Dalam dunia tafsir, nama M. Dawam Rahardjo pernah melambung, terutama lewat karya tafsirnya Ensiklopedi al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Dalam bidang ini, M. Dawam Rahardjo sudah terhitung progressif, sebab beliau menulis tafsir tematik (maudhu'i). Dalam menulis tafsir tersebut, beliau menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu untuk menafsirkan Al-Qur'an. Pendiriannya ini terutama didasarkan pada keyakinannya bahwa tafsir haruslah terbuka untuk siapa saja, dan penafsir tidak mesti menguasai bahasa Arab. Menurut Syafiq Hasyim, di sinilah letak kontribusi penting M. Dawam Rahardjo dalam bidang tafsir di Indonesia, yakni memasukkan pendekatan interdisipliner (berbagai disiplin ilmu pengetahuan) dalam menafsirkan Al-Qur'an.18
Cukup sulit menggolongkan pemikiran M. Dawam Rahardjo hanya ke dalam satu golongan pemikiran saja. Sebab, beliau mengarungi dunia intelektual dengan melalui perkembangan pemikiran sedemikian rupa, sehingga mendapatkan sebutan yang bermacam-macam; mulai dari neo-marxis, neo-modernis, transformis, pluralis, sekular hingga liberal. M. Dawam Rahardjo memang memiliki minat yang luas dalam dunia pemikiran. Pun demikian, bukan berarti beliau layak disebut sebagai pemikir yang tidak konsisten. Justru M. Dawam
17
Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 18-19.
18
Syafiq Hasyim, “Mas Dawam dalam Tiga Babak: Keyakinan Penuh Akan Modernisme Islam?” dalam Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, hal. 227.
Rahardjo melalui perkembangan pemikirannya dengan suatu perjalanan intelektual yang serius. Lebih tepat bila dikatakan bahwa M. Dawam Rahardjo mengalami perkembangan (evolusi) pemikiran yang matang dan sesuai dengan kadar aktivismenya. Karenanya, dalam mengkaji pemikiran beliau, penulis tidak ingin terjebak untuk membatasi M. Dawam Rahardjo ke dalam satu tipe pemikiran saja. Melainkan, berusaha memaparkan perjalanan intelektual beliau supaya lebih dapat dipahami secara utuh.
M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai seorang ekonom dan cendekiawan muslim yang sangat kritis terhadap ideologi pembangunan (developmentalism). Hal tersebut secara tidak langsung memang di pengaruhi oleh konteks saat Dawam muda yang aktif di HMI saat pengaruh PKI begitu kuat. Dawam dituntut untuk mempelajari sosialisme agar dapat mengimbangi wacana sosialisme yang digulirkan PKI. Tidak hanya mempelajari marxisme, Dawam muda juga meneruskan mengkaji neo-marxisme dan teori-teori radikal lainnya.19
Adapun pemikiran M. Dawam Rahardjo tentang kebebasan beragama berada pada fase terakhir dari perjalanan pemikirannya selama hidupnya. Rupanya posisi beliau sebagai cendekiawan muda memancingnya untuk kritis terhadap beberapa pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Sikap beliau tidak lain dilatarbelakangi oleh perjalanan intelektualnya yang terhitung panjang dan rumit.
Model pemikiran M. Dawam Rahardjo terbentuk pada masa hidupnya yang berada dalam latar geraka n intelektual Islam baru di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan tersebut, selain merupakan warisan dari tradisi modernisme
19
Islam yang terdahulu di Indonesia, ia pun tampil beda dari segi isi maupun aplikasinya. Hal ini disebabkan, neo-modernisme memakai pendekatan baru yang khas. Masa-masa tersebut tidak disia-siakan oleh beliau, sehingga dengan segera M. Dawam Rahardjo pun menjadi salah satu pelaku gerakan intelektual Islam baru tersebut.
Pada awal kemunculannya, istilah popular yang dicetuskan pertama kali untuk neo-modernisme ialah pembaruan pemikiran Islam oleh Nurcholish Madjid, saat ia memberi makalah untuk sebuah seminar tertutup pada tahun 1970, berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.
Gerakan neo-modernisme, yang lahir dari para pemikir Islam seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, mencerminkan perkembangan modernisme Islam yang lebih jauh di mana pengetahuan klasik atau tradisional digabungkan dengan pendekatan aktual dalam menafsirkan sebuah teks. Berbeda dari modernisme, neo-modernisme berpaham pemisahan antara gereja dan negara, dengan pandangan bahwa keterlibatan kelompok-kelompok agama ke dalam partai politik akan menimbulkan ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan agama.20 Perbedaan lainnya terletak dalam perhatiannya pada tradisi. Kaum neo-modernis berusaha membangun visi Islam di masa modern, dengan tidak meninggalkan akar-akar Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam. Sedangkan kaum modernis lama lebih bersifat apologetik atas modernitas.
Gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir, menurut Fazlur Rahman terbagi menjadi empat tahapan, yaitu (1) Gerakan Revivalis di akhir abad
20
ke-18 dan awal abad ke-19, yaitu gerakan wahhabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat, (2) Gerakan Modernis yang dipelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (meninggal tahun 1898) di India, Jamaluddin Al-Afghani (meninggal tahun 1897) di seluruh Timur Tengah, dan Muhammad Abduh (meninggal tahun 1905) di Mesir, (3) Neo-Revivalisme yang modern namun agak reaksioner, di mana Maududi beserta kelompok Jamaat Islami-nya di Pakistan merupakan contoh terbaik, dan (4) Neo-Modernisme, di mana Fazlur Rahman sendiri mengkategorikan dirinya ke dalam tahap terakhir ini dikarenakan alasan neo-modernisme memiliki sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik.21
Penggunaan istilah neo-modernis oleh Fazlur Rahman cukup mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Terlebih, Rahman memang cukup dikenal di Indonesia. Ia datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1974 dan terus menjalin hubungan baik dengan beberapa intelektual Muslim Indonesia, seperti Nurcholish Madjid. Kendati demikian, banyak para pemikir Islam terkemuka dan dapat digolongkan ke dalam golongan pemikir neo-modernis, seperti Jalaluddin Rakhmat, Masdar F. Mas’udi, dan M. Dawam Rahardjo sendiri, tidak menggunakan istilah neo-modernisme bagi pemikiran yang mereka kembangkan dan bagi diri mereka sendiri.22
Pribadi M. Dawam Rahardjo memang agak unik, bila dibandingkan dengan pemikir neo-modernis lainnya. Seperti diketahui, bahwa ke-khas-an pemikiran kaum neo-modernis di antaranya ialah pendekatan ijtihad oleh pemikir
21
Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 9.
22
neo-modernis Indonesia yang lebih mendalam, karena mereka mensintesiskan khazanah Islam klasik dengan metode-metode analisis modern atau Barat. Hal ini dilatarbelakangi oleh pendidikan Islam tradisional dan klasik, yang berkisar pada Al-Qur’an dan naskah-naskah Arab, dan dilanjutkan pendidikan model Barat modern. Berbeda dengan M. Dawam Rahardjo, di mana beliau memiliki latar eblakang pendidikan Islam klasik yang kurang kuat, dan lebih banyak menempuh pendidikan model Barat modern. Meskipun, tetap harus dicatat bahwa M. Dawam Rahardjo pun cukup berminat terhadap keilmuan Islam klasik walaupun pendekatannya melalui bahan-bahan berbahasa Indonesia dan Inggris.23
Menurut Budhy Munawar-Rahman, ada tiga bentuk pemikiran sosial-keislaman kaum neo-modernis, antara lain: (1) Islam rasional, yang bertujuan menemukan pengetahuan yang mendasar mengenai Islam atau ilmu keislaman yang rasional, untuk mendapatkan keyakinan atau iman yang rasional, dan tingkah laku atau amal yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh Islam rasional yakni Harun Nasution dan Djohan Effendi. (2) Islam peradaban, yang bertujuan untuk mendapatkan makna dari perwujudan konkret AL-Qur'an, ingin menemukan makna dari proses pembentukan Islam sebagai sebuah dorongan sejarah, yang menghasilkan sebuah peradaban Islam. Tokoh Islam peradaban yaitu Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. (3) Islam transformis, yang bertujuan membebaskan masyarakat muslim yang miskin dan terbelakang dari belenggu dominasi structural, dengan berlandaskan pada visi Al-Qur'an tentang
23
transfromasi. Tokoh Islam transformis adalah Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo sendiri.24
Kalangan Islam Transformis memang banyak berkembang di kalangan yang latar belakang pendidikannya bukan IAIN (Institut Agama Islam Negeri), namun komitmennya terhadap Islam tinggi – seperti M. Dawam Rahardjo – atau dari IAIN namun komitmennya terhadap ilmu sosial melebihi ilmu-ilmu tradisional Islam. Sebagaimana juga M. Dawam Rahardjo, kebanyakan dari kelompok Islam transformis adalah aktivis LSM.
Perhatian utama mereka yaitu suatu transformasi sosial masyarakat bawah. Islam transformis berusaha mewujudkan transformasi struktur-struktur masyarakat yang menindas ke arah struktur yang lebih humanis, agar masyarakat dapat memperjuangkan hak mereka. Selain Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo, istilah Islam transformis juga dipakai oleh Moeslim Abdurrahman, Masdar F. Mas'udi, dan Mansour Fakih.
Islam transformis memang sedikit berbeda dari Islam rasional dan Islam peradaban. Bila Islam rasional dan Islam peradaban hanya memperhatikan faktor internal umat islam (teologi) dalam menjelaskan keterbelakangan umat, maka Islam transformis memasukkan faktor eksternal, yaitu peranan Barat, sebagai penyebab keterbelakangan. Bahkan, Islam transformis tidak memisahkan antara teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari
24
Budhy Munawar-Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia," dalam Ulumul Qur'an No. 3, Vol. VI, tahun 1995, h. 4-29.
"kritik ideologis," ke "kritik tafsir," kemudian mencari "tafsir alternatif" dan mewujudkannya dalam "tindakan sosial" sebagai praksis teologis.25
M. Dawam Rahardjo mengatakan, "gerakan kemasyarakatan itu mempunyai peranan yang krusial, yang mencegah terjadinya pencaplokan masyarakat oleh negara ke dalam bentuk negara korporatif yang integralistik-totaliter.26 Beliau juga pernah mengkritik pendekatan Islam peradaban seperti yang digagas oleh Nurcholish Madjid. Menurut M. Dawam Rahardjo, keliru bila kita harus membanggakan peradaban Islam seperti yang berlangsung pada abad pertengahan. Memang, pada abad itu peradaban Islam mencapai puncaknya. Namun, keadaan itu berada di tengah-tengah absolutisme-monarkis dan feodalisme. Maka, menurut beliau, peradaban Islam yang ideal masih dalam proses pencarian. Namun, paling tidak model peradaban Islam ideal menurutnya ialah terbentuknya budaya tekno-ekonomi yang membangun kemakmuran dan keadilan masyarakat sebagai landasan bagi kejayaan peradaban Islam modern dan religius. Peradaban Islam masa depan adalah peradaban yang didasarkan pada nilai religius tekno-ekonomi, yang di Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.27
Meskipun M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai pemikir neo-modernis Islam, namun menurut Greg Barton, M. Dawam Rahardjo bukan termasuk
25
Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia," h. 22.
26
M. Dawam Rahardjo, "Gerakan Rakyat dan Negara," dalam Prisma 11, 1985, h. 15. Dikutip dalam, Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia," h. 26.
27
M. Dawam Rahardjo, “Model Peradaban Islam yang Ideal,” artikel diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2007/03/25/Ide/ krn.20070325.97395.id.html.
kelaompok neo-modernis. Hal ini terutama disebabkan karena Greg Barton memahami istilah neo-modernis sebagai kelompok pemikir yang memiliki keahlian keilmuan tradisionalis dan modernis sekaligus, seperti Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid, yang terdidik secara klasik dan dipengaruhi latar belakang pendidikan pesantren tradisionalis yang kental. Menurut Greg Barton, M Dawam Rahardjo lebih tepat bersifat organisatoris dalam kelompok neo-modernis.28
Greg Barton malah memasukkan M. Dawam Rahardjo sebagai kelompok Islam substansialis, sebagaimana istilah yang digunakan oleh R. William Liddle. Liddle berpendapat bahwa empat ciri kelompok Islam substansialis antara lain:
1. Hal paling utama dan mendasar bahwa substansi keimanan dan praktik lebih penting daripada bentuk.
2. Pesan Al-Qur'an dan hadits, walau abadi esensinya dan universal artinya, dapat ditafsir kembali oleh setiap generasi muslim sesuai dengan situasi masanya.
3. Umat muslim harus toleran terhadap sesamanya dan terhadap non-muslim. 4. Menerima pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk final dari
negara bangsa Indonesia
Perkembangan pemikiran M. Dawam Rahardjo nyata-nyata tidak ketinggalan jaman, bahkan semakin berkembang. Pada fase terakhir dalam perjalanan intelektualnya, M. Dawam Rahardjo dikenal sangat aktif dalam
28
mengkritisi berbagai pelanggaran kebebasan beragama. Beliau juga secara tegas menolak fatwa haram Majelis Ulama Indonesia tentang liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Bagaimana pemikiran beliau tentang kebebasan beragama di Indonesia akan secara utuh dibahas pada bab-bab berikutnya pada penulisan kita.
Selanjutnya, meminjam tipologi sikap keberagamaan menurut Komaruddin Hidayat,29 maka M. Dawam Rahardjo bisa dimasukkan ke dalam tipologi inklusifisme dan pluralisme. Dikatakan inklusif, sebab beliau menerima kemungkinan adanya kebenaran dalam agama lain, namun sekaligus tetap menganggap bahwa agamanya, Islam, yang benar bagi dirinya. Sedangkan dikatakan plularis, sebab beliau berpendapat bahwa semua agama itu benar, menurut masing-masing pemeluknya. Namun, pemikiran ini bukan termasuk sinkretisme. Tipologi pemikiran M. Dawam Rahardjo ini paling jelas terlihat dari komitmennya atas kebebasan beragama dan pluralisme.
M. Dawam Rahardjo juga sangat kritis terhadap gerakan-gerakan fundamentalisme Islam, yang menurutnya merupakan bentuk jahiliyah modern.30 Mereka yang menurut beliau termasuk jahiliyah modern yakni Muhammadiyah (modern) dan Hizbut Tahrir. Alasannya, sebab mereka itu cenderung melihat ke masa lalu, seperti generasi salaf, sebagai model masa depan. Sembari demikian, M. Dawam Rahardjo juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah solusi dari kemunduran umat tersebut.
29
Diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://lempu.co.cc/index.php/Artikel/ Tipologi-Sikap-Beragama.html.
30
Diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://www.korantempo.com/ korantempo/koran/2007/11/23/Opini/krn.20071123.116317.id.html.
Jelaslah, bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo berkembang sedemikian rupa, dan di akhir fase perkembangan pemikirannya beliau sangat terpanggil untuk mengkritik fenomena gerakan fundamentalisme-radikal Islam. Sebagaimana kita ketahui, bahwa gerakan fundamentalis-radikal begitu popular sejak pasca reformasi politik 1998 di Indonesia. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang lahir dari proses demokratisasi memberi berkah bagi mereka untuk berkembang sedemikian rupa. Agaknya, M. Dawam Rahardjo ingin mengembalikan umat Islam pada pemahaman yang benar, bahwa kebebasan bukanlah anarki, dan bahkan merupakan tanggung jawab. Beliau sangat menghargai kerangka negara bangsa Indonesia yang bernaung di bawah Pancasila dan UUD 1945.
Pemikiran M. Dawam Rahardjo mengenai kebebasan beragama dan kritiknya atas fundamentalisme Islam bukannya tanpa basis teologi yang jelas. Seperti kita ketahui, beliau sebelumnya termasuk pada kategori Islam transformis yang lebih banyak berbicara pada konteks kesetaraan ekonomi dan keadilan. Pemikiran beliau tersebut, pada akhirnya membawanya pada pemikiran teologi otonomi iman, namun berlandaskan pada filsafat, terutama filsafat neo-kantianisme.
Sebagai seorang neo-kantian, M. Dawam Rahardjo berkeinginan untuk menciptakan sebuah tatanan sosial-politik yang adil, yakni menghargai manusia sebagai makhluk yang bebas dan otonom. M. Dawam Rahardjo sejajar dengan pemikir kantian lainnya, seperti Jurgen Habermas dan John Rawls. Para neo-Kantian ini juga senantiasa percaya terhadap prinsip kebebasan dan otonomi akal, meskipun mereka menolak asumsi-asumsi metafisik dari Immanuel Kant.
Dalam kerangka konsep otonomi dan kebebasan manusia Kantian inilah, menurut Iqbal Hasanuddin – seorang peneliti di LSAF – kita sebenarnya dapat memahami rumusan trilogi M. Dawam Rahardjo, seputar diskursus sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Konsep otonomi manusia dalam kehidupan beragama pertama-tama harus diletakan pada lokus akidah dan keimanan. Penempatan iman dan akidah kepada otoritas setiap individu dengan sendirinya akan menciptakan kebebasan beragama. Pengembalian iman dan akidah kepada otoritas individu yang otonom inilah yang dijadikan dasar pemikiran dalam prinsip liberalisme. Selanjutnya, seperti juga diyakini oleh John Rawls, M.Dawam Rahardjo berkeyakinan bahwa konsekuensi logis dari konsep otonomi iman dan akidah bagi setiap individu yang melahirkan konsep kebebasan beragama adalah lahirnya pluralitas pandangan dan ekspresi keberagamaan. Karenanya, cara yang paling masuk akal dalam menyikapi pluralitas ini adalah prinsip pluralisme. Karena itu, bisa dikatakan bahwa seorang liberal sejati yang menghargai otonomi dan kebebasan individu dalam beragama sudah pasti juga akan menjadi seorang pluralis. Prinsip liberalisme dan pluralisme dalam kehidupan beragama tersebut juga tidak akan terwujud dengan baik jika negara sebagai organisasi kekuasaan didasarkan pada satu agama tertentu dalam bentuk tatanan teokrasi. Karenanya, prinsip lain yang juga harus ditegakan guna mewujudkan otonomi dan kebebasan manusia adalah sekularisme, yakni pemisahan antara agama dengan negara.31
Demikianlah, perjalanan pemikiran M. Dawam Rahardjo akhirnya menempatkan beliau sebagai seorang liberal, sekular dan pluralis. Sebuah posisi
31
Iqbal Hasanuddin, “Neo-Kantianisme dalam Pemikiran M. Dawam Rahardjo,” artikel diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://iqbalhasanuddin.wordpress.com/2008/09/26/neo-kantianisme-dalam-pemikiran-m-dawam-rahardjo/.
intelektual yang bagi kebanyakan orang akan dihindari, sebab pemikiran seperti itu sudah diharamkan oleh MUI. Meskipun demikian, M. Dawam Rahardjo memang tidak sendirian. Selain beliau, ada beberapa pemikir kritis Islam lainnya, seperti Musdah Mulia, Syafi'i Anwar, Ulil Absar Abdalla, dan lain sebagainya. Namun, memang bila melihat pada tataran generasinya, M. Dawam Rahardjo termasuk generasi intelektual muslim lama yang masih bertahan, selain Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurrahman, dan lain-lain.
Selain dalam bidang pemikiran, M. Dawam Rahardjo juga sangat menonjol dalam bidang aksinya. Aktifitasnya dimulai saat Dawam muda berada di HMI, yang menuntut dia untuk belajar politik. Ia banyak berperan sebagai instruktur dalam training-training di HMI, bersama-sama dengan Djohan Effendi dan Ahmad Wahib. Dari tempaan di HMI itulah, ia mulai banyak menulis artikel-artikel untuk koran dan majalah. Bahkan selama tiga tahun, Dawam menjadi penulis tetap (kolumnis) untuk koran Mercusuar, Yogyakarta, setiap hari selasa. Dawam bersama-sama dengan Andi Makmur Makka, menjadi editor dan co-editor majalah GEMA Mahasiswa, yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa UGM. Adapun staf redaksinya antara lain adalah Amak Baldjun, Abdurrahman Saleh, Kuntowidjojo, Ichlasul Amal, dan Abdul Hadi WM. Aktivitasnya dalam dunia jurnalistik mengangkat nama M. Dawam Rahardjo dan membuatnya cukup terkenal semasa menjadi mahasiswa di UGM.32
Setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi UGM tahun 1969, Dawam sempat bekerja di Bank of America (BoA), Jakarta. Tapi di bank asing itu,
32
Dawam Rahardjo hanya bekerja selama dua tahun.33 Pada waktu itu, dirinya cukup aktif di media massa, menjadi redaktur Mimbar Demokrasi dan koran mingguan Forum.
Sebenarnya Dawam keluar dari BoA juga karena keinginannya untuk bekerja di suatu lembaga riset. Ia bergabung dengan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) ketika Nono Anwar Makarim menjadi direkturnya. Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo banyak terlibat dalam berbagai penelitian yang disponsori oleh Friedrich Naumann Stiftung. Pada usia ke 38 tahun, akhirnya beliau menjadi Direktur LP3ES.34
Dawam sering dipanggil untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah proyek. Nono Anwar Makarim menjadikannya sebagai trouble shooter. Karena itu, Dawam paling sering berpindah-pindah tugas pada banyak proyek. Sebagai trouble shooter, Dawam ditugaskan menangani beberapa protek yang kemudian sangat menentukan karier dan keahliannya, yaitu pengembangan industri kecil, entrepreneurship dan pesantren. Mula-mula proyek itu berupa penelitian, kemudian diikuti dengan pelatihan dan pengembangan. Sebagai staff LSM itulah Dawam memasuki dunia pesantren dan berkenalan dengan tokoh-tokoh kyai, baik NU maupun non-NU. Di LP3ES, Dawam banyak belajar dari staf-staf orang Jerman, misalnya Dr. Kohler, Christian Lempelius, dan Dr. Manfred Ziemek.35
Karir Dawam di LP3ES cukup cepat menanjak untuk ukuran waktu itu. Ia berjingkat naik dari staf menjadi Kepala Bagian berbagai departemen, kemudian
33
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.
34
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.
35
Wakil Direktur selama dua periode, dan akhirnya, pada umur 38 tahun, menjadi Direktur LP3ES. Selama bekerja di lembaga itu, ia telah banyak mendidik kader-kader intelektual. Karena sebagian mereka berasal dari IAIN, tidak berlebihan jika berkali-kali Prof. Dawam telah mendidik mahasiswa-mahasiswa IAIN itu di bidang ilmu-ilmu sosial. Diskusi rutin dengan para kader muda itu menghasilkan dua buku kumpulan karangan. Pertama adalah Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam (Grafiti Press, 1985). Kedua adalah buku Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah (diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, P3M).36
Ketika menjadi Direktur LP3ES, Dawam juga banyak melakukan kegiatan yang bersifat internasional. LP3ES bekerja sama dengan LSM internasional dan para intelektual luar negeri terutama dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Dawam memprakarsai berdirinya INGI (Inter Non-Governmental Forum for Indonesia) yang kemudian atas usulannya beganti nama menjadi INFID (Inter Non-Governmental Forum for Development). Ia juga memprakarsai berdirinya SEAFDA (South East Asia Forum for Development Alternatif). Dari SEAFDA itulah Dwam berkenalan dan bersahabat dengan tokoh-tokoh intelektual radikal seperti Marthin Kor, Rudolf S. David, Surichai, Chandra Muzaffar, S. K. Jomo atau Kamla Basin. Banyak intelektual Indonesia yang diajaknya ke forum itu, antara lain Arief Budiman, Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Adi Sasono, Kuntowidjojo, Ariel Heryanto, Fachry Ali, Farchan Bulkin, Hadimulyo, dan Karcono. Mereka juga disertakannya dalam menangani proyek kajian tentang
36
“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”. Lihat juga Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 13.
“State in the Context of Transnationalization” yang dibiayai oleh UN University di Tokyo yang rektornya adalah Dr. Soedjatmoko.37
Dawam juga banyak mendorong, menganjurkan, dan membantu berdirinya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. LSM yang ia prakarsai sendiri antara lain adalah: Lembaga Studi Ilmu-ilmu Sosial (LSIS), Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Lembaga Kebajikan Islam “Samanhudi” (LKIS), Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA), dan Yayasan Wakaf Paramadina. Sampai sekarang, Dawam masih memimpin yayasan LSAF, karena yayasan ini termasuk ke dalam kelompok PPA.38 M. Dawam Rahardjo