• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun Oleh:

BAHRUL HAQ AL-AMIN NIM: 103033227813

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun Oleh: BAHRUL HAQ AL-AMIN

NIM: 103033227813

Dibawah Bimbingan

Pembimbing

A. Bakir Ihsan, M.Si. NIP: 150326915

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF M. DAWAM RAHARDJO telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 6 Maret 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. S. Bustamin, S.E. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.

NIP: 150 289 320 NIP: 150 270 808

Anggota,

Dr. Nawiruddin, M.A. Dr. Syamsuri, M.A.

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjna strata 1 di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Februari 2009

(5)

ABSTRAK

Bahrul Haq Al-Amin

Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo Kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk atas pilihan sendiri, dan kebebasan – baik sendiri maupun bersama-sama, baik di tempat umum ataupun tertutup – untuk menjalankan agama atau kepercayaannya, yang mana kebebasan tersebut harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Kebebasan ini merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Hal ini terlihat dalam jaminan hak asasi manusia internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1949

dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1966 PBB. Di Indonesia, kebebasan beragama dijamin secara konstitusional oleh negara, seperti

tercantum dalam pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 dan pasal 29 UUD 1945, juga dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan atas Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

PBB.

Meskipun demikian, jaminan atas kebebasan beragama tersebut belum cukup untuk mencegah berbagai pelanggaran keebbasan beragama. Berbagai

pelanggaran tersebut muncul dalam berbagai bentuk, antara lain berupa pembatasan negara atas pengakuan status agama resmi, diskriminasi pelayanan

catatan sipil terhadap agama minoritas, pembatasan pendirian rumah ibadah, penyerangan bangunan dan fasilitas agama, serta kekerasan terhadap aliran-aliran

agama minoritas yang menyimpang.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimanakah konsep kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Melalui penelitian

kepustakaan, diketahui bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo cukup relevan dalam membahas problem kebebasan beragama di Indonesia. M. Dawam Rahardjo mengembalikan permasalahan tersebut ke dalam ranah falsafah negara

Indonesia, yaitu pancasila. Dalam pandangannya, pancasila nyata-nyata disemangati oleh trilogi sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Sehingga, menurutnya pancasila pada hakikatnya juga menjamin kebebasan beragama,

sebagaimana dicerminkan dalam trilogi tersebut.

Sebagai jalan keluar dari problem inkonsistensi penegakan jaminan negara atas kebebasan beragama, maka M. Dawam Rahardjo mengusulkan agar disusun

sebuah undang-undang kebebasan beragama. Undang-undang ini dimaksudkan sebagai penegasan atas kebebasan beragama sebagai bagian integral dari hak sipil setiap warga negara, dan juga penyadaran terhadap setiap warga negara akan

hak-hak asasinya dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama.

Kebebasan beragama bukannya tanpa batasan. Justru, kebebasan beragama harus dibatasi, sepanjang melanggar hukum, mengganggu ketertiban umum,

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Penguasa Kerajaan Alam

Semesta. Tuhan Maha Esa yang darinya bertebaran segala kejadian agar mereka

semua berserah diri kepada-Nya. Salam semoga selalu tercurah untuk utusan-Nya,

Nabi Muhammad SAW. Penerus khazanah agama dari Adam hingga manusia

modern. Peletak nilai-nilai universal kebajikan bagi segala umat dan masa.

Wacana kebebasan beragama akhir-akhir ini menjadi pembicaraan penting

di Indonesia, terutama pasca reformasi 1998. Tergulingnya kekuasaan Orde Baru

menyebabkan banyak pihak berlomba-lomba menuntut hak masing-masing. Kali

ini, agama kembali mendapat tantangan agar tidak hanya memunculkan potensi

konfliknya, tetapi juga potensi perdamaiannya. Serangkaian kasus-kasus

pelanggaran kebebasan beragama disikapi secara beragam oleh berbagai pihak.

Sangat penting kiraya bila dilakukan usaha penjernihan atas masalah ini.

Demi melengkapi diskursus kebebasan beragama di Indonesia, maka

penulis memilih menghadirkan sosok dan pemikiran tokoh intelektual muslim

Indonesia, yakni M. Dawam Rahardjo. Tentu saja, proses pengkajian terhadap

pemikiran M. Dawam Rahardjo bukanlah hal yang mudah. Karenanya, penulis

merasa harus mengucapkan banyak terima kasih kepada banyak pihak.

Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. M. Amin

Nurdin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

(7)

Darmaji, M.Fils., selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, dan Dra. Wiwi

Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam.

Ucapan terima kasih berikutnya penulis haturkan kepada Bapak A. Bakir

Ihsan, M.Si., selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan yang

sangat berarti terhadap terselesaikannya skripsi ini. Dan tanpa menyebut nama

satu per satu, penulis juga menghaturkan terima kasih yang sangat dalam terhadap

seluruh dosen dan jajaran pegawai di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih juga saya persembahkan bagi kedua orang tua

penulis, ibunda Nani Nuryani, S.Ag, dan ayahanda Dudi Ahadiat, S.Ag. Beliau

telah rela sabar menunggu selesainya tugas akhir penulis di bangku kuliah ini.

Terima kasih dan hormat saya haturkan pula kepada keluarga besar Bapak Rumsi

Yahya dan Ibu Siti Zubaidah, S.pd. Selama tahun-tahun terakhir ini, mereka saya

anggap sebagai keluarga kedua penulis selama di perantauan. Penulis juga

menghaturkan persembahan kepada adinda tersayang, Rahmiana “Shelly”

Agustini, A.Md. Semoga mimpi-mimpi kita dapat segera tercapai bersama.

Kesabaran dan keceriaannya selalu menjadi pendorong semangat penulis. Salam

sayang penulis sampaikan untuk adik-adikku yang tercinta; Ismail Muhammad

Syahid, bersabarlah dalam menuntut ilmu; Farid Waliyuddin Rusydi, semoga

prestasimu terus berlanjut; Neng Siti Fatimah Fadlullah, tetaplah tegar

menghadapi segala masalah di rumah; Hasna Lathifah, jangan bosan-bosan

sekolah; dan Miftah Muslihuddin, adik bungsu yang paling tercinta, semoga kamu

(8)

Julaeha (alm.), nenek tercinta, beserta seluruh uwa, mamang, aa, teteh, ade

sekalian, juga kepada keluarga besar Pak Aki dan Emak Kidul, kakek-nenek

tersayang, beserta seluruh uwa, mamang, bibi, aa, ade sekalian, kepada mereka

penulis sampaikan terima kasih banyak atas dukungannya, terutama terhadap

keluarga penulis di rumah.

Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. M.

Dawam Rahardjo, SE., yang bersedia secara langsung memberikan izin penulis

untuk mengkaji satu sudut pemikiran beliau. Terima kasih juga saya haturkan

kepada Lembaga Studi Agama dan Filsafat, yang telah memberikan izin kepada

penulis untuk melakukan penelitian dan meminjam beberapa bahan untuk skripsi

ini.

Penulis juga sampaikan terima kasih banyak untuk rekan-rekan sesama

aktifis dan intelektual muda di HMI MPO, LPI UIN Jakarta, KM-AI, dan JarIK.

Untuk sahabat-sahabatku, Ruli Nurdin, Hilmi Mubarok, Dadan, Asep

Kamaluddin, Indah Mulyawati, Nanih, Linda (serta semua alumni MI Banjar 2

angkatan 97), Andi Tanjana, Yani Nur’aini, Nafishoh, Evi, Neni Nurlina (serta

semua alumni MTsN Banjar angkatan 2000), Bayu Haryadi, Irvan Sutadi,

Muhammad Irfan, Riany Dwi Setyaningrum, Siti Nurhayati (serta semua alumni

SMUN 1 Banjar angkatan 03), terima kasih banyak atas pertemanan kalian yang

sangat berharga.

Jakarta, 18 Februari 2009

(9)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pada bulan Oktober 2004, sebuah sekolah Katolik di Ciledug dibarikade

oleh sekelompok orang Islam dengan alasan bahwa sekolah itu telah difungsikan

secara ilegal menjadi tempat ibadah. Dengan alasan yang sama pula, pada

September 2005, 23 buah gereja telah ditutup oleh sekelompok kaum Muslim di

Jawa Barat. Belum lama ini, pusat Ahmadiyah diserang oleh sekelompok kaum

Muslim, dan para penghuninya dipaksa meninggalkan tempat itu. Berangkat dari

catatan buruk kebebasan beragama di Indonesia di atas, dan ketidakpastian dasar

negara antara sekular dan agama, maka Mujiburrahman mempertanyakan

bagaimanakah kiranya bangsa Indonesia dapat merumuskan kebebasan beragama

berdasarkan kesepakatan bersama yang samar-samar mengenai hakikat negara

Indonesia yang bukan negara agama dan bukan pula negara sekular?1 Pertanyaan ini menjadi penting karena hakikat negara Indonesia memang mengalami

semacam ambiguitas, atau “bukan-bukan” (bukan sekular dan bukan agama).

Persoalan ambiguitas ini semakin merepotkan manakala dibenturkan

dengan realitas keragaman (pluralitas) masyarakat, terutama keragaman agama

atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Selain enam agama (Islam, Katolik,

Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu) yang diakui secara resmi oleh negara,

Indonesia kaya akan agama atau kepercayaan lokal (indigenous religion) – seperti

1

(10)

komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Komunitas Tolotang di

Sulawesi Selatan, komunitas Kaharingan di Kalimantan dan lain sebagainya –

serta aliran-aliran yang ada dalam agama resmi tersebut. Menurut Amin Abdullah,

realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme agama disebabkan

oleh hegemoni kepentingan kelompok tertentu. Kepentingan itu juga sering

dijustifikasi dengan landasan teks keagamaan.2

Bangsa Indonesia perlu beragama secara damai dalam fakta keragaman,

karena itu diperlukan sistem untuk memecahkan masalah tanpa kekerasan. Bangsa

Indonesia juga memerlukan sikap yang positif terhadap perbedaan agama (sikap

yang terbuka, toleran, siap berdialog dengan kelompok yang berbeda).

Sebaliknya, bangsa ini juga sebaiknya menghindarkan diri dari pemikiran dan

usaha-usaha menghilangkan keragaman agama. Termasuk di dalamnya tidak

mengakui adanya keragaman, menginginkan keseragaman, memaksakan nilai

agama satu kelompok atas kelompok yang lain, memakai kekuasaan untuk

menindas agama yang berbeda, dan memberikan cap yang buruk pada agama dan

pemeluknya yang dianggap berbeda. Bila sistem ini tidak tercapai, maka dapat

dipastikan berpotensi menimbulkan benturan (clash) antar budaya dan agama.3

2

Dikutip dari Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), h. 6.

3

(11)

Sayangnya, dikarenakan klaim kebenaran (truth claim) agama atau

kepercayaan masing-masing,4 maka usaha-usaha ke arah toleransi dan dialog terbuka antar agama ini tidak selalu mudah. Selain itu, kompleksitas permasalahan

di Indonesia juga menjadikan kesan tumpang-tindihnya problem sosial. Pluralitas

kompleks di Indonesia juga menjadikan tidak mudahnya menggagas toleransi dan

dialog terbuka di antara masyarakat.

Untuk hidup beragama dalam kemajemukan agama dan ekspresi atasnya,

tampaknya dibutuhkan konsep kebebasan beragama. Setiap orang berhak atas

kebebasan pikiran, kesadaran batin dan agama; dalam hal ini ternasuk kebebasan

berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau

kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan

menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di

tempat umum maupun yang tersendiri. Tak seorang pun dapat dikenakan paksaan

sehingga mengakibatkan terganggunya kebebasan untuk memeluk atau menerima

agama atau kepercayaan pilihannya.5

Kenyataannya, pelanggaran kebebasan beragama tidak hanya berlangsung

secara horizontal antar masyarakat,6 akan tetapi tampaknya justru negaralah yang – secara langsung atau tidak langsung – menjadi penyebab atau bahkan aktor

4

Menurut Arthur J D’Adamo, klaim kebenaran hanya muncul pada kelompok sendiri, sedangkan kelompok yang lain dianggap jauh menimpang dari kebenaran. Dikutip dari Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, h. 3.

5

Rumusan kebebasan beragama dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen antara lain UUD 1945 Pasal 29 ayat (2), Deklarasi Universal HAM PBB Pasal 18, Deklarasi PBB tahun 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Keyakinan, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) Pasal 18. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 22, dan UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan KIHSP.

6

(12)

pelanggaran kebebasan beragama. Contoh kasus pelanggaran kebebasan beragama

yang hingga kini masih terjadi di Indonesia ialah klaim agama asli dan agama

sempalan yang dirasakan sangat problematik dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Pemerintah selalu menuding agama atau kepecayaan lokal sebagai

agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya (agama-agama resmi

yang diakui negara). Padahal, menurut para penganut agama lokal tersebut justru

agama merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli atau agama induk.

Karena justru agama-agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha,

yang merupakan agama impor.7 Pelanggaran ini selanjutnya berujung pada pelanggaran hak-hak sipil sebagian masyarakat. Dalam hal ini, ingin ditekankan

bahwa negara sebetulnya memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin

berlangsungnya kebebasan beragama.8

Selain daripada itu, pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama

adalah faktor lain yang dipandang mengganggu kebebasan beragama. Beberapa

padanan istilah terkait dengan pemahaman dan sikap eksklusif dalam beragama,

antara lain Islam radikal,9 Islam fundamentalis, Islam militan, Islam ekstrem sampai Islam skripturalis.10

7

Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme; Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid, h. 218.

8

Lihat komentar M. Dawam Rahardjo tentang tanggung jawab negara atas kebebasan beragama (atau sebagai bagian hak sipil) dalam M. Dawam Rahardjo, “Negara, Agama dan Penegakan Hak Sipil,” artikel diakses tanggal 17 Juni 2007, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2&pos=15.

9

Penggunaan istilah Islam radikal misalnya dalam Khamami zada, Islam Radikal; Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002).

10

(13)

Oleh karenanya, diskursus konsep kebebasan beragama di Indonesia perlu

diapresiasi dan didalami, baik itu dalam hal perkembangan wacana dan praktik

kebebasan beragama di Indonesia, maupun dalam pemikiran tokoh intelektual

yang konsern dalam bidang ini. Dalam hal ini, Indonesia mengenal seorang tokoh

intelektual yang konsern dalam isu-isu kebebasan beragama. Beliau adalah

Muhammad Dawam Rahardjo.

Mantan Rektor UNISMA, Direktur LP3ES, Direktur IIIT Indonesia, dan

President of the Board of IFIS ini dikenal cukup kontroversial dalam menanggapi

problem-problem kebebasan beragama di Indonesia. Beliau pernah dipecat dari

Muhammadiyah karena tanggapan-tanggapan kontroversialnya, terutama saat

melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah dan Lia Aminuddin.11 Walau begitu, Dawam tetap meneriakkan “Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah!”.

M. Dawam Rahardjo aktif membela kebebasan beragama dalam

kasus-kasus jamaah Ahmadiyah, Komunitas Eden, JIL, kelompok Syiah dan minoritas

lainnya. Ia menghadiri sidang-sidang Lia Aminuddin dan Muhammad

Abdurrahman, pemimpin dan juru bicara Komunitas Eden, yang diadili atas

tuduhan penodaan agama.12

Ditinjau dari pemikirannya, M. Dawam Rahardjo memiliki perspektif

murni dan utuh tentang kebebasan beragama di Indonesia. Pemikirannya tentang

relasi Pancasila dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, serta

keyakinannya bahwa kebebasan beragama harus diwujudkan sebagai bagian dari

11

Lihat wawancara Tempo dengan M. Dawam Rahardjo terkait dengan pemecatan dirinya dari Muhammadiyah, dalam Tempo, 5 Februari 2006.

12

(14)

hak sipil masyarakat, menempatkan beliau sebagai tokoh pemikir Islam Indonesia

yang popular dalam hal pembelaan kebebasan beragama. Penentangannya

terhadap otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) beserta fatwa-fatwanya

menunjukkan keberanian dan ketulusan beliau dalam melakukan pembelaannya.

Meski tidak berusia muda lagi dan tidak sesehat dulu, Dawam tetap kritis

dalam memahami dan menyikapi realitas umat dan bangsa. Kajiannya tentang

kebebasan beragama tidak hanya berhenti dalam produksi intelektual belaka, akan

tetapi dibuktikan dalam langkah-langkah kontroversialnya. Di atas semuanya,

sosok M. Dawam Rahardjo tetaplah sosok pemikir pembaharu Islam sebagaimana

beliau dahulu memulainya bersama generasi Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib,

Djohan Effendi, dan lain-lain. Tidak terhitung banyaknya “murid” hasil binaan

beliau yang berhasil meneruskan jejaknya dalam melakukan

pembaharuan-pembaharuan Islam Indonesia.

Sisi intelektual dan kontroversialnya inilah yang menempatkan M. Dawam

Rahardjo sebagai perspektif yang relevan dalam membahas konsep dan problem

kebebasan beragama di Indonesia. Dengan pertimbangan inilah, maka penulis

memberi judul skripsi ini, “Kebebasan Beragama di Indonesia dalam Perspektif M. Dawam Rahardjo”.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dikarenakan keterbatasan dan demi terfokusnya pembahasan, maka

penulisan skripsi ini saya batasi pada pembahasan “Kebebasan Beragama di

(15)

Maka, sebagai rumusan dari pembatasan masalah di atas, penulis

merumuskan,

1. Bagaimanakah wacana kebebasan beragama di Indonesia?

2. Bagaimanakah landasan pandangan M. Dawam Rahardjo tentang

kebebasan beragama di Indonesia?

3. Bagaimanakah tanggapan M. Dawam Rahardjo atas pelanggaran

kebebasan beragama di Indonesia?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan

dari penulisan ini antara lain:

1. Untuk mengetahui latar belakang pemikiran M. Dawam Rahardjo

2. Untuk mengetahui wacana kebebasan beragama di Indonesia

3. Untuk mengetahui kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M.

Dawam Rahardjo secara utuh.

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Bagi para intelektual, cendekiawan, dan akademisi agar dapat memberikan

sumbangan bagi khazanah pemikiran, ide atau gagasan, dan juga untuk

menambah literatur atau bahan referensi pada Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta

(16)

2. Bagi pemerintah, pejabat, politisi, tokoh Ormas keagamaan dan aktivis

elemen masyarakat sipil lainnya agar dalam membangun negara-bangsa

Indonesia tetap memperhatikan prinsip kebebasan beragama.

3. Bagi penulis adalah agar dapat menambah wawasan dan pemahaman utuh

– yang tidak bersifat menghakimi – mengenai konsep kebebasan beragama

di Indonesia, terutama dalam perspektif M. Dawam Rahardjo.

Studi Kepustakaan

Sejauh ini, sulit menemukan hasil penelitian atau buku yang membahas

aspek-aspek pemikiran M. Dawam Rahardjo. Hal ini disebabkan beliau hingga

saat ini masih hidup, sehingga pemikirannya secara langsung masih bisa

disuarakan olehnya. Pun demikian, penulis menemukan sebuah buku yang cukup

relevan dalam membahas pribadi M. Dawam Rahardjo dan segi-segi

pemikirannya.

Buku Demi Toleransi Demi Pluralisme, merupakan karya kumpulan

esai-esai untuk merayakan 65 tahun M. Dawam Rahardjo. Buku yang disunting oleh

Ihsan Ali Fauzi, Syafiq Hasyim dan JH. Lamardy ini diterbitkan oleh Penerbit

Paramadina pada tahun 2007. Buku ini membahas pribadi M. Dawam Rahardjo,

baik dari sisi biografis maupun kesan-kesan para kolega dan sahabat beliau.

Selanjutnya, Demi Toleransi Demi Pluralisme juga mengupas segi-segi pemikiran

dan aktivisme M. Dawam Rahardjo melalui tulisan para kontributor yang

merupakan orang-orang dekat beliau, atau mereka yang sama-sama

(17)

paling menonjol dari buku ini ialah citra M. Dawam Rahardjo sebagai pembela

toleransi dan pluralisme keagamaan di Indonesia.

Karya di atas belum secara khusus memfokuskan kajian mengenai

kebebasan beragama di Indonesia dalam perspektif M. Dawam Rahardjo. Untuk

itu, penulis mencoba melakukan kajian terhadap pemikiran M. Dawam Rahardjo

dalam memandang kebebasan beragama di Indonesia.

Metode Penelitian

Jenis penelitian dalam mengkaji masalah ini ialah penelitian kualitatif.

Secara metodologis, metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah

metode penelitian kepustakaan (library research), dengan menggali

sumber-sumber primer, maupun sumber-sumber-sumber-sumber sekunder.

Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter, yakni dengan

memanfaatkan bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber primer dalam

masalah ini adalah tulisan-tulisan tentang kebebasan beragama yang ditulis

langsung oleh M. Dawam Rahardjo. Sedangkan sumber sekundernya adalah

sumber-sumber yang menunjang pembahasan masalah.

Analisis data menggunakan teknik deskriptif-analitis. Deskriptif di sini

dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeskripsikan perspektif M. Dawam

Rahardjo dalam memandang konsep kebebasan beragama di Indonesia. Analitis

berarti menganalisis pemikiran-pemikiran M. Dawam Rahardjo sehingga akan

nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok

(18)

Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) terbitan CeQDA UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab, termasuk BAB I

sebagai pendahuluan dan BAB V sebagai penutup. Adapun rincian sistematika

penulisan yang penulis susun antara lain sebagai berikut:

BAB I adalah pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi kepustakaan,

metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II mengulas biografi singkat M. Dawam Rahardjo. Dalam bab ini

akan dideskripsikan latar belakang keluarga dan pendidikan M. Dawam Rahardjo,

pemikiran dan aksinya, serta buku-buku karyanya.

BAB III akan membahas wacana kebebasan beragama di Indonesia. Bab

ini meliputi pembahasan definisi dan prinsip kebebasan beragama, serta regulasi

kebebasan beragama dan bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama di

Indonesia.

BAB IV akan menganalisis kebebasan beragama di Indonesia menurut M.

Dawam Rahardjo. Bagian ini akan mendalami pemikiran beliau tentang Pancasila

dan trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme, kebebasan beragama sebagai

hak sipil, dan diakhiri dengan beberapa pandangan M. Dawam Rahardjo atas

(19)

BAB V sebagai penutup. Seluruh elaborasi pembahasan di atas akan diikat

dalam beberapa kesimpulan dan ditambahkan beberapa saran yang penulis

(20)

BAB II

BIOGRAFI M. DAWAM RAHARDJO

A. Keluarga dan Pendidikannya

M. Dawam Rahardjo dilahirkan pada tanggal 20 April 1942, di kampung

Baluwarti, Solo. Ayahnya bernama Mohammad Zuhdi Rahardjo, sedangkan

ibunya bernama Mutmainnah. Keluarga menjadi institusi pendidikan pertama

yang dienyam oleh M. Dawam Rahardjo. Ia bisa mengaji dan hafal beberapa surat

Juz-Amma terutama diajari oleh tante dan kakak sepupunya, Tahrir. Di samping

itu, ia juga mendapatkan pendidikan agama dari Madrasah Bustanul Athfal

Muhammadiyah, di Kauman, sebelah utara masjid besar Solo, Madrasah

Ibtidaiyah Muhammadiyah di Masjid Besar Solo, dan sekolah umum Al Robithoh

Al Allawiyyah di kelas satu.13

Dawam masuk Sekolah Dasar (SD) langsung ke kelas 2 di Sekolah Rakyat

Loji Wetan dan di Madrasah Diniyah Al-Islam dari kelas 3 hingga tamat. Dawam

kecil juga pernah mengaji kepada K.H. Ali Darokah – kemudian menjadi ketua

umum Pergerakan Al-Islam dan Ketua Umum Majelis Ulama Surakarta – yang

juga menjadi guru mengaji saudara - saudara sepupunya. Sebelum masuk SMP, ia

belajar mengaji selama satu bulan di Pesantren Krapyak (sekarang Pesantren

Al-Munawir Ia belajar membaca surat al-Fatihah kepada Gus Dur (ustadz

Abdurrahman). Selanjutnya, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengah Pertama

(SMP) I yang dianggap sebagai sekolah elit tingkat SMP di Solo, berkat prestasi

13

(21)

baik Dawam di sekolah dasar. Sementara itu, di Al-Islam, Dawam hanya

menamatkan Madrasah Tsanawiyah, karena ia melanjutkan sekolah di Sekolah

Menengah Atas (SMA) CV di Manahan.14

Sebelum kuliah, Dawam mengikuti program AFS (American Field

Service) di Idaho, Amerika Serikat (AS). Di sana, ia belajar di Borah High School.

Selanjutnya, Dawam berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada

(UGM).15 Di tengah-tengah kesibukannya sebagai mahasiswa UGM, Dawam tertarik untuk beraktivitas dalam organisasi mahasiswa yaitu Himpunan

Mahasiswa Islam. Dawam juga giat dalam kegiatan-kegiatan diskusi dan kajian

semasa kuliahnya. Dengan demikian, Dawam resmi memulai petualangannya di

dunia aktivisme dan intelektual.16

Istri pertama Dawam, Zainun Hawariah, wafat pada Desember 1994. Dari

perkawinan mereka, Dawam mempunyai dua orang anak yang sudah dewasa.

Aliva (lahir pada 1972) adalah anak sulung perempuan. Ia lulus dari fakultas ilmu

pasti dan pengetahuan alam (MIPA) jurusan Fisika, pada tahun 1997. Dia telah

menikah dan dikaruniai seorang anak pada 1 April 1999, dan diberi nama Krisna.

Anak Dawam yang kedua bernama Jauhari (lahir pada 1974) dan lulus dari

jurusan Elektro tahun 1999, Fakultas Teknik Universitas Pancasila. Istri Dawam

yang sekarang bernama Sumarni (dinikahinya pada bulan Maret 1995), sarjana

14

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 5-6. Lihat juga, “M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”, diakses pada tanggal 12 Desember 2008 dari http://www.thepersecution.org/world/indonesia/ 07/05/jp19.html.

15

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.

16

(22)

ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) dan mendapat gelar MPA dari

Universitas of California.17

B. Pemikiran dan Aksinya

Dalam dunia tafsir, nama M. Dawam Rahardjo pernah melambung,

terutama lewat karya tafsirnya Ensiklopedi al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan

Konsep-konsep Kunci. Dalam bidang ini, M. Dawam Rahardjo sudah terhitung

progressif, sebab beliau menulis tafsir tematik (maudhu'i). Dalam menulis tafsir

tersebut, beliau menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu untuk

menafsirkan Al-Qur'an. Pendiriannya ini terutama didasarkan pada keyakinannya

bahwa tafsir haruslah terbuka untuk siapa saja, dan penafsir tidak mesti menguasai

bahasa Arab. Menurut Syafiq Hasyim, di sinilah letak kontribusi penting M.

Dawam Rahardjo dalam bidang tafsir di Indonesia, yakni memasukkan

pendekatan interdisipliner (berbagai disiplin ilmu pengetahuan) dalam

menafsirkan Al-Qur'an.18

Cukup sulit menggolongkan pemikiran M. Dawam Rahardjo hanya ke

dalam satu golongan pemikiran saja. Sebab, beliau mengarungi dunia intelektual

dengan melalui perkembangan pemikiran sedemikian rupa, sehingga mendapatkan

sebutan yang bermacam-macam; mulai dari neo-marxis, neo-modernis,

transformis, pluralis, sekular hingga liberal. M. Dawam Rahardjo memang

memiliki minat yang luas dalam dunia pemikiran. Pun demikian, bukan berarti

beliau layak disebut sebagai pemikir yang tidak konsisten. Justru M. Dawam

17

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 18-19.

18

(23)

Rahardjo melalui perkembangan pemikirannya dengan suatu perjalanan

intelektual yang serius. Lebih tepat bila dikatakan bahwa M. Dawam Rahardjo

mengalami perkembangan (evolusi) pemikiran yang matang dan sesuai dengan

kadar aktivismenya. Karenanya, dalam mengkaji pemikiran beliau, penulis tidak

ingin terjebak untuk membatasi M. Dawam Rahardjo ke dalam satu tipe

pemikiran saja. Melainkan, berusaha memaparkan perjalanan intelektual beliau

supaya lebih dapat dipahami secara utuh.

M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai seorang ekonom dan cendekiawan

muslim yang sangat kritis terhadap ideologi pembangunan (developmentalism).

Hal tersebut secara tidak langsung memang di pengaruhi oleh konteks saat

Dawam muda yang aktif di HMI saat pengaruh PKI begitu kuat. Dawam dituntut

untuk mempelajari sosialisme agar dapat mengimbangi wacana sosialisme yang

digulirkan PKI. Tidak hanya mempelajari marxisme, Dawam muda juga

meneruskan mengkaji neo-marxisme dan teori-teori radikal lainnya.19

Adapun pemikiran M. Dawam Rahardjo tentang kebebasan beragama

berada pada fase terakhir dari perjalanan pemikirannya selama hidupnya. Rupanya

posisi beliau sebagai cendekiawan muda memancingnya untuk kritis terhadap

beberapa pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Sikap beliau tidak lain

dilatarbelakangi oleh perjalanan intelektualnya yang terhitung panjang dan rumit.

Model pemikiran M. Dawam Rahardjo terbentuk pada masa hidupnya

yang berada dalam latar geraka n intelektual Islam baru di Indonesia sekitar tahun

1970-an. Gerakan tersebut, selain merupakan warisan dari tradisi modernisme

19

(24)

Islam yang terdahulu di Indonesia, ia pun tampil beda dari segi isi maupun

aplikasinya. Hal ini disebabkan, neo-modernisme memakai pendekatan baru yang

khas. Masa-masa tersebut tidak disia-siakan oleh beliau, sehingga dengan segera

M. Dawam Rahardjo pun menjadi salah satu pelaku gerakan intelektual Islam

baru tersebut.

Pada awal kemunculannya, istilah popular yang dicetuskan pertama kali

untuk neo-modernisme ialah pembaruan pemikiran Islam oleh Nurcholish Madjid,

saat ia memberi makalah untuk sebuah seminar tertutup pada tahun 1970, berjudul

Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.

Gerakan neo-modernisme, yang lahir dari para pemikir Islam seperti

Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, mencerminkan perkembangan

modernisme Islam yang lebih jauh di mana pengetahuan klasik atau tradisional

digabungkan dengan pendekatan aktual dalam menafsirkan sebuah teks. Berbeda

dari modernisme, neo-modernisme berpaham pemisahan antara gereja dan negara,

dengan pandangan bahwa keterlibatan kelompok-kelompok agama ke dalam

partai politik akan menimbulkan ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan

agama.20 Perbedaan lainnya terletak dalam perhatiannya pada tradisi. Kaum neo-modernis berusaha membangun visi Islam di masa modern, dengan tidak

meninggalkan akar-akar Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam. Sedangkan

kaum modernis lama lebih bersifat apologetik atas modernitas.

Gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir, menurut Fazlur

Rahman terbagi menjadi empat tahapan, yaitu (1) Gerakan Revivalis di akhir abad

20

(25)

ke-18 dan awal abad ke-19, yaitu gerakan wahhabiyah di Arab, Sanusiyah di

Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat, (2) Gerakan Modernis yang

dipelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (meninggal tahun 1898) di India, Jamaluddin

Al-Afghani (meninggal tahun 1897) di seluruh Timur Tengah, dan Muhammad

Abduh (meninggal tahun 1905) di Mesir, (3) Neo-Revivalisme yang modern

namun agak reaksioner, di mana Maududi beserta kelompok Jamaat Islami-nya di

Pakistan merupakan contoh terbaik, dan (4) Neo-Modernisme, di mana Fazlur

Rahman sendiri mengkategorikan dirinya ke dalam tahap terakhir ini dikarenakan

alasan neo-modernisme memiliki sintesis progresif dari rasionalitas modernis

dengan ijtihad dan tradisi klasik.21

Penggunaan istilah neo-modernis oleh Fazlur Rahman cukup

mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Terlebih, Rahman memang cukup

dikenal di Indonesia. Ia datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1974 dan

terus menjalin hubungan baik dengan beberapa intelektual Muslim Indonesia,

seperti Nurcholish Madjid. Kendati demikian, banyak para pemikir Islam

terkemuka dan dapat digolongkan ke dalam golongan pemikir neo-modernis,

seperti Jalaluddin Rakhmat, Masdar F. Mas’udi, dan M. Dawam Rahardjo sendiri,

tidak menggunakan istilah neo-modernisme bagi pemikiran yang mereka

kembangkan dan bagi diri mereka sendiri.22

Pribadi M. Dawam Rahardjo memang agak unik, bila dibandingkan

dengan pemikir neo-modernis lainnya. Seperti diketahui, bahwa ke-khas-an

pemikiran kaum neo-modernis di antaranya ialah pendekatan ijtihad oleh pemikir

21

Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 9.

22

(26)

neo-modernis Indonesia yang lebih mendalam, karena mereka mensintesiskan

khazanah Islam klasik dengan metode-metode analisis modern atau Barat. Hal ini

dilatarbelakangi oleh pendidikan Islam tradisional dan klasik, yang berkisar pada

Al-Qur’an dan naskah-naskah Arab, dan dilanjutkan pendidikan model Barat

modern. Berbeda dengan M. Dawam Rahardjo, di mana beliau memiliki latar

eblakang pendidikan Islam klasik yang kurang kuat, dan lebih banyak menempuh

pendidikan model Barat modern. Meskipun, tetap harus dicatat bahwa M. Dawam

Rahardjo pun cukup berminat terhadap keilmuan Islam klasik walaupun

pendekatannya melalui bahan-bahan berbahasa Indonesia dan Inggris.23

Menurut Budhy Munawar-Rahman, ada tiga bentuk pemikiran

sosial-keislaman kaum neo-modernis, antara lain: (1) Islam rasional, yang bertujuan

menemukan pengetahuan yang mendasar mengenai Islam atau ilmu keislaman

yang rasional, untuk mendapatkan keyakinan atau iman yang rasional, dan tingkah

laku atau amal yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh Islam

rasional yakni Harun Nasution dan Djohan Effendi. (2) Islam peradaban, yang

bertujuan untuk mendapatkan makna dari perwujudan konkret AL-Qur'an, ingin

menemukan makna dari proses pembentukan Islam sebagai sebuah dorongan

sejarah, yang menghasilkan sebuah peradaban Islam. Tokoh Islam peradaban

yaitu Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. (3) Islam transformis, yang bertujuan

membebaskan masyarakat muslim yang miskin dan terbelakang dari belenggu

dominasi structural, dengan berlandaskan pada visi Al-Qur'an tentang

23

(27)

transfromasi. Tokoh Islam transformis adalah Adi Sasono dan M. Dawam

Rahardjo sendiri.24

Kalangan Islam Transformis memang banyak berkembang di kalangan

yang latar belakang pendidikannya bukan IAIN (Institut Agama Islam Negeri),

namun komitmennya terhadap Islam tinggi – seperti M. Dawam Rahardjo – atau

dari IAIN namun komitmennya terhadap ilmu sosial melebihi ilmu-ilmu

tradisional Islam. Sebagaimana juga M. Dawam Rahardjo, kebanyakan dari

kelompok Islam transformis adalah aktivis LSM.

Perhatian utama mereka yaitu suatu transformasi sosial masyarakat bawah.

Islam transformis berusaha mewujudkan transformasi struktur-struktur

masyarakat yang menindas ke arah struktur yang lebih humanis, agar masyarakat

dapat memperjuangkan hak mereka. Selain Adi Sasono dan M. Dawam Rahardjo,

istilah Islam transformis juga dipakai oleh Moeslim Abdurrahman, Masdar F.

Mas'udi, dan Mansour Fakih.

Islam transformis memang sedikit berbeda dari Islam rasional dan Islam

peradaban. Bila Islam rasional dan Islam peradaban hanya memperhatikan faktor

internal umat islam (teologi) dalam menjelaskan keterbelakangan umat, maka

Islam transformis memasukkan faktor eksternal, yaitu peranan Barat, sebagai

penyebab keterbelakangan. Bahkan, Islam transformis tidak memisahkan antara

teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari

24

(28)

"kritik ideologis," ke "kritik tafsir," kemudian mencari "tafsir alternatif" dan

mewujudkannya dalam "tindakan sosial" sebagai praksis teologis.25

M. Dawam Rahardjo mengatakan, "gerakan kemasyarakatan itu

mempunyai peranan yang krusial, yang mencegah terjadinya pencaplokan

masyarakat oleh negara ke dalam bentuk negara korporatif yang

integralistik-totaliter.26 Beliau juga pernah mengkritik pendekatan Islam peradaban seperti yang digagas oleh Nurcholish Madjid. Menurut M. Dawam Rahardjo, keliru bila

kita harus membanggakan peradaban Islam seperti yang berlangsung pada abad

pertengahan. Memang, pada abad itu peradaban Islam mencapai puncaknya.

Namun, keadaan itu berada di tengah-tengah absolutisme-monarkis dan

feodalisme. Maka, menurut beliau, peradaban Islam yang ideal masih dalam

proses pencarian. Namun, paling tidak model peradaban Islam ideal menurutnya

ialah terbentuknya budaya tekno-ekonomi yang membangun kemakmuran dan

keadilan masyarakat sebagai landasan bagi kejayaan peradaban Islam modern dan

religius. Peradaban Islam masa depan adalah peradaban yang didasarkan pada

nilai religius tekno-ekonomi, yang di Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945.27

Meskipun M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai pemikir neo-modernis

Islam, namun menurut Greg Barton, M. Dawam Rahardjo bukan termasuk

25

Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia," h. 22.

26

M. Dawam Rahardjo, "Gerakan Rakyat dan Negara," dalam Prisma 11, 1985, h. 15. Dikutip dalam, Rachman, "Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia," h. 26.

27

(29)

kelaompok neo-modernis. Hal ini terutama disebabkan karena Greg Barton

memahami istilah neo-modernis sebagai kelompok pemikir yang memiliki

keahlian keilmuan tradisionalis dan modernis sekaligus, seperti Ahmad Wahib,

Nurcholish Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid, yang terdidik

secara klasik dan dipengaruhi latar belakang pendidikan pesantren tradisionalis

yang kental. Menurut Greg Barton, M Dawam Rahardjo lebih tepat bersifat

organisatoris dalam kelompok neo-modernis.28

Greg Barton malah memasukkan M. Dawam Rahardjo sebagai kelompok

Islam substansialis, sebagaimana istilah yang digunakan oleh R. William Liddle.

Liddle berpendapat bahwa empat ciri kelompok Islam substansialis antara lain:

1. Hal paling utama dan mendasar bahwa substansi keimanan dan praktik

lebih penting daripada bentuk.

2. Pesan Al-Qur'an dan hadits, walau abadi esensinya dan universal artinya,

dapat ditafsir kembali oleh setiap generasi muslim sesuai dengan situasi

masanya.

3. Umat muslim harus toleran terhadap sesamanya dan terhadap non-muslim.

4. Menerima pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk final dari

negara bangsa Indonesia

Perkembangan pemikiran M. Dawam Rahardjo nyata-nyata tidak

ketinggalan jaman, bahkan semakin berkembang. Pada fase terakhir dalam

perjalanan intelektualnya, M. Dawam Rahardjo dikenal sangat aktif dalam

28

(30)

mengkritisi berbagai pelanggaran kebebasan beragama. Beliau juga secara tegas

menolak fatwa haram Majelis Ulama Indonesia tentang liberalisme, sekularisme

dan pluralisme. Bagaimana pemikiran beliau tentang kebebasan beragama di

Indonesia akan secara utuh dibahas pada bab-bab berikutnya pada penulisan kita.

Selanjutnya, meminjam tipologi sikap keberagamaan menurut

Komaruddin Hidayat,29 maka M. Dawam Rahardjo bisa dimasukkan ke dalam tipologi inklusifisme dan pluralisme. Dikatakan inklusif, sebab beliau menerima

kemungkinan adanya kebenaran dalam agama lain, namun sekaligus tetap

menganggap bahwa agamanya, Islam, yang benar bagi dirinya. Sedangkan

dikatakan plularis, sebab beliau berpendapat bahwa semua agama itu benar,

menurut masing-masing pemeluknya. Namun, pemikiran ini bukan termasuk

sinkretisme. Tipologi pemikiran M. Dawam Rahardjo ini paling jelas terlihat dari

komitmennya atas kebebasan beragama dan pluralisme.

M. Dawam Rahardjo juga sangat kritis terhadap gerakan-gerakan

fundamentalisme Islam, yang menurutnya merupakan bentuk jahiliyah modern.30 Mereka yang menurut beliau termasuk jahiliyah modern yakni Muhammadiyah

(modern) dan Hizbut Tahrir. Alasannya, sebab mereka itu cenderung melihat ke

masa lalu, seperti generasi salaf, sebagai model masa depan. Sembari demikian,

M. Dawam Rahardjo juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah solusi dari

kemunduran umat tersebut.

29

Diakses pada tanggal 15 Januari 2009, dari http://lempu.co.cc/index.php/Artikel/ Tipologi-Sikap-Beragama.html.

30

(31)

Jelaslah, bahwa pemikiran M. Dawam Rahardjo berkembang sedemikian

rupa, dan di akhir fase perkembangan pemikirannya beliau sangat terpanggil

untuk mengkritik fenomena gerakan fundamentalisme-radikal Islam. Sebagaimana

kita ketahui, bahwa gerakan fundamentalis-radikal begitu popular sejak pasca

reformasi politik 1998 di Indonesia. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang

lahir dari proses demokratisasi memberi berkah bagi mereka untuk berkembang

sedemikian rupa. Agaknya, M. Dawam Rahardjo ingin mengembalikan umat

Islam pada pemahaman yang benar, bahwa kebebasan bukanlah anarki, dan

bahkan merupakan tanggung jawab. Beliau sangat menghargai kerangka negara

bangsa Indonesia yang bernaung di bawah Pancasila dan UUD 1945.

Pemikiran M. Dawam Rahardjo mengenai kebebasan beragama dan

kritiknya atas fundamentalisme Islam bukannya tanpa basis teologi yang jelas.

Seperti kita ketahui, beliau sebelumnya termasuk pada kategori Islam transformis

yang lebih banyak berbicara pada konteks kesetaraan ekonomi dan keadilan.

Pemikiran beliau tersebut, pada akhirnya membawanya pada pemikiran teologi

otonomi iman, namun berlandaskan pada filsafat, terutama filsafat

neo-kantianisme.

Sebagai seorang neo-kantian, M. Dawam Rahardjo berkeinginan untuk

menciptakan sebuah tatanan sosial-politik yang adil, yakni menghargai manusia

sebagai makhluk yang bebas dan otonom. M. Dawam Rahardjo sejajar dengan

pemikir kantian lainnya, seperti Jurgen Habermas dan John Rawls. Para

neo-Kantian ini juga senantiasa percaya terhadap prinsip kebebasan dan otonomi akal,

(32)

Dalam kerangka konsep otonomi dan kebebasan manusia Kantian inilah,

menurut Iqbal Hasanuddin – seorang peneliti di LSAF – kita sebenarnya dapat

memahami rumusan trilogi M. Dawam Rahardjo, seputar diskursus sekularisme,

liberalisme dan pluralisme. Konsep otonomi manusia dalam kehidupan beragama

pertama-tama harus diletakan pada lokus akidah dan keimanan. Penempatan iman

dan akidah kepada otoritas setiap individu dengan sendirinya akan menciptakan

kebebasan beragama. Pengembalian iman dan akidah kepada otoritas individu

yang otonom inilah yang dijadikan dasar pemikiran dalam prinsip liberalisme.

Selanjutnya, seperti juga diyakini oleh John Rawls, M.Dawam Rahardjo

berkeyakinan bahwa konsekuensi logis dari konsep otonomi iman dan akidah bagi

setiap individu yang melahirkan konsep kebebasan beragama adalah lahirnya

pluralitas pandangan dan ekspresi keberagamaan. Karenanya, cara yang paling

masuk akal dalam menyikapi pluralitas ini adalah prinsip pluralisme. Karena itu,

bisa dikatakan bahwa seorang liberal sejati yang menghargai otonomi dan

kebebasan individu dalam beragama sudah pasti juga akan menjadi seorang

pluralis. Prinsip liberalisme dan pluralisme dalam kehidupan beragama tersebut

juga tidak akan terwujud dengan baik jika negara sebagai organisasi kekuasaan

didasarkan pada satu agama tertentu dalam bentuk tatanan teokrasi. Karenanya,

prinsip lain yang juga harus ditegakan guna mewujudkan otonomi dan kebebasan

manusia adalah sekularisme, yakni pemisahan antara agama dengan negara.31 Demikianlah, perjalanan pemikiran M. Dawam Rahardjo akhirnya

menempatkan beliau sebagai seorang liberal, sekular dan pluralis. Sebuah posisi

31

(33)

intelektual yang bagi kebanyakan orang akan dihindari, sebab pemikiran seperti

itu sudah diharamkan oleh MUI. Meskipun demikian, M. Dawam Rahardjo

memang tidak sendirian. Selain beliau, ada beberapa pemikir kritis Islam lainnya,

seperti Musdah Mulia, Syafi'i Anwar, Ulil Absar Abdalla, dan lain sebagainya.

Namun, memang bila melihat pada tataran generasinya, M. Dawam Rahardjo

termasuk generasi intelektual muslim lama yang masih bertahan, selain Djohan

Effendi, Abdurrahman Wahid, Moeslim Abdurrahman, dan lain-lain.

Selain dalam bidang pemikiran, M. Dawam Rahardjo juga sangat

menonjol dalam bidang aksinya. Aktifitasnya dimulai saat Dawam muda berada di

HMI, yang menuntut dia untuk belajar politik. Ia banyak berperan sebagai

instruktur dalam training-training di HMI, bersama-sama dengan Djohan Effendi

dan Ahmad Wahib. Dari tempaan di HMI itulah, ia mulai banyak menulis

artikel-artikel untuk koran dan majalah. Bahkan selama tiga tahun, Dawam menjadi

penulis tetap (kolumnis) untuk koran Mercusuar, Yogyakarta, setiap hari selasa.

Dawam bersama-sama dengan Andi Makmur Makka, menjadi editor dan co-editor

majalah GEMA Mahasiswa, yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa UGM.

Adapun staf redaksinya antara lain adalah Amak Baldjun, Abdurrahman Saleh,

Kuntowidjojo, Ichlasul Amal, dan Abdul Hadi WM. Aktivitasnya dalam dunia

jurnalistik mengangkat nama M. Dawam Rahardjo dan membuatnya cukup

terkenal semasa menjadi mahasiswa di UGM.32

Setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Ekonomi UGM tahun 1969,

Dawam sempat bekerja di Bank of America (BoA), Jakarta. Tapi di bank asing itu,

32

(34)

Dawam Rahardjo hanya bekerja selama dua tahun.33 Pada waktu itu, dirinya cukup aktif di media massa, menjadi redaktur Mimbar Demokrasi dan koran

mingguan Forum.

Sebenarnya Dawam keluar dari BoA juga karena keinginannya untuk

bekerja di suatu lembaga riset. Ia bergabung dengan LP3ES (Lembaga Penelitian,

Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) ketika Nono Anwar Makarim

menjadi direkturnya. Selanjutnya, M. Dawam Rahardjo banyak terlibat dalam

berbagai penelitian yang disponsori oleh Friedrich Naumann Stiftung. Pada usia

ke 38 tahun, akhirnya beliau menjadi Direktur LP3ES.34

Dawam sering dipanggil untuk membantu menyelesaikan

masalah-masalah proyek. Nono Anwar Makarim menjadikannya sebagai trouble shooter.

Karena itu, Dawam paling sering berpindah-pindah tugas pada banyak proyek.

Sebagai trouble shooter, Dawam ditugaskan menangani beberapa protek yang

kemudian sangat menentukan karier dan keahliannya, yaitu pengembangan

industri kecil, entrepreneurship dan pesantren. Mula-mula proyek itu berupa

penelitian, kemudian diikuti dengan pelatihan dan pengembangan. Sebagai staff

LSM itulah Dawam memasuki dunia pesantren dan berkenalan dengan

tokoh-tokoh kyai, baik NU maupun non-NU. Di LP3ES, Dawam banyak belajar dari

staf-staf orang Jerman, misalnya Dr. Kohler, Christian Lempelius, dan Dr.

Manfred Ziemek.35

Karir Dawam di LP3ES cukup cepat menanjak untuk ukuran waktu itu. Ia

berjingkat naik dari staf menjadi Kepala Bagian berbagai departemen, kemudian

33

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.

34

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.

35

(35)

Wakil Direktur selama dua periode, dan akhirnya, pada umur 38 tahun, menjadi

Direktur LP3ES. Selama bekerja di lembaga itu, ia telah banyak mendidik

kader-kader intelektual. Karena sebagian mereka berasal dari IAIN, tidak berlebihan jika

berkali-kali Prof. Dawam telah mendidik mahasiswa-mahasiswa IAIN itu di

bidang ilmu-ilmu sosial. Diskusi rutin dengan para kader muda itu menghasilkan

dua buku kumpulan karangan. Pertama adalah Insan Kamil: Konsepsi Manusia

Menurut Islam (Grafiti Press, 1985). Kedua adalah buku Pergulatan Dunia

Pesantren: Membangun Dari Bawah (diterbitkan oleh Perhimpunan

Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, P3M).36

Ketika menjadi Direktur LP3ES, Dawam juga banyak melakukan kegiatan

yang bersifat internasional. LP3ES bekerja sama dengan LSM internasional dan

para intelektual luar negeri terutama dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.

Dawam memprakarsai berdirinya INGI (Inter Non-Governmental Forum for

Indonesia) yang kemudian atas usulannya beganti nama menjadi INFID (Inter

Non-Governmental Forum for Development). Ia juga memprakarsai berdirinya

SEAFDA (South East Asia Forum for Development Alternatif). Dari SEAFDA

itulah Dwam berkenalan dan bersahabat dengan tokoh-tokoh intelektual radikal

seperti Marthin Kor, Rudolf S. David, Surichai, Chandra Muzaffar, S. K. Jomo

atau Kamla Basin. Banyak intelektual Indonesia yang diajaknya ke forum itu,

antara lain Arief Budiman, Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Adi Sasono,

Kuntowidjojo, Ariel Heryanto, Fachry Ali, Farchan Bulkin, Hadimulyo, dan

Karcono. Mereka juga disertakannya dalam menangani proyek kajian tentang

36

(36)

“State in the Context of Transnationalization” yang dibiayai oleh UN University

di Tokyo yang rektornya adalah Dr. Soedjatmoko.37

Dawam juga banyak mendorong, menganjurkan, dan membantu berdirinya

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.

LSM yang ia prakarsai sendiri antara lain adalah: Lembaga Studi Ilmu-ilmu Sosial

(LSIS), Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Lembaga Kebajikan Islam

“Samanhudi” (LKIS), Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA), dan Yayasan

Wakaf Paramadina. Sampai sekarang, Dawam masih memimpin yayasan LSAF,

karena yayasan ini termasuk ke dalam kelompok PPA.38 M. Dawam Rahardjo juga sangat berjasa dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

Di ICMI, Dawam mulanya menjadi Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI 1990-1995.

Periode berikutnya, 1995-2000, Dawam menjabat sebagai salah seorang Ketua

UCMI Pusat. Selain itu, Dawam juga terpilih sebagai Ketua Presidium Pusat

Peranserta Masyarakat (PPM), di mana ia memegang jabatan itu sampai tahun

1997.39

Dawam dianugerahi gelar professor oleh Universitas Muhammadiyah

Malang pada tahun 1993. M. Dawam Rahardjo akhirnya diangkat sebagai rektor

Universitas 45 (UNISMA).40 Selain sebagai rektor, M. Dawam Rahardjo menjadi President Director di CIDES Persada Consultant (CPC), Ketua Majelis Pembina

Ekonomi Muhammadiyah periode 1995-2000, Direktur International Institute of

Islamic Thought (III-T) Indonesia, President of the Board of Directors,

37

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14.

38

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 14-15.

39

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 17-18.

40

(37)

Internaitonal Forum of Islamic Studies (IFIS), Dewan Redaksi Harian Republika,

dan staf ahli Tabloid JOB Indonesia.41

Pada 17 April 2006, Dawam memimpin ratusan anggota Alinansi

Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam

demonstrasi ke depan gedung Menteri Agama untuk memprotes larangan menteri

atas Ahmadiyah.42 Pembelaan M. Dawam Rahardjo terhadap Ahmadiyah dan aliran-aliran “sesat” lainnya menyebabkan dipecatnya beliau dari Muhammadiyah

di tahun 2006, saat Muhammadiyah di bawah pimpinan Din Syamsuddin.43 Setelah ulang tahunnya yang ke-65, kondisi kesehatan M. Dawam

Rahardjo semakin memburuk. Meskipun begitu, beliau tetap bersemangat dalam

membuahkan pikiran-pikiran progresif demi membela kebebasan beragama.

Setelah sering keluar-masuk rumah sakit, akhirnya, di tahun 2008, M. Dawam

Rahardjo terpaksa harus dibawa ke Cina untuk menjalani pengobatan di sana.

C. Buku-buku Karyanya

M. Dawam Rahardjo cukup produktif dalam menulis buku, selain juga

menjadi editor beberapa buku dan kolumnis di berbagai media. Berikut ini adalah

beberapa buku karya beliau, yang akan saya kategorikan berdasarkan tema dan isi

pembahasannya.

1. Tema ekonomi Islam, perbankan, manajemen, dan industri. Dalam

beberapa bukunya, M. Dawam Rahardjo dikenal sebagai ekonom Islam

yang banyak menggagas ekonomi kerakyatan, sekaligus mengkritik

41

Fauzi, Demi Toleransi Demi Pluralisme, h. 19-21.

42

“M. Dawam Rahardjo: Defending the Nation's Religious Minority Groups”.

43

(38)

ideologi pembangunan (developmentalism). Buku-buku tersebut antara

lain: Esai-esai Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1988), Tantangan

Indonesia sebagai Bangsa: Esai-esai Krisis tentang Ekonomi, Sosial dan

Politik (Yogyakarta: UII Press, 1999), Independensi Bank Indonesia

dalam Kemelut Politik (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2001), Koperasi

dalam Sorotan Pers (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995),

Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES,

1987), Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990),

Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (Jakarta:

Pustaka Cidesindo, 1997), Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah

(Jakarta: LP3ES, 1995), Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju

Masyarakat Adil dan Makmur (Yogyakarta: PUSTEP UGM, 2004),

Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (Jakarta:

UI Press, 1984), dan Deklarasi Makkah: Esai-esai Ekonomi Islam (Mizan,

1987).

2. Tema agama, pemikiran, tafsir, dan pesantren. Buku-buku tema tersebut

menegaskan identitas M. Dawam Rahardjo sebagai seorang cendekiawan

muslim. Di dalamnya kita akan temui gagasan besar, seperti Islam

transformis dan perubahan sosial. Karya-karyanya antara lain: Insan

Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam (Jakarta: Grafiti Press, 1985),

Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial

(Jakarta: LP3ES, 1999), Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta: P3M,

(39)

Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993), Ensiklopedi al-Qur'an:

Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina,

1996), Paradigma al-Qur'an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (PSAP,

2005), Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF, 1999),

dan Islam dan Transformasi Sosial Budaya (Jakarta: HIT dan LSAF,

2002).

3. Tema sastra. Ada satu buah buku yang menarik karya M. Dawam

Rahardjo yang menarik, yaitu Anjing Yang Masuk Surga (Jakarta:

Jalasutra, 2008). Dari buku ini, kita sadar bahwa M. Dawam Rahardjo

sangat mencintai dunia sastra dan tulis-menulis. Buku ini juga

memperlihatkan kecenderungan pemikiran beliau yang mulai kritis

terhadap beberapa fenomena kekerasan atas nama agama, serta

keyakinannya atas keragaman sebagai suatu hal yang harus dilindungi.

Buku ini juga menggambarkan konteks di mana M. Dawam Rahardjo

tengah berada dalam suasana tekanan konflik yang menyerangnya, terkait

dengan dukungannya atas pluralisme.

4. Beberapa karya M. Dawam Rahardjo lainnya, di mana beliau sebagai

editor atau penyunting buku-buku tersebut, di antaranya: Pembangunan

Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan dan

Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Intermasa, 1997), Sistem Pemilu:

Demokratisasi dan Pembangunan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996),

Profil Indonesia ( Jakarta: CIDES 1994), Pesantren dan Pembaharuan

(40)

1974), dan Usaha Kecil dalam Perekonomian Nasional (Jakarta:

Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, 1994).

Meskipun buku-buku itu tidak satu pun yang secara spesifik membahas

tema kebebasan beragama, namun perhatian M. Dawam Rahardjo sangat besar

dalam hal itu. Contohnya dalam buku Anjing yang Masuk Surga. Bagaimana pun,

kebebasan beragama adalah tema paling aktual yang digagas oleh beliau, yang

(41)

BAB III

WACANA KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

Definisi dan Prinsip Kebebasan Beragama

Definisi kebebasan beragama menurut M. Dawam Rahardjo berarti

kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta

kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan

masing-masing.44 Sedangkan, menurut Siti Musdah Mulia, kebebasan beragama berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama

yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan

keyakinan masing-masing.45 Definisi yang diberikan keduanya tampak senada. Untuk lebih memperjelas definisi kebebasan beragama, kita sebaiknya melihat

ketentuan tentang kebebasan beragama dalam instrumen hak asasi manusia dan

regulasi yang ada di Indonesia.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, artikel 18

menyebutkan: ”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan

beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan,

dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan

pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun

bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”

44

M. Dawam Rahardjo, “Dasasila Kebebasan Beragama.” artikel diakses tanggal 16 Juni 2007, dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925.

45

Siti Musdah Mulia, “Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia,” dalam Hakim, ed.,

(42)

Pengertian ini diperjelas dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan

Politik (KIHSP) 1966, artikel 18 (1), yang menyatakan bahwa, “Setiap orang

mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini

mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan

atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun

bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan

agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan

pengajaran.”

Adapun Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 (e) ayat 1 dan 2,

menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat

menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,

memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali, 2) Setiap orang berhak atas kebebasan

meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati

nuraninya. Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1) Negara

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agama dan kepercayaannya itu.

Selain itu, Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak

Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 22, menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang

bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

(43)

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.

Dengan demikian, penulis dapat menarik definisi kebebasan beragama,

yang berarti kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau

menentukan agama yang dipeluk atas pilihan sendiri, dan kebebasan – baik sendiri

maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum ataupun tertutup

– untuk menjalankan agama atau kepercayaanya, dalam kegiatan ibadah, ketaatan,

pengamalan dan pengajaran, yang mana kebebasan tersebut harus dijamin dan

dilindungi oleh negara.

Kebebasan beragama juga merupakan bagian dari hak asasi keagamaan.

Hak asasi keagamaan dimaksudkan sebagai hak inheren seseorang di ranah privat

ataupun publik untuk beribadah ataupun tidak beribadah sesuai dengan kesadaran,

pemahaman, ataupun pilihannya; untuk membuktikan dan menyebarkan

kepercayaannya; untuk bergabung dalam sebuah lembaga keagamaan; dan untuk

mengubah identitas keagamaannya – seluruhnya tanpa gangguan, penganiayaan,

atau diskriminasi. Hak asasi keagaman memerlukan kesetaraan semua agama,

termasuk yang tidak beragama, di hadapan hukum, dan karenanya, sesuai dengan

hukum, seorang warga negara tidak boleh mendapatkan keuntungan juga kerugian

dikarenakan kepercayaan atau identitas keagamaannya.46

Dalam sejarah Eropa, prinsip kebebasan beragama berakar pada konsep

kebebasan berpikir dan berkesadaran (liberty of thought and liberty of

conscience). Sebuah konsep yang muncul pertama kali dalam Perjanjian

46

(44)

Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri sejarah peperangan atas nama agama di

Eropa.47

Kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia dan realitas sosial tidak

muncul dalam perkembangan sejarah umat manusia, paling tidak, sampai akhir

abad ke-18, sebagaimana terlihat dalam permulaan kelahiran negara Amerika

Serikat dan Revolusi Perancis. Kebebasan beragama menjadi inti hak asasi

manusia – bahkan yang paling mendasar – yang dideklarasikan secara simultan

dalam Deklarasi Perancis tahun 1789 (The French Declaration des droits des

hommes et citoyens) dan Bill of Rights Amerika Serikat.48

Dalam pemikiran politik, konsep kebebasan mendapatkan penafsiran yang

beragam. Salah satu definisi kebebasan di antaranya bahwa tiadanya halangan

atau rintangan bagi seseorang untuk berbuat. John Locke mengemukakan bahwa

hukum sekalipun tidak boleh membatasi kebebasan, dan justru harus menjaga dan

memperluas kebebasan.49 Di sisi lain, pandangan modern memandang bahwa kebebasan diakui menemui batasannya bila berbenturan dengan hukum positif.

Werner Becker memahami kebebasan dalam arti seseorang dalam batasan-batasan

yang telah ditentukan bisa berbuat atau meninggalkan apa yang dikehendakinya.

Batasan-batasan ini boleh jadi adalah kondisi biologisnya ataupun hukum

47

Penjelasan tentang sejarah diskursus kebebasan beragama sebagai dictum internasional dapat ditemui dalam laporan Arcot Krishnawami tahun 1959, Study of Discrimination in the Matter of Religious Rights and Practice, lihat Natan Lerner, “The Nature anf Minimum of Freedom of Religion or Belief,” dalam Tore Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004), pp. 68-69.

48

Leonard Swindler, “Freedom of Religion and Dialogue,” dalam Lindholm, et.all., ed.,

Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, p. 761.

49

Referensi

Dokumen terkait

It can be noted that the simple present applies when information presented is generally accepted as scientific fact (Weissberg and Buker 1990, p. The choice of the simple

Tanggung renteng tidak selamanya sesuai dengan tujuan kelompok dan LKM oleh karena itu dibuatlah kriteria supaya tanggung renteng berjalan secara efektif dengan

Jika nilai produk/jasa industri dan volume barang/jasa sama besar, maka pilih kegiatan yang menghasilkan barang/jasa dengan waktu terlama d2. Jika nilai produk/jasa

Pada suatu hari, burung gagak, kijang, musang, dan kura-kura berjanji bertemu di bawah pohon kesambi besar di kaki bukit. Mereka telah lama menjalin persahabatan dan saling membantu dalam kehidupan.

Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien,

Laporan keuangan perseroan Selasa menyebutkan, pendapatan turun jadi USD 303.77 juta dari pendapatan tahun sebelumnya yang USD 383.88 juta dan beban pokok turun jadi USD

Kita harus mengamati-amati (menjaga) agar anak bertumbuh menurut kodratnya. Tugas orang tua dan guru adalah menjadi fasilitator dalam tumbuh kembang anak

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayahnya, serta senantiasa memberikan petunjuk besar kepada penulis sehingga penulis dapat