Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Beragama di Indonesia
KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA MENURUT M. DAWAM RAHARDJO
9. Beberapa Pandangan M. Dawam Rahardjo Atas Kasus-kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama di Indonesia
Menurut M. Dawam Rahardjo, secara umum tidak ada kepastian hukum atas kebebasan beragama, sebab pengertian atas kebebasan beragama tidak jelas. Karena itu, menurutnya, perlu disusun undang-undang kebebasan beragama yang mencakup pengertian, wilayah, hak masyarakat, dan peran pemerintah. Kepastian hukum ini diperlukan agar tidak terjadi tindakan-tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, sebab masyarakat tidak boleh melakukan tindakan kekerasan.134
Menurutnya, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang sekarang tidak lagi dilindungi negara.135 M. Dawam Rahardjo sangat tanggap terhadap kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa pandangannya yang tersebar dalam tulisan-tulisannya di berbagai media. Dalam hal ini, terutama saat hangatnya kasus jemaat Salamullah (komunitas Lia Eden) dan Ahmadiyah pada sekitar tahun 2005 sampai 2006.
Sebelum mengkritik beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama, M. Dawam Rahardjo terlebih dahulu mengkritik fatwa MUI tentang diharamkannya liberalisme, sekularisme dan pluralisme, dalam Musyawarah Nasional MUI tanggal 26 s.d. 29 Juli 2005. Kritik M. Dawam Rahardjo ini sangat penting, sebab
133
M. Dawam Rahardjo, “Pancasila, Negara, Agama, dan Demokrasi,” h. 3.
134
Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009.
135
– sebagaimana telah kita bahas di atas – liberalisme, sekularisme dan pluralisme adalah basis tafsiran M. Dawam Rahardjo atas Pancasila yang melandasi jaminan atas kebebasan beragama. Maka, pantas saja jika M. Dawam Rahardjo demikian keras menentang fatwa MUI tersebut.
Menurut M. Dawam Rahardjo, jika liberalisme, sekularisme dan pluralisme diharamkan dan dilarang di Indonesia, maka jaminan atas kebebasan beragama akan sangat terancam. Tanpa pluralisme, keyakinan masyarakat didominasi oleh keyakinan hegemonik seperti keyakinan MUI, dan kebebasan beragama pun akan terberangus dari bumi Indonesia. Padahal, yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul dalam “bhineka tunggal ika”.136
Bahkan, menurut M. Dawam Rahardjo, jika nilai-nilai kebebasan itu diharamkan oleh MUI, maka Islam bertentangan dengan asas kebebasan. Dalam menolak asas kebebasan ini, seringkali makna kebebasan disalahartikan, misalnya “bebas sebebas-bebasnya yang tanpa batas,” yang sebenarnya bukan kebebasan tetapi anarki. Padahal, menurutnya, kebebasan bukanlah anarki. Yang dimaksudkan dengan kebebasan dalam liberalisme di sini adalah kebebasan yang dilembagakan dalam hukum ketatanegaraan.137
Akibat dari diharamkannya sekularisme oleh MUI, maka – menurut M. Dawam Rahardjo – terus berlangsung konflik antar umat beragama yang sangat mungkin diatarbelakangi oleh kepentingan sosial-ekonomi dan politik. Padahal,
136
M. Dawam Rahardjo, “Kala MUI Mengharamkan Pluralisme.”
137
gagasan sekularisme bertujuan untuk memisahkan dan mencegah perselingkuhan antara otoritas keagamaan dan otoritas politik.138
Intinya, M. Dawam Rahardjo, secara terang-terangan, meramalkan bahwa dengan keluarnya fatwa MUI mengenai pengharaman liberalisme, sekularisme dan pluralisme, maka Indonesia terbuka terhadap ancaman konflik dan perpecahan.139
M. Dawam Rahardjo mengkritik kebijakan pemerintah mengenai pengakuan status “agama resmi” atas enam agama, dan menganggap agama dan keyakinan lainnya di luar dari status “resmi”tersebut. Sambil mengutip pendapat Leonard Swindler tentang empat komponen agama, M. Dawam Rahardjo mengungkapkan bahwa,
Agama menurut (Leonard) Swindler terdiri dari empat komponen atau 4-C, yaitu
Creed atau akidah, Cult atau peribadatan, Code atau kode etika dan Community Structure
atau susunan masyarakat. Mungkin bisa ditambah satu lagi, yaitu Culture atau
Civilization. Jika itu definisinya maka Aliran Kebatinan atau Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memenuhi kriteria sebagai agama. Demikian pula Konghucu, Taoisme, Bahaisme, bahkan Komunitas Eden yang disebut Salamullah itu dapat dikategorikan sebagai agama dan karena itu kebebasan beragama dan bereksistensi di Indonesia berlaku kepada mereka.140
Pandangan M. Dawam Rahardjo tersebut sangat relevan, terutama dalam kenyataannya memang penganut di luar agama “resmi” versi pemerintah tersebut hak-hak sipilnya banyak terlanggar secara sistemik. Padahal, menurut M. Dawam Rahardjo, krisis keberagamaan tersebut sebenarnya dapat diatasi. Asalkan, pemerintah bertindak tegas dalam menegakkan konstitusi yang mengakui hak-hak
138
M. Dawam Rahardjo, “Meredam Konflik: Merayakan Multikulturalisme,” dalam
Buletin Kebebasan, Edisi No. 4/V/2007, h. 8.
139
M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme (Bagian II).”
140
M. Dawam Rahardjo, “Krisis Keberagamaan di Indonesia,” dalam Reform Review Vol. I, No. 1, April-Juni 2007, h. 3.
sipil. Dan kunci dari penegakan hak-hak sipil tersebut adalah pluralisme dan sekularisme yang menghargai semua agama seutuhnya.141
Saat polisi akhirnya menangkap Lia Eden sebagai pimpinan jemaat Komunitas Eden, polisi menginterogasi Lia Eden dengan ratusan pertanyaan yang sangat berat, dan hampir semuanya berkatian dengan masalah-masalah teologis. Hal ini dipandang oleh M. Dawam Rahardjo sebagai sesuatu yang berada di luar kemampuan polisi untuk merumuskannya.142 Jelas, dari sudut pandang ini, M. Dawam Rahardjo mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas aparat polisi dalam menangani kasus Komunitas Eden.
Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo mempertanyakan tiga hal sebagai representasi pembelaannnya terhadap Lia Eden, (1) Atas dasar apa dan atas dasar hukum apa Ibu Lia Eden harus meringkuk dalam penjara? (2) Apakah negara punya hak untuk mengadili sebuah keyakinan dalam suatu negara yang memiliki UUD yang menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil? (3) Mengapa dalam kasus Komunitas Eden ini negara justru mengadili pihak yang menjadi korban, dan sebaliknya membiarkan bahkan melindungi tindakan atau aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, padahal aksi itu yang sebenarnya kriminalitas?143
Dalam kasus Ahmadiyah, M. Dawam Rahardjo juga sangat kritis menanggapi berbagai kekerasan yang menimpa mereka. Ahmadiyah memang menjadi salah satu aliran yang mengaku sebagai bagian dari Islam, namun ditentang di banyak negara-negara muslim. Bahkan, di tempat asal
141
Rahardjo, “Krisis Keberagamaan di Indonesia,” h. 3.
142
M. Dawam Rahardjo, “Kebenaran yang Meringkuk di Penjara,” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15.
143
kemunculannya pun mereka dianggap terlarang. Salah satu faktor penyebabnya ialah klaim Mirza Ghulam Ahmad – pemimpin spiritual Ahmadiyah – yang menyebutkan bahwa ia penerima wahyu dan sebagai nabi. Terlebih, Ghulam Ahmad kemudian berhasil membukukan “wahyu” yang sempat diterimanya. Maka kaum muslim umunya menganggap bahwa Ahmadiyah memiliki kitab suci sendiri.
Karena ditentang di Pakistan, para pengikut Ahmadiyah mengalami banyak penganiayaan. Kemudian mereka hijrah ke Inggris dan menyebar ke negara-negara Eropa Barat. Hal ini menguatkan tuduhan bahwa Ahmadiyah didanai oleh Inggris untuk melanggengkan kekuasaannya di India. Padahal, Ahmadiyah adalah sebuah organisasi mandiri yang swadaya dan mendapat dana dari para anggotanya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Ahamdiyah banyak ditentang di negara-negara muslim.
Ahamdiyah termasuk organisasi legal sejak zaman kolonial tahun 1928 (aliran Lahore) dan 1929 (aliran Qadian). Oleh Pemerintah RI, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui Surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2003. Atas dasar itu, seharusnya pemerintah melindungi Ahmadiyah dan ajarannya. Namun, rupanya fatwa MUI dan berbagai SKB yang dikeluarkan beberapa
pemerintah daerah berhasil menyudutkan Ahmadiyah dan memberi dukungan atas tindakan kekerasan sebagian masyarakat atas mereka.144
Sekalipun memang Ahmadiyah terpaksa harus dianggap berbeda, M. Dawam Rahardjo berpendapat bahwa orang Ahmadiyah pun masih berhak “menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Beliau mengingatkan bahwa selama ini Ahmadiyah konsisten menjalankan program kemanusiaan dan menyerukan perdamaian. Menurutnya, Ahmadiyah mestinya justru dimasukkan ke dalam kepengurusan MUI dan tidak perlu dikucilkan. Dalam kerangka negara hukum, Ahmadiyah tetap berhak memperoleh hak-hak asasi mereka, khususnya menjalankan agama menurut kepercayaannya.145
Dalam melihat fenomena maraknya aliran keagamaan yang dianggap “sesat” ini, M. Dawam Rahardjo berpendapat bahwa apabila ajaran suatu kelompok agama menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi masyarakat, kebebasannya memang harus dilarang.146 Akan tetapi, ternyata sejauh ini ajaran-ajaran seperti Ahmadiyah atau Komunitas Eden tidak menunjukkan akan berakibat kecelakaan bagi masyarakat. Meskipun, memang di sisi lain, klaim sesat banyak dituduhkan terhadap mereka dan dianggap meresahkan warga. Yang jelas, bila problem utamanya terletak pada persoalan perbedaan penafsiran dalam beragama, maka menurut M. Dawam Rahardjo perbedaan tersebut harus dihargai.
Tuduhan penodaan agama yang seringkali dijatuhkan atas aliran-aliran yang dianggap sesat, menurut M. Dawam Rahardjo, pada dasarnya rancu.
144
M. Dawam Rahardjo, “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama,” artikel diakses pada tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850.
145
M. Dawam Rahardjo, “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama.”
146
Seharusnya, kriteria sesat atau penodaan agama hanya berlaku bagi mereka yang melanggar hukum, membohongi publik, melakukan ritual asusila, dan mengganggu ketentraman umum. Jadi, hukan mengenai kepercayaan atau penafsiran tertentu.147
Pada dasarnya, negara memang tidak perlu mencantumkan titel agama resmi pada agama-agama tertentu, sebagaimana yang selama ini berlaku di Indonesia. Menurut M. Dawam Rahardjo, agama harus netral (sekular). Namun, ini tidak berarti negara mesti bermusuhan dengan agama tertentu. Negara juga tidak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama baru148
Meskipun demikian, M. Dawam Rahardjo membenarkan adanya pembatasan atas kebebasan bila berbentuk penghinaan atau sikap anti agama. Contohnya, orang yang menggambarkan nabi Muhammad dengan paras yang sama sekali berbeda dengan ilustrasi hadis. Menurut M. Dawam Rahardjo, gambar yang tidak berdasar atau diniatkan untuk memberi citra buruk atas nabi Muhammad dan agama yang dibawanya, itu tidak boleh.149
Pembelaan M. Dawam Rahardjo atas penegakan kebebasan beragama di Indonesia diakui olehnya bukan sekedar wacana belaka. M. Dawam Rahardjo mengakui bahwa dirinya adalah penganut kebebasan beragama, karena beliau ingin orang lain bebas dalam beriman. Sebab, agama itu adalah iman yang dikuasai individu, dan sifatnya ke dalam, bukan ke luar.150 Kebebasan beragama adalah hal yang paling esensial untuk menjamin kerukunan antar umat beragama.
147
Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009.
148
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 5.
149
Wawancara Hiwar dengan M. Dawam Rahardjo, h. 4.
150
Bila kebebasan beragama tidak ada, maka agama-agama akan menjadi sumber konflik.151
Menurutnya, usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memajukan kebebasan beragama itu dapat dilakukan melalui publikasi, dakwah, pendidikan, dan lain-lain, yang berkomitmen terhadap terwujudnya kebebasan beragama. Adapun sumber yang merintangi penegakan kebebasan beragama ialah sikap masyarakat yang konservatif-ortodoks, misalnya faham Ahlussunah wal Jama’ah, di mana mereka merasa dirongrong oleh aliran-aliran keagamaan baru. M. Dawam Rahardjo meyakini bahwa masa depan kebebasan beragama di Indonesia akan tetap suram, selama tidak ada kepastian hukum dan kerancuan pengertian kebebasan beragama. Selama tetap begitu, maka situasi yang ada akan mendorong ketidaknyamanan dalam kehidupan beragama.152
Kendati pemikiran M. Dawam Rahardjo cukup lengkap dalam memandang kebebasan beragama di Indonesia, namun kiranya perlu ditambahkan di sini beberapa pandangan lain yang muncul dan menyertai pemikiran M. Dawam Rahardjo tentang kebebasan beragama. Menurut Siti Musdah Mulia, negara memang tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama, memutuskan agama resmi atau tidak resmi menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan. Bahkan negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan bahwa sesuatu itu agama atau bukan hendaknya diserahkan saja sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan. Negara hanya perlu menetapkan rambu-rambu agar setiap agama tidak mengajarkan kekerasan
151
Wawancara pribadi dengan M. Dawam Rahardjo, tanggal 16 Februari 2009.
152
(violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apapun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.153
Di sisi lain, Franz Dahler mengkritik sekularisme yang menjadi basis pendekatan M. Dawam Rahardjo dalam memandang kebebasan beragama di Indonesia. Sekularisme yang dimaksud Dahler yakni sekularisme sebagai dampak industrialisasi. Menurut Franz Dahler, akibat negatif dari sekularisme yaitu: pertama, perkembangan berat sebelah dan pincang dari ilmu-ilmu eksakta, sehingga ilmu-ilmu humaniora ketinggalan. Kedua, mental konsumtif yang merugikan alam. Keiga, kemajuan teknis dari negara industri mempertajam urang antara negara kaya dan miskin. Keempat, pemusatan, konsentrasi ekonomi, politik, pendidikan, administrasi ada dalam tangan segelintir orang (oligarki).154
F. Budi Hardiman juga mengkritik sekularisme. Menurutnya, negara hukum modern, juga republik Indonesia, menghadapi dua macam jebakan yang dihasilkan lewat sekularisasi. Negara masuk kedalam jebakan sekularisme jika menyingkirkan setiap alasan religius yang diyakini oleh para warga negaranya yang beriman. Namun, di sisi lain, terdapat pula jebakan fundamentalisme agama, jika negara menerima begitu saja alasan religius dan menjadikannya reguasi publik. Suatu masyarakat, menurutnya, seharusnya segera memasuki kondisi post-sekular. Suatu masyarakat dikatakan memasuki kondisi post-sekular jika waspada terhadap kedua macam jebakan di atas dalam proses legislasi hukumnya. Masyarakat seperti ini melihat sekularisasi sebagai proses belajar antara pemikiran
153
Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed.,
Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish, h. 227.
154
Franz Dahler, “Bahaya Sekularisme sebagai Akibat Industrialisasi,” dalam Buletin Kebebasan Edisi No. 01/XI/2006, h. 7-8.
sekular dan pemikiran religius. Tanpa prasangka, keduanya dipandang komplementer.155
F. Budi Hardiman selanjutnya memberi jalan keluar dari bahaya sekularisme dan pluralisme, dengan mengajukan konsep toleransi militan. Menurutnya, seseorang yang militan tidak harus intoleran terhadap pluralisme. Begitu juga seorang yang toleran tidak harus bersikap relativis dan “lunak” terhadao imannya sendiri. Orang bisa menjadi seorang yang toleran sekaligus militan. Seorang yang memiliki toleransi militan bukanlah seorang yang toleransinya muncul dari sikap laissez faire terhadap imanya sendiri. Sehingga ia tanpa pendirian bergaul dengan para warga negara dari iman-iman yang lain tanpa mempedulikan iman-iman mereka pula. Seorang yang toleran secara militan adalah orang yang menerima fakta pluralitas orientasi religius, dan penerimaan ini tidak muncul dari ketidakpedulianya terhadap imannya sendiri, melainkan justru muncul dari imannya yang dewasa dan terbuka. Toleransi militan bukanlah sikap netral, melainkan suatu pemihakan kepada kebebasan dan keadilan.156
Sejauh pembahasan dalam skripsi ini, penulis berpendapat bahwa perspektif M. Dawam Rahardjo cukup relevan dan lengkap dalam membahas kebebasan beragama di Indonesia. Selain dasar epistemologis dan ideologis yang jelas, M. Dawam Rahardjo juga melengkapi perspektifnya dengan solusi, yakni undang-undang kebebasan beragama.
155
F. Budi Hardiman, “Menimbang Kembali Sekularisme,” dalam Ihsan Ali Fauzi, et.all., ed., Demi Toleransi Demi Pluralisme (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2007), h. 390-391.
156
F. Budi Hardiman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme,” dalam Buletin Kebebasan Edisi No. 03/V/2007, h. 10-11.
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian panjang tentang kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo di atas, akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa kebebasan beragama dipahami oleh M. Dawam Rahardjo tidak hanya semata-mata berarti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Menurut M. Dawam Rahardjo, kebebasan beragama bisa dibatasi ketika kegiatan penyebaran agama dilakukan melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Jadi, kebebasan beragama tidak dipahami sebagai sebuah kebebasan tanpa batasan. Justru kebebasan beragama harus dibatasi oleh hukum, sepanjang melanggar hukum, mengganggu ketertiban umum, membohongi publik, atau melakukan ritual asusila. Meskipun demikian, hingga saat ini pemahaman atas definisi kebebasan beragama yang jelas seperti ini belum kunjung dipahami dengan benar oleh negara] akibatnya, pelanggaran kebebasan beragama terjadi sampai saat ini.
Dalam merumuskan solusi atas problem kebebasan beragama di Indonesia, M. Dawam Rahardjo berpikir bahwa masih diperlukan adanya penelaahan kembali Pancasila sebagai jaminan pertama atas kebebasan beragama di
Indonesia. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa Pancasila disemangati oleh trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, di mana ketiganya sama-sama merupakan ideologi yang diperlukan untuk menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Gagasan orisinal M. Dawam Rahardjo ini menunjukkan kedalaman (radikal) perspektif M. Dawam Rahardjo atas kebebasan beragama di Indonesia. Di samping itu, beliau juga berpikir bahwa landasan filosofis-idelogis saja tentu belum cukup untuk menjamin kebebasan beragama. Menurutnya, diperlukan adanya transformasi kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia, menjadi hak sipil warga negara. Transformasi tersebut terutama – menurutnya – haruslah berbentuk undang-undang kebebasan beragama yang dirumuskan bersama oleh pemerintah dan DPR. Hal ini berarti pula bahwa perjuangan penegakan kebebasan beragama termasuk juga perjuangan politik. Selanjutnya, undang-undang kebebasan beragama dan seluruh regulasi yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia semestinya dijalankan dan ditaati oleh semua pihak. Hal yang terpenting bagi M. Dawam Rahardjo adalah bahwasanya penegakan kebebasan beragama adalah cermin dari kualitas demokratisasi di Indonesia.
Saran
Dari penulisan skripsi ini dan mengingat bahwa baik kajian tentang kebebasan beragama maupun – pemikir intelektual muslim – M. Dawam Rahardjo, maka di sini penulis memberikan beberapa saran, antara lain:
Demokratisasi di Indonesia sebaiknya menyertakan penegakan kebebasan beragama agar kualitas demokrasi Indonesia dapat lebih baik lagi. Sebab,
demokrasi prosedural saja belum cukup untuk menjamin kehidupan yang damai dan toleran, dan penegakan kebebasan beragama merupakan salah satu usaha menjamin kehidupan damai dan toleran itu.
Perspektif M. Dawam Rahardjo kebebasan beragama di Indonesia dapat dijadikan acuan untuk pembaharuan kualitas demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Bagaimana pun, di usia senjanya, pemikiran beliau tentang kebebasan beragama menjadi tahap akhir pengembaraan intelektualnya.
Bagi pemerintah, agar dalam mengeluarkan sebuah kebijakan mengenai kehidupan keberagamaan senantiasa memperhatikan prinsip kebebasan beragama. Sedangkan bagi masyarakat, agar prinsip kebebasan beragama diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat tercipta tatanan sosial-politik yang damai dan toleran.
Bagi masyarakat akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, agar menjadikan bidang-bidang hak asasi manusia dan demokrasi sebagai kajian dalam pemikiran politik, baik itu kajian tematik maupun tokoh. Dengan demikian, berbagai persoalan dalam kehidupan politik dan hak asasi manusia di Indonesia mendapat penyelesaian secara paripurna.