis al-Ghazali lebih cenderung
pada pemahaman makna-makna hadis.10
IV. Studi Kritis Atas Material Hadis
Untuk kepentingan kritik hadis dalam hal sanad dan matan yang
telah meluas seperti yang telah dijelaskan, maka kaedah-kaedah sebagai
dasar kritik pun disusun sedemikian rupa dan cermat. Tiga syarat
berkenaan dengan sanad dan dua syarat berkenaan dengan matan. Yang
berkaitan dengan sanad, selain semua rawi-rawinya harus bersambung
(ittishal al-sanad), rawi-rawi tersebut juga harus memiliki integritas
kepribadian (adil), kapasitas intelektual (dhabithh), keharusan tidak adanya
kejanggalan (syazd) dan cacat (‘illat). Sedangkan yang berkaitan dengan
matan, adalah keharusan tidak adanya kejanggalan (syazd) dan cacat (‘illat).
Kelima kaedah ini akhirnya menjadi kriteria sebuah hadis sahih, yakni hadis
yang dianggap valid dan orisinil sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan
Nabi.
Rawi-rawi yang bersambung artinya bahwa masing-masing
rawi-rawi tersebut menerima hadis dari rawi-rawi yang terdekat sebelumnya dan
keadaan ini terus berlangsung demikian sampai kepada rawi yang pertama
yang menerima hadis dari Rasul11. Kebersambungan (ittishâl) sanad ini
menjadi indikasi bahwa riwayat yang sampai kepada kita dapat
dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi, sebaliknya keterputusan sanad
mengakibatkan riwayat yang disampaikan tertolak. Sementara integritas
kepribadian (‘adil) bagi seorang rawi harus tercermin dalam kemantapan
agamanya, bersih dari perbuatan fasik dan muru’ah (kehati-hatian dalam
menjaga akhlak). Karena itu ‘adil mengandung unsur-unsur: beragama
Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, serta memelihara
muru’ah12. Sedangkan kapasitas intelektual (dhâbith) adalah kemampuan
mengambil pesan-pesan secara pasti melalui proses pendengaran dan
11Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1997), hal. 145.
12Nuruddin ‘Itr, Manhaj Naqd fî ‘Ulûm Hadîts (Damaskus: Dâr
kemampuan untuk menghafal secara kontinyu hingga pesan-pesan tersebut
disampaikan kepada orang lain13. Adapun syadz adalah kejanggalan dalam
bentuk bertentagannya sebuah riwayat yang disampaikan rawi yang tsiqah
(rawi yang adil dan dhabith) dengan para rawi yang lebih tsiqah, baik pada
sanad maupun pada matan.14. Sedangkan ‘illat adalah cacat dalam bentuk: (1)
sanad yang tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mawquf, atau
mursal. (2) terjadinya percampuran hadis dengan bagian hadis lainnya, (3)
kesalahan dalam menyebutkan nama periwayat (râwi).
Tentu saja, semua kriteria ini disusun dengan logika yang jelas.
Artinya semua persyaratan itu didasari atas argumen-argumen yang relevan
dengan maksud dan tujuan kritik sanad dan matan. Argumen-argumen ini
pada dasarnya adalah bersifat historis di samping juga bersifat normatif.
Meskipun argumen-argumen tersebut berbeda-beda, tetapi semua argumen
saling berkait dan saling memperkuat. Dâri sini dapat simpulkan bahwa
kritik hadis tidak hanya dalam dimensi keilmuan semata, tetapi juga dalam
koridor ajaran dan keyakinan. Karenanya dapat dipahami, bila acuan-acuan
13Muhammad Luqman as-Salafi (Ihtimam Mahadditsun bi Naqdi
al-Hadits, Sanadan wa Matanan, Riyadh: tnp, 1987), hal. 212.
kritik hadis menjadi sangat cermat dan rumit. Sebab hal ini membawa beban
psikologis dalam kaitan tanggung jawab yang bersifat transendental.
Semua persyaratan ini, baik yang menyangkut dengan sanad maupun
matan sangat ketat sekali. Itu sebabnya pada setiap persyaratan tersebut
dilakukan sejumlah pengujian dan analisis. Kriteria sanad bersambung
misalnya, kritik dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup masing-masing
rawi dan lambang-lambang periwayatan yang menghubung antara satu
rawi dengan rawi lain. Telaah tersebut dimaksudkan untuk mengetahui
apakah kebersambungan sanad hanya sebatas kesezamanan (mu’shârah) atau
pertemuan dalam kapasitas guru dan murid (liqa’). Kualitas pribadi (‘adil)
dilakukakan dengan mengamati popularitas keutamaan rawi atau integritas
kepribadian yang bersangkutan di kalangan ulama hadis, menyeleksi
penilaian dari para kritikus hadis, dan penerapan kaedah-kaedah jarh dan
ta’dil. Sementara menyangkut dengan kapasitas intelektual sebagai
periwayat hadis (dhabith), dilakukan penilaian berdasar kesaksian para
ulama, dan menyesuaikan riwayat rawi dengan rawi yang dhâbith.
Kecermatan yang cukup tinggi dalam melakukan kritik sanad dan
matan, tampaknya tidak dikenal dalam ilmu sejarah. Syuhudi Ismail,
para saksi hanya bersifat umum, tidak dirinci sedemikian ketat. Misalnya
ketentuan menyatakan, kesaksian pengamat dan pelapor yang terdidik atau
berpengalaman lebih unggul dari pada yang tidak terdidik atau yang tidak
berpengalaman.15. Demikian pula lafal-lafal yang beragam dan cukup rumit
yang dikemukakan oleh ulama hadis untuk memberi kualifikasi atas
integritas kepribadian dan kapasitas intelektual rawi-rawi, tampaknya
hanya ada dalam ilmu hadis, tidak dikenal dalam ilmu sejarah.
Pengujian terhadap para pelapor hadis atau rawi yang telah
dilakukan sejak awal telah melahirkan cabang ilmu hadis tersendiri yang
disebut dengan al-Jarh wa al-Ta’dil. Yakni persyaratan bagi seorang rawi
dalam kaitan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkan. Al-jarh
sendiri mengandung pengertian yang berkaitan dengan cacat-cacat seorang
perawi yang menyebabkan hadisnya ditolak. Sedangkan al-ta’dil berkaitan
dengan adalat al-rawiy yang karena itu hadisnya dapat diterima. Berkaitan
dengan jarh wa ta’dil ini, seperti yang dikatakan Afif Muhammad,
tampaknya sudah selesai dilakukan dalam pengertian bahwa kredibilitas
15Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Bulan Bintang,
para rawi telah dibukukan secara baik oleh para kritikus hadis.16.
Pernyataan ini dapat saja diterima mengingat banyaknya karya-karya tulis
di bidang ini yang muncul dari yang sederhana sampai dengan yang paling
lengkap. Tentu saja kita berhutang budi pada kritikus-kritikus yang telah
melahirkan karya semisal Mizan I’tidal, Tahdzib Tahdzib, dan Tahdzib
al-Kamal, karena melalui kitab semacam ini kita dapat melacak kredibilias para
perawi hadis.
Berkaitan dengan kritik sanad dan matan, sebagian orang menyatakan
bahwa kritik sanad mendapat prioritas dari ulama-ulama hadis. Muhammad
Afif misalnya, menyatakan bahwa meskipun kritik matan telah dirintis sejak
awal oleh para sahabat generai pertama, tampaknya belum dilanjutkan
secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya sebuah hadis, masih
ditentukan oleh kesahahihan sanadnya. Al-Bukhari sendiri, memaksudkan
sahih di situ adalah sahih sanad-nya. Ini terlihat dengan jelas bila kita
memperhatikan keseluruhan judul yang diberikan pada kitab sahihnya,
yakni Al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtshar min ‘Umur Rasulillah (saw) wa
Sunanih wa Ayyamih. Dalam judul tersebut tertera secara jelas kalimat al-Jami’
16Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual
al-Shahih al-Musnad (Himpunan Hadis yang Shahih Sanadnya).17. Agaknya
memang sulit dihindari kesan prioritas kiritik pada sanad daripada matan,
meskipun pada kenyataannya kesungguhan ulama hadis dalam meneliti
matan tak dapat diragukan. Hal ini disebabkan karena sanad hadis
merupakan keharusan pertama dalam kritik hadis, sebab sanad yang tidak
dapat dipertahankan validitasnya matannya tak dapat dinyatakan dari
Rasul. Karenanya para ulama hadis terdahulu tampaknya telah terserap
waktu dan energinya oleh studi atas sanad hadis.
Kenyataan di atas memang mengundang persoalan.
Pernyataan-pernyataan yang sangat miring tentang ini terutama dimajukan oleh para
orientalis. Ignaz Golziher, misalnya, menyatakan bahwa kaum muslim
hanya mengandalkan penelitian sanad semata, tampa memperhatikan matan
hadis. Kualitas hadis hanya ditentukan oleh kualitas sanad. Pernyataan yang
lebih tajam lagi adalah bahwa ulama-ulama hadis tak segan-segan
memasukan suatu kalimat di dalam matan hadis.18 (Yaqub, 1995: 15). Tetapi,
meskipun pernyataan-pernyataan Ignaz Golziher sama sekali tak
mempunyai alasan yang kuat, namun menggugah para ulama hadis untuk
17 Afif Muhammad, “Kritik …”, hal. 29
18Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Bulan Bintang, Jakarta,1995), hal.
melakukan kajian yang lebih dalam dan intensif terhadap kritik sanad dan
matan hadis.
Mungkin sekali terdapat banyak hadis yang dari segi sanadnya sahih,
tetapi tampak bertengan dengan al-Qur’an. Karena itu orang-orang seperti
Ahmad Amin dan Abu Rayyah menolaknya. Tetapi, jelas sekali bahwa
mereka sangat tergesa-gesa mengambil kesimpulan hingga membuat
pernyataan yang keliru. Berbeda dengan Muhammad al-Ghazali, meskipun
dalam sebuah karyanya mempersoalkan banyak hadis yang dipandangnya
bertentangan dengan al-Qur’an dan secara sengit mengecam orang yang
memahami dan mengamalkannya secara tekstual, ia mencoba mencoba
mencari ternatif lain dalam memahaminya. Pengujian matan hadis atas
al-Qur’an menjadi tolok ukur pengujian kesahihan suatu hadis.
Tetapi, studi atas matan hadis memang tidak mudah dilakukan sebab
sebagian kandungan matan hadis berkaitan dengan keyakinan, hal-hal
ghaib, dan petunjuk-petunjuk kegiatan keagamaan yang bersifat ta’abbudi.
Di sisi lain, juga pengujian atas matan hadis diperlukan dengan pendekatan
rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Dâri sini penulis
melihat bahwa studi kritis atas matan hadis sebetulnya lebih bersifat relatif
al-Qur’an misalnya, sebagian orang dapat saja mengatakan bertentangan
dengan logika atau al-Qur’an, tetapi sebagian yang lain tidak menganggap
bertentangan dengan logika atau al-Qur’an. Sebab penilaian bertentangan
atau tidaknya dengan rasio atau al-Qur’an sangat terkait dengan pendekatan
pemahaman dan konsep teologisnya.
V. Studi Kritis Atas Pemahaman Hadis
Secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis:
Pertama, pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah
yang melahirkannya–ahistoris. Tipologi ini dapat disebut tekstualis. Kedua,
pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud)
hadis. Tentu saja di sini mereka memahami hadis secara kontekstual.
Pemahaman hadis tekstual dan kontekstual tidaklah dalam
dikhotomi hitam putih yang dapat diletakkan dalam strata. Tetapi, kedua
pemahaman ini bersifat relatif dan kondisional. Artinya, pada hadis-hadis
tertentu, salah satu tipe pendekatan merupakan satu keharusan. Karena itu,
menurut Syuhudi Ismail, ada hadis-hadis Nabi yang tekstual dan yang
kontekstual. Menurutnya, pemahaman hadis secara tekstual ini dilakukan
bila hadis bersangkutan setelah dihungkan dengan segi-segi yang berkaitan
dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut. Sedangkan pemahaman
kontekstual terhadap hadis-hadis Nabi dilakukan bila hadis-hadis dimaksud
terasa tidak komunikatif lagi dengan zaman.
Berkaitan dengan pemahaman tekstual dan pendekatan kontekstual,
sudah mulai diperlihatkan pada masa-masa awal, bahkan ketika Nabi masih
hidup. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh sebahagian sahabat
terhadap hadis19,
ا
ّيّصي
ح
ْصعْل
اإ
يف
ينب
ظْي ق
.
(Janganlah kamu shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraidhah),
merupakan sebuah contoh yang cukup layak. Sebagian sahabat tersebut
memahami hadis tersebut secara kontekstual dengan menangkap maksud
dan tujuan Nabi, sehingga mereka tetap melakukan shalat Ashar pada
waktunya di dalam perjalanan. Sedang sebagian lagi yang memahami secara
tesktual shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah–meski hari telah
gelap.
19Abu ‘Abdillah, Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah
Tetapi kemudian, tampaknya, pemahaman tekstual lebih
mendominasi atas hadis-hadis Nabi. Padahal sebetulnya di luar bidang
ibadah, hadis pada umumnya lebih banyak bersifat kondisional.
Pemahaman kontekstual atas hadis Nabi mungkin sekali tenggelam dalam
pelukan Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang lebih suka memakai hadis secara
tekstual. Pemahaman secara tekstual ini, seperti yang dijelaskan Amin
Abdullah, memang diperlukan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah demi
mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran yang telah diterima.20.
Pengaruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang begitu kuat dan mengkristal
menyebabkan para kaum muslim lebih suka menerima apa adanya, seperti
yang tertulis dalam kutub al-sittah. Karena itu penjelasan-penjelasan (syarah)
atas literatur-literatur hadis lebih banyak didominasi oleh
pemahaman-pemahaman tekstualis.
Jelas sekali terlihat keseganan para ulama dalam pengembangan
pemikiran terhadap hadis Nabi. Tetapi, tidak demikian halnya dengan
al-Qur’an. Pengembangan pemikiran terhadap al-Qur’an tampaknya cukup
intens dilakukan sehingga melahirkan banyak tafsir-tafsir yang cukup
beragam. Tidak demikian halnya dengan hadis. Karya-karya yang memuat
20Yunahar Ilyas, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta:
penjelasan-penjelasan hadis tanpaknya tidak terlalu intens dimunculkan,
apalagi dengan corak yang berbeda satu dengan yang lain.
Pemahaman kontekstual terhadap sebahagian hadis Nabi merupakan
sebuah tuntutan keharusan–karena pemahaman tekstual tidak selamanya
mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul
belakangan, bahkan menjadi komunikatif lagi dengan ruang dan waktu di
mana kita berada. Sebagai contoh hadis yang menyatakan:
ا
فاست
ة ْ ْل
اإ
عّ
م ْحّ
(Tidaklah seorang perempuan bepergian kecuali bersama Mahram)21, demikian
pula tentang siwak:
إف
ك سل
ة ْطّ
ّفّْل
،
ةاضْ ّ
ّ ّل
(Siwak itu membersihkan mulut dan menjadikan Allah ridha)22. Karena
penjelasan-penjelasan atas hadis yang semisal ini dilakukan dengan
pemahaman tekstual, maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas
21Hadis Riwayat al-Bukhari dari Abdullah ibn ‘Abbas, dalam kitab
Shahîh al-Bukhâri, juz III, hal. 24, hadis nomor 1862.
22Hadis Riwayat Ibnu Majah, dari Abu Umamah, dalam kitab Sunan
menyerang hadis yang tanpak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan
zaman–meskipun ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dilihat
dari kaedah-kaedah ilmu hadis yang demikian ketat, validitasnya diakui
dan maqbûl (shahîh). Ketika menanggapi hadis tentang penciptaan
perempuan dari tulang rusuk, kaum feminis muslim seperti Rifat Hasan,
cenderung menolak hadis ini, baik dari segi sanad maupun matannya. Dâri
segi sanad ia mengatakan dha’îf karena beberapa orang rawinya dinilainya
tidak dapat dipercaya. Tetapi mayoritas ulama berdasarkan kaedah-kaedah
keshahihan hadis menyatakan hadis ini berprediket shahih. Sedangkan dari
segi matan ia menyatakan bahwa hadis ini mengandung elemen-elemen
misoginis.23.
Hadis pada umumnya adalah penafsiran kontekstual dan situasional
atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan atau masalah yang
dihadapi sahabat. Karena itu tampaknya ia bersifat temporal dan
kontekstual. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang
melahirkannya, maka sebagian hadis nabi secara literal terasa tidak
komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial saat ini. Dengan
demikian, studi kritis atas hadis Nabi pada sisi pemahaman atas hadis
23Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan
merupakan satu keharusan. Karena itu upaya atau pengkajian terhadap
konteks-konteks hadis merupakan aspek yang sangat penting dalam
menangkap makna hadis yang akan diamalkan. Sayangnya, menurut Afif
Muhammad24, pendekatan kontekstual atas hadis Nabi saw, belum begitu
memperoleh perhatian.
Ketika memahami hadis secara kontekstual, banyak sekali
pertimbangan yang dilakukan. Sebab hadis sebagai sebuah ucapan dan teks
sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta gagasan yang
tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar kita lebih bisa mendekati
kebenaran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Tanpa
memahami motiv di balik penyampain sebuah hadis, suasana-psikologis,
dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham
dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan pengucapnya,
suasana-psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan, maka dalam setiap
pemahaman dan penafsiran yang dilakukan, ketiga hal ini sangat berperan
sekali.
Dengan demikian, ketika melakukan pemahaman kontekstual atas
hadis sebenarnya seorang penafsir atau pembaca memposisikan sebuah teks
(baca: hadis) ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es,
sebuah teks adalah fenomen kecil dari puncak gunung yang tanpak di
permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya
dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit
mengangkap makna pesan dari sebuah teks.25
Tiba di sini, maka kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi
bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman terhadap sirah Nabawiyah
akan memberikan perspektif yang lebih luas tetang ruang dan waktu
munculnya sebuah hadis. Kalau pendapat ini diterima maka mereka yang
mendalami sejarah Rasulullah Muhammad s.a.w. sudah tentu akan memiliki
pemahaman berbeda dari yang tidak mempelajarinya ketika sama-sama
memahami sebuah hadis.
Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman konteks-konteks hadis
dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya penghimpunan sebanyak mungkin
hadis yang berada dalam satu pembicaraan. Ini dimaksudkan untuk
mendapatkan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks hadis itu. Karena
hadis-hadis pada dasarnya saling terkait satu sama lain, bahkan seperti
al-Quran,
25Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian
اي ْلاف
سفي
ا ضْعب
اضْعب
(yufassiru ba’dhuha ba’dhan)26 (satu sama lain saling menafsirkan). Teknik ini
tidaklah sulit utuk dilakukan, sebab kitab-kitab hadis telah memilik
sistematika yang baik.
VI. Prisma Modernitas dan Isu Krusial
Dalam memandang perjuangan kaum muslim modern terhadap
pemikiran kembali sunnah Nabi, Wilfred Cantwell Smith dalam, Islam in
Modern History27, seperti yang dijelaskan Brown28, menggambarkan
perdebatan mengenai sunnah sebagai pertempuran kecil-kecilan dalam
suatu pertarungan tanpa henti antara tradisi dan modernitas, wahyu dan
akal, serta liberalisme dan reaksi. Paradigma ini yang digunakan oleh
kebanyakan orientalis dalam mencermati perjuangan kaum muslim modern
dalam pemikiran kembali sunnah Nabi. Menurut Brown, pendekatan
semacam ini mengasumsikan adanya dikotomi yang tegas antara tradisi dan
26Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm,Tafsîr al-Manâr
(Kairo: Al-Haiah al-Mishriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, juz II, 1990), hal. 207.
27Wilfred Cantwell Smith. Islam in Modern History: The Tension between
Faith and History in the Islamic World, (Princeton: Princeton University Press, 1977).
modernitas. Akarnya adalah pemikiran Pencerahan, di mana para pemikir
Pencerahan, akal merupakan lampu sorot, yang menembus kegelapan
tradisi, yang menerobos kabut kebodohan untuk menerangi kebenaran.
Pemikiran pencerahan ini pun sebetulnya masih berlaku dalam kebudayaan
akademik Barat.
Bagi Brown modernitas dan tradisi tidak harus dipandang sebagai
secara diametris saling beralawanan. Pandangannya ini jelas berbeda
dengan paradigma yang digunakan oleh kebanyakan orientalis seperti yang
dijelaskan di atas. Jika modernitas dan tradisi tidak dipandang sebagai yang
berlawanan, lalu bagaimana memahaminya hubungan antara keduanya?
Menurutnya ini dapat dipahami dengan melihat kebalikan dari metafor
Pencerahan. Di sini modernitas tidak dipandang sebagai sumber
pencerahan, yang menyingkirkan kegelapan tradisi, tetapi membayangkan
tradisi sebagai pemberi cahaya, yang dibiaskan oleh prisma modernitas.
Sebuah tradisi muncul dari prisma modernitas sebagai spektrum respons
yang beraneka warna. Sebagian respons akan memperlihatkan dampak
modernitas secara jauh lebih dramatis dibanding sebagian lainnya, tetapi tak
akan ada yang sama sekali tersentuh. Pada saat yang sama, setiap warna
pada tradisi. Seluruh respons terhadap modernitas suatu tradisi keagamaan,
dan bahkan yang tampaknya meninggalkan tradisi sama sekali
mengandung kontinuitas tertentu dengan tradisi, seperti halnya setiap pita
spektrum ada dalam cahaya yang memasuki sebuah prisma. Hal ini
didasarkannya pada posisi sunnah itu sendiri, di mana sunnah merupakan
titik tumpu tempat perdebatan krusial mengenai kewenangan agama
berkisar.
Berkaitan dengan pemahamannya tentang hubungan tradisi dengan
modernitas yang dikemukakannya, maka dalam buku ini, ia memilih
pendekatan yang menekankan pada mazhab pemikiran ketimbang individu,
yakni lebih menganalisis kecenderungan umum di dalam pemikiran
ketimbang menganalisis individu.29 Namun tentu saja Brown tidak bisa
melepaskan diri dari analisisnya terhadap setiap pemikir. Berangkat dari
sini, dalam memilih sumber-sumber, ia menerapkan uji sederhana, yakni:
jika suatu pernyataan menarik banyak respons, maka pernyataan itu
penting; jika berlalu begitu saja tanpa diperhatikan; maka pernyataan
tersebut tidak penting.30 Dengan demikian tampak bahwa Brown mengukur
pentingnya suatu pemikiran atau karya berdasarkan tingkat kontroversi
29Brown, Menyoal …, hal. 15.
yang ditimbulkannya. Karena itu tentu saja sumber-sumber utamanya
adalah pemikiran atau karya yang kontroversial mengenai sunnah, seperti
yang terjadi di Mesir dan Pakistan.
Metode yang digunakan dalam menganalisis tulisan-tulisan modern
mengenai sunnah dan literatur kontroversial tentangnya adalah menggali
tema-tema yang paling penting (yaitu yang paling sering berulang) dari
tulisan-tulisan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk dapat membangun
konteks dan latar belakang tema-tema ini dalam keserjanaan Islam klasik
serta untuk menganalisis cara pandang modern terhadap topik tersebut.31
Artinya, Brown berupaya memetakan isu-isu yang paling menonjol yang
menjadi pusat pembahasan sunnah untuk menganalisis posisi-posisi utama
yang dibangun oleh kaum muslim modern terhadap isu-isu tersebut.
Menurut Brown, isu krusial dalam perjuangan yang terus berlangsung ini
adalah masalah hakikat, status dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif
Nabi Muhammad s.a.w.).32 Masalah hakikat sunnah menjadi penting karena
persoalan ini membahas batas-batas manusiawi utusan Allah berperan
dalam proses wahyu. Hal ini tampak sudah menjadi dilema umum dalam
risalah kenabian, karena yang transenden menjadi imanen, yang universal
31Brown, Menyoal …, hal. 16.
menjadi partikular, kesempurnaan disampaikan melalui saluran yang tidak
sempurna. Di sisi lain, persoalan status sunnah juga merupakan hal yang tak
dapat diabaikan. Karena jelas sekali bahwa sunnah Nabi s.a.w. yang
diketahui melalui hadis disampaikan dengan cara berantai hingga beberapa
generasi. Pertanyaan yang mendesak tentang ini tentu saja seberapa jauh
sunnah Nabi s.a.w. dapat diakui validitasnya benar-benar bersumber dari
Nabi s.a.w.. Sementera persoalan otoritas sunnah jelas pula menjadi masalah
yang tak kalah pentingnya. Hal ini karena menyangkut sejauh mana sunnah
dapat mengikat kaum muslim.
VII. Beberapa Pandangan Brown tentang as-Sunnah
Berangkat dari isu krusial tentang perjuangan kuam muslim modern
ini, Brown membagi bukunya dalam enam bab. Bab pertama, yang berisi
enam sub bab mendiskusikan konsep klasik tentang kewenangan Rasulullah
s.a.w.. Brown tampaknya mengangap ini bagian penting perlu disuguhkan
dalam rangka memahami perjuangan pemikiran kembali sunnah
berdasarkan sunnah yang dipahami dalam tahap awal. Pada bagian awal ini
khusus membahas pemahaman sunnah dalam tahap awal sekali dan dalam
pandangan kesarjanaan klasik khususnya masa Muhammad ibn Idris
menunjukkan gagasan sunnah pada tahun-tahun awal Islam sangat berbeda
dengan defenisi klasik. Perbedaan tersebut dapat dilihat: pertama,
orang-orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad s.a.w.
lebih tinggi dari sunnah-sunnah orang muslim terkemuka lainnya, terutama
para khalifah yang pertama beserta sahabat-sahabatnya; kedua, pada tahap
awal ini, orang-orang muslim tidak selalu mengidentifikasikan sunnah
dengan riwayat khsusus mengenai Nabi Muhammad s.a.w., yaitu riwayat
hadis tidak menjadi wahana ekslusif bagi sunnahnya, seperti yang terjadi
kemudian; ketiga, orang-orang muslim awal tidak membuat perbedaan yang
kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan, terutama antara
sunnah dan al-Qur’an yang dilukiskan dengan begitu saksama oleh para
pakar terkemudian.33
Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengemukakan sejumlah
bukti yang ia kutip dari ahli-ahli fiqh yang dalam anggapannya cukup kuat.
Misalnya, riwayat bahwa Nabi Muhammad dan Abu Bakar mengenakan
empat puluh kali cambukan sebagai huuman untuk mabuk-mabukan,
sementara Umar menerapkan delapan puluh kali cambukan. Dan “kesemua
ini adalah sunnah”, seperti yang dinyatakan oleh Abu Yusuf.34 Tentang
gagasan sunnah secara konseptual tetap terlepas dari preseden hadis
spesifik, bukti-bukti yang lebih kuat diperoleh dari tulisan tulisan teologis
awal, seperti dalam Kitab al-Qadr karya Al-Hasan al-Basri yang
menyebutkan sunnah Rasul dengan cara yang sangat umum namun tidak
merujuk kepada kasus-kasus khusus. Demikian pula dalam kitab al-Irja’
karya al-Hasan ibn Muhammamad Muhammad ibn al-Hanafiyyah,
pemilahan yang tegas antara sunnah dan hadis dapat terlihat dengan jelas.35
Berkaitan dengan itu, maka menurutnya diferensiasi al-Qur’an dan sunnah
yang keseluruhannya ditandai dengan aura wahyu, dan keterkaitannya satu
sama lain baru terjadi belakangan ketika timbul kebutuhan untuk
menemukan penyangga yang kuat atas pandangan dan cara meruntuhkan
alasan-alasan yang diajukan orang untuk yang menentang akitab konflik
mengguncang masyarakat.36
34Brown, Menyoal …, hal. 23.
35Brown, Menyoal …, hal. 25.
Asy-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir al-Sunnah adalah orang yang
paling bertanggung jawab atas perubahan pandangan terhadap sunnah ini.37
Usahanya yang besar terhadap identifikasi ekslusif sunnah dengan hadis
Nabi Muhammad s.a.w., penegakan superioritas sunnah Nabi atas
sumber-sumber preseden lainnya dan juga sifat kewahyuan sunnah tampak cukup
berhasil. Keberhasilan ini ditandai dengan istilah sunnah jarang ditemukan
untuk penggunaan selain sunnah Nabi setelah Asy-Syafi’i dalam waktu
yang cukup lama hingga perdebatan mengenai sunnah muncul kembali
pada abad kesembilan belas.
Berangkat dari pergeseran pandangan tentang sunnah Nabi s.a.w.
tersebut, dalam bab selanjutnya ia sangat berkepentingan untuk membahas
munculnya tantangan modern terhadap sunnah. Pada bab-2 ini Brown ingin
menunjukkan bahwa gagasan pemikiran kembali sunnah Nabi telah
memunyai akar yang kuat dalam abad ke-18 M dan telah memberikan
kekuatan baru bagi para reformis abad ke-19 dan 20. Gagasan-gagasan yang
dikemukakan pada abad ke-18 nyata sekali telah memberikan landasan dan
merintis kategori-kategori utama respon yang digunakan kaum muslim
37Brown, Menyoal …, hal. 19. Untuk lebih jauh tentang peran
abad kesembilan belas dan kedua puluh ketika menghadapi tantangan baru.
Pada awalnya gagasan-gagasan ini munculnya didesak oleh kerusakan
moral. Dalam mendiagnosis keadaan ini, para pemikir zaman ini segera
menemukan penyakitnya: orang muslim telah menyimpang dari sunnah
Rasul s.a.w. dan diracuni oleh Bid’ah dan taklid terhadap kitab-kitab
penafsiran hukum klasik. Sebagian praktik sufi ikut pula menjadi kanker
yang membahayakan. Obatnya adalah kembali kepada sumber utama:
al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.. Di bawah bendera pembangkitan kembali
sunnah (ihyâ’ as-sunnah), para ulama yang berorientasi reformasi bergerak
melampaui kumulan dan penafsiran hukum klasik dan mulai mempelajari
himpunan hadis-hadis yang pertama.
Di sini, walaupun secara tidak jelas dikemukakan Brown, dari
pembahasannya tentang kecenderungan pemikiran terhadap sunnah,
tampak bahwa tantangan-tantangan yang dimunculkan terhadap sunnah
Nabi s.a.w. secara bertingkat. Dalam masa awal sekali, tokoh yang paling
menonjol seperti Syah Waliyullah dari India dan Muhammad asy-Syaukani
dari Yaman, menekankan perhatiannya pada melalukan studi terhadap
sunnah yang dianggap sudah mapan dalam keilmuan klasik. Sedangkan
hadis menjadi semakin jelas, walaupun tokoh yang disebutkan belakangan
lebih berhati-hati. Tetapi, pada generasi berikutnya, dengan tokoh-tokoh
seperti Taufiq Shidqi, Ghulam Ahmad Parwez, Abu Rayyah, tidak hanya
skeptis terhadap hadis, bahkan menyatakannya sebagai hadis sebagai
penyebab kemalangan di dunia Islam. Karena itu, perhatian mereka hanya
tertuju pada al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam. Tetapi,
nyata sekali, seperti yang ditulis Brown38, yang terakhir ini tidak diterima
secara luas.
Tentu saja tantangan-tantangan terhadap sunnah ini didahului kritik
terhadap sunnah, baik itu terhadap proses sejarah yang dilalui, seperti
pencatatan, maupun proses transformasi, terutama sekali bangunan ilmu
hadis, serta otoritasnya. Karena itu dalam karya ini,
pembahasan-pembahasan tentangnya sebagai pemikiran tokoh-tokoh muslim bahkan
juga orientalis tak terlewatkan dalam karya Brown ini. Karena itu, kita
menemui pembahasannya tentang batas-batas wahyu pada bab-3 di mana
yang menjadi permasalahan dasar adalah mengenai hakikat wahyu. Di
mana wahyu berakhir dan penafsiran dimulai? Apa yang membedakan
suara Tuhan dengan suara manusia yang menyampaikan atau yang
menafsirkannya? Demikian pula bab-4 yang membahas sifat dasar otoritas
Rasulullah s.a.w. dengan sub-sub bahasan seperti “memanusiawikan
Rasulullah s.a.w., Rasulullah s.a.w. sebagai perantara, Rasulullah s.a.w.
sebagai paradigma, Rasulullah s.a.w. sebagai teladan. Bab-5 yang membahas
adalah para sahabat, keaslian hadis memuat sub-sub pembahasan tentang
pelestarian dan penyampaian hadis, kefektifan kritik isnad, dan sunnah
tanpa hadis? .
Bab-6 yang menjadi bab inti karya ini berisi tentang sunnah dan
kebangkitan-kembali Islam yang memperlihatkan kesibukan dan
“perjuangan” para pembaru Islam di Mesir dan Pakistan dalam mengatasi
masalah kemodernan dengan berbekal tradisi, dalam hal ini sunnah Nabi.
Tampaknya, menurut Brown, buku al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah
Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, yang mengetengahkan banyak tema
krusial dalam diskusi muslim modern tentang otoritas religius, seperti
hubungan antara al-Qur’an dan sunnah, posisi otoritas Nabi sebagai sumber
hukum Islam dan metode kritik hadis, dapat dianggap mewakili gambaran
tentang kesibukan dan perjuangan kaum pembaru. Ini terlihat dari pembuka
bab-6 yang menyuguhkan karya al-Ghazali dalam beberapa paragraf.39
Menurut Brown, para pembaru Islam bergerak ke pusat debat modern
tentang otoritas religius, berdasarkan fakta sederhana bahwa bahwa mereka
adalah pembaru, yang memiliki komitmen untuk menghidupkan dan
menonjolkan kembali Islam. Ditekankannya perjuangan tanpa henti untuk
menghidupkan dan mengangkat kembali Islam di dunia merupakan
karakteristik paling penting dari gerakan kebangkitan. Akibatnya,
kebanyakan pemimpin kebangkitan Islam pada mulanya adalah aktivis, dan
kemudian menjadi sarjana. Mereka sibuk dengan isu praktis hukum Islam
dan tidak cukup bersabar dengan memahami teori-teorinya.40
Pendekatan para pembaru terhadap sunnah dicirikan oleh: pertama,
dukungan penuh untuk otoritas sunnah dan keotentikan literatur hadis
pada umumnya. Beberapa pendukung sunnah terutama sekali Maududi di
Pakistan dan al-Siba’i di Mesir adalah pemikir yang berada di garis depan
medan pertempuran melawan para penentang hadis, dan karya-karya
mereka adalah paling sering dikutip dalam mendukung hadis. Jelas sekali
bahwa mereka tak menyetujui apapun yang tampak merongrong otoritas
sunnah. Bagi mereka sunnah bersifat fundamental bagi program mereka
untuk menghidupkan kembali Islam. Kedua, tentu saja pembaruan mereka
lebih langsung berkaitan dengan kita di sini. Mereka ingin mengenalkan
kembali Islam dalam bentuk yang relevan dan karenya mereka menjadi
prakmatis dalam praktik. Sikap mereka terhadap sunnah menghindar dari
dua ekstrem dan mencari jalan tengah, yakni pendekatan alternatif terhadap
hadis yang akan melengkapi sistem klasik dan akan memberinya
fleksibelitas baru tanpa merusak.
Untuk dapat memberikan fleksibelitas, maka pengujian kembali
keotentikan hadis tentu merupakan satu keharusan. Dâri penjelasan Brown
yang panjang, kita dapat menjelaskan bahwa pengujian kembali sunnah
oleh pembaru modern salah satunya dengan melakukan pembalikan metode
pengujian yang sebetulnya juga merupakan warisan klasik yang terabaikan,
terutama dari warisan mazhab Hanafi.41 Kecenderungan umum sebelumnya
adalah menggunakan hadis untuk mengakhiri monopoli faqih dalam
menginterpretasi syariah, tetapi oleh pembaru menggunakan metode faqih
besar untuk mengoreksi keterikatan harfiah dan doktriner kepada hadis.
Artinya, kriteria kritik hadis ketat dari faqih yang tampak diabaikan oleh
ahli hadis—terutama sekali dalam kritik matan seperti apakah sebuah
riwayat selaras dengan penalaran, dengan sifat dasar manusia, dan dengan
kondisi sejarah–harus digunakan kembali. Demikian pula dalam hal
hubungan al-Qur’an dengan hadis. Jika kecenderungan keilmuan klasik
memandang sunnah sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungkin salah
dan dibatalkan oleh al-Qur’an karena membuat perintah-perintah al-Qur’an
yang umum menjadi lebih spesifik, maka kaum pembaru justeru membawa
hadis kembali ke bawah pengayoman prinsip-prinsip al-Qur’an.
Tokoh-tokoh yang menjadi lokomotif pembaru dalam kebangkitan
kembali Islam yang dikutip Brown di dalam karya ini adalah tokoh-tokoh
semisal Al-Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi dan As-Siba’i dari Mesir,
sedangkan dari Pakistan disebut nama-nama seperti Syibli Nu’mani dan
Maududi. Walaupun tokoh-tokoh ini sama dalam rangka kebangkitan
kembali Islam, namun tentu saja terdapat kecenderungan-kecenderungan
tertentu dari para tokoh ini. Tetapi -- dari penjelas Brown -- dalam level
yang lebih luas, meskipun kaum pembaru cenderung menggunakan metode
faqih, namun pembaru-pembaru Pakistan sedikit lebih menekankan kualitas
faqih. Karena itu, individu-individu yang memiliki kualitas yang faqih yang
disebut Maududi mizâj syinâsi rasûl, semacam internalisasi temperamen
(mizâj) Nabi s.a.w., akan lebih memiliki otoritas dalam menilai sunnah. Dia
menyatakan bahwa hadis tersebut tidak sesuai dengan Islam. Dengan
demikian, maka pembaru Pakistan tampak lebih berani dalam melakukan
gerakan kebangkitan kembali Islam.
VIII. Catatan Akhir: ”Kritik dan Apresiasi atas Karya Daniel W. Brown”
Harus diakui bahwa karya Brown ini salah satu karya yang
komprehensif menampilkan persoalan-persoalan klasik dengan bahasa yang
menggairahkan, seperti peran akal dalam menerima wahyu, dilema kritik
hadis dan tentang apa sunnah dan hadis serta metodologi yang bagaimana
dibawa oleh pembaru seperti Syibli Nu’mani, Muhammad Ghazali,
al-Maududi, as-Siba’i dan Yusuf al-Qaradhawi. Hal yang paling penting
dicatat dari buku ini adalah bahwa perdebatan mengenai sunnah telah
bergeser, dari para penentang hadis ke kaum pembaru, dan ini
sesungguhnya menggambarkan sebuah wajah baru kebangkitan Islam yang
paling penting, namun jarang dipresentasikan. Mencermati ini Barat salah
menanggapi gerakan pembaru Islam muslim. Meskipun kadang-kadang,
gerakan pembaru cenderung kepada kekerasan, memusuhi kepentingan
geopolitik Barat, namun tidaklah sepenuhnya benar. Disamping itu,
pendekatan kaum pembaru terhadap sunnah bukan karena
bahwa Islam semakin kuat. Karena Islam sedang mendapatkan kembali
inisiatif, sebuah cetak biru yang diperlukan untuk membimbing proses ini.
Tetapi, karya Brown yang ilmiah ini -- terutama tentang konsep
sunnah seperti yang telah dijelaskan di atas -- tampak tidak berbeda jauh
dari penulis-penulis Barat terdahulu semisal Ignaz Golziher dan Schacht.
Karena itu, konsepnya tentang sunnah—meskipun karya ini lahir jauh lebih
belakang—hanya pengulangan terhadap karya-karya terdahulu, meskipun
gagasan-gagasan karya tersebut telah mendapat tantangan karena
keberatan-keberatan logika dan sejarah, seperti Fazlur Rahman42, Ahmad
Hasan43 dan bahkan Musthafa A’zami44. Keberatan-keberatan yang diajukan
terhadap konsep sunnah dari penulis-penulis tersebut sama sekali tak
mendapat perhatian Brown, meskipun ia pada awal tulisannya menyatakan
bahwa bukunya ini mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman.
Brown, ketika mengemukakan pendapatnya tentang sunnah tampak
tidak dibangun dari bukti-bukti yang komprehensif, sehingga dengan
demikian, kesimpulan-kesimpulannya pun menjadi parsial, seperti
kesimpulannya tentang sunnah Rasulullah s.a.w., misalnya, yang dalam
42Fazlur Rahman, Islam, (Pustaka: Bandung: 1984), hal. 56.
43Ahmad Hasan, Pintu ..., hal. 78-79.
44Muhammad Musthafa A’zami, Studies in Hadith Methodology and
pandangan kaum muslim awal tidak dipandang lebih tinggi dari
sunnah-sunnah lainnya. Pada hal terdapat cukup bukti lain yang menyatakan
bahwa sunnah Rasulullah s.a.w. dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah
lainnya, bahkan bukti dari tindakan Umar sendiri. Secara logika sangat sulit
dipahami, bagaimana mungkin orang muslim memandang sunnah Nabi
sebagai hal yang biasa saja, padahal jelas sekali bahwa, dari petunjuk
al-Qur’an kaum muslim memandang perilaku Rasulullah sebagai suatu pola
teladan dan contoh bagi mereka semenjak diturunkannya wahyu. Dengan
demikian jelas sekali sunnah Nabi s.a.w. yang sifat normatifnya sudah
mendapat legalitas dari Allah dibanding sunnah-sunnah lainnya. Umar bin
Khattab ketika menjadi khalifah, mengirim utusan ke berbagai kota dengan
tujuan untuk mengajar penduduk kota-kota itu agama (din) dan sunnah
Rasul s.a.w., bukan sunnah Umar. Surat al-Hasan dari Bashrah (w. 110 H.)
pada Abdul Malik bin Marwan memuat menggandengkan perintah Allah
denan sunnah Rasul.45
Dâri sini, sunnah Rasululllah s.a.w. jelas sekali telah mendapat
perhatian yang cukup serius dan menjadi rujukan utama di setelah
al-Qur’an. Meskipun tindakan umat diatur oleh al-Qur’an, tetapi
lah s.a.w. lah yang memberikan bentuk konkrit dan praktis bagi
ajaran-ajarannya. Cara-cara Rasul menerapkan ajaran-ajaran al-Qur’an menjadi
hukum bagi masyarakat. Itulah sebabnya, Ahmad Hasan mengatakan,
bagaimana mungkin kita mengandaikan bahwa para sahabat di sekitar
Rasulullah melalaikan peritah beliau yang melalui beliaulah al-Qur’an
diajarkan kepada mereka.46 Dengan demikian, al-Qu’ran dan sunnah saling
terkait erat bahkan terjalin sedemikian rupa sehingga keduanya satu sama
lain tak bisa dipisahkan. Kita dapat menyebutkan keduanya sebagai satu
keseluruhan yang terpadu.47
Sunnah Nabi s.a.w. yang normatif dan paling penting bagi umat
berlangsung terus dalam generasi-generasi kaum muslim. Tetapi, tidak
semua mereka, bahkan para sahabat, tidak mengetahui sunnah Nabi. Karena
46Orientalis -- seperti Margoliouth -- menyatakan bahwa ketika setiap
kali Nabi disandingkan dengan Allah dalam al-Qur’an, ini hanya merujuk kepada konteks al-Qur’an itu sendiri yakni, hanya mempunyai rujukan intra-Qur’ani. Artinya, bahwa ia ingin mengatakan Nabi Muhammad tidak mempunyai sunnah ekstra Qur’ani yang mungkin telah dicatat dalam beberapa hadis. Tetapi, seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, hal ini tak dapat diterima, sebab terdapat kasus-kasus di mana ketika al-Qu’ran berbicara tentang otoritas Nabi yang ekstra Qur’ani, seperti pembagian harta rampasan perang, yang kemudian didukung oleh al-Qur’an sendiri dengan
pernyataannya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu ambillah, dan apa yang
dilarangnya, hentikanlah. (Rahman, 1984: 62-63).
47 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka:
itu ada dua cara bagi orang untuk mengetahui sunnah Nabi, yaitu praktik
umat dan hadis. Karena itu, identifikasi sunnah dengan hadis telah ada sejak
masa yang paling awal, bukan hanya pasca asy-Syafi’i. Namun jelas sekali
bahwa sunnah dalam masa tertentu berjalan murni, terutama sekali hingga
pada masa empat khalifah. Setelah itu sunnah mulai mengalami perubahan.
Karena itu adalah wajar sekali jika asy-Syafi’i menjadikan hadis sebagai
wahana ekslusif bagi sunnah Nabi s.a.w. ketika praktik umat tidak lagi
berjalan murni.48, sehingga dapat dinyatakan cukup wajar bila Syafi’i sangat
berpegang teguh pada hadis. Hal ini adalah dalam rangka mengantisipasi
perkembangan dan pemekaran politik, hukum dan kalam pada saat itu yang
mengacu pada disintegritas.
Akhirnya, dapat penulis katakan bahwa membaca karya Brown ini
memang sangat menarik dan menggugah pikiran tentang relevani sunnah
dalam kehidupan modern. Tetapi, jelas sekali bahwa karya ini harus dibaca
dengan bekal gagasan-gagasan tentang sunnah kaum muslim dan
pandangan kritis, terutama sekali tentang konsep sunnah yang tampak tak
jauh berbeda dengan gagasan-gagasan Barat sebelumnya seperti Ignaz
Golziher, Margoliouth, Schacht.
48M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?
IX. Epilog
Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi
apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya
dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak
bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahih, tidaklah menutup
kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun
karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru.
Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap
tampak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.
Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang
ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi
ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi
menjadi ‘kafir’. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang
justeru akan mengkanter hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak
kevaliditan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh
generasi yang mula-mula.
Brown, dengan empati, telah mencoba menelaah hadis dengan
beragam kontroversinya di Mesir -- dengan pendekatan sosio-historisnya,
secara apriori), apalagi diimani, tetapi juga tidak seharusnya ditolak secara
apriori. Karena, sebagai sebuah kajian ilmiah pasti tidak akan sempurna dan
tetap bernilai relatif.
Tugas kita sebagai intelektual adalah melanjutkan kajian kritis ini,
yang untuk selanjutnya juga tetap terbuka untuk diapresiasi dan dikritik
secara jujur dan terbuka, sebagai karya Brown yang tengah kita kritisi ini.
Mudah-mudahan karya penelitian dalam bentuk Book-Review ini
bermanfaat dan bisa menjadi pemicu penelitian selanjutnya.
Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi
apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya
dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak
bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahîh, tidaklah menutup
kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun
karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru.
Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tanpak
sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.
Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang
ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi
menjadi kafir. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang
justeru akan menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak
kevaliditasan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan
oleh generasi yang mula-mula.
Referensi:
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996.
Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi s.a.w.”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992.
Amin, Ahmad, Fajr al-Islam, Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965.
Azami, M.M. Studies in Hadith Methodology and Literature,
Washington: American Truth Publication, 1977.
Brown, Daniel W, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj),
Bandung: Mizan, 2000.
Al-Bukhari, Abu Abdillah, Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim bin
Al-Ghazali, Muhammad, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh. Munawir Az Zahidi Surabaya: Dunia Ilmu: Surabaya, 1997.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka,
1984.
Juynboll, G.H.A., Kontroversi Hadis di Mesir (1990-1960), terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1999.
‘Itr, Nuruddin., Manhaj fî Ulûm al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1981.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1991.
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian
Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.
Al-Mubarakfuriy, Abu al-A’la Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim, Tuhfatul Ahwaziy bi Syarh Jâmi’ al-Tirmudziy, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979.
Mulakhatir, Ibrahim, Makanah Shahihaini, Kairo: Mathba’ah
al-Arabiyyah al-Haditsah, 1402 H.
An-Naisaburi, Abu Husain Muslim ibn Hajjj ibn Muslim al-Qusyairi, Shahîh Muslim, Juz III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.
Al-Qazwini, Ibnu Majah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid, Sunan ibn Mâjah, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1984.
Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm,Tafsîr al-Manâr,
Kairo: Al-Haiah al-Mishriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, juz II, 1990.
As-Salafi, Muhammad Luqman, Ihtimâm Mahadditsûn bi Naqdi
al-Hadîts, Sanadan wa Matanan, Riyadh, tnp., 1987.
Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus,