• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan Akhir: ”Kritik dan Apresiasi atas Karya Daniel W Brown”

Dalam dokumen MENYOAL RELEVANSI SUNNAH DALAM ISLAM MODERN (Halaman 42-51)

Harus diakui bahwa karya Brown ini salah satu karya yang komprehensif menampilkan persoalan-persoalan klasik dengan bahasa yang menggairahkan, seperti peran akal dalam menerima wahyu, dilema kritik hadis dan tentang apa sunnah dan hadis serta metodologi yang bagaimana dibawa oleh pembaru seperti Syibli Nu’mani, Muhammad al-Ghazali, al- Maududi, as-Siba’i dan Yusuf al-Qaradhawi. Hal yang paling penting dicatat dari buku ini adalah bahwa perdebatan mengenai sunnah telah bergeser, dari para penentang hadis ke kaum pembaru, dan ini sesungguhnya menggambarkan sebuah wajah baru kebangkitan Islam yang paling penting, namun jarang dipresentasikan. Mencermati ini Barat salah menanggapi gerakan pembaru Islam muslim. Meskipun kadang-kadang, gerakan pembaru cenderung kepada kekerasan, memusuhi kepentingan geopolitik Barat, namun tidaklah sepenuhnya benar. Disamping itu,

pendekatan kaum pembaru terhadap sunnah bukan karena

bahwa Islam semakin kuat. Karena Islam sedang mendapatkan kembali inisiatif, sebuah cetak biru yang diperlukan untuk membimbing proses ini.

Tetapi, karya Brown yang ilmiah ini -- terutama tentang konsep sunnah seperti yang telah dijelaskan di atas -- tampak tidak berbeda jauh dari penulis-penulis Barat terdahulu semisal Ignaz Golziher dan Schacht. Karena itu, konsepnya tentang sunnah—meskipun karya ini lahir jauh lebih belakang—hanya pengulangan terhadap karya-karya terdahulu, meskipun gagasan-gagasan karya tersebut telah mendapat tantangan karena

keberatan-keberatan logika dan sejarah, seperti Fazlur Rahman42, Ahmad

Hasan43 dan bahkan Musthafa A’zami44. Keberatan-keberatan yang diajukan

terhadap konsep sunnah dari penulis-penulis tersebut sama sekali tak mendapat perhatian Brown, meskipun ia pada awal tulisannya menyatakan bahwa bukunya ini mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman.

Brown, ketika mengemukakan pendapatnya tentang sunnah tampak tidak dibangun dari bukti-bukti yang komprehensif, sehingga dengan demikian, kesimpulan-kesimpulannya pun menjadi parsial, seperti kesimpulannya tentang sunnah Rasulullah s.a.w., misalnya, yang dalam

42Fazlur Rahman, Islam, (Pustaka: Bandung: 1984), hal. 56.

43Ahmad Hasan, Pintu ..., hal. 78-79.

44Muhammad Musthafa A’zami, Studies in Hadith Methodology and

pandangan kaum muslim awal tidak dipandang lebih tinggi dari sunnah- sunnah lainnya. Pada hal terdapat cukup bukti lain yang menyatakan bahwa sunnah Rasulullah s.a.w. dipandang lebih tinggi dari sunnah-sunnah lainnya, bahkan bukti dari tindakan Umar sendiri. Secara logika sangat sulit dipahami, bagaimana mungkin orang muslim memandang sunnah Nabi sebagai hal yang biasa saja, padahal jelas sekali bahwa, dari petunjuk al- Qur’an kaum muslim memandang perilaku Rasulullah sebagai suatu pola teladan dan contoh bagi mereka semenjak diturunkannya wahyu. Dengan demikian jelas sekali sunnah Nabi s.a.w. yang sifat normatifnya sudah mendapat legalitas dari Allah dibanding sunnah-sunnah lainnya. Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah, mengirim utusan ke berbagai kota dengan tujuan untuk mengajar penduduk kota-kota itu agama (din) dan sunnah Rasul s.a.w., bukan sunnah Umar. Surat al-Hasan dari Bashrah (w. 110 H.) pada Abdul Malik bin Marwan memuat menggandengkan perintah Allah

denan sunnah Rasul.45

Dâri sini, sunnah Rasululllah s.a.w. jelas sekali telah mendapat perhatian yang cukup serius dan menjadi rujukan utama di setelah al- Qur’an. Meskipun tindakan umat diatur oleh al-Qur’an, tetapi Rasulullah-

lah s.a.w. lah yang memberikan bentuk konkrit dan praktis bagi ajaran- ajarannya. Cara-cara Rasul menerapkan ajaran-ajaran al-Qur’an menjadi hukum bagi masyarakat. Itulah sebabnya, Ahmad Hasan mengatakan, bagaimana mungkin kita mengandaikan bahwa para sahabat di sekitar Rasulullah melalaikan peritah beliau yang melalui beliaulah al-Qur’an

diajarkan kepada mereka.46 Dengan demikian, al-Qu’ran dan sunnah saling

terkait erat bahkan terjalin sedemikian rupa sehingga keduanya satu sama lain tak bisa dipisahkan. Kita dapat menyebutkan keduanya sebagai satu

keseluruhan yang terpadu.47

Sunnah Nabi s.a.w. yang normatif dan paling penting bagi umat berlangsung terus dalam generasi-generasi kaum muslim. Tetapi, tidak semua mereka, bahkan para sahabat, tidak mengetahui sunnah Nabi. Karena

46Orientalis -- seperti Margoliouth -- menyatakan bahwa ketika setiap

kali Nabi disandingkan dengan Allah dalam al-Qur’an, ini hanya merujuk kepada konteks al-Qur’an itu sendiri yakni, hanya mempunyai rujukan intra-Qur’ani. Artinya, bahwa ia ingin mengatakan Nabi Muhammad tidak mempunyai sunnah ekstra Qur’ani yang mungkin telah dicatat dalam beberapa hadis. Tetapi, seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, hal ini tak dapat diterima, sebab terdapat kasus-kasus di mana ketika al-Qu’ran berbicara tentang otoritas Nabi yang ekstra Qur’ani, seperti pembagian harta rampasan perang, yang kemudian didukung oleh al-Qur’an sendiri dengan

pernyataannya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu ambillah, dan apa yang

dilarangnya, hentikanlah. (Rahman, 1984: 62-63).

47 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka:

itu ada dua cara bagi orang untuk mengetahui sunnah Nabi, yaitu praktik umat dan hadis. Karena itu, identifikasi sunnah dengan hadis telah ada sejak masa yang paling awal, bukan hanya pasca asy-Syafi’i. Namun jelas sekali bahwa sunnah dalam masa tertentu berjalan murni, terutama sekali hingga pada masa empat khalifah. Setelah itu sunnah mulai mengalami perubahan. Karena itu adalah wajar sekali jika asy-Syafi’i menjadikan hadis sebagai wahana ekslusif bagi sunnah Nabi s.a.w. ketika praktik umat tidak lagi

berjalan murni.48, sehingga dapat dinyatakan cukup wajar bila Syafi’i sangat

berpegang teguh pada hadis. Hal ini adalah dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan pemekaran politik, hukum dan kalam pada saat itu yang mengacu pada disintegritas.

Akhirnya, dapat penulis katakan bahwa membaca karya Brown ini memang sangat menarik dan menggugah pikiran tentang relevani sunnah dalam kehidupan modern. Tetapi, jelas sekali bahwa karya ini harus dibaca dengan bekal gagasan-gagasan tentang sunnah kaum muslim dan pandangan kritis, terutama sekali tentang konsep sunnah yang tampak tak jauh berbeda dengan gagasan-gagasan Barat sebelumnya seperti Ignaz Golziher, Margoliouth, Schacht.

48M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?

IX. Epilog

Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak

bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahih, tidaklah menutup

kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tampak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi menjadi ‘kafir’. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justeru akan mengkanter hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.

Brown, dengan empati, telah mencoba menelaah hadis dengan beragam kontroversinya di Mesir -- dengan pendekatan sosio-historisnya, yang tentu saja terbuka untuk dikritik, dan tidak harus di’amini’ (dipercaya

secara apriori), apalagi diimani, tetapi juga tidak seharusnya ditolak secara apriori. Karena, sebagai sebuah kajian ilmiah pasti tidak akan sempurna dan tetap bernilai relatif.

Tugas kita sebagai intelektual adalah melanjutkan kajian kritis ini, yang untuk selanjutnya juga tetap terbuka untuk diapresiasi dan dikritik secara jujur dan terbuka, sebagai karya Brown yang tengah kita kritisi ini.

Mudah-mudahan karya penelitian dalam bentuk Book-Review ini

bermanfaat dan bisa menjadi pemicu penelitian selanjutnya.

Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun literatur-literatur hadis sudah banyak

bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahîh, tidaklah menutup

kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tanpak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi

ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi kedudukan sunnah, apalagi menjadi kafir. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang justeru akan menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditasan hadis-hadis Nabi. Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.

Referensi:

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996.

Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi s.a.w.”, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5 Maret-Juni 1992.

Amin, Ahmad, Fajr al-Islam, Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965.

Azami, M.M. Studies in Hadith Methodology and Literature,

Washington: American Truth Publication, 1977.

Brown, Daniel W, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern (terj),

Bandung: Mizan, 2000.

Al-Bukhari, Abu Abdillah, Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim bin al-

Al-Ghazali, Muhammad, Analisis Polemik Hadis, terj. Muh. Munawir Az Zahidi Surabaya: Dunia Ilmu: Surabaya, 1997.

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka,

1984.

Juynboll, G.H.A., Kontroversi Hadis di Mesir (1990-1960), terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1999.

‘Itr, Nuruddin., Manhaj fî Ulûm al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1981.

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,

Beirut: Dâr al-Fikr, 1991.

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian

Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Mubarakfuriy, Abu al-A’la Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim, Tuhfatul Ahwaziy bi Syarh Jâmi’ al-Tirmudziy, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979.

Mulakhatir, Ibrahim, Makanah al-Shahihaini, Kairo: Mathba’ah al-

Arabiyyah al-Haditsah, 1402 H.

An-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjj ibn Muslim al- Qusyairi, Shahîh Muslim, Juz III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.

Al-Qazwini, Ibnu Majah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid, Sunan ibn Mâjah, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1984.

Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm,Tafsîr al-Manâr,

Kairo: Al-Haiah al-Mishriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, juz II, 1990.

As-Salafi, Muhammad Luqman, Ihtimâm al-Mahadditsûn bi Naqdi al-

Hadîts, Sanadan wa Matanan, Riyadh, tnp., 1987.

Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus,

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

———, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang 1992. ———, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka 198

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995

Yunahar Ilyas (ed), Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis,

Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996.

Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan

Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997

Yusuf al-Qaradhawi, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: Antara

Dalam dokumen MENYOAL RELEVANSI SUNNAH DALAM ISLAM MODERN (Halaman 42-51)

Dokumen terkait