• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Wahid Institute dan gerakan kebebasan beragama di Indonesia: perpektif gerakan sosisal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Wahid Institute dan gerakan kebebasan beragama di Indonesia: perpektif gerakan sosisal"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia:

Perspektif Gerakan Sosial

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Saepul Agna

NIM. 207032200624

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)

Untuk nenek dari ibu–yang selalu terjaga dan berdoa pada sepertiga malam terakhir.

(4)
(5)
(6)
(7)

iv

Ucapan Terima Kasih

Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Demi malam apabila menutupi cahaya siang.

Dan siang apabila terang benderang.

Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa."

Alquran 85:1. 92:1-2. 94:2. 112:1

Skripsi The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia:

Perspektif Gerakan Sosial telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh

gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyelesaian studi penulis–yang semula Program Studi Sosiologi Agama

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat kemudian menjadi Program Studi Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik–menjadi mungkin karena

kebaikan-kebaikan dari banyak pihak.

Untuk keperluan akademik dan administratif–dengan cara yang berbeda–

mereka telah mengajarkan pengetahuan Sosiologi dan memberikan kenyamanan

ketika menjalaninya. Untuk bimbingan, dorongan, pengertian, dan bantuan untuk

kesulitan yang dihadapi penulis sampaikan ucapan terima kasih.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Profesor Bahtiar Effendi.

Ketua dan Sekretaris Program Non-Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

(8)

v

Program Studi Sosiologi, Dr. Zulkifli Zul Harmi M.A dan Joharatul Jamilah M.Si

yang kemudian berganti Iim Halimatusa’diyah M.Si.

Dosen-dosen, diantaranya, Profesor Zainun Kamaluddin Faqih, (almh)

Profesor Musyrifah Sunanto, Profesor Zaini Muchtarom, Profesor Bambang

Pranowo, Dr. Muhaimin M.A, Dr. Amin Nurdin M.A, Ida Rosyidah M.A,

Joharatul Jamilah M.Si, Helmi Hidayat M.A, Saifuddin Asrori M.Si, Cucu

Nurhayati M.Si, Mohammad Hasan Ansori Ph.D, Iim Halimatussadiyah M.Si, dan

Ahmad Abrori M.Si.

Dewan Pertimbangan Skripsi, Dzuriyatun Toyibah M.Si dan Iim

Halimatussadiyah M.Si yang kemudian berganti Zulkifli Zul Harmi Ph.D dan Ida

Rosyidah M.A. Selanjutnya Ida Rosyidah M.A menjadi pembimbing skripsi

penulis.

Juga pustakawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan pustakawan

Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kebersamaan dengan teman-teman membuat hari-hari penulis di Ciputat

menjadi lebih dari sekedar rutinitas akademik tetapi juga memberikan sesuatu

yang tak tergantikan dengan apapun. Kesan-kesan terbaik persahabatan yang

hangat bahkan lebih seperti menemukan keluarga kedua–tempat berbagi banyak

hal. Untuk segalanya penulis sampaikan terima kasih.

Teman-teman di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah

Jakarta–setahun sebelum studi Sosiologi penulis studi pada Program Studi Syariah

(9)

vi

Haq, Andri, Eko Widiyanto. Muhammad Ikhsan, Syaiful Rohman, Muammar

Khaddafi, Atika Purnamasari. (Alm) Nurzaman, Harisma Asadullah, Ibnu

Zakwan, Saep Amrullah, Asep Hidayatullah, Aldina Ramdhani, Siti Muthmainah,

Senny Rifki. Juga Indra Gunawan dan Andi Kurniawan.

Teman-teman di Non-Reguler Program Studi Sosiologi, Sandi Irawan dan

Mukhlis. Di Reguler Program Studi Sosiologi Agama, diantaranya, Wardatul

Jannah, Dara Nurzakiyah, Ati Atiyurrohmah, Andini Pratiwi, Dini Siva, Herlina

Dwi Astuti, Jafar Shodiq, Mufti Abid, Charlie Muhammad Dzulfikar, Fadly Budi,

Nurjaman, Matin Halim, Cecep Sopandi, Ferri Bastian, Muhammad Satria

Wijaya, Adriansyah, Muhammad Sibli, Ahmad Satria Waris, Andri Prakarsa,

Muhammad Erfan, Yandhi Deslatama, Rizkiyah Hasanah, Baarvah Kahfina, (alm)

Budiman, dan Waheed Manan.

Dari fakultas-fakultas yang berbeda, diantaranya, Abdul Mu’id, Adnan

Munawwir, Ratnawati, Ruslan Ghoni, Abdullah Said, Usman Usmana, Firdaus,

Imamatul Azimah, Syahri Fajriyah, Nur Syabani, Amalia Nasuha, Nur Sakinah

Nasution, Nurhidayati, Asminah, Ummi Saadah, Rina Hutari, Dimas Ridwan

Hakim, dan Hendar Purnama.

Di tempat tinggal selama menjalani studi, diantaranya, Ahmad Hasan,

Muhammad Rizki, Shohibul Hujjah, Rosidi, Saleman, Makmur Ismail Saleh,

Muhammad Ahda Murtaqi, Ryenaldo Rio, Khairus Saleh, Miftahul Bari, dan

Abdurrohman.

Teman-teman di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Cirendeu dan

(10)

vii

Achmad Husni Lamarobak, Andy Wiyanto, Himawan Sutanto, Taufiqurrahman,

Gilang Pandu, Muhammad Syaifurrahman, Anto Tuntas Widi, Putut Dwi

Wijayanti, Narizka Dyan Wulandari, Resti Indah Harini, Witri Zuama Qomarania,

Saddam Asir, dan Dadan Hermawan. Juga Beni Azhar, A. Saiful Safikri,

Saefuddin Zuhri, dan Komaruzzaman. Ristan Alfino, Muhammad Iklima, Nofyan

Safri Lubis, dan Jufridin Daud.

Ucapan terima kasih terbesar penulis sampaikan kepada mereka yang telah

memberikan kasih sayang, doa, harapan, pengorbanan, dan pengertian yang

berlimpah. Kakak penulis, Mas’ud Ramdhani–Diana Astri dan Rizki Mulyadi–Evi

Nuraini serta kelahiran Ayeesha Salsabila, Sabrina Latifa, dan Nadeera Azzahra

yang sangat membahagiakan kami. Adik penulis, Rizal Kamilah dan Santi

Nurjannah. Nenek penulis, Jaja. Tentu saja, untuk mereka yang meyakini

anak-anaknya adalah segalanya dalam hidup yang dijalani, ayah penulis, Lili Sukmana,

dan ibu penulis, Ami Darminingsih.

Setelah semua yang dijalani, selesainya studi ini membuat penulis menjadi

(11)

viii

Abstrak

Saepul Agna. The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia: Perspektif Gerakan Sosial. 2012.

Penegasan konstitusi maupun ratifikasi kovenan internasional yang merupakan instrumen pokok hak asasi manusia terkait kebebasan beragama, tidak menjadikan implementasinya menjadi lebih mudah. Lebih dari satu dekade era reformasi bergulir, kebebasan beragama masih dengan beragam tantangan besar dalam implementasinya. Seperti ditunjukan laporan pemantauan yang dilakukan Setara Institute, ruang publik pasca Orde Baru yang terbuka ditandai intensitas tinggi pelanggaran hak konstitusional ini oleh negara maupun warga negara terutama mengarah pada individu dan kelompok minoritas yang memiliki kecenderungan

berbeda dengan sudut pandang negara maupun mainstream agama masyarakat.

Seiring dengan itu, The Wahid Institute–kemudian ditulis Wahid Institute– menjalankan gerakan kebebasan beragama. Kemunculan dan perkembangan Wahid Institute tidak terlepas keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru dan pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global. Peran besar Wahid juga menandai perkembangan generasi muda progresif Nahdlatul Ulama pada dekade 1980-an dimana bagian kecilnya kemudian bergiat sejak kemunculan Wahid Institute termasuk relasinya dengan lembaga donor internasional terutama The Asia Foundation dan TIFA Foundation serta jaringan kerjanya dibeberapa wilayah dalam menjalankan beragam usaha dalam kerangka gerakan kebebasan beragama.

Ketika intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama mengemuka, gerakan kebebasan beragama Wahid Institute menjalankan beragam usaha mengarah tiga level permasalahan kebebasan beragama, yaitu, regulasi dalam struktur negara termasuk relasi negara dengan Majelis Ulama Indonesia dan regulasi yang terbit konteks otonomi daerah pasca Orde Baru, kapasitas aparatur negara, dan intoleransi warga negara yang juga menandai implikasi anutan doktrin intoleran organisasi Islam radikal. Wahid Institute menjalankan beragam gerakan

kebebasan beragama civil society melalui diskursus dan aksi kolektif mendesakan

(12)

ix

1. Perspektif Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure) ……….

2. Perspektif Sumber Daya Mobilisasi (Resource Mobilization Theory)………..…...

20

20

21

22

(13)

x

3. Perspektif Pembingkaian Aksi Kolektif (Collective Action Frames) ...……...… 26

Bab III Profil The Wahid Institute ...

A. Abdurrahman Wahid: Pendiri The Wahid Institute ……….

B. Visi dan Misi The Wahid Institute ……….………

C. Organisasi The Wahid Institute ………..

Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute ...…...

A. Keterbukaan Ruang Publik Pasca Orde Baru dan Kemunculan The Wahid Institute …

B. Generasi Muda Nahdlatul Ulama dan Perkembangan The Wahid Institute ...

C. The Wahid Institute: Negara, Warga Negara,

dan Pelanggaran Kebebasan Beragama ...

D. The Wahid Institute dan Strategi Gerakan Kebebasan Beragama Civil Society …...

E. The Wahid Institute: Menyemai Keberagaman Menyemai Islam Damai

(Seeding Plural and Peaceful Islam) ………

(14)

1

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Kebebasan beragama merupakan hak konstitusional setiap warga negara.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E menegaskan kebebasan untuk memeluk agama

dan beribadah sesuai agama yang dianutnya serta jaminan perlindungan dari

negara terhadap segala bentuk diskriminasi, yaitu:

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarga-negaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Jaminan yang diberikan negara terhadap kebebasan beragama warganya

ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29:

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.

Selain penegasan Undang-Undang Dasar 1945, kebebasan beragama diatur

dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang

menegaskan kembali kebebasan beragama dan menjalankan peribadatannya. Juga

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia yang

menjadikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara luas dan sistematis

kepada kelompok yang didasarkan pada identitas agama tertentu dapat

(15)

2

Pada 2005 pemerintah meratifkasi instrumen pokok hak asasi manusia

yang mengatur jaminan kebebasan beragama, yaitu, Kovenan Internasional

tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political

Rights) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.1 Kemudian penerimaan

1

(16)

3

Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan

Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of

Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan

melalui resolusi Sidang Umum PBB No. 36/55 pada 25 November 1981.

Meski sifat dasar hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan, dalam

diskursus dan impliementasi hak asasi manusia juga dikenal pembatasan hak asasi

manusia. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik memuat prinsip

siracusa yang menggarisbawahi pada situasi atau kondisi tertentu yang telah

disepakati bahwa hak-hak asasi manusia yang dapat ditunda atau ditangguhkan

dapat diberlakukan.2 Prinsip siracusa menjelaskan dua pembedaan implementasi

hak asasi manusia, yaitu, prinsip hak-hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya

(non-derogable rights) dan hak-hak yang dapat ditunda pemenuhannya

(derogable rights).3 Pembatasan hak asasi manusia diletakan dalam kerangka

2

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur adanya pembatasan hak asasi manusia tertentu. Beberapa klausul pembatasan yang digunakan, yaitu, pembatasan diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/order public), kesehatan umum (public health), moral umu (public moral), keamanan nasional (national security), keamanan umum (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights andfreedom of others) dan hak dan reputasi orang lain (rights and reputations of others), kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties), dan pembatasan terhadap pers dan pengadilan umum (restrictions onpublic trial).

3

(17)

4

kebebasan internal atau kebebasan individu (forum internum) dan kebebasan

eksternal atau kebebasan sosial (forumexternum).4

Dalam konteks kebebasan beragama di Indonesia, pembatasan dalam

implementasi kebebasan beragama ditandai dengan Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 28 J Ayat 2 yang menegaskan:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Namun, pemantauan berkala kebebasan beragama yang dilakukan Setara

Institute,5 dalam rentang waktu penelitiannya menunjukan intensitas tinggi

pelanggaran kebebasan beragama.6 Kerangka penulisan laporan pemantauan

4

Kebebasan individu atau kebebasan internal (foruminternum)adalah kebebasan dimana tidak ada satu pihak pun yang diperbolehkan campur tangan terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak ini. Hak-hak dalam rumpun kebebasan individu atau kebebasan internal (foruminternum) adalah: (1) Hak untuk bebas menganut dan berpindah agama; dan (2) Hak untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama. Sedangkan kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forum externum) dimungkinkan dalam situasi khusus tertentu negara membatasi hak-hak ini, namun dengan prasyarat yang ketat berdasarkan prinsip siracusa. Hak yang termasuk dalam rumpun kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forum externum) adalah: (1) Kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka; (2) Kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah; (3) Kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama; (4) Kebebasan untuk merayakan hari besar agama; (5) Kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama; (6) Hak untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama; (7) Hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya; (8) Hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi atau perkumpulan keagamaan; dan (9) Hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materi-materi keagamaan.

5

Pemantauan berkala kebebasan beragama yang dilakukan Setara Institute, yaitu, Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (2007), Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (2009), Negara Harus Bersikap: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (2010), Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010 (2011).

6

(18)

5

tersebut mengacu pada framework for communications yang dikembangkan oleh

Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan beragama yang penyusunannya didasarkan

atas pendekatan pelanggaran. Pendekatan demikian dipahami sebagai upaya untuk

memantau sejauh mana negara menjalankan keharusannya menghormati,

memenuhi, dan melindungi kebebasan beragama.7 Pemantauan berkala tersebut

menunjukan pada 2007 terjadi 135 peristiwa pelanggaran dengan 185 tindakan

pengumpulan data pemantauan diperoleh melalui beberapa metodologi, yaitu, diskusi terfokus, data dari institusi keagamaan dan institusi pemerintah, dan wawancara dengan otoritas pemerintahan dan tokoh masyarakat yang relevan di tingkat daerah pemantauan serta pengamatan melalui media untuk daerah-daerah yang tidak menjadi fokus pemantauan.

7

Pelanggaran kebebasan beragama adalah bentuk kegagalan atau kelalaian negara dalam implementasi seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak melindungi seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi atau tindak pidana berdasarkan agama atau keyakinan. Dengan demikian, pelanggaran kebebasan beragama adalah tindakan penghilangan, pencabutan, pembatasan atau pengurangan hak kebebasan beragama, yang dilakukan oleh institusi negara, baik berupa tindakan aktif (by commission)maupun tindakan pembiaran (by comission).

Terminologi hak asasi manusia yang berhubungan dengan kebebasan beragama adalah intoleransi dan diskriminasi. UNESCO menjelaskan intoleransi sebagai turunan dari kepercayaan bahwa kelompoknya, sistem kepercayaan atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi dari kurangnya penghargaan atau pengabaian terhadap orang lain hingga diskriminasi yang terinstitusionalisasi. Diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama, yaitu, setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan (favoritism) yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental atas suatu dasar yang sama, seperti tidak mau menerima suatu kelompok atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap kelompok lain berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan. Kejahatan intoleransi dan kebencian adalah tindakan yang dimotivasi oleh kebencian atau bias terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan jender, ras, warna kulit, agama, asal negara, dan/atau orientasi seksualnya yang ditujukan untuk menyakiti dan mengintimidasi seseorang karena ras, suku, asal negara, agama, orientasi seksual dan karena faktor

(19)

6

pelanggaran, pada 2008 terjadi 265 peristiwa pelanggaran dengan 367 tindakan

pelanggaran, pada 2009 terjadi 200 peristiwa pelanggaran dengan 291 tindakan

pelanggaran, dan pada 2010 terjadi 216 peristiwa pelanggaran dengan 286

tindakan pelanggaran.8

Sepanjang rentang tersebut, terutama individu dan kelompok minoritas

yang memiliki kecenderungan berbeda dengan mainstream agama masyarakat dan

sudut pandang negara, telah menjadi korban dan tetap berada dalam kereentanan

pelanggaran kebebasan beragama yang tersebar diberbagai wilayah dengan

intensitas beragam. Pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi menandai

tindakan aktif negara yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan,

campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan beragama

(by commission) dan negara membiarkan hak kebebasan beragama terlanggar,

termasuk membiarkan tindak pidana yang terjadi dan tidak diproses secara hukum

(by omission). Sedangkan tindakan warga negara ini secara garis besar mencakup

tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadah, intimidasi, kekerasan fisik,

dan lain-lain dan tindakan intoleransi.9

8

Pemantauan berkala tersebut menunjukan pada 2007 dari 185 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 92 tindakan pelanggaran. Pada 2008, dari 367 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 188 tindakan pelanggaran. Pada 2009, dari 291 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 139 tindakan pelanggaran. Pada 2010, dari 286 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 103 tindakan pelanggaran. Sedangkan pelangaran oleh warga negara pada 2007, dari 185 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 93 tindakan pelanggaran. Pada 2008, dari 367 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 179 tindakan pelanggaran. Pada 2009, dari 291 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 152 tindakan pelanggaran. Pada 2010, dari 286 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 183 tindakan pelanggaran. Dalam satu peristiwa pelanggaran bisa saja institusi-institusi melakukan sejumlah tindakan pelanggaran bersama-sama. Dan bisa saja beberapa organisasi masyarakat bersama-sama melakukan sejumlah tindakan. Demikian pula antara institusi negara dan organisasi masyarakat bisa saja bersama-sama melakukan beberapa tindakan pelanggaran dalam satu peristiwa pelanggaran.

9

(20)

7

Diruang publik pasca Orde Baru yang terbuka, diskursus agama tidak

hanya terkait diskursus relasi agama dan politik dialog teologis mengemuka salah

satunya diskursus mengenai Ahmadiyah–misalnya terkait argumentasi kenabian

pasca Nabi Muhammad juga kitab suci selain Alquran–yang kemudian mengarah

pada penodaan agama atau penyimpangan agama yang dilakukan Ahmadiyah

terhadap Islam.10 Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) meski tidak menjadi

ketetapan hukum yang mengikat sering masyarakat jadikan sebagai legitimasi

tindakan diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan. Bahkan aparat negara sering

menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam mengambil tindakan terhadap

kelompok yang telah dianggap menyimpang.11

Seiring dengan itu, keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru dan

pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global

ruang publik menandai perkembangan gerakan Muslim. Ruang publik ditandai

dan yangterdapat di dalam sejumlah konvensi-konvensi hak asasi manusiayang sudah diratifikasi, konstitusi, dan hukum domestik yang mengatur kewajiban negara. Sedangkan untuk kategori tindakankriminal yang dilakukan oleh warga negara dan intoleransi, kerangka hukumyang bisa digunakan adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

10

10 kriteria tersebut, yaitu, mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tak sesuai dengan Alquran dan Assunah, meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Alquran, melakukan penafsiran Alquran yang tak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam, menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari nabi Muhammad sebagi nabi dan rasul terakhir, mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang ditetapkan syariah, seperti pergi haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak lima waktu, dan mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan sesama Muslim Karena bukan kelompoknya. Sebelumnya pada 2005, MUI memicu kontroversi di ruang publik ketika mengeluarkan yang berkaitan dengan masalah hak kebebasan berpikir, berekspresi, hak beragama. Musyawarah Nasional MUI ke VII Juli 2005 mengeluarkan 11 fatwa yang hampir seluruhnya menyangkut isu hak-hak asasi manusia seperti kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan berekspresi dan lain-lain. MUI, misalnya, mengharamkan doa bersama antar agama, nikah beda agama, warisan beda agama, pluralisme, sekularisme dan liberalisme hingga salah satu yang sampai saat ini terus menuai polemik, fatwa kesesatan aliran Ahmadiyah dan larangan penyebarannya di Indonesia.

11

(21)

8

kemunculan berlimpah gerakan Muslim setelah selama lebih dari tiga dekade

rezim developmentalisme-represif Orde Baru yang membatasi perkembangannya

yang identik dengan instabilitas politik Orde Lama. Konsolidasi dan kontestasi

diskursus dan aksi kolektif gerakan Muslim pasca Orde Baru dengan agenda yang

berbeda serta intensitas dan ekspresi yang beragam diruang publik yang terbuka

menandai kemunculan dan perkembangan The Wahid Institute–kemudian ditulis

Wahid Institute.

Dalam perkembangannya, seperti ditunjukan Mario Diani, selain memiliki

bentuk gerakan yang tidak terorganisasi, gerakan sosial juga memiliki

kecenderungan muncul dalam yang bentuk terorganisasi, berkelanjutan, dan

tantangan kesadaran diri yang menunjukan bagian identitasdari para pelakunya.12

Sosiologi gerakan sosial tidak hanya mempelajari aksi-aksi kolektif yang tidak

melembaga tetapi juga mengarah pada gerakan yang terorganisasi atau

melembaga dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.

Seperti ditunjukan namanya, Wahid Institute didirikan Abdurrahman

Wahid yang dikenal publik sebagai intelektual Muslim terkemuka dan

keterlibatannya dalam aktivisme civil society maupun politik praktis. Tetapi

keterlibatan Wahid dalam aktivisme civil society maupun politik praktis

dipandang tidak mereduksi intelektualismenya sebagai pemikir independen.

Aktivisme civil society maupun politik praktis Wahid yang seringkali diiringi

kontroversi ditandai capaian-capaian tinggiya–diantaranya memimpin Nahdlatul

Ulama yang merupakan organisasi Islam terbesar pertama di Indonesia pada

12

(22)

9

rentang 1984-2009 kemudian menjadi presiden pasca pemerintahan transisi BJ.

Habibie.

Ketika intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama mengemuka,

gerakan konstituensi kebebasan beragama juga menunjukan kecenderungan

menguat. Dalam konteks penguatan kecenderungan penguatan gerakan

konstituensi kebebasan beragama tersebut salah satunya menandai peran Wahid

Institute. Beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute diletakan dalam

kerangka gerakan sosial yang secara konseptual dijelaskan Turner dan Killian

sebagai suatu tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat

perubahan dalam masyarakat atau organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat

itu.13

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Penegasan konstitusi, perundangan-undangan dan ratifikasi kovenan internasional

instrumen pokok yang mengatur kebebasan beragama tidak menjadikan

implementasi kebebasan beragama menjadi lebih mudah. Seiring dengan itu,

gerakan konstituensi kebebasan beragama menunjukan kecenderungan menguat.

Penelitian ini membatasi permasalahan pada beragam usaha yang dijalankan

Wahid Institute sebagai bagian kecenderungan penguatan gerakan konstituensi

kebebasan beragama di Indonesia.

Dari batasan masalah demikian, penelitian ini merumuskan tiga masalah

yaitu:

13

(23)

10

1. Bagaimana struktur kesempatan politik pada kemunculan dan perkembangan

Wahid Institute?

2. Bagaimana sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama Wahid

Institute?

3. Bagaimana pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama Wahid

Institute?

C. Tujuan Penelitian

Dengan demikian penelitian ini mengarah pada tiga tujuan, yaitu:

1. Untuk mengetahui struktur kesempatan politik pada kemunculan dan

perkembangan Wahid Institute.

2. Untuk menggambarkan sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama

Wahid Institute.

3. Untuk memahami pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama

Wahid Institute.

D. Mamfaat penelitian

Penelitian ini didorong untuk menjadi bagian pengayaan literatur studi-studi

gerakan sosial di Indonesia. Sedangkan secara praktis, penelitian ini didorong

untuk dapat menjadi bagian dalam usaha mewujudkan kebebasan beragama. Hal

ini terutama bagi institusi dan aparatur negara yang terkait dengan implementasi

kebebasan beragama maupun beragam civil society penggiat gerakan kebebasan

(24)

11 E. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai kebebasan beragama telah cukup berlimpah. Penelitian

mengenai kebebasan beragama diantaranya terfokus pada korban pelanggaran

kebebasan beragama, pelaku pelanggaran kebebasan beragama, dan lainnya

terfokus pada gerakan kebebasan beragama dan dialog antar umat beragama.

Penelitian tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengayaan

literatur teoritis dan metodologis bagi penelitian ini.

Pada 2010 Setara Institute melakukan penelitian Atas Nama Ketertiban

dan Keamanan: Persekusi Ahmadiyah di Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan

Kuningan. Penelitian Setara Institute ini seiring diskriminasi, intoleransi dan

bahkan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah oleh beragam organisasi Islam

radikal di wilayah tersebut. Selain menjadi isu yang populis, pembelaan terhadap

Islam sangat potensial mendapat pembenaran dan dukungan publik luas.

Kelompok Islam garis keras telah memilih isu penolakan berkelanjutan terhadap

Ahmadiyah sebagai salah satu agenda politik untuk kepentingan organisasi ini.

Penelitian ini dilakukan terhadap jemaat Ahmadiyah di wilayah penelitian dengan

melakukan riset lapangan, dan wawancara.

Setara institute menunjukan jamaah Ahmadiyah di wilayah penelitian

mengalami persekusi, yaitu, tindakan penganiayaan sistematis dalam berbagai

bentuknya yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap kelompok

lainnya. Rangkaian peristiwa yang menimpa jamaah Ahmadiyah menunjukan

keberulangan dan sistematis melibatkan organisasi Islam radikal, didukung oleh

organisasi korporatis negara MUI, dan dilegitimasi oleh pemerintah dan

(25)

12

Institute juga menunjukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama,

Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008,

No. KEP-033/A/JA/6/2008, No. 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah

Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat pada kenyataannya juga gagal melindungi

kebebasan beragama jamaah Ahmadiyah.

Pada tahun yang sama Setara Institute melakukan penelitian lainnya,

Wajah Para ‘Pembela’ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya Terhadap

Kebebasan Beragma/Berkeyakinan. Penelitian Setara Institute ini seiring

dinamika kebebasan beragama di Indonesia dalam rentang 2007-2009 yang

ditandai relasi intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama dengan

perkembangan beragam organisasi Islam radikal di Jakarta dan Jawa Barat.

Penelitian ini memadukan pendekatan kualitatif dengan melakukan riset,

wawancara dan focused group discussion dengan organisasi Islam radikal dan

pegiat hak asasi manusia dan demokrasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan

Bekasi, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur dan pendekatan kuantitatif

survey opini publik.

Setara Institute menunjukan implikasi anutan doktrin organisasi Islam

radikal dalam sejumlah sikap dan perilaku intoleran dan diskriminasi.

Perkembangan organisasi Islam radikal seiring kondisi sosial yang intoleran dan

kegagalan negara dalam melakukan pencegahan untuk melindungi kelompok lain

dan pembiarannya terhadap berbagai pelanggaran kebebasan beragama menjadi

lapangan terbuka bagi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Dukungan

(26)

13

bangunan jejaring politik antar keduanya menjadikan organisasi ini semakin

mendapat dukungan publik yang luas terlebih dalam kondisi intoleransi

masyarakat yang terus mengalami radikalisasi pelanggaran kebebasan beragama

berada dalam kerentanan untuk terulang.

Konsorsium untuk Kebebasan Sipil menulis Gerakan Kebebasan Sipil:

Studi dan Advokasi Kritis Atas Perda Syari`ah yang merupakan upaya mengkritisi

berbagai peraturan daerah bernuansa syariah dan melakukan advokasi

perubahannya. Penelitian ini terfokus pada gerakan yang dilakukan sejak

November 2006 hingga Oktober 2008, Konsorsium untuk Kebebasan Sipil, yang

terdiri dari beberapa lembaga di Jakarta, yaitu, Freedom Institute, Lembaga Survei

Indonesia (LSI), The Indonesia Institute (TII), dan Jaringan Islam Liberal (JIL),

dan individu-individu penggiat penegakan hak-hak sipil. Konsorsium ini

menyelenggarakan sejumlah kegiatan mencakup studi kepustakaan, survei opini

elite, wawancara radio, lokakarya dengan masyarakat sipil, dan dengar pendapat

dengan para elite politik di daerah.

Gerakan ini dimulai dengan dua kali survei opini elite politik yang

dilakukan pada Mei 2007 dan Juni-Juli 2008 di beberapa wilayah, yaitu,

Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Banjar Baru,

Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Jember, Kota Padang, Kota Tangerang , Kota

Bekasi, dan Kota Bogor. Sembilan daerah tersebut, kecuali Kota Bekasi dan Kota

Bogor, menerbitkan peraturan daerah bernuansa syariah. Gerakan kemudian

mengarah pada kegiatan advokasi melalui lokakarya dengan masyarakat sipil dan

(27)

14

daerah berdasarkan syariah. Survei opini elite politik dan advokasi kebebasan sipil

ditambah dengan liputan media massa yang dijalankan Konsorsium untuk

Kebebasan Sipil digerakan menjadi agen sosialisasi dan advokasi kebebasan sipil

seiring terbitnya banyak peraturan daerah berdasarkan syariah.

Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah

Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yance Zadrak Rumahuru pada 2005

berjudul Peace and Dialogue: Kajian Sosiologi terhadap Dialog dan Inisiatif

Damai di Ambon 1999 – 2004. Tesis terfokus pada tema besar dialog dan

perdamaian (peace and dialogue) dalam konteks komunitas-komunitas sosial

(umat beragama) di Ambon. Penelitian ini dilakukan di Ambon, dengan

mengambil fokus pada dua lokasi masing-masing, Negeri Batumerah (negeri

Islam) di kecamatan Sirimau dan Negeri Passo (negeri Kristen) di kecamatan

Teluk Ambon Baguala di kota Ambon yang merupakan salah satu tempat di mana

terjadi pemusatan pertikaian di Ambon 1999-2002. Data yang diperoleh melalui

kuesioner yang terdiri dari beberapa pertanyaan dengan pilihan jawaban tertentu

dan terbuka. Kedua, melakukan focus group discussion, dengan

kelompok-kelompok masyarakat setempat. Ketiga, melakukan wawancara mendalam dengan

empat belas informan pada kedua negeri.

Penelitian dilakukan di Passo dan Batumerah yang memiliki tingkat

kemajemukan yang cukup tinggi, terutama dari latar belakang etnis tetapi secara

kultural memiliki kesamaan budaya dan adat istiadat menemukan bahwa

pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat sama-sama menggunakan

(28)

15

pertikaian sebagai prasyarat untuk membangun rekonsiliasi dan rehabilitasi di

Maluku. Namun demikian, terdapat penilaian oleh komunitas setempat bahwa

pemerintah lebih cenderung menggunakan pendekatan yang sifatnya stuktural.

Berbeda dengan pemerintah, umumnya kelompok-kelompok masyarakat

melakukan dialog dan inisiatif damai melalui pendekatan dari bawah dan

menggunakan kearifan atau kebanggaan-kebanggaan lokal setempat yang dalam

tesis ini disebut dengan pendekatan kultural.

Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah

Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Siti Sarah Muwahidah pada 2007

berjudul Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput: Sebuah Studi Kasus tentang

Program-Program Pemberdayaan Dialog Antariman di Jawa Timur merupakan

riset lapangan di sebuah dusun kecil di Jawa Timur, Banyu Urip. Peneliti merujuk

Swidler yang menjelaskan program antariman tidak bisa hanya dilaksanakan oleh

kaum akademisi dan elite agama juga Knitter yang menjelaskan kerjasama

antariman di level akar rumput niscaya akan memunculkan dialog antariman.

Tesis ini meneliti upaya pemberdayaan antariman yang dimulai oleh sekelompok

aktivis Katolik pada 1997 terhadap warga Banyu Urip yang mengalami tekanan

secara ekonomi dan politik dan tekanan untuk memilih salah satu dari lima agama

yang diakui pemerintah karena tradisi Kejawen telah dibatasi.

Temuan umum peneliti adalah dalam masyarakat yang miskin

pengetahuan agama yang mereka anut, dialog tentang agama yang muncul

menjadi berbeda dengan apa yang telah dideskripsikan Knitter. Sebuah dialog

(29)

16

membentuk suatu forum yang dapat menjadi kontrol atas dusun dan kepentingan

bersama serta memperkuat hubungan antaragama di antara mereka. Pemberdayaan

antariman telah mendorong warga Banyu Urip memperoleh klaim kepemilikan

tanah yang menjadi common ground warga Banyu Urip.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor, seperti

dikutip Moleong, menjelaskan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau ucapan dan

tindakan yang diamati.14 Pendekatan kualitatif diarahkan pada latar dan individu

tersebut secara utuh. Dalam hal ini, tidak boleh mengisolasikan individu dan

organisasi ke dalam variabel dan hipotesis tetapi harus dipandangnya sebagai

bagian dari suatu keutuhan.

Karakter penelitian kualitatif, seperti dijelaskan Moleong, yaitu: (1)

Berlangsung dalam latar yang alamiah, (2) Peneliti sendiri merupakan instrumen

atau alat pengumpulan data yang data, (3) Analisis datanya dilakukan secara

induktif.15 Moleong menjelaskan beeberapa pertimbangan penggunaan

pendekatan kualitatif, yaitu: (1) Pendekatan kualitatif lebih mudah menyesuaikan

ketika berhadapan dengan kenyataan ganda, (2) Pendekatan kualitatif menyajikan

secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, dan (3)

14

Ibid., h. 4.

15

(30)

17

Pendekatan kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan dengan banyak

penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.16

Sumber dan jenis data dalam penelitian kualitatif menurut Lofland, seperti

dikutip Moleong ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan

seperti dokumen melalui catatan tertulis, atau melalui perekam video,

pengambilan foto atau film.17 Kriteria data yang dikumpulkannya adalah data

yang pasti. Moleong menjelakan data yang pasti adalah data yang terjadi

sebagaimana adanya bukan sekedar data yang terlihat dan terucap tetapi data yang

mengandung makna dibalik yang terlihat dan terucap tersebut.18

Data sekunder yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan pihak lain

penelitian ini didapatkan dengan survey dokumen catatan peristiwa dalam bentuk

tulisan, gambar, dan aktivisme. Survey dokumen dilakukan di kantor Wahid

Institute Matraman Jakarta yang sebagian diantaranya juga terdokumentasikan

dalam website wahidinstitute.org. Data sekunder penelitian ini juga didapatkan

dari berbagai sumber literatur yang relevan dengan fokus penelitian yang

dilakukan, antara lain, buku, jurnal, laporan lembaga, dan lainnya. Data sekunder

yang terpencar yang diberbagai sumber kemudian direkonstruksi dan

direinterpretasi sesuai dengan kerangka kerja.

Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama penelitian ini

didapatkan melalui wawancara yang Moleong jelaskan sebagai sebuah percakapan

16

LJ Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ( Bandung: Remaja Rosdakarya), h. 4.

17

Ibid., h. 157.

18

(31)

18

dengan maksud tertentu yang dilakukan dua pihak, yaitu, pewawancara yang

mengajukan pertanyaan dan yang memberikan jawaban pertanyaan tersebut.19

Tujuan wawancara dijelaskan Lincoln dan Guba, seperti dikutip Moleong, adalah

untuk merekonstruksi menegnai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan,

tuntutan, kepedulian, dan lain-lain.20 Penelitian ini mengunakan wawancara untuk

menghimpun berbagai informasi dari sejumlah informan kunci yang ditentukan

berdasarkan relevansi dan kapasitas yang dimilikinya terkait gerakan kebebasan

beragama yang dijalankan Wahid Institute. Wawancara dilakukan dengan direktur

eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy dan dua staf Wahid Institute, yaitu,

Rumadi dan Alamsyah M. Djafar.

Data primer dan sekunder yang terhimpun dari berbagai sumber kemudian

dikategorikan sesuai dengan kerangka kerja penelitian ini. Data-data tersebut

selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis sehingga

didapatkan kecenderungan umum untuk memberikan gambaran realitas gerakan

kebebasan beragama Wahid Institute.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu, latar belakang masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, tinjauan

pustaka,metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kerangka Teori merupakan penjelasan mengenai istilah konseptual

penelitian ini. Pembahasan dimulai dengan penjelasan istilah konseptual gerakan

19

Ibid., h. 137.

20

(32)

19

sosial. Pembahasan kemudian mengarah pada perspektif gerakan sosial, meliputi,

struktur kesempatan politik (political opportunity structure), teori sumber daya

mobilisasi (resource mobilization theory), dan pembingkaian aksi kolektif

(collective action frames).

Bab III Profil The Wahid Institute dimulai dengan pembahasan Wahid

yang dikenal publik sebagai intelektual dan capaian keterlibatannya dalam

aktivisme civil society dan politik praktis. Pembahasan selanjutnya mengarah pada

visi dan misi Wahid Institute. Pembahasan kemudian mengarah pada organisasi

Wahid Institute. Bab ini berakhir pada pembahsan program Wahid Institute.

Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute dimulai

dengan pembahasan kemunculan Wahid Institute dalam konteks ruang publik

pasca Orde Baru yang terbuka. Pembahasan selanjutnya mengarah pada peran

bagian kecil generasi muda Nahdlatul Ulama dalam perkembangan Wahid

Institute termasuk jaringan kerjanya. Pembahasan kemudian mengarah pada relasi

negara, warga negara, dan pelanggaran kebebasan beragama. Pembahasan

selanjutnya mengarah strategi gerakan kebebasan beragama civil society Wahid

Institute dan pluralisme Wahid Institute.

Bab V Penutup dimulai kesimpulan penelitian. Pembahasan kemudian

mengarah pada beberapa rekomendasi gerakan kebebasan beragama di masa

(33)

20

Bab II

Kerangka Teori

A. Gerakan Sosial

David A. Locher menjelaskan tiga pembedaan gerakan sosial dari bentuk perilaku

kolektif lainnya, yaitu: (1) Organized, bahwa gerakan sosial dilakukan secara

terorganisasi sedangkan sebagian besar perilaku kolektif tidak terorganisasi baik

pemimpin, pengikut, maupun proses gerakannya; (2) Deliberate, bahwa gerakan

sosial direncanakan dengan penuh pertimbangan dan perencanaan, sedangkan

perilaku kolektif sebaliknya tanpa perencanaan secara intensif; (3) Enduring,

bahwa gerakan sosial berada dalam jangka waktu yang panjang hingga beberapa

dekade, sementara perilaku kolektif terbatas pada periode yang singkat.21

Para teoritisi sosial memiliki penjelasan beragam mengenai gerakan sosial.

Jenkins dan Form menghimpun beberapa penjelasan mengenai gerakan sosial,

yaitu, Michael Useem yang menjelaskan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif

terorganisasi yang dilakukan untuk mengadakan perubahan sosial. John McCarthy

dan Mayer Zald merinci penjelasan gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi

untuk mengadakan perubahan dalam distribusi hal-hal apapun yang bernilai secara

sosial. Sedangkan Charles Tilly menambahkan corak perseteruan (contentious)

atau perlawanan di dalam interaksi antara gerakan sosial dan lawan-lawannya.

21

(34)

21

Tarrow lebih jauh menjelaskan gerakan sosial adalah bentuk paling modern dari

politik perseteruan (contentious politics) yang terjadi ketika orang-orang biasa

seringkali dalam kerjasama dengan warga negara yang lebih berpengaruh bersama

menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif mereka melawan kelompok

elite, pemegang otoritas, dan musuh-musuh politik.22

Pemaparan demikian menandai dua hal. Pertama, gerakan sosial

melibatkan tantangan kolektif yakni beragam usaha terorganisasi untuk

melakukan perubahan didalam relasi-relasi kelembagaan. Kedua, corak politis

yang inheren didalam gerakan sosial terutama terkait dengan tujuan yang ingin

dicapai melalui gerakan sosial yang secara tipikal mencakup perubahan di dalam

distribusi kekuasaan dan wewenang. Pemaparan demikian menunjukan beragam

usaha yang dijalankan Wahid Institute diletakan dalam kerangka gerakan

kebebasan beragama yang diarahkan pada terciptanya kehidupan beragama yang

toleran seiring mengemukanya intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama

yang menandai keterlibatan negara dan warga negara.

B. Perspektif Gerakan Sosial

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, para teoritisi sosial semakin

menyadari mendesaknya teori atau perspektif yang bersifat integral. Suatu

perspektif yang menghimpun pendekatan struktur kesempatan politik (political

opportunity structure), teori sumber daya mobilisasi (resource mobilization

theory), dan pembingkaian aksi kolektif (collective action frames). Dalam

perspektif demikian, unit analisis dalam menggambarkan gerakan sosial tidak

22

(35)

22

hanya mengarah pada individu sebagai partisipan gerakan sosial, tapi juga

kelompok dan organisasi. Partisipan gerakan sosial berada dalam konteks kultural

dan struktural dari gerakan itu. Disinilah konteks struktural organisasi yang

mewadahi dan memungkinkan terjadinya mobilisasi sumber daya dan struktur

kesempatan politik yang melingkupinya berkaitan dengan motif individual,

ideologi, nilai, dan pertimbangan rasional partisipan untuk terlibat dalam suatu

gerakan sosial.

Kemunculan dan perkembangan gerakan kebebasan beragama Wahid

Institute yang kompleks menjadikan penjelasannya sulit tergambarkan dalam satu

perspektif gerakan sosial tertentu. Untuk itu, penelitian ini menggunakan

perspektif gerakan sosial secara integral untuk menjelaskan beragam usaha yang

dijalankan Wahid Institute dalam kerangka gerakan kebebasan beragama.

Penjelasan lebih jauh mengenai perspektif gerakan sosial yang dijadikan dasar

analisis penelitian ini adalah:

1. Perspektif Struktur Kesempatan Politik

(Political Opportunity Structure)

McAdam menjelaskan struktur kesempatan politik adalah pola hubungan antara

elite politik, antara partai politik, antara kelompok kepentingan, dan semua ini

dengan masyarakat sebagai konstituen.23 McAdam kemudian menghimpun empat

dimensi struktur kesempatan politik, yaitu: (1) keterbukaan dan ketertutupan

relatif sistem politik; (2) stabilitas atau instabilitas jejaring keterikatan elit; (3)

23

(36)

23

adanya atau tiadanya aliansi-aliansi elit; (4) kapasitas atau kecenderungan negara

untuk melakukan represi.24

Perspektif struktur kesempatan politik berupaya menjelaskan kemunculan

dan perkembangan suatu gerakan sosial terjadi karena dalam perubahan dalam

struktur politik yang dimaknai sebagai kesempatan. Secara umum hambatan atau

kesempatan politik bagi gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori, yaitu,

pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan

hambatan bagi gerakan sosial sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi

kemunculan dan perkembangan suatu gerakan sosial sebagai bagian dari relasi

politik yang kompetitif antara elite, antara partai politik, dan juga antara kelompok

kepentingan. Semakin terbuka kesempatan politik maka semakin membuka

kesempatan bagi kemunculan dan pekembangan gerakan sosial. Sebaliknya,

semakin tertutup kesempatan politik akan kesempatan bagi kemunculan dan

perkembangan suatu gerakan sosial.

Namun demikian, hubungan antara struktur kesempatan politik dan

kemunculan gerakan sosial tidak bersifat linear tetapi kurvalinear. Eisinger

menyatakan suatu gerakan sosial sangat mungkin muncul dalam sistem politik

yang menandai adanya percampuran diantara keterbukaan dan ketertutupan

struktur kesempatan politik. Karena inilah, menjadi tidak mudah untuk

memberikan batasan derajat keterbukaan dalam struktur kesempatan politik yang

memunculkan gerakan sosial ini.25

24

Ibid., h. 154.

25Peter Eisenger, “The Conditions of Protest Behavior in American Cities”, American Political

(37)

24

2. Perspektif Teori Sumber Daya Mobilisasi (Resourse Mobilization Theory)

Smelser, seperti dikutip Sanderson, menjelaskan beragam tindakan dalam gerakan

sosial terjadi karena adanya mobilisasi atas dasar sistem keyakinan yang

mengalami proses generalisasi yang terdiri dari hal-hal yang bersifat histeria,

keinginan, norma, dan nilai.26 Perspektif sumber daya mobilisasi menunjukan

beragam tindakan partisipan dalam gerakan sosial menjadi efektif ketika

dijalankan oleh suatu organisasi gerakan sosial. McCarthy menjelaskan sumber

daya mobilisasi sebagai sejumlah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam

aksi kolektif, termasuk didalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan

sosial.27

Tilly, dikutip Muhtadi, menyatakan bahwa salah satu sumber daya yang

paling penting adalah jaringan informal dan formal yang menghubungkan

individu-individu dengan organisasi gerakan sosial.28 Jaringan seperti dijelaskan

Klandermans, juga dikutip Muhtadi, sebagai struktur sosial, yaitu serangkaian

hubungan sosial yang mendorong atau menghambat perilaku, sikap, dan

kemungkinan partisipan untuk terlibat dalam suatu gerakan sosial. Klandermans

kemudian menjelaskan pentingnya kepemimpinan untuk menetapkan sumber daya

bagi para partisipan suatu gerakan sosial sedangkan Maguire membagi sumber

daya ke dalam dua kategori, yaitu yang tangible yang mencakup uang, ruang,

26

Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, terjemahan (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hal. 60.

27

John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing” dalam

Comparative Perspective on Social Movements Political Opportunities, Mobilizing Structure, and cultural Framming, Doug McAdam, John Mc Carthy dan Mayer N Zald, ed (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), h. 141.

28

(38)

25

perlengkapan, dan seterusnya dan intangible yang mencakup kapasitas

kepemimpinan, manajerial dan pengalaman organisasi, justifikasi ideologis, taktik

dan semacamnya.29

McCarthy menjelaskan dua kategori yang membangun struktur mobilisasi,

yaitu, struktur formal dan informal. Dalam struktur mobilisasi informal yang

identik dengan gerakan lokal, jaringan kekerabatan dan persaudaraan menjadi

dasar bagi rekrutmen gerakan.30 Konsep struktur informal, kemudian berkembang

menjadi lebih luas ketika dihubungkan dengan mobilisasi gerakan. Situmorang

mengutip Woliver yang menekankan pentingnya faktor ingatan komunitas

sedangkan Gamson dan Schmeidler mengidentifikasi beberapa faktor jaringan

struktur informal seperti, perbedaan dalam sub-kultur dan infrastruktur protes

serta McAdam menjelaskan hubungan formal dan informal di antara masyarakat

dapat menjadi sumber solidaritas dan memfasilitasi struktur komunikasi.31

Tetapi McCarthy melihat gerakan sosial yang mempergunakan struktur

informal sebagai dasar analisis, belum mampu memetakan struktur informal

secara mendalam. Struktur sumber daya mobilisasi memasukan serangkaian posisi

sosial dan lokasi dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi dalam suatu gerakan

sosial. Kelompok atau organisasi formal memainkan peranan penting dalam

29

Ibid., h. 9.

30

John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, h. 141.

31

(39)

26

membentuk struktur mobilisasi yang kemudian disebut organisasi gerakan

sosial.32

3. Perspektif Pembingkaian Aksi Kolektif (Collective Action Frames)

Para teoritisi gerakan sosial memperkenalkan perspektif pembingkaian aksi

kolektif untuk menjelaskam mentransformasikan mobilisasi potensial ke dalam

mobilisasi aktual dalam upaya menyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan

luas sehingga mereka terdorong mendesakan perubahan. Klandermans, dikutip

Muhtadi, menjelaskan mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi

sosial klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku.33 Perspektif

pembingkaian aksi kolektif dapat dijelaskan sebagai konstruksi budaya sebagai

sistem kesadaran kolektif yang mengandung makna-makna yang menjadi

kekuatan legitimasi danmotivasi bagi lahirnya tindakan-tindakan kolektif.

Snow dan Benford menjelaskan tiga aspek pembingkaian aksi kolektif

gerakan sosial. Pertama, framing diagnostic, berupa identifikasi masalah dan

penanggungjawab serta target kesalahan atau penyebabnya. Kedua, framing

prognostic, berupa artikulasi solusi yang ditawarkan bagi

permasalahan-permasalajan tersebut serta identifikasi strategi, taktik dan target gerakan sosial.

Ketiga, pembingkaian motivasi yaitu elaborasi panggilan untuk bergerak atau

penjelasan mengenai aksi yang melampaui diagnosis dan prognosis.34

32

John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, h. 141.

33

Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia:Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 4.

34

(40)

27

Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan perspektif psikologi gerakan

sosial meliputi tiga hal, yaitu, perasaan tidak adil atas perlakuan terhadap suatu

kelompok partisipan, identitas kelompok yang mendefinisikan partisipan gerakan

sosial sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial lain, rezim, dan

agensi.35 Keadaan demikian disebutnya deprivasi relatif yang berkaitan dengan

persepsi tentang adanya nilai-nilai prinsip dalam suatu masyarakat yang dilanggar

atau tidak ditegakkan oleh pihak berwenang.

Namun demikian, penjelasan mengenai deprivasi relatif saja tidak cukup

menjadikan seseorang partisipan gerakan sosial. Agensi menjadi krusial untuk

memfasilitasi perasaan deprivatif itu, terutama berkaitan dengan efikasi politik.

Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan efikasi sebagai perasaan individu

bahwa terlibat dalam gerakan bersama dengan anggota yang lain dapat merubah

keadaan menjadi lebih baik, juga persepsi bahwa orang lain akan ikut serta dan

persepsi bahwa gerakan itu kemungkinan akan sukses.36[]

35

Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia:Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 5-6.

36

(41)

28

Bab III

Profil The Wahid Institute

A. Abdurrahman Wahid: Pendiri The Wahid Institute

Abdurrahman Wahid yang juga dikenal publik dengan nama Gus Dur terlahir

dengan nama Abdurrahman Addakhil. Wahid adalah lahir di Denanyar Jombang

Jawa Timur pada 4 Desember 1940. Ayahnya, Wahid Hasjim merupakan Menteri

Agama pertama yang juga putra Hasjim Asjari, pendiri jamiyah Nahdlatul Ulama,

organisasi Islam terbesar pertama di Indonesia, dan pendiri Pesantren Tebu Ireng

Jombang. Ibunya, Solichah adalah putri pendiri pesantren Denanyar Jombang,

Bisri Syansuri.

Setelah ayahnya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan di daerah antara

Bandung dan Cimahi pada April 1953, pengasuhan Wahid sepenuhnya dilakukan

ibunya. Setelah lulus sekolah dasar, Wahid melanjutkan pendidikan di Sekolah

Menengah Ekonomi Pertama Gowongan Yogyakata yang dikelola oleh Gereja

Katolik Roma. Wahid juga menjalani pendidikan di pesantren Krapyak sampai

kemudian berpindah untuk menetap bersama Junaidi, seorang pimpinan

Muhammadiyah setempat. Di sekolah ini Wahid didorong guru-gurunya untuk

menguasai bahasa Inggris dengan membaca karya-karya berbahasa Inggris,

diantaranya, karya John Steinbach, Ernest Hemingway, William Faulkner, Andre

(42)

29

Rusia seperti Pushkin, Tolstoy, Mikhail Sholokov dan Dostoevsky dan aktif

mendengarkan siaran Voice of America dan BBC London.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMEP Gowongan Yogyakarta,

Wahid melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tegalrejo Magelang dan

berpindah ke Pesantren Tambak Beras Jombang. Dua tahun kemudian Wahid

berpindah ke Mesir untuk studi Universitas al-Azhar. Dari Mesir Wahid

melanjutkan pendidikannya di Departement of Religion di Universitas Baghdad

hingga 1970. Setelah dari Baghdad, Wahid melakukan visitasi dibeberapa

universitas dan menetap di Belanda selama enam bulan. Wahid yang sebelumnya

berkeinginan menjalani studi Islam di Mc Gill University Kanada akhirnya

memutuskan untuk kembali Indonesia pada 1971.

Kembali ke tanah air, Wahid memulai beragam aktivitas keorganisasian.

Pengalaman panjang berorganisasi Wahid sampai meninggal dunia pada 30

Desember 2009, yaitu, wakil ketua Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di

Cairo-United Arab Republic (Mesir) (1965), dekan dan dosen Fakultas Ushuludin

Universitas Hasyim Ashari, Jombang (1972-1974), sekretaris umum Pesantren

Tebu Ireng (1974-1980), katib awwal PBNU (1980-1984), ketua umum Dewan

Kesenian Jakarta (1982-1985), juri Festival Film Indonesia (1986-1987), ketua

dewan tanfidz Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1984-2000), ketua Majelis

Ulama Indonesia (1987-1992), pendiri dan anggota Forum Demokrasi (1990),

anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (1989-1993),

Presiden Republik Indonesia (1999-2001), mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul

(43)

30

(2002-2009), ketua dewan syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia

(1998-2009), penasehat Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia

(2002), penasehat Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional (2003), pendiri The

Wahid Institute (2004-2009).37

Wahid juga dikenal karena aktivitas Internasionalnya, yaitu, anggota

dewan Juri The Aga Khan Award for Islamic Architecture (1980-1983), penasehat

International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda

(1994), Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York,

Amerika Serikat (1994-1998), pendiri dan anggota Shimon Perez Center for

Peace, Tel Aviv, Israel (1994-2009), presiden Association of Muslim Community

Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat (2002), anggota Dewan Penasehat

Internasional International and Interreligious Federation for World Peace

(IIFWP), New York, Amerika Serikat (2002-2009), presiden kehormatan

International Islamic Christian Organization for Reconciliation and

Reconstruction (IICORR), London, Inggris (2003-2009), anggota dewan

internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bildt

International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel (2003-2009),

presiden Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan (2003-2009).38

Atas beragam aktivisme dan kontribusinya Wahid mendapat banyak

penghargaan, diantaranya, Magsaysay Award, Manila, Filipina (1993), Islamic

Missionary Award, Pemerintah Mesir (1991), Tokoh 1990, Majalah Editor,

37

gusdur.net, “Tentang Kami”, diakses pada 11 Agustus 2012 dari http://www.gusdur.net/ Tentang_Kami

38

(44)

31

Indonesia (1990), Man of The Year, Majalah REM, Indonesia (1998), Paul Harris

Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International (2000), Ambassador of

Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New

York, Amerika Serikat (2000), Public Service Award, Universitas Columbia ,

New York, Amerika Serikat (2001), Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA),

Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII,

Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia (2002), Pin Emas NU, Pengurus Besar

Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia. (2002), Dare to Fail Award , Billi PS Lim,

penulis buku paling laris Dare to Fail, Kuala Lumpur, Malaysia (2003), World

Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul,

Korea Selatan (2003), Global Tolerance Award, Friends of the United Nations,

New York, Amerika Serikat (2003), The Culture of Peace Distinguished Award

2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia

(2004), Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia,

Jakarta, Indonesia (2004).39

Wahid juga mendapat gelar Doktor Kehormatan dari beberapa universitas,

yaitu, Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (1999), Pantheon Sorborne

University, Paris, France (2000), Thammasat University, Bangkok, Thailand

(2000), Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2001), Soka Gakkai

University, Tokyo, Japan (2002), Sun Moon University, Seoul, South Korea

39

(45)

32

(2003), Konkuk University, Seoul, South Korea (2003), Netanya University,

Israel (2003).40

B. Visi dan Misi The Wahid Institute

Wahid Institute memiliki visi mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita intelektual

Wahid untuk membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya

demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi di kalangan

kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia.41

Misi Wahid Institute mengemban komitmen menyebarkan gagasan

muslim progresif yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian di

masyarakat dunia Islam dan Barat. Wahid Institute juga mengemban misi

membangun dialog diantara pemimpin agama-agama dan tokoh-tokoh politik di

dunia Islam dan Barat.42

C. Organisasi The Wahid Institute

Memusatkan kegiatan-kegiatan di Jalan Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman

Jakarta, dua putri Wahid, Yenny Zannuba Wahid dan Anita Hayatunnufus,

menjadi Direktur dan Wakil Direktur. Sedangkan Ahmad Suaedy menjadi

Direktur Eksekutif.43

Staf Wahid Institute, yaitu, Rumadi, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Rifa

Ilyasa, Badrus Samsul Fata, Alamsyah M. Dja'far, Ahmad Farid, Nurun nisa',

40

Ibid..

41

The Wahid Institute, “Tentang Kami”, diakses pada 11 Agustus 2012 dari http://wahidinstitute. org/Tentang_ Kami

42

Ibid..

43

(46)

33

Ulum Zulvaton, Sri Handayani, Shinta Saraswati, Kharisma Pratiwi, Visna, Wiwit

R. Fatkhurrahman, Muntaat, Ahmad Firdaus, Trisno. Outsourcer Wahid Institute,

yaitu, Christopher Paul Holm (copy editor) Arif Hakim Budiawan (translator).44

Rekanan Wahid Institute, yaitu, Siane Indriani, Priya Sembada, KH.

Husein Muhammad, Rm. Benny Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M.

Syafiq Hasyim, Farha Ciciek, A. Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendy, Trisno

S. Susanto, M. Jadul Maula, M. Imam Aziz, Abdul Moqsith Ghazali, Hikmat

Budiman, Mufti Makarim al-Akhlaq.45

Beberapa figur terkemuka menjadi penasehat Wahid Institute, yaitu, K.H.

M. A. Sahal Mahfudz, Prof Dr. Nurcholish Madjid (alm), K.H. A. Mustofa Bisri,

Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, Prof . Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi

Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan, Wimar Witoelar.

Supervisors Wahid Institute, Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim Abdurrahman,

Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar

Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie M. Massardi, Prof. Dr. Sue Kenny.46

D. Program The Wahid Institute

Sejak kemunculannya di ruang publik 7 September 2004, Wahid Institute secara

konsisten menjalankan beragam usaha untuk mewujudkan visi dan misi

gerakannya. Wahid Institute, seperti ditunjukan The Wahid Institute: Seeding

44

Ibid..

45

Ibid..

46

(47)

34

Plural and Peaceful Islam Annual Report 2011, menjalankan beragam program,

yaitu:

1. Forum Diskusi, Seminar & Dialog

Program ini bertujuan membangun pemahaman dan mengkampanyekan Islam

sebagai pembawa rahmat dan perdamaian semesta. Lingkup kerjanya untuk

masyarakat Indonesia dan dunia internasional.

2. Center for Islam and Southeast Asian Studies (CISEAS)

Divisi ini menjalin kerjasama Wahid Institute dengan kaum muslim progresif di

Asia dalam mengkaji perkembangan muslim minoritas di Asia, antara lain

Filipina Selatan, Penang, Singapura, Kamboja, Vietnam, Bali dan Nusa Tenggara

Timur.

3. Capacity Building untuk Gerakan Muslim Progresif di Indonesia

Program pengembangan kapasitas ditujukan bagi jaringan Wahid Institute di

berbagai kota di Indonesia, baik individu maupun lembaga swadaya masyarakat

progresif.

4. Pendidikan

Program-program pendidikan informal dalam bentuk pelatihan-pelatihan digelar

untuk mengembangkan visi toleransi dan pluralisme. Divisi ini juga sedang

merintis berdirinya Universitas Abdurrahman Wahid.

5. Advokasi

Isu-isu pluralisme dan toleransi agama agar regulasi, maupun penanganan

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Lyall (1965), produk yis yang yang diproses dikategorikan kepada dua kumpulan iaitu ekstrak yis (larutan atau cecair pekat) dan yis kering serbuk. Kedua-dua kumpulan

Oleh karena itu, untuk memperoleh keakuratan dari standar dan peraturan pembebanan jembatan SNI 1725:2016 yang sifatnya lebih luas, maka pada penelitian ini akan dilakukan

Pada penelitian ini digunakan metode pill count untuk menilai kepatuhan pasien dalam penggunaan obat dengan cara peneliti mendatangi alamat pasien setelah didapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua difuser berbahan Eceng gondok dapat memberikan efek hamburan dengan baik pada rentang frekuensi (250-1000Hz),

Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien,

Untuk menguji pengaruh yang signifikan harga terhadap keputusan nasabah. menggunakan tabungan simpeda bank Jatim di

Hasil penelitian ini dikaitkan dengan teori Skillebeck dan Pane (2007) menyatakan bahwa perempuan di dalam keluarga lebih telaten terhadap menjaga

KONSTRUKSI DESAIN PEMBELAJARAN ELEKTROKIMIA MENGGUNAKAN KONTEKS BATERAI LI-ION RAMAH LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA SMAA. Universitas Pendidikan Indonesia