• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA SISTEM FILSAFAT MORAL 1.Pandangan Hedonisme sebagai Teori Etika

Dalam dokumen Review Bab 1-8 buku etika karya bertens (Halaman 36-41)

Pandangan hedonism pada dasarnya adalah mencari kesenangan. Menurut Atistippos, yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan badani, aktual, dan individual. Kesenangan badani tidak lain adalah gerak dalam badan. Gerak halus adalah kesenangan, gerak kasar adalah ketidaksenangan (rasa sakit), dan tidak ada gerak adalah netral (tidur). Atistippos mengatakan bahwa kesenangan adalah kenikmatan kini dan disini, bukan kesenangan di masa lalu ataupun masa mendatang.

Menurut Epikuros, kesenangan terdiri dari 3 keinginan, yaitu keinginan alamiah yang perlu (makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (makanan enak), dan keinginan yang sia-sia (kekayaan), dimana dari ketiganya hanya keinginan pertama yang harus dipuaskan dan menghasilkan kesenangan paling besar. Sehingga Epikuros menganjurkan “pola hidup sederhana”, dimana orang perlu sedapat mungkin hidup terlepas dari keinginan, untuk mencapai Ataraxia (keadaan jiwa seimbang, tidak terganggu oleh hal-hal lain). Hal ini juga ditegaskan oleh Atistippos bahwa ada batas untuk mencari kesenangan, yaitu perlunya pengendalian diri. Perlu mempergunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terbawa olehnya.

Kritik yang dikemukakan untuk teori ini, yaitu:

a) Apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah kesenangan betul-betul menjadi motivasi terakhir dalam hidup?

b) Argumen hedonisme tidak dipertanggungjawabkan, dengan menganggap bahwa kodrat manusia adalah mencari kesenangan, sehingga sampai pada menyetarakan kesenangan dengan moralitas yang baik. Pada kenyataannya, kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin sifat etis suatu perbuatan.

c) Hedonis mengalami kesalahan konsepsi tentang tentang kesenangan, hedonis menganggap sesuatu adalah baik karena disenangi. Padahal sebenarnya sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, namun manusia merasa senang karena memperoleh sesuatu yang baik.

d) Hedonisme mengandung suatu egoisme etis yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi dirinya sendiri.

2. Pandangan Eudemonisme Aristoteles

Aristoteles (384-322 S.M.), dalam bukunya, Ethika Nikomakheia menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan yang baik bagi dirinya. Sering kali juga kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi adalah kebahagian (eudaimonia). Tetapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagian sebagai tujuan terakhir dari hidup manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Dengan begitu, manusia akan mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan. Apa yang menjadi kelemahan pandangan ini, khususnya dalam kaitannya dengan keutamaan?

a. Kelemahan ajaran Aristoteles ini adalah daftar keutamaan yang disebut oleh Aristoteles bukan merupakan hasil pemikirannnya sendiri tetapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada waktu itu dan lebih khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena.Selain itu dalam setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah akan memiliki keutamaan-keutamaan sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau periode sejarah lain. b. Kritik lain adalah menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai

jalan tengah antara dua ekstrem. Apakah keutamaan selalu merupakan jalan tengah antara “kurang” dan “terlalu banyak”. Misalnya keutamaan seperti pengendalian diri. Aristoteles mengalami kesulitan dalam menjelaskan keutamaan ini. Perbuatan makan terlalu banyak bertentangan dengan keutamaan pengendalian diri. Tapi jika manusia makan terlalu sedikit apakah itu bisa disebut sebagai pelanggaran keutamaan? Agaknya sulit dikatakan demikian, karena

perbuatan seperti berpuasa justru dianggap sebagai bentuk pelaksanaan pengendalian diri.

c. Dalam ajaran Arisitoteles ini, kita belum bisa melihat paham hak manusia dan persamaan hak semua manusia. Karena, ia malah membenarkan secara rasional bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah budak. Tapi yang harus ditekankan disini adalah pandangan Aristoteles muncul pada zaman Yunani kuno. d. Etika Aristoteles dan ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk

memecahkan dilema moral besar yang kita hadapi sekarang misalnya, resiko penggunaan tenaga nuklir,bayi tabung, percobaan medis dengan embrio, dan sebagainya. Pandangan Aristoteles tentang keutamaan lebih cocok untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-perbuatannya, termasuk hidup moralnya sebagai keseluruhan.

3. Utilitarianisme

Dua tokoh yang mencetuskan adalah David Hume (1711-1776), yang merupakan filsuf Skotlandia dan bentuk yang lebih matang berasal dari filsuf Inggris yaitu Jeremy Bethan (1748-1832). Dalam bukunya yang berjudul Introduction to the Principle of Morals and Legislation (1789) Bethan menjelaskan bahwa tujuan utilitarianisme adalah untuk memperbarui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Secara garis besar, utilitarianisme ingin memajukan kepentingan warga negara. Bethan mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan berat tidaknya pelanggaran dan diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Bethan sampai pada gambaran umum tentang utilitarianisme yang berbunyi: the greatest happiness of the greatest number atau kebahagian terbesar dari jumlah orang terbesar.

Berikut adalah kekuatan dan kelemahan utilitarianisme:  Kekuatan:

a) Menggunakan sebuah prinsip yang jelas dan rasional

b) Teori ini memperhatikan hasil perbuatan, kita bisa secara spontan menilai suatu perbuatan. Kesan spontan terhadap hasil perbuatan menentukan kualitas etis perbuatan tersebut. Perbuatan yang mempunyai akibat jelek (contoh :

dapat mencelakakan orang lain) memiliki peluang lebih besar untuk dianggap secara etis jelek.

Kelemahan:

a) Terdapat loncatan besar yang tidak konsekuen dan tidak ada penjelasan lebih lanjut, yaitu dalam terminologi “jumlah terbesar”. Karena tidak bisa semata-mata demikian. Contoh: jika suatu mayoritas adalah seorang pemabuk, sedang minoritas bukan pemabuk. Maka menurut utilitarianisme, mabuk merupakan perbuatan etis, karena lebih banyak orang yang mendapatkan kesenangan dengan mabuk daripada yang tidak.

b) Tidak menjamin apapun bahwa kebahagiaan bisa dibagi juga dengan adil. Tapi kenyataannya justru menunjukkan belum diatur dengan baik karena tidak semua memiliki hidup yang layak.

Pandangan Utilitarianisme Aturan

Dua macam jenis utilitarianisme : utilitarianisme perbuatan dan utilitarianisme aturan. Utilitarianisme perbuatan adalah mengacu pada kodrat manusia yang terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu menyangkut seluruh umat manusia, dan moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan memperhatikan kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan manusia.

Sedangkan utilitarianisme aturan memandang bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas atura-naturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia. Jika pada utiltarisme perbuatan, memandang sisi “ Apakah akan diperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling banyak orang, jika seseorang menepati janjinya dalam situasi tertentu?”, lain halnya dengan utilitarianisme aturan yang memandang sisi “ Apakah aturan moral tentang seseorang yang perlu menepati janjinya paling berguna bagi masyarakat? Atau paling membuat kebahagiaan paling banyak orang?”. Sehingga, perbuatan baik secara moral dikatakan baik apabila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.

Deontologi memandang etika yang mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan pada maksudseseorang dalam melakukan perbuatan tersebut. Menurut Kant, yang bisa disebutbaik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Kehendak yang baik adalah jika dilakukan karena kewajiban, bukan dilandasi oleh suatu maksud atau motif lain, seberapa terpujinya motif itu. Suatu perbuatan bersifat moral, jika dilakukan semata-mata karena hormat untuk hukum moral (kewajiban). Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut Legalitas. Dengan legalitas, maka seseorang memenuhi norma hukum.

Kekuatan dan Kelemahan Teori Deontologi Kant: Kekuatan :

a) Inti deontologi cocok dengan pengalaman moral manusia, terutama tampak dalam hati nurani manusia. Manusia memang sering merasa terikat dengan kewajiban dalam perilaku moral sehingga tidak dapat disangkal bahwa kewajiban merupakan aspek penting dalam kehidupan moral manusia. Manusia dikatakan memiliki moral yang baik jika bertindak sesuai nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku di masyarakat sehingga teori ini cocok dengan pengalaman moral manusia.

b) Menjamin otonomi dan keluhuran martabat manusia. Etika deontologi Kant menekankan peranan akal budi manusia sebagai sumber hukum yang wajib ditaati secara mutlak, menolak segala bentuk heteronomi atau penentuan dari luar. Dalam hal ini Kant juga menemukan tentang kebebasan manusia. Otonomi sama dengan kebebasan artinya kesanggupan untuk bertindak terlepas dari penguasaan oleh sebab-sebab asing. Tetapi bebas disini menurut Kant adalah manusia bebas melakukan apapun tetapi tetap mentaati hukum moral.

Kelemahan:

a. Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang kaku. Terkesan bahwa manusia berkelakuan baik hanya semata-mata melakukannya karena kewajiban manusia untuk berbuat baik bukan karena spontanitas yang dimiliki manusia.

b. Teori moral Kant tidak mengenal adanya pengecualian, ada norma ada kewajiban yang mengikat mutlak sehingga harus dilakukan apapun akibatnya. Sebagai contoh Kant mewajibkan manusia selalu mengatakan hal yang sebenarnya dalam situasi apapun dan tidak pernah boleh berbohong. Padahal terkadang ada situasi-situasi pada diri manusia yang mengharuskannya untuk berbohong untuk menghindari konsekuensi yang buruk.

Koreksi W.D. Ross terhadap Deontologi Kant

Ross memberikan pandangan mengenai kewajiban yang selalu kewajiban prima facie (pada pandangan pertama), artinya, suatu kewajiban untuk sementara, dan hanya berlaku sampai muncul kewajiban yang lebih penting dibanding kewajiban pertama. Ketika menghadapi dua kewajiban sekaligus, manusia memakai penalaran mereka untuk mencari alasan rasional dan memilih kewajiban mana yang lebih penting untuk dilakukan terlebih dahulu.

BAB VIII: MASALAH ETIKA TERAPAN DAN TANTANGANNYA BAGI ZAMAN

Dalam dokumen Review Bab 1-8 buku etika karya bertens (Halaman 36-41)

Dokumen terkait