The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia:
Perspektif Gerakan Sosial
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Saepul Agna
NIM. 207032200624
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Untuk nenek dari ibu–yang selalu terjaga dan berdoa pada sepertiga malam terakhir.
iv
Ucapan Terima Kasih
Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Demi malam apabila menutupi cahaya siang.
Dan siang apabila terang benderang.
Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu. Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa."
Alquran 85:1. 92:1-2. 94:2. 112:1
Skripsi The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia:
Perspektif Gerakan Sosial telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyelesaian studi penulis–yang semula Program Studi Sosiologi Agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat kemudian menjadi Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik–menjadi mungkin karena
kebaikan-kebaikan dari banyak pihak.
Untuk keperluan akademik dan administratif–dengan cara yang berbeda–
mereka telah mengajarkan pengetahuan Sosiologi dan memberikan kenyamanan
ketika menjalaninya. Untuk bimbingan, dorongan, pengertian, dan bantuan untuk
kesulitan yang dihadapi penulis sampaikan ucapan terima kasih.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Profesor Bahtiar Effendi.
Ketua dan Sekretaris Program Non-Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
v
Program Studi Sosiologi, Dr. Zulkifli Zul Harmi M.A dan Joharatul Jamilah M.Si
yang kemudian berganti Iim Halimatusa’diyah M.Si.
Dosen-dosen, diantaranya, Profesor Zainun Kamaluddin Faqih, (almh)
Profesor Musyrifah Sunanto, Profesor Zaini Muchtarom, Profesor Bambang
Pranowo, Dr. Muhaimin M.A, Dr. Amin Nurdin M.A, Ida Rosyidah M.A,
Joharatul Jamilah M.Si, Helmi Hidayat M.A, Saifuddin Asrori M.Si, Cucu
Nurhayati M.Si, Mohammad Hasan Ansori Ph.D, Iim Halimatussadiyah M.Si, dan
Ahmad Abrori M.Si.
Dewan Pertimbangan Skripsi, Dzuriyatun Toyibah M.Si dan Iim
Halimatussadiyah M.Si yang kemudian berganti Zulkifli Zul Harmi Ph.D dan Ida
Rosyidah M.A. Selanjutnya Ida Rosyidah M.A menjadi pembimbing skripsi
penulis.
Juga pustakawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan pustakawan
Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kebersamaan dengan teman-teman membuat hari-hari penulis di Ciputat
menjadi lebih dari sekedar rutinitas akademik tetapi juga memberikan sesuatu
yang tak tergantikan dengan apapun. Kesan-kesan terbaik persahabatan yang
hangat bahkan lebih seperti menemukan keluarga kedua–tempat berbagi banyak
hal. Untuk segalanya penulis sampaikan terima kasih.
Teman-teman di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Jakarta–setahun sebelum studi Sosiologi penulis studi pada Program Studi Syariah
vi
Haq, Andri, Eko Widiyanto. Muhammad Ikhsan, Syaiful Rohman, Muammar
Khaddafi, Atika Purnamasari. (Alm) Nurzaman, Harisma Asadullah, Ibnu
Zakwan, Saep Amrullah, Asep Hidayatullah, Aldina Ramdhani, Siti Muthmainah,
Senny Rifki. Juga Indra Gunawan dan Andi Kurniawan.
Teman-teman di Non-Reguler Program Studi Sosiologi, Sandi Irawan dan
Mukhlis. Di Reguler Program Studi Sosiologi Agama, diantaranya, Wardatul
Jannah, Dara Nurzakiyah, Ati Atiyurrohmah, Andini Pratiwi, Dini Siva, Herlina
Dwi Astuti, Jafar Shodiq, Mufti Abid, Charlie Muhammad Dzulfikar, Fadly Budi,
Nurjaman, Matin Halim, Cecep Sopandi, Ferri Bastian, Muhammad Satria
Wijaya, Adriansyah, Muhammad Sibli, Ahmad Satria Waris, Andri Prakarsa,
Muhammad Erfan, Yandhi Deslatama, Rizkiyah Hasanah, Baarvah Kahfina, (alm)
Budiman, dan Waheed Manan.
Dari fakultas-fakultas yang berbeda, diantaranya, Abdul Mu’id, Adnan
Munawwir, Ratnawati, Ruslan Ghoni, Abdullah Said, Usman Usmana, Firdaus,
Imamatul Azimah, Syahri Fajriyah, Nur Syabani, Amalia Nasuha, Nur Sakinah
Nasution, Nurhidayati, Asminah, Ummi Saadah, Rina Hutari, Dimas Ridwan
Hakim, dan Hendar Purnama.
Di tempat tinggal selama menjalani studi, diantaranya, Ahmad Hasan,
Muhammad Rizki, Shohibul Hujjah, Rosidi, Saleman, Makmur Ismail Saleh,
Muhammad Ahda Murtaqi, Ryenaldo Rio, Khairus Saleh, Miftahul Bari, dan
Abdurrohman.
Teman-teman di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Cirendeu dan
vii
Achmad Husni Lamarobak, Andy Wiyanto, Himawan Sutanto, Taufiqurrahman,
Gilang Pandu, Muhammad Syaifurrahman, Anto Tuntas Widi, Putut Dwi
Wijayanti, Narizka Dyan Wulandari, Resti Indah Harini, Witri Zuama Qomarania,
Saddam Asir, dan Dadan Hermawan. Juga Beni Azhar, A. Saiful Safikri,
Saefuddin Zuhri, dan Komaruzzaman. Ristan Alfino, Muhammad Iklima, Nofyan
Safri Lubis, dan Jufridin Daud.
Ucapan terima kasih terbesar penulis sampaikan kepada mereka yang telah
memberikan kasih sayang, doa, harapan, pengorbanan, dan pengertian yang
berlimpah. Kakak penulis, Mas’ud Ramdhani–Diana Astri dan Rizki Mulyadi–Evi
Nuraini serta kelahiran Ayeesha Salsabila, Sabrina Latifa, dan Nadeera Azzahra
yang sangat membahagiakan kami. Adik penulis, Rizal Kamilah dan Santi
Nurjannah. Nenek penulis, Jaja. Tentu saja, untuk mereka yang meyakini
anak-anaknya adalah segalanya dalam hidup yang dijalani, ayah penulis, Lili Sukmana,
dan ibu penulis, Ami Darminingsih.
Setelah semua yang dijalani, selesainya studi ini membuat penulis menjadi
viii
Abstrak
Saepul Agna. The Wahid Institute dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia: Perspektif Gerakan Sosial. 2012.
Penegasan konstitusi maupun ratifikasi kovenan internasional yang merupakan instrumen pokok hak asasi manusia terkait kebebasan beragama, tidak menjadikan implementasinya menjadi lebih mudah. Lebih dari satu dekade era reformasi bergulir, kebebasan beragama masih dengan beragam tantangan besar dalam implementasinya. Seperti ditunjukan laporan pemantauan yang dilakukan Setara Institute, ruang publik pasca Orde Baru yang terbuka ditandai intensitas tinggi pelanggaran hak konstitusional ini oleh negara maupun warga negara terutama mengarah pada individu dan kelompok minoritas yang memiliki kecenderungan
berbeda dengan sudut pandang negara maupun mainstream agama masyarakat.
Seiring dengan itu, The Wahid Institute–kemudian ditulis Wahid Institute– menjalankan gerakan kebebasan beragama. Kemunculan dan perkembangan Wahid Institute tidak terlepas keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru dan pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global. Peran besar Wahid juga menandai perkembangan generasi muda progresif Nahdlatul Ulama pada dekade 1980-an dimana bagian kecilnya kemudian bergiat sejak kemunculan Wahid Institute termasuk relasinya dengan lembaga donor internasional terutama The Asia Foundation dan TIFA Foundation serta jaringan kerjanya dibeberapa wilayah dalam menjalankan beragam usaha dalam kerangka gerakan kebebasan beragama.
Ketika intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama mengemuka, gerakan kebebasan beragama Wahid Institute menjalankan beragam usaha mengarah tiga level permasalahan kebebasan beragama, yaitu, regulasi dalam struktur negara termasuk relasi negara dengan Majelis Ulama Indonesia dan regulasi yang terbit konteks otonomi daerah pasca Orde Baru, kapasitas aparatur negara, dan intoleransi warga negara yang juga menandai implikasi anutan doktrin intoleran organisasi Islam radikal. Wahid Institute menjalankan beragam gerakan
kebebasan beragama civil society melalui diskursus dan aksi kolektif mendesakan
ix
1. Perspektif Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure) ……….
2. Perspektif Sumber Daya Mobilisasi (Resource Mobilization Theory)………..…...
20
20
21
22
x
3. Perspektif Pembingkaian Aksi Kolektif (Collective Action Frames) ...……...… 26
Bab III Profil The Wahid Institute ...
A. Abdurrahman Wahid: Pendiri The Wahid Institute ……….
B. Visi dan Misi The Wahid Institute ……….………
C. Organisasi The Wahid Institute ………..
Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute ...…...
A. Keterbukaan Ruang Publik Pasca Orde Baru dan Kemunculan The Wahid Institute …
B. Generasi Muda Nahdlatul Ulama dan Perkembangan The Wahid Institute ...
C. The Wahid Institute: Negara, Warga Negara,
dan Pelanggaran Kebebasan Beragama ...
D. The Wahid Institute dan Strategi Gerakan Kebebasan Beragama Civil Society …...
E. The Wahid Institute: Menyemai Keberagaman Menyemai Islam Damai
(Seeding Plural and Peaceful Islam) ………
1
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Kebebasan beragama merupakan hak konstitusional setiap warga negara.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E menegaskan kebebasan untuk memeluk agama
dan beribadah sesuai agama yang dianutnya serta jaminan perlindungan dari
negara terhadap segala bentuk diskriminasi, yaitu:
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarga-negaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Jaminan yang diberikan negara terhadap kebebasan beragama warganya
ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Selain penegasan Undang-Undang Dasar 1945, kebebasan beragama diatur
dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang
menegaskan kembali kebebasan beragama dan menjalankan peribadatannya. Juga
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia yang
menjadikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara luas dan sistematis
kepada kelompok yang didasarkan pada identitas agama tertentu dapat
2
Pada 2005 pemerintah meratifkasi instrumen pokok hak asasi manusia
yang mengatur jaminan kebebasan beragama, yaitu, Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.1 Kemudian penerimaan
1
3
Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan
Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of
Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan
melalui resolusi Sidang Umum PBB No. 36/55 pada 25 November 1981.
Meski sifat dasar hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan, dalam
diskursus dan impliementasi hak asasi manusia juga dikenal pembatasan hak asasi
manusia. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik memuat prinsip
siracusa yang menggarisbawahi pada situasi atau kondisi tertentu yang telah
disepakati bahwa hak-hak asasi manusia yang dapat ditunda atau ditangguhkan
dapat diberlakukan.2 Prinsip siracusa menjelaskan dua pembedaan implementasi
hak asasi manusia, yaitu, prinsip hak-hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya
(non-derogable rights) dan hak-hak yang dapat ditunda pemenuhannya
(derogable rights).3 Pembatasan hak asasi manusia diletakan dalam kerangka
2
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur adanya pembatasan hak asasi manusia tertentu. Beberapa klausul pembatasan yang digunakan, yaitu, pembatasan diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/order public), kesehatan umum (public health), moral umu (public moral), keamanan nasional (national security), keamanan umum (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights andfreedom of others) dan hak dan reputasi orang lain (rights and reputations of others), kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties), dan pembatasan terhadap pers dan pengadilan umum (restrictions onpublic trial).
3
4
kebebasan internal atau kebebasan individu (forum internum) dan kebebasan
eksternal atau kebebasan sosial (forumexternum).4
Dalam konteks kebebasan beragama di Indonesia, pembatasan dalam
implementasi kebebasan beragama ditandai dengan Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28 J Ayat 2 yang menegaskan:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Namun, pemantauan berkala kebebasan beragama yang dilakukan Setara
Institute,5 dalam rentang waktu penelitiannya menunjukan intensitas tinggi
pelanggaran kebebasan beragama.6 Kerangka penulisan laporan pemantauan
4
Kebebasan individu atau kebebasan internal (foruminternum)adalah kebebasan dimana tidak ada satu pihak pun yang diperbolehkan campur tangan terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak ini. Hak-hak dalam rumpun kebebasan individu atau kebebasan internal (foruminternum) adalah: (1) Hak untuk bebas menganut dan berpindah agama; dan (2) Hak untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama. Sedangkan kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forum externum) dimungkinkan dalam situasi khusus tertentu negara membatasi hak-hak ini, namun dengan prasyarat yang ketat berdasarkan prinsip siracusa. Hak yang termasuk dalam rumpun kebebasan eksternal atau kebebasan sosial (forum externum) adalah: (1) Kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka; (2) Kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah; (3) Kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama; (4) Kebebasan untuk merayakan hari besar agama; (5) Kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama; (6) Hak untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama; (7) Hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya; (8) Hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi atau perkumpulan keagamaan; dan (9) Hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materi-materi keagamaan.
5
Pemantauan berkala kebebasan beragama yang dilakukan Setara Institute, yaitu, Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama & Berkeyakinan (2007), Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (2009), Negara Harus Bersikap: Realitas Legal Diskriminatif dan Impunitas Praktik Persekusi Masyarakat atas Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (2010), Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010 (2011).
6
5
tersebut mengacu pada framework for communications yang dikembangkan oleh
Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan beragama yang penyusunannya didasarkan
atas pendekatan pelanggaran. Pendekatan demikian dipahami sebagai upaya untuk
memantau sejauh mana negara menjalankan keharusannya menghormati,
memenuhi, dan melindungi kebebasan beragama.7 Pemantauan berkala tersebut
menunjukan pada 2007 terjadi 135 peristiwa pelanggaran dengan 185 tindakan
pengumpulan data pemantauan diperoleh melalui beberapa metodologi, yaitu, diskusi terfokus, data dari institusi keagamaan dan institusi pemerintah, dan wawancara dengan otoritas pemerintahan dan tokoh masyarakat yang relevan di tingkat daerah pemantauan serta pengamatan melalui media untuk daerah-daerah yang tidak menjadi fokus pemantauan.
7
Pelanggaran kebebasan beragama adalah bentuk kegagalan atau kelalaian negara dalam implementasi seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak melindungi seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi atau tindak pidana berdasarkan agama atau keyakinan. Dengan demikian, pelanggaran kebebasan beragama adalah tindakan penghilangan, pencabutan, pembatasan atau pengurangan hak kebebasan beragama, yang dilakukan oleh institusi negara, baik berupa tindakan aktif (by commission)maupun tindakan pembiaran (by comission).
Terminologi hak asasi manusia yang berhubungan dengan kebebasan beragama adalah intoleransi dan diskriminasi. UNESCO menjelaskan intoleransi sebagai turunan dari kepercayaan bahwa kelompoknya, sistem kepercayaan atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi dari kurangnya penghargaan atau pengabaian terhadap orang lain hingga diskriminasi yang terinstitusionalisasi. Diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama, yaitu, setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan (favoritism) yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental atas suatu dasar yang sama, seperti tidak mau menerima suatu kelompok atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap kelompok lain berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan. Kejahatan intoleransi dan kebencian adalah tindakan yang dimotivasi oleh kebencian atau bias terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan jender, ras, warna kulit, agama, asal negara, dan/atau orientasi seksualnya yang ditujukan untuk menyakiti dan mengintimidasi seseorang karena ras, suku, asal negara, agama, orientasi seksual dan karena faktor
6
pelanggaran, pada 2008 terjadi 265 peristiwa pelanggaran dengan 367 tindakan
pelanggaran, pada 2009 terjadi 200 peristiwa pelanggaran dengan 291 tindakan
pelanggaran, dan pada 2010 terjadi 216 peristiwa pelanggaran dengan 286
tindakan pelanggaran.8
Sepanjang rentang tersebut, terutama individu dan kelompok minoritas
yang memiliki kecenderungan berbeda dengan mainstream agama masyarakat dan
sudut pandang negara, telah menjadi korban dan tetap berada dalam kereentanan
pelanggaran kebebasan beragama yang tersebar diberbagai wilayah dengan
intensitas beragam. Pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi menandai
tindakan aktif negara yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan,
campur tangan, dan atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan beragama
(by commission) dan negara membiarkan hak kebebasan beragama terlanggar,
termasuk membiarkan tindak pidana yang terjadi dan tidak diproses secara hukum
(by omission). Sedangkan tindakan warga negara ini secara garis besar mencakup
tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadah, intimidasi, kekerasan fisik,
dan lain-lain dan tindakan intoleransi.9
8
Pemantauan berkala tersebut menunjukan pada 2007 dari 185 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 92 tindakan pelanggaran. Pada 2008, dari 367 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 188 tindakan pelanggaran. Pada 2009, dari 291 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 139 tindakan pelanggaran. Pada 2010, dari 286 tindakan pelanggaran, negara tercatat melakukan 103 tindakan pelanggaran. Sedangkan pelangaran oleh warga negara pada 2007, dari 185 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 93 tindakan pelanggaran. Pada 2008, dari 367 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 179 tindakan pelanggaran. Pada 2009, dari 291 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 152 tindakan pelanggaran. Pada 2010, dari 286 tindakan pelanggaran, warga negara tercatat melakukan 183 tindakan pelanggaran. Dalam satu peristiwa pelanggaran bisa saja institusi-institusi melakukan sejumlah tindakan pelanggaran bersama-sama. Dan bisa saja beberapa organisasi masyarakat bersama-sama melakukan sejumlah tindakan. Demikian pula antara institusi negara dan organisasi masyarakat bisa saja bersama-sama melakukan beberapa tindakan pelanggaran dalam satu peristiwa pelanggaran.
9
7
Diruang publik pasca Orde Baru yang terbuka, diskursus agama tidak
hanya terkait diskursus relasi agama dan politik dialog teologis mengemuka salah
satunya diskursus mengenai Ahmadiyah–misalnya terkait argumentasi kenabian
pasca Nabi Muhammad juga kitab suci selain Alquran–yang kemudian mengarah
pada penodaan agama atau penyimpangan agama yang dilakukan Ahmadiyah
terhadap Islam.10 Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) meski tidak menjadi
ketetapan hukum yang mengikat sering masyarakat jadikan sebagai legitimasi
tindakan diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan. Bahkan aparat negara sering
menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam mengambil tindakan terhadap
kelompok yang telah dianggap menyimpang.11
Seiring dengan itu, keterbukaan ruang publik pasca Orde Baru dan
pendalaman integrasi ekonomi dan politik nasional ke dalam komunitas global
ruang publik menandai perkembangan gerakan Muslim. Ruang publik ditandai
dan yangterdapat di dalam sejumlah konvensi-konvensi hak asasi manusiayang sudah diratifikasi, konstitusi, dan hukum domestik yang mengatur kewajiban negara. Sedangkan untuk kategori tindakankriminal yang dilakukan oleh warga negara dan intoleransi, kerangka hukumyang bisa digunakan adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
10
10 kriteria tersebut, yaitu, mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tak sesuai dengan Alquran dan Assunah, meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Alquran, melakukan penafsiran Alquran yang tak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam, menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari nabi Muhammad sebagi nabi dan rasul terakhir, mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang ditetapkan syariah, seperti pergi haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak lima waktu, dan mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan sesama Muslim Karena bukan kelompoknya. Sebelumnya pada 2005, MUI memicu kontroversi di ruang publik ketika mengeluarkan yang berkaitan dengan masalah hak kebebasan berpikir, berekspresi, hak beragama. Musyawarah Nasional MUI ke VII Juli 2005 mengeluarkan 11 fatwa yang hampir seluruhnya menyangkut isu hak-hak asasi manusia seperti kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan berekspresi dan lain-lain. MUI, misalnya, mengharamkan doa bersama antar agama, nikah beda agama, warisan beda agama, pluralisme, sekularisme dan liberalisme hingga salah satu yang sampai saat ini terus menuai polemik, fatwa kesesatan aliran Ahmadiyah dan larangan penyebarannya di Indonesia.
11
8
kemunculan berlimpah gerakan Muslim setelah selama lebih dari tiga dekade
rezim developmentalisme-represif Orde Baru yang membatasi perkembangannya
yang identik dengan instabilitas politik Orde Lama. Konsolidasi dan kontestasi
diskursus dan aksi kolektif gerakan Muslim pasca Orde Baru dengan agenda yang
berbeda serta intensitas dan ekspresi yang beragam diruang publik yang terbuka
menandai kemunculan dan perkembangan The Wahid Institute–kemudian ditulis
Wahid Institute.
Dalam perkembangannya, seperti ditunjukan Mario Diani, selain memiliki
bentuk gerakan yang tidak terorganisasi, gerakan sosial juga memiliki
kecenderungan muncul dalam yang bentuk terorganisasi, berkelanjutan, dan
tantangan kesadaran diri yang menunjukan bagian identitasdari para pelakunya.12
Sosiologi gerakan sosial tidak hanya mempelajari aksi-aksi kolektif yang tidak
melembaga tetapi juga mengarah pada gerakan yang terorganisasi atau
melembaga dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
Seperti ditunjukan namanya, Wahid Institute didirikan Abdurrahman
Wahid yang dikenal publik sebagai intelektual Muslim terkemuka dan
keterlibatannya dalam aktivisme civil society maupun politik praktis. Tetapi
keterlibatan Wahid dalam aktivisme civil society maupun politik praktis
dipandang tidak mereduksi intelektualismenya sebagai pemikir independen.
Aktivisme civil society maupun politik praktis Wahid yang seringkali diiringi
kontroversi ditandai capaian-capaian tinggiya–diantaranya memimpin Nahdlatul
Ulama yang merupakan organisasi Islam terbesar pertama di Indonesia pada
12
9
rentang 1984-2009 kemudian menjadi presiden pasca pemerintahan transisi BJ.
Habibie.
Ketika intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama mengemuka,
gerakan konstituensi kebebasan beragama juga menunjukan kecenderungan
menguat. Dalam konteks penguatan kecenderungan penguatan gerakan
konstituensi kebebasan beragama tersebut salah satunya menandai peran Wahid
Institute. Beragam usaha yang dijalankan Wahid Institute diletakan dalam
kerangka gerakan sosial yang secara konseptual dijelaskan Turner dan Killian
sebagai suatu tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat
perubahan dalam masyarakat atau organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat
itu.13
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Penegasan konstitusi, perundangan-undangan dan ratifikasi kovenan internasional
instrumen pokok yang mengatur kebebasan beragama tidak menjadikan
implementasi kebebasan beragama menjadi lebih mudah. Seiring dengan itu,
gerakan konstituensi kebebasan beragama menunjukan kecenderungan menguat.
Penelitian ini membatasi permasalahan pada beragam usaha yang dijalankan
Wahid Institute sebagai bagian kecenderungan penguatan gerakan konstituensi
kebebasan beragama di Indonesia.
Dari batasan masalah demikian, penelitian ini merumuskan tiga masalah
yaitu:
13
10
1. Bagaimana struktur kesempatan politik pada kemunculan dan perkembangan
Wahid Institute?
2. Bagaimana sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama Wahid
Institute?
3. Bagaimana pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama Wahid
Institute?
C. Tujuan Penelitian
Dengan demikian penelitian ini mengarah pada tiga tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui struktur kesempatan politik pada kemunculan dan
perkembangan Wahid Institute.
2. Untuk menggambarkan sumber daya mobilisasi gerakan kebebasan beragama
Wahid Institute.
3. Untuk memahami pembingkaian aksi kolektif gerakan kebebasan beragama
Wahid Institute.
D. Mamfaat penelitian
Penelitian ini didorong untuk menjadi bagian pengayaan literatur studi-studi
gerakan sosial di Indonesia. Sedangkan secara praktis, penelitian ini didorong
untuk dapat menjadi bagian dalam usaha mewujudkan kebebasan beragama. Hal
ini terutama bagi institusi dan aparatur negara yang terkait dengan implementasi
kebebasan beragama maupun beragam civil society penggiat gerakan kebebasan
11 E. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai kebebasan beragama telah cukup berlimpah. Penelitian
mengenai kebebasan beragama diantaranya terfokus pada korban pelanggaran
kebebasan beragama, pelaku pelanggaran kebebasan beragama, dan lainnya
terfokus pada gerakan kebebasan beragama dan dialog antar umat beragama.
Penelitian tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengayaan
literatur teoritis dan metodologis bagi penelitian ini.
Pada 2010 Setara Institute melakukan penelitian Atas Nama Ketertiban
dan Keamanan: Persekusi Ahmadiyah di Bogor, Garut, Tasikmalaya, dan
Kuningan. Penelitian Setara Institute ini seiring diskriminasi, intoleransi dan
bahkan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah oleh beragam organisasi Islam
radikal di wilayah tersebut. Selain menjadi isu yang populis, pembelaan terhadap
Islam sangat potensial mendapat pembenaran dan dukungan publik luas.
Kelompok Islam garis keras telah memilih isu penolakan berkelanjutan terhadap
Ahmadiyah sebagai salah satu agenda politik untuk kepentingan organisasi ini.
Penelitian ini dilakukan terhadap jemaat Ahmadiyah di wilayah penelitian dengan
melakukan riset lapangan, dan wawancara.
Setara institute menunjukan jamaah Ahmadiyah di wilayah penelitian
mengalami persekusi, yaitu, tindakan penganiayaan sistematis dalam berbagai
bentuknya yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap kelompok
lainnya. Rangkaian peristiwa yang menimpa jamaah Ahmadiyah menunjukan
keberulangan dan sistematis melibatkan organisasi Islam radikal, didukung oleh
organisasi korporatis negara MUI, dan dilegitimasi oleh pemerintah dan
12
Institute juga menunjukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama,
Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008,
No. KEP-033/A/JA/6/2008, No. 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah
Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat pada kenyataannya juga gagal melindungi
kebebasan beragama jamaah Ahmadiyah.
Pada tahun yang sama Setara Institute melakukan penelitian lainnya,
Wajah Para ‘Pembela’ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya Terhadap
Kebebasan Beragma/Berkeyakinan. Penelitian Setara Institute ini seiring
dinamika kebebasan beragama di Indonesia dalam rentang 2007-2009 yang
ditandai relasi intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama dengan
perkembangan beragam organisasi Islam radikal di Jakarta dan Jawa Barat.
Penelitian ini memadukan pendekatan kualitatif dengan melakukan riset,
wawancara dan focused group discussion dengan organisasi Islam radikal dan
pegiat hak asasi manusia dan demokrasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur dan pendekatan kuantitatif
survey opini publik.
Setara Institute menunjukan implikasi anutan doktrin organisasi Islam
radikal dalam sejumlah sikap dan perilaku intoleran dan diskriminasi.
Perkembangan organisasi Islam radikal seiring kondisi sosial yang intoleran dan
kegagalan negara dalam melakukan pencegahan untuk melindungi kelompok lain
dan pembiarannya terhadap berbagai pelanggaran kebebasan beragama menjadi
lapangan terbuka bagi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama. Dukungan
13
bangunan jejaring politik antar keduanya menjadikan organisasi ini semakin
mendapat dukungan publik yang luas terlebih dalam kondisi intoleransi
masyarakat yang terus mengalami radikalisasi pelanggaran kebebasan beragama
berada dalam kerentanan untuk terulang.
Konsorsium untuk Kebebasan Sipil menulis Gerakan Kebebasan Sipil:
Studi dan Advokasi Kritis Atas Perda Syari`ah yang merupakan upaya mengkritisi
berbagai peraturan daerah bernuansa syariah dan melakukan advokasi
perubahannya. Penelitian ini terfokus pada gerakan yang dilakukan sejak
November 2006 hingga Oktober 2008, Konsorsium untuk Kebebasan Sipil, yang
terdiri dari beberapa lembaga di Jakarta, yaitu, Freedom Institute, Lembaga Survei
Indonesia (LSI), The Indonesia Institute (TII), dan Jaringan Islam Liberal (JIL),
dan individu-individu penggiat penegakan hak-hak sipil. Konsorsium ini
menyelenggarakan sejumlah kegiatan mencakup studi kepustakaan, survei opini
elite, wawancara radio, lokakarya dengan masyarakat sipil, dan dengar pendapat
dengan para elite politik di daerah.
Gerakan ini dimulai dengan dua kali survei opini elite politik yang
dilakukan pada Mei 2007 dan Juni-Juli 2008 di beberapa wilayah, yaitu,
Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Banjar Baru,
Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Jember, Kota Padang, Kota Tangerang , Kota
Bekasi, dan Kota Bogor. Sembilan daerah tersebut, kecuali Kota Bekasi dan Kota
Bogor, menerbitkan peraturan daerah bernuansa syariah. Gerakan kemudian
mengarah pada kegiatan advokasi melalui lokakarya dengan masyarakat sipil dan
14
daerah berdasarkan syariah. Survei opini elite politik dan advokasi kebebasan sipil
ditambah dengan liputan media massa yang dijalankan Konsorsium untuk
Kebebasan Sipil digerakan menjadi agen sosialisasi dan advokasi kebebasan sipil
seiring terbitnya banyak peraturan daerah berdasarkan syariah.
Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yance Zadrak Rumahuru pada 2005
berjudul Peace and Dialogue: Kajian Sosiologi terhadap Dialog dan Inisiatif
Damai di Ambon 1999 – 2004. Tesis terfokus pada tema besar dialog dan
perdamaian (peace and dialogue) dalam konteks komunitas-komunitas sosial
(umat beragama) di Ambon. Penelitian ini dilakukan di Ambon, dengan
mengambil fokus pada dua lokasi masing-masing, Negeri Batumerah (negeri
Islam) di kecamatan Sirimau dan Negeri Passo (negeri Kristen) di kecamatan
Teluk Ambon Baguala di kota Ambon yang merupakan salah satu tempat di mana
terjadi pemusatan pertikaian di Ambon 1999-2002. Data yang diperoleh melalui
kuesioner yang terdiri dari beberapa pertanyaan dengan pilihan jawaban tertentu
dan terbuka. Kedua, melakukan focus group discussion, dengan
kelompok-kelompok masyarakat setempat. Ketiga, melakukan wawancara mendalam dengan
empat belas informan pada kedua negeri.
Penelitian dilakukan di Passo dan Batumerah yang memiliki tingkat
kemajemukan yang cukup tinggi, terutama dari latar belakang etnis tetapi secara
kultural memiliki kesamaan budaya dan adat istiadat menemukan bahwa
pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat sama-sama menggunakan
15
pertikaian sebagai prasyarat untuk membangun rekonsiliasi dan rehabilitasi di
Maluku. Namun demikian, terdapat penilaian oleh komunitas setempat bahwa
pemerintah lebih cenderung menggunakan pendekatan yang sifatnya stuktural.
Berbeda dengan pemerintah, umumnya kelompok-kelompok masyarakat
melakukan dialog dan inisiatif damai melalui pendekatan dari bawah dan
menggunakan kearifan atau kebanggaan-kebanggaan lokal setempat yang dalam
tesis ini disebut dengan pendekatan kultural.
Tesis Master of Arts Program Studi Agama dan lintas Budaya Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Siti Sarah Muwahidah pada 2007
berjudul Dialog Antariman di Tingkat Akar Rumput: Sebuah Studi Kasus tentang
Program-Program Pemberdayaan Dialog Antariman di Jawa Timur merupakan
riset lapangan di sebuah dusun kecil di Jawa Timur, Banyu Urip. Peneliti merujuk
Swidler yang menjelaskan program antariman tidak bisa hanya dilaksanakan oleh
kaum akademisi dan elite agama juga Knitter yang menjelaskan kerjasama
antariman di level akar rumput niscaya akan memunculkan dialog antariman.
Tesis ini meneliti upaya pemberdayaan antariman yang dimulai oleh sekelompok
aktivis Katolik pada 1997 terhadap warga Banyu Urip yang mengalami tekanan
secara ekonomi dan politik dan tekanan untuk memilih salah satu dari lima agama
yang diakui pemerintah karena tradisi Kejawen telah dibatasi.
Temuan umum peneliti adalah dalam masyarakat yang miskin
pengetahuan agama yang mereka anut, dialog tentang agama yang muncul
menjadi berbeda dengan apa yang telah dideskripsikan Knitter. Sebuah dialog
16
membentuk suatu forum yang dapat menjadi kontrol atas dusun dan kepentingan
bersama serta memperkuat hubungan antaragama di antara mereka. Pemberdayaan
antariman telah mendorong warga Banyu Urip memperoleh klaim kepemilikan
tanah yang menjadi common ground warga Banyu Urip.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor, seperti
dikutip Moleong, menjelaskan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau ucapan dan
tindakan yang diamati.14 Pendekatan kualitatif diarahkan pada latar dan individu
tersebut secara utuh. Dalam hal ini, tidak boleh mengisolasikan individu dan
organisasi ke dalam variabel dan hipotesis tetapi harus dipandangnya sebagai
bagian dari suatu keutuhan.
Karakter penelitian kualitatif, seperti dijelaskan Moleong, yaitu: (1)
Berlangsung dalam latar yang alamiah, (2) Peneliti sendiri merupakan instrumen
atau alat pengumpulan data yang data, (3) Analisis datanya dilakukan secara
induktif.15 Moleong menjelaskan beeberapa pertimbangan penggunaan
pendekatan kualitatif, yaitu: (1) Pendekatan kualitatif lebih mudah menyesuaikan
ketika berhadapan dengan kenyataan ganda, (2) Pendekatan kualitatif menyajikan
secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, dan (3)
14
Ibid., h. 4.
15
17
Pendekatan kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan dengan banyak
penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.16
Sumber dan jenis data dalam penelitian kualitatif menurut Lofland, seperti
dikutip Moleong ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen melalui catatan tertulis, atau melalui perekam video,
pengambilan foto atau film.17 Kriteria data yang dikumpulkannya adalah data
yang pasti. Moleong menjelakan data yang pasti adalah data yang terjadi
sebagaimana adanya bukan sekedar data yang terlihat dan terucap tetapi data yang
mengandung makna dibalik yang terlihat dan terucap tersebut.18
Data sekunder yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan pihak lain
penelitian ini didapatkan dengan survey dokumen catatan peristiwa dalam bentuk
tulisan, gambar, dan aktivisme. Survey dokumen dilakukan di kantor Wahid
Institute Matraman Jakarta yang sebagian diantaranya juga terdokumentasikan
dalam website wahidinstitute.org. Data sekunder penelitian ini juga didapatkan
dari berbagai sumber literatur yang relevan dengan fokus penelitian yang
dilakukan, antara lain, buku, jurnal, laporan lembaga, dan lainnya. Data sekunder
yang terpencar yang diberbagai sumber kemudian direkonstruksi dan
direinterpretasi sesuai dengan kerangka kerja.
Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama penelitian ini
didapatkan melalui wawancara yang Moleong jelaskan sebagai sebuah percakapan
16
LJ Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ( Bandung: Remaja Rosdakarya), h. 4.
17
Ibid., h. 157.
18
18
dengan maksud tertentu yang dilakukan dua pihak, yaitu, pewawancara yang
mengajukan pertanyaan dan yang memberikan jawaban pertanyaan tersebut.19
Tujuan wawancara dijelaskan Lincoln dan Guba, seperti dikutip Moleong, adalah
untuk merekonstruksi menegnai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan,
tuntutan, kepedulian, dan lain-lain.20 Penelitian ini mengunakan wawancara untuk
menghimpun berbagai informasi dari sejumlah informan kunci yang ditentukan
berdasarkan relevansi dan kapasitas yang dimilikinya terkait gerakan kebebasan
beragama yang dijalankan Wahid Institute. Wawancara dilakukan dengan direktur
eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy dan dua staf Wahid Institute, yaitu,
Rumadi dan Alamsyah M. Djafar.
Data primer dan sekunder yang terhimpun dari berbagai sumber kemudian
dikategorikan sesuai dengan kerangka kerja penelitian ini. Data-data tersebut
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis sehingga
didapatkan kecenderungan umum untuk memberikan gambaran realitas gerakan
kebebasan beragama Wahid Institute.
G. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu, latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, tinjauan
pustaka,metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Kerangka Teori merupakan penjelasan mengenai istilah konseptual
penelitian ini. Pembahasan dimulai dengan penjelasan istilah konseptual gerakan
19
Ibid., h. 137.
20
19
sosial. Pembahasan kemudian mengarah pada perspektif gerakan sosial, meliputi,
struktur kesempatan politik (political opportunity structure), teori sumber daya
mobilisasi (resource mobilization theory), dan pembingkaian aksi kolektif
(collective action frames).
Bab III Profil The Wahid Institute dimulai dengan pembahasan Wahid
yang dikenal publik sebagai intelektual dan capaian keterlibatannya dalam
aktivisme civil society dan politik praktis. Pembahasan selanjutnya mengarah pada
visi dan misi Wahid Institute. Pembahasan kemudian mengarah pada organisasi
Wahid Institute. Bab ini berakhir pada pembahsan program Wahid Institute.
Bab IV Gerakan Kebebasan Beragama The Wahid Institute dimulai
dengan pembahasan kemunculan Wahid Institute dalam konteks ruang publik
pasca Orde Baru yang terbuka. Pembahasan selanjutnya mengarah pada peran
bagian kecil generasi muda Nahdlatul Ulama dalam perkembangan Wahid
Institute termasuk jaringan kerjanya. Pembahasan kemudian mengarah pada relasi
negara, warga negara, dan pelanggaran kebebasan beragama. Pembahasan
selanjutnya mengarah strategi gerakan kebebasan beragama civil society Wahid
Institute dan pluralisme Wahid Institute.
Bab V Penutup dimulai kesimpulan penelitian. Pembahasan kemudian
mengarah pada beberapa rekomendasi gerakan kebebasan beragama di masa
20
Bab II
Kerangka Teori
A. Gerakan Sosial
David A. Locher menjelaskan tiga pembedaan gerakan sosial dari bentuk perilaku
kolektif lainnya, yaitu: (1) Organized, bahwa gerakan sosial dilakukan secara
terorganisasi sedangkan sebagian besar perilaku kolektif tidak terorganisasi baik
pemimpin, pengikut, maupun proses gerakannya; (2) Deliberate, bahwa gerakan
sosial direncanakan dengan penuh pertimbangan dan perencanaan, sedangkan
perilaku kolektif sebaliknya tanpa perencanaan secara intensif; (3) Enduring,
bahwa gerakan sosial berada dalam jangka waktu yang panjang hingga beberapa
dekade, sementara perilaku kolektif terbatas pada periode yang singkat.21
Para teoritisi sosial memiliki penjelasan beragam mengenai gerakan sosial.
Jenkins dan Form menghimpun beberapa penjelasan mengenai gerakan sosial,
yaitu, Michael Useem yang menjelaskan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif
terorganisasi yang dilakukan untuk mengadakan perubahan sosial. John McCarthy
dan Mayer Zald merinci penjelasan gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi
untuk mengadakan perubahan dalam distribusi hal-hal apapun yang bernilai secara
sosial. Sedangkan Charles Tilly menambahkan corak perseteruan (contentious)
atau perlawanan di dalam interaksi antara gerakan sosial dan lawan-lawannya.
21
21
Tarrow lebih jauh menjelaskan gerakan sosial adalah bentuk paling modern dari
politik perseteruan (contentious politics) yang terjadi ketika orang-orang biasa
seringkali dalam kerjasama dengan warga negara yang lebih berpengaruh bersama
menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif mereka melawan kelompok
elite, pemegang otoritas, dan musuh-musuh politik.22
Pemaparan demikian menandai dua hal. Pertama, gerakan sosial
melibatkan tantangan kolektif yakni beragam usaha terorganisasi untuk
melakukan perubahan didalam relasi-relasi kelembagaan. Kedua, corak politis
yang inheren didalam gerakan sosial terutama terkait dengan tujuan yang ingin
dicapai melalui gerakan sosial yang secara tipikal mencakup perubahan di dalam
distribusi kekuasaan dan wewenang. Pemaparan demikian menunjukan beragam
usaha yang dijalankan Wahid Institute diletakan dalam kerangka gerakan
kebebasan beragama yang diarahkan pada terciptanya kehidupan beragama yang
toleran seiring mengemukanya intensitas tinggi pelanggaran kebebasan beragama
yang menandai keterlibatan negara dan warga negara.
B. Perspektif Gerakan Sosial
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, para teoritisi sosial semakin
menyadari mendesaknya teori atau perspektif yang bersifat integral. Suatu
perspektif yang menghimpun pendekatan struktur kesempatan politik (political
opportunity structure), teori sumber daya mobilisasi (resource mobilization
theory), dan pembingkaian aksi kolektif (collective action frames). Dalam
perspektif demikian, unit analisis dalam menggambarkan gerakan sosial tidak
22
22
hanya mengarah pada individu sebagai partisipan gerakan sosial, tapi juga
kelompok dan organisasi. Partisipan gerakan sosial berada dalam konteks kultural
dan struktural dari gerakan itu. Disinilah konteks struktural organisasi yang
mewadahi dan memungkinkan terjadinya mobilisasi sumber daya dan struktur
kesempatan politik yang melingkupinya berkaitan dengan motif individual,
ideologi, nilai, dan pertimbangan rasional partisipan untuk terlibat dalam suatu
gerakan sosial.
Kemunculan dan perkembangan gerakan kebebasan beragama Wahid
Institute yang kompleks menjadikan penjelasannya sulit tergambarkan dalam satu
perspektif gerakan sosial tertentu. Untuk itu, penelitian ini menggunakan
perspektif gerakan sosial secara integral untuk menjelaskan beragam usaha yang
dijalankan Wahid Institute dalam kerangka gerakan kebebasan beragama.
Penjelasan lebih jauh mengenai perspektif gerakan sosial yang dijadikan dasar
analisis penelitian ini adalah:
1. Perspektif Struktur Kesempatan Politik
(Political Opportunity Structure)
McAdam menjelaskan struktur kesempatan politik adalah pola hubungan antara
elite politik, antara partai politik, antara kelompok kepentingan, dan semua ini
dengan masyarakat sebagai konstituen.23 McAdam kemudian menghimpun empat
dimensi struktur kesempatan politik, yaitu: (1) keterbukaan dan ketertutupan
relatif sistem politik; (2) stabilitas atau instabilitas jejaring keterikatan elit; (3)
23
23
adanya atau tiadanya aliansi-aliansi elit; (4) kapasitas atau kecenderungan negara
untuk melakukan represi.24
Perspektif struktur kesempatan politik berupaya menjelaskan kemunculan
dan perkembangan suatu gerakan sosial terjadi karena dalam perubahan dalam
struktur politik yang dimaknai sebagai kesempatan. Secara umum hambatan atau
kesempatan politik bagi gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori, yaitu,
pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan
hambatan bagi gerakan sosial sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi
kemunculan dan perkembangan suatu gerakan sosial sebagai bagian dari relasi
politik yang kompetitif antara elite, antara partai politik, dan juga antara kelompok
kepentingan. Semakin terbuka kesempatan politik maka semakin membuka
kesempatan bagi kemunculan dan pekembangan gerakan sosial. Sebaliknya,
semakin tertutup kesempatan politik akan kesempatan bagi kemunculan dan
perkembangan suatu gerakan sosial.
Namun demikian, hubungan antara struktur kesempatan politik dan
kemunculan gerakan sosial tidak bersifat linear tetapi kurvalinear. Eisinger
menyatakan suatu gerakan sosial sangat mungkin muncul dalam sistem politik
yang menandai adanya percampuran diantara keterbukaan dan ketertutupan
struktur kesempatan politik. Karena inilah, menjadi tidak mudah untuk
memberikan batasan derajat keterbukaan dalam struktur kesempatan politik yang
memunculkan gerakan sosial ini.25
24
Ibid., h. 154.
25Peter Eisenger, “The Conditions of Protest Behavior in American Cities”, American Political
24
2. Perspektif Teori Sumber Daya Mobilisasi (Resourse Mobilization Theory)
Smelser, seperti dikutip Sanderson, menjelaskan beragam tindakan dalam gerakan
sosial terjadi karena adanya mobilisasi atas dasar sistem keyakinan yang
mengalami proses generalisasi yang terdiri dari hal-hal yang bersifat histeria,
keinginan, norma, dan nilai.26 Perspektif sumber daya mobilisasi menunjukan
beragam tindakan partisipan dalam gerakan sosial menjadi efektif ketika
dijalankan oleh suatu organisasi gerakan sosial. McCarthy menjelaskan sumber
daya mobilisasi sebagai sejumlah cara kelompok gerakan sosial melebur dalam
aksi kolektif, termasuk didalamnya taktik gerakan dan bentuk organisasi gerakan
sosial.27
Tilly, dikutip Muhtadi, menyatakan bahwa salah satu sumber daya yang
paling penting adalah jaringan informal dan formal yang menghubungkan
individu-individu dengan organisasi gerakan sosial.28 Jaringan seperti dijelaskan
Klandermans, juga dikutip Muhtadi, sebagai struktur sosial, yaitu serangkaian
hubungan sosial yang mendorong atau menghambat perilaku, sikap, dan
kemungkinan partisipan untuk terlibat dalam suatu gerakan sosial. Klandermans
kemudian menjelaskan pentingnya kepemimpinan untuk menetapkan sumber daya
bagi para partisipan suatu gerakan sosial sedangkan Maguire membagi sumber
daya ke dalam dua kategori, yaitu yang tangible yang mencakup uang, ruang,
26
Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, terjemahan (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hal. 60.
27
John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing” dalam
Comparative Perspective on Social Movements Political Opportunities, Mobilizing Structure, and cultural Framming, Doug McAdam, John Mc Carthy dan Mayer N Zald, ed (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), h. 141.
28
25
perlengkapan, dan seterusnya dan intangible yang mencakup kapasitas
kepemimpinan, manajerial dan pengalaman organisasi, justifikasi ideologis, taktik
dan semacamnya.29
McCarthy menjelaskan dua kategori yang membangun struktur mobilisasi,
yaitu, struktur formal dan informal. Dalam struktur mobilisasi informal yang
identik dengan gerakan lokal, jaringan kekerabatan dan persaudaraan menjadi
dasar bagi rekrutmen gerakan.30 Konsep struktur informal, kemudian berkembang
menjadi lebih luas ketika dihubungkan dengan mobilisasi gerakan. Situmorang
mengutip Woliver yang menekankan pentingnya faktor ingatan komunitas
sedangkan Gamson dan Schmeidler mengidentifikasi beberapa faktor jaringan
struktur informal seperti, perbedaan dalam sub-kultur dan infrastruktur protes
serta McAdam menjelaskan hubungan formal dan informal di antara masyarakat
dapat menjadi sumber solidaritas dan memfasilitasi struktur komunikasi.31
Tetapi McCarthy melihat gerakan sosial yang mempergunakan struktur
informal sebagai dasar analisis, belum mampu memetakan struktur informal
secara mendalam. Struktur sumber daya mobilisasi memasukan serangkaian posisi
sosial dan lokasi dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi dalam suatu gerakan
sosial. Kelompok atau organisasi formal memainkan peranan penting dalam
29
Ibid., h. 9.
30
John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, h. 141.
31
26
membentuk struktur mobilisasi yang kemudian disebut organisasi gerakan
sosial.32
3. Perspektif Pembingkaian Aksi Kolektif (Collective Action Frames)
Para teoritisi gerakan sosial memperkenalkan perspektif pembingkaian aksi
kolektif untuk menjelaskam mentransformasikan mobilisasi potensial ke dalam
mobilisasi aktual dalam upaya menyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan
luas sehingga mereka terdorong mendesakan perubahan. Klandermans, dikutip
Muhtadi, menjelaskan mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi
sosial klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku.33 Perspektif
pembingkaian aksi kolektif dapat dijelaskan sebagai konstruksi budaya sebagai
sistem kesadaran kolektif yang mengandung makna-makna yang menjadi
kekuatan legitimasi danmotivasi bagi lahirnya tindakan-tindakan kolektif.
Snow dan Benford menjelaskan tiga aspek pembingkaian aksi kolektif
gerakan sosial. Pertama, framing diagnostic, berupa identifikasi masalah dan
penanggungjawab serta target kesalahan atau penyebabnya. Kedua, framing
prognostic, berupa artikulasi solusi yang ditawarkan bagi
permasalahan-permasalajan tersebut serta identifikasi strategi, taktik dan target gerakan sosial.
Ketiga, pembingkaian motivasi yaitu elaborasi panggilan untuk bergerak atau
penjelasan mengenai aksi yang melampaui diagnosis dan prognosis.34
32
John D McCarthy, “Constrain and Opportunities in Adopting, Adapting, and Inventing”, h. 141.
33
Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia:Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 4.
34
27
Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan perspektif psikologi gerakan
sosial meliputi tiga hal, yaitu, perasaan tidak adil atas perlakuan terhadap suatu
kelompok partisipan, identitas kelompok yang mendefinisikan partisipan gerakan
sosial sebagai korban ketidakadilan oleh kelompok sosial lain, rezim, dan
agensi.35 Keadaan demikian disebutnya deprivasi relatif yang berkaitan dengan
persepsi tentang adanya nilai-nilai prinsip dalam suatu masyarakat yang dilanggar
atau tidak ditegakkan oleh pihak berwenang.
Namun demikian, penjelasan mengenai deprivasi relatif saja tidak cukup
menjadikan seseorang partisipan gerakan sosial. Agensi menjadi krusial untuk
memfasilitasi perasaan deprivatif itu, terutama berkaitan dengan efikasi politik.
Klandermans, dikutip Muhtadi, menjelaskan efikasi sebagai perasaan individu
bahwa terlibat dalam gerakan bersama dengan anggota yang lain dapat merubah
keadaan menjadi lebih baik, juga persepsi bahwa orang lain akan ikut serta dan
persepsi bahwa gerakan itu kemungkinan akan sukses.36[]
35
Burhanuddin Muhtadi, Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik; Pengalaman Indonesia:Demokrasi Zonder Toleransi: Potret Islam Pasca Orde Baru, h. 5-6.
36
28
Bab III
Profil The Wahid Institute
A. Abdurrahman Wahid: Pendiri The Wahid Institute
Abdurrahman Wahid yang juga dikenal publik dengan nama Gus Dur terlahir
dengan nama Abdurrahman Addakhil. Wahid adalah lahir di Denanyar Jombang
Jawa Timur pada 4 Desember 1940. Ayahnya, Wahid Hasjim merupakan Menteri
Agama pertama yang juga putra Hasjim Asjari, pendiri jamiyah Nahdlatul Ulama,
organisasi Islam terbesar pertama di Indonesia, dan pendiri Pesantren Tebu Ireng
Jombang. Ibunya, Solichah adalah putri pendiri pesantren Denanyar Jombang,
Bisri Syansuri.
Setelah ayahnya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan di daerah antara
Bandung dan Cimahi pada April 1953, pengasuhan Wahid sepenuhnya dilakukan
ibunya. Setelah lulus sekolah dasar, Wahid melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama Gowongan Yogyakata yang dikelola oleh Gereja
Katolik Roma. Wahid juga menjalani pendidikan di pesantren Krapyak sampai
kemudian berpindah untuk menetap bersama Junaidi, seorang pimpinan
Muhammadiyah setempat. Di sekolah ini Wahid didorong guru-gurunya untuk
menguasai bahasa Inggris dengan membaca karya-karya berbahasa Inggris,
diantaranya, karya John Steinbach, Ernest Hemingway, William Faulkner, Andre
29
Rusia seperti Pushkin, Tolstoy, Mikhail Sholokov dan Dostoevsky dan aktif
mendengarkan siaran Voice of America dan BBC London.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMEP Gowongan Yogyakarta,
Wahid melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tegalrejo Magelang dan
berpindah ke Pesantren Tambak Beras Jombang. Dua tahun kemudian Wahid
berpindah ke Mesir untuk studi Universitas al-Azhar. Dari Mesir Wahid
melanjutkan pendidikannya di Departement of Religion di Universitas Baghdad
hingga 1970. Setelah dari Baghdad, Wahid melakukan visitasi dibeberapa
universitas dan menetap di Belanda selama enam bulan. Wahid yang sebelumnya
berkeinginan menjalani studi Islam di Mc Gill University Kanada akhirnya
memutuskan untuk kembali Indonesia pada 1971.
Kembali ke tanah air, Wahid memulai beragam aktivitas keorganisasian.
Pengalaman panjang berorganisasi Wahid sampai meninggal dunia pada 30
Desember 2009, yaitu, wakil ketua Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di
Cairo-United Arab Republic (Mesir) (1965), dekan dan dosen Fakultas Ushuludin
Universitas Hasyim Ashari, Jombang (1972-1974), sekretaris umum Pesantren
Tebu Ireng (1974-1980), katib awwal PBNU (1980-1984), ketua umum Dewan
Kesenian Jakarta (1982-1985), juri Festival Film Indonesia (1986-1987), ketua
dewan tanfidz Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1984-2000), ketua Majelis
Ulama Indonesia (1987-1992), pendiri dan anggota Forum Demokrasi (1990),
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (1989-1993),
Presiden Republik Indonesia (1999-2001), mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul
30
(2002-2009), ketua dewan syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia
(1998-2009), penasehat Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(2002), penasehat Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional (2003), pendiri The
Wahid Institute (2004-2009).37
Wahid juga dikenal karena aktivitas Internasionalnya, yaitu, anggota
dewan Juri The Aga Khan Award for Islamic Architecture (1980-1983), penasehat
International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda
(1994), Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP), New York,
Amerika Serikat (1994-1998), pendiri dan anggota Shimon Perez Center for
Peace, Tel Aviv, Israel (1994-2009), presiden Association of Muslim Community
Leaders (AMCL), New York, Amerika Serikat (2002), anggota Dewan Penasehat
Internasional International and Interreligious Federation for World Peace
(IIFWP), New York, Amerika Serikat (2002-2009), presiden kehormatan
International Islamic Christian Organization for Reconciliation and
Reconstruction (IICORR), London, Inggris (2003-2009), anggota dewan
internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bildt
International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel (2003-2009),
presiden Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan (2003-2009).38
Atas beragam aktivisme dan kontribusinya Wahid mendapat banyak
penghargaan, diantaranya, Magsaysay Award, Manila, Filipina (1993), Islamic
Missionary Award, Pemerintah Mesir (1991), Tokoh 1990, Majalah Editor,
37
gusdur.net, “Tentang Kami”, diakses pada 11 Agustus 2012 dari http://www.gusdur.net/ Tentang_Kami
38
31
Indonesia (1990), Man of The Year, Majalah REM, Indonesia (1998), Paul Harris
Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International (2000), Ambassador of
Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New
York, Amerika Serikat (2000), Public Service Award, Universitas Columbia ,
New York, Amerika Serikat (2001), Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA),
Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII,
Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia (2002), Pin Emas NU, Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia. (2002), Dare to Fail Award , Billi PS Lim,
penulis buku paling laris Dare to Fail, Kuala Lumpur, Malaysia (2003), World
Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul,
Korea Selatan (2003), Global Tolerance Award, Friends of the United Nations,
New York, Amerika Serikat (2003), The Culture of Peace Distinguished Award
2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
(2004), Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia,
Jakarta, Indonesia (2004).39
Wahid juga mendapat gelar Doktor Kehormatan dari beberapa universitas,
yaitu, Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (1999), Pantheon Sorborne
University, Paris, France (2000), Thammasat University, Bangkok, Thailand
(2000), Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2001), Soka Gakkai
University, Tokyo, Japan (2002), Sun Moon University, Seoul, South Korea
39
32
(2003), Konkuk University, Seoul, South Korea (2003), Netanya University,
Israel (2003).40
B. Visi dan Misi The Wahid Institute
Wahid Institute memiliki visi mewujudkan prinsip-prinsip dan cita-cita intelektual
Wahid untuk membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya
demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi di kalangan
kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia.41
Misi Wahid Institute mengemban komitmen menyebarkan gagasan
muslim progresif yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian di
masyarakat dunia Islam dan Barat. Wahid Institute juga mengemban misi
membangun dialog diantara pemimpin agama-agama dan tokoh-tokoh politik di
dunia Islam dan Barat.42
C. Organisasi The Wahid Institute
Memusatkan kegiatan-kegiatan di Jalan Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman
Jakarta, dua putri Wahid, Yenny Zannuba Wahid dan Anita Hayatunnufus,
menjadi Direktur dan Wakil Direktur. Sedangkan Ahmad Suaedy menjadi
Direktur Eksekutif.43
Staf Wahid Institute, yaitu, Rumadi, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Rifa
Ilyasa, Badrus Samsul Fata, Alamsyah M. Dja'far, Ahmad Farid, Nurun nisa',
40
Ibid..
41
The Wahid Institute, “Tentang Kami”, diakses pada 11 Agustus 2012 dari http://wahidinstitute. org/Tentang_ Kami
42
Ibid..
43
33
Ulum Zulvaton, Sri Handayani, Shinta Saraswati, Kharisma Pratiwi, Visna, Wiwit
R. Fatkhurrahman, Muntaat, Ahmad Firdaus, Trisno. Outsourcer Wahid Institute,
yaitu, Christopher Paul Holm (copy editor) Arif Hakim Budiawan (translator).44
Rekanan Wahid Institute, yaitu, Siane Indriani, Priya Sembada, KH.
Husein Muhammad, Rm. Benny Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M.
Syafiq Hasyim, Farha Ciciek, A. Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendy, Trisno
S. Susanto, M. Jadul Maula, M. Imam Aziz, Abdul Moqsith Ghazali, Hikmat
Budiman, Mufti Makarim al-Akhlaq.45
Beberapa figur terkemuka menjadi penasehat Wahid Institute, yaitu, K.H.
M. A. Sahal Mahfudz, Prof Dr. Nurcholish Madjid (alm), K.H. A. Mustofa Bisri,
Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, Prof . Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi
Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan, Wimar Witoelar.
Supervisors Wahid Institute, Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim Abdurrahman,
Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar
Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie M. Massardi, Prof. Dr. Sue Kenny.46
D. Program The Wahid Institute
Sejak kemunculannya di ruang publik 7 September 2004, Wahid Institute secara
konsisten menjalankan beragam usaha untuk mewujudkan visi dan misi
gerakannya. Wahid Institute, seperti ditunjukan The Wahid Institute: Seeding
44
Ibid..
45
Ibid..
46
34
Plural and Peaceful Islam Annual Report 2011, menjalankan beragam program,
yaitu:
1. Forum Diskusi, Seminar & Dialog
Program ini bertujuan membangun pemahaman dan mengkampanyekan Islam
sebagai pembawa rahmat dan perdamaian semesta. Lingkup kerjanya untuk
masyarakat Indonesia dan dunia internasional.
2. Center for Islam and Southeast Asian Studies (CISEAS)
Divisi ini menjalin kerjasama Wahid Institute dengan kaum muslim progresif di
Asia dalam mengkaji perkembangan muslim minoritas di Asia, antara lain
Filipina Selatan, Penang, Singapura, Kamboja, Vietnam, Bali dan Nusa Tenggara
Timur.
3. Capacity Building untuk Gerakan Muslim Progresif di Indonesia
Program pengembangan kapasitas ditujukan bagi jaringan Wahid Institute di
berbagai kota di Indonesia, baik individu maupun lembaga swadaya masyarakat
progresif.
4. Pendidikan
Program-program pendidikan informal dalam bentuk pelatihan-pelatihan digelar
untuk mengembangkan visi toleransi dan pluralisme. Divisi ini juga sedang
merintis berdirinya Universitas Abdurrahman Wahid.
5. Advokasi
Isu-isu pluralisme dan toleransi agama agar regulasi, maupun penanganan