• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia berupa hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, dan pertambangan. Kekayaan alam yang melimpah terutama dari hasil tambang berupa minyak bumi pernah menjadikan Indonesia sebagai salah satu anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang merupakan organisasi dari negara-negara

penghasil minyak bumi. Namun penurunan produksi minyak bumi dalam negeri dan peningkatan konsumsi minyak bumi menyebabkan Indonesia berubah status menjadi negara net importir. Kondisi perminyakan Indonesia dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi Perminyakan Indonesia Tahun 2000-2008 Tahun Produksi Minyak (ribu barrel) Konsumsi Minyak (ribu barrel) Impor Minyak Mentah (ribu barrel) Ekspor Minyak Mentah (ribu barrel) Kapasitas Pengilangan (ribu barrel) Output Pengilangan (ribu barrel) Cadangan Minyak (MB) 2000 1 272.5 996.4 219.1 622.5 1 057.0 968.2 5 123 2001 1 214.2 1 026.0 326.0 599.2 1 057.0 1 006.1 5 095 2002 1 125.4 1 075.4 327.7 639.9 1 057.0 1 002.4 4 722 2003 1 139.6 1 112.9 306.7 433.0 1 057.0 944.4 4 320 2004 1 094.4 1 143.7 330.1 412.7 1 055.5 1 011.6 4 301 2005 1 059.3 1 139.9 341.5 374.4 1 057.0 1 054.1 4 188 2006 883.0 1 061.3 289.6 301.3 1 057.0 1 053.5 4 370 2007 837.6 1 047.9 298.3 319.3 1 050.6 1 213.2 3 990 2008 856.7 1 054.1 260.8 214.1 1 050.6 1 184.1 3 990 Sumber : Organization of Petroleum Exporting /OPEC (2008)

Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi minyak dalam negeri mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Data ekspor dan impor minyak mentah pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa sampai tahun 2007 Indonesia adalah net eksportir,

tetapi sebagian besar ekspor dilakukan oleh Kontraktor KPS (Production Sharing

Contract) sehingga penerimaannya tidak masuk Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) sedangkan impor seluruhnya dilakukan oleh Pertamina sehingga masuk pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pertamina, 2007).

Dilihat dari sisi konsumsi, permintaan minyak bumi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah menyebabkan konsumsi minyak bumi semakin meningkat pula. Peningkatan jumlah penduduk ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1930-2010

Tahun Jumlah Penduduk (Juta Jiwa) Pertumbuhan (%)

1930 60.7 - 1961 97.1 59.96 1971 119.2 22.76 1980 146.9 23.23 1990 178.6 21.57 2000 2010 205.1 237.6 14.83 15.84 Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada saat sensus penduduk pertama kali dilaksanakan pada tahun 1930 adalah 60.7 juta jiwa. Jumlah ini terus meningkat menjadi 237.6 juta jiwa pada sensus penduduk tahun 2010. Tingginya tingkat konsumsi tidak diimbangi dengan peningkatan produksi menyebabkan defisit bahan bakar minyak (BBM), sehingga untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri pemerintah melakukan impor dari negara lain.

Minyak dan gas bumi merupakan sumberdaya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam

perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, hal ini tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Pasal 8, pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemanfaatan minyak dan gas bumi ini secara tidak langsung diimplementasikan melalui penyediaan BBM murah dengan adanya subsidi BBM yang merupakan pengeluaran rutin negara.

Harga minyak dunia pada tahun 2005 sampai dengan pertengahan tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan harga minyak dunia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Harga Rata-Rata Minyak Dunia Tahun 2005-2008

Tahun Harga Rata-rata Minyak Dunia/West Texas Intermediate Spot Average/WTI

(USD/barel)

2005 53.4

2006 64.3

2007 72.3

2008 97.0

Sumber : Kementerian Keuangan (2010)

Berdasarkan Tabel 3, rata-rata harga minyak dunia (West Texas

Intermediate Spot Average) pada tahun 2005 adalah sebesar USD 53.4 per barel

meningkat menjadi USD 64.3 per barel pada tahun 2006 dan USD 72.3 per barel pada tahun 2007. Pada awal tahun 2008 terjadi peningkatan harga yang sangat drastis mencapai USD 97.0 per barel. Seiring dengan peningkatan harga minyak dunia (WTI), harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude-Oil Price/ICP)

juga mengalami peningkatan. Dalam semester I pada tahun 2009 harga minyak ICP mencapai rata-rata USD 51.6 per barel, kemudian pada semester II

mengalami peningkatan menjadi USD 71.6 per barel, sehingga selama tahun 2009 harga rata-rata minyak ICP mencapai 61.6 per barel (Kementerian Keuangan, 2010).

Terjadinya kenaikan harga minyak dunia ini mengakibatkan pemerintah menaikkan harga BBM dua kali pada tahun 2005. Selain itu, kenaikan harga minyak dunia ini memberikan dampak terhadap meningkatnya beban subsidi BBM dalam APBN. Perkembangan subsidi BBM di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Subsidi BBM di Indonesia Tahun 1994-2002

(Milyar Rupiah)

Tahun Anggaran Biaya Pokok BBM Hasil Penjualan Bersih Subsidi

1994/1995 14 049.00 14 935.60 -886.60 1995/1996 15 829.50 14 858.30 -28.80 1996/1997 20 171.90 17 314.30 2 587.60 1997/1998 34 145.60 18 279.50 15 866.10 1998/1999 36 593.90 29 140.90 7 453.00 1999/2000 71 411.36 30 487.96 40 923.40 2000/2001 88 837.08 35 027.48 53 809.60 2001/2002 108 798.35 39 417.55 68 380.80

Sumber : Biro Pusat Statistik (2003)

Dalam anggaran belanja negara subsidi dialokasikan dengan tujuan untuk mengendalikan harga komoditas yang disubsidi, meringankan beban masyarakat dalam memperoleh kebutuhan dasarnya, dan menjaga agar produsen mampu menghasilkan produk, khususnya produk yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, dalam hal ini bahan bakar minyak, dengan harga terjangkau. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) realisasi anggaran subsidi BBM pada tahun 2005 adalah 95.6 triliun rupiah, mengalami penurunan menjadi 64.2 triliun rupiah pada tahun 2006. Pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 83.8 triliun rupiah, terus meningkat menjadi 139.1 triliun

rupiah pada tahun 2008, dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 45.0 triliun rupiah. Berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), anggaran subsidi BBM pada tahun 2010 adalah 88.9 triliun rupiah (Kementerian Keuangan, 2011).

Beban subsidi BBM yang terus meningkat ini dikendalikan pemerintah dengan cara mengurangi pengeluaran negara dalam mensubsidi bahan bakar minyak tanah bagi masyarakat melalui langkah-langkah penghematan subsidi, salah satunya adalah dengan melaksanakan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG. Sebelum melakukan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral melakukan perhitungan tentang jumlah subsidi yang dapat dihemat dengan adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG. Hasil perhitungan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2007 menunjukkan bahwa penerapan kebijakan ini dapat mengurangi subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar Rp 20.12 triliun per tahun seperti yang terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan Minyak Tanah dan LPG

Perbandingan Minyak Tanah LPG

Kesetaraan 1 liter 0.57 kg

Nilai Kalori 8 498.75 (Kcal/liter) 6 302.58 (Kcal/liter)

Pengalihan Volume Minyak Tanah Subsidi 10 000 000 kiloliter 5 746 095 MT/tahun

Asumsi Harga Keekonomian Rp 5 665 /liter Rp 7 127 /kg

Harga Jual Rp 2 000 /liter Rp 4 250 /kg

Besaran Subsidi Rp 3 665 /liter Rp 2 877 /kg

Total Subsidi Rp 36.65 triliun/tahun Rp 16.53 triliun/tahun

Besarnya subsidi yang bisa dihemat Rp 20.12 triliun/tahun

Sumber : Departemen ESDM (2007)

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 5, program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG dirasa perlu dilaksanakan. Program konversi

minyak tanah menjadi LPG direncanakan dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2007 dan berakhir pada tahun 2010. Kota Bogor yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Barat adalah salah satu daerah sasaran konversi pada tahun 2007 (Pertamina, 2007). Target program konversi minyak tanah menjadi LPG adalah rumah tangga kelas sosial C1 atau yang berpendapatan di bawah Rp 1.5 juta/bulan dan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak dalam usahanya. Program konversi minyak tanah menjadi LPG yang sudah dilaksanakan kurang lebih empat tahun mengakibatkan adanya perubahan pola konsumsi energi pada rumah tangga. Selain memberikan pengaruh kepada rumah tangga, adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG ini juga memberikan pengaruh kepada para pelaku usaha, dalam hal ini usaha mikro, dalam hal pola konsumsi bahan bakarnya.

Berdasarkan Sensus Ekonomi Tahun 2006, penyebaran usaha di Indonesia didominasi oleh skala usaha mikro yaitu sebesar 83.27 persen dibandingkan 15.81 persen usaha kecil dan 0.67 persen usaha menengah (BPS, 2006). Dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah, usaha mikro juga mendominasi di Kota Bogor yaitu sebesar 80 persen dari keseluruhan jumlah usaha yang ada di Kota Bogor (Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009). Perkembangan jumlah perusahaan menurut skala usaha di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha di Kota Bogor Tahun 2007-2009

No. Jenis Usaha 2007 2008 2009

1. Usaha Mikro 23 873 25 718 25 804

2. Usaha Kecil 6 366 4 822 4 838

3. Usaha Menengah 1 598 1 607 1 614

Tabel 6 menunjukkan jumlah usaha mikro, kecil dan menengah di Kota Bogor cenderung meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Usaha mikro pada tahun 2007 berjumlah 23 873 atau sebesar 75 persen dari jumlah keseluruhan, meningkat menjadi 80 persen pada tahun 2008 dan 2009 yaitu berjumlah 25 718 dan 25 804 dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah.

Usaha mikro pada penelitian ini dibatasi dengan pedagang mikro yaitu pedagang kaki lima di Kota Bogor. Di Kota Bogor terdapat 51 titik pedagang kaki lima dengan jumlah keseluruhan 9 710 PKL. Pedagang kaki lima Kota Bogor sebagian besar jenis barang dagangannya adalah berupa makanan, minuman, jajanan dan oleh-oleh yaitu sebesar 43 persen (Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor, 2010). Jenis barang yang dijual oleh pedagang kaki lima Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis Barang Dagangan Pedagang Kaki Lima Kota Bogor

No. Jenis Barang Dagangan Persentase (%)

1. Makanan, minuman, jajanan, dan oleh-oleh 43.00

2. Hasil pertanian 38.00

3. Industri dan kerajinan 9.00

4. Jasa (tambal ban dan servis) 2.00

5. Bekas pakai 1.00

6. Lainnya 11.00

Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor (2010)

Martabak dan pecel lele adalah salah satu jenis makanan yang berkembang dan banyak ditemui di Kota Bogor. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele merupakan pedagang mikro yang juga terkena dampak dari adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG terhadap kegiatan usaha mereka. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sebelum program konversi menggunakan minyak tanah atau LPG 12 kg yang tidak disubsidi, setelah program konversi minyak tanah menjadi LPG pedagang

martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele menggunakan LPG 3 kg yang disubsidi pemerintah sebagai bahan bakar dalam kegiatan usahanya. Sebagai akibat dari konversi minyak tanah menjadi LPG, terdapat perubahan pola konsumsi dan permintaan bahan bakar yang dilakukan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Oleh karena itu perlu adanya penelitian tentang bagaimana permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor.

1.2 Rumusan Masalah

Program konversi minyak tanah menjadi LPG merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi subsidi BBM, dengan mengalihkan pemakaian minyak tanah menjadi LPG. Program ini diimplementasikan dengan membagikan paket tabung LPG beserta isinya, kompor gas dan aksesorisnya kepada rumah tangga dan usaha mikro pengguna minyak tanah.

Adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG yang dilaksanakan oleh pemerintah akan mengubah kebiasaan rumah tangga, dalam hal ini pola konsumsi terhadap penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Usaha mikro yang selama ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar dalam produksinya, harus menggantinya dengan menggunakan LPG sebagai bahan bakar dalam proses produksi usahanya.

Kota Bogor adalah salah satu daerah sasaran konversi minyak tanah menjadi LPG, dan sudah menjalankan program konversi minyak tanah menjadi LPG kurang lebih empat tahun. Hal ini mengakibatkan Kota Bogor dapat dijadikan salah satu daerah penelitian, untuk menganalisis permintaan LPG oleh

rumah tangga dan usaha mikro sebagai target program konversi minyak tanah menjadi LPG.

Kota Bogor memiliki letak yang strategis (BPS Kota Bogor, 2010). Letaknya yang strategis menjadikan Kota Bogor sebagai wilayah transit dan tujuan wisata, baik wisata alam, budaya maupun wisata kuliner. Keadaan ini memberikan peluang untuk mengembangkan beberapa sektor, khususnya sektor perdagangan. Data menunjukkan bahwa usaha mikro mendominasi di Kota Bogor dengan jumlah 23 873 pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 25 804 pada tahun 2009. Usaha mikro di Kota Bogor 43 persen adalah usaha di bidang makanan, minuman, jajanan, dan oleh-oleh yang banyak menggunakan bahan bakar minyak dalam usahanya. Dalam penelitian ini diteliti usaha martabak kaki lima untuk mewakili makanan cemilan, dan usaha warung tenda pecel lele mewakili makanan berat untuk mengenyangkan, karena kedua jenis makanan ini berkembang dan banyak ditemui di Kota Bogor. Penelitian Hardian, 2011 menunjukkan bahwa jumlah pedagang martabak kaki lima yang tersebar di enam kecamatan di Kota Bogor adalah 106 orang, dan penelitian Abidin, 2011 menunjukkan bahwa pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor berjumlah 148 orang.

LPG sebagai bahan bakar memegang peranan penting bagi usaha mikro dalam hal ini usaha martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. LPG adalah salah satu input utama yang sangat dibutuhkan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang akan mendatangkan keuntungan bagi pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Permintaan LPG sebagai bahan bakar utama dipengaruhi oleh harga LPG itu sendiri dan harga barang-barang input lain yang digunakan dalam proses produksi. Harga bahan-

bahan pokok yang digunakan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sangat fluktuatif. Perkembangan harga bahan-bahan pokok ini dapat dilihat pada Tabel 8.

Permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele menjadi hal yang penting, karena akan berhubungan dengan kelangsungan produksi dan pendapatan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele tersebut.

Tabel 8. Perkembangan Harga Bahan Pokok di Indonesia Tahun 2010-2012

No. Komoditas Unit 1/12

2010 1/11 2011 1/12 2011 2/01 2012 1/02 2012

1. Minyak Goreng Kemasan Rp/620ml 8 399 9 697 9 645 9 652 9 654 2. Minyak Goreng Curah Rp/kg 10 750 10 566 10 547 10 831 11 354 3. Daging Sapi Rp/kg 67 633 71007 70 886 71687 72 432 4. Daging Ayam Broiler Rp/kg 25 808 24 268 23 680 25 870 26 796 5. Daging Ayam Kampung Rp/kg 44 864 46 278 47 334 47 401 47 960 6. Telur Ayam Ras Rp/kg 16 005 16 592 16 620 17 201 17 854 7. Telur Ayam Kampung Rp/kg 36 023 35 994 36 301 36 183 36 600 8. Tepung Terigu Rp/kg 7 577 7 562 7 601 7 674 7 604 9.. Beras Medium Rp/kg 7 002 7 675 7 736 7 940 8 079 10. Gula Pasir Rp/kg 11 142 10 465 10 447 10 481 10 830 11. Susu Kental Manis Rp/kg 8 315 8 666 8 710 8 710 8 697 12. Cabe Merah Keriting Rp/kg 26 080 25 585 26 315 34 016 24 105 13. Cabe Merah Biasa Rp/kg 22 685 22 419 25 785 31 558 21 901 14. Bawang Merah Rp/kg 23 628 14 277 13 643 13 212 12 461

Sumber : Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2012)

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa hal yang dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor yang menggunakan LPG sebagai bahan bakarnya?

2. Bagaimanakah permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhinya?

3. Bagaimanakah pendapatan usaha pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor. Atas dasar tujuan utama penelitian maka tujuan operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung

tenda pecel lele di Kota Bogor yang menggunakan LPG sebagai bahan bakarnya.

2. Menganalisis permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Menganalisis pendapatan usaha pedagang martabak kaki lima dan warung

tenda pecel lele di Kota Bogor.

1.4 Manfaat Penelitian

Upaya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele diharapkan dapat membantu para pembuat keputusan terutama para pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele untuk mengevaluasi usahanya dan mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi pengembangan usahanya.

Bagi pemerintah atau instansi pengambil keputusan terkait diharapkan penelitian ini dapat sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan terkait dengan kelanjutan program konversi minyak tanah menjadi LPG. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan sebagai sumber informasi dan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Pedagang martabak dibatasi pada pedagang martabak kaki lima yang melaksanakan usahanya di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak dan termasuk dalam skala usaha mikro. Jenis martabak yang dijual adalah martabak manis dan martabak telur. Pedagang pecel lele dibatasi pada pedagang warung tenda pecel lele yang menyajikan pecel lele, pecel ayam, bebek goreng, dan aneka masakan seafood. Pedagang warung tenda pecel lele dalam penelitian ini termasuk

skala usaha mikro. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele berada di enam kecamatan di Kota Bogor.

Keterbatasan penelitian ini terletak pada faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele dalam penelitian ini tidak memasukkan variabel harga bahan bakar substitusi LPG seperti minyak tanah, arang, dan sebagainya.

2.1 Bahan Bakar Minyak dan Gas

BBM (bahan bakar minyak) adalah jenis bahan bakar (fuel) yang

dihasilkan dari pengilangan (refining) minyak mentah (crude oil). Minyak mentah

dari perut bumi diolah dalam pengilangan (refinery) terlebih dahulu untuk

menghasilkan produk-produk minyak (oil products), gas, naphta, light sulfur wax

residue (LSWR) dan aspal (Nugroho, 2005).

2.1.1 Minyak Tanah

Minyak tanah adalah bahan bakar minyak jenis distilat tidak berwarna yang jernih. Minyak tanah atau kerosene merupakan bagian dari minyak mentah

yang memiliki titik didih antara 150˚C dan 300˚C. Minyak tanah digunakan sebagai alat bantu penerangan, memasak, water heating, dan lain-lain yang

umumnya untuk pemakaian domestik atau rumahan (Pertamina, 2007).

2.1.2 Liquefied Petroleum Gas

LPG (Liquefied Petroleum Gas) secara harafiah berarti gas minyak bumi

yang dicairkan. LPG adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam. Gas akan berubah menjadi cair jika ditambah tekanan dan diturunkan suhunya. Komponennya didominasi oleh propana (C3H8) dan butana

(C4H10). LPG juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam jumlah kecil

misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Pertamina memasarkan LPG sejak

tahun 1969 dengan merek dagang ELPIJI (Pertamina, 2007).

LPG dipasarkan dalam bentuk cair dalam tabung-tabung logam bertekanan karena volume LPG dalam bentuk cair lebih kecil dibandingkan dalam bentuk gas untuk berat yang sama. Tabung LPG tidak diisi secara penuh, hanya

sekitar 80-85 persen dari kapasitasnya untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang dikandungnya. Rasio antara volume

gas bila menguap dengan gas dalam keadaan cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi biasanya sekitar 250:1.

Berdasarkan komposisi propana dan butana, LPG dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

1. Mix LPG, yang merupakan campuran dari propana dan butana,

2. LPG propana, yang sebagian besar terdiri dari dari C3,

3. LPG butana, yang sebagian besar terdiri dari C4.

Spesifikasi masing-masing LPG tercantum dalam keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Nomor: 25K/36/DDJM/1990. LPG butana dan LPG mix biasanya dipergunakan oleh masyarakat umum untuk bahan bakar

memasak, sedangkan LPG propana biasanya dipergunakan di industri-industri sebagai pendingin, bahan bakar pemotong, untuk menyemprot cat dan lainnya. ELPIJI yang dipasarkan Pertamina dalam kemasan tabung (3 kg, 6 kg, 12 kg, 50 kg) dan curah merupakan LPG mix, dengan komposisi + 30 persen propana dan

70 persen butana. Varian lain adalah LPG odourless (tidak berbau).

LPG berbentuk gas pada suhu kamar. Pengubahan bentuk LPG menjadi cair adalah untuk mempermudah pendistribusiannya. Berdasarkan cara pencairannya, LPG dibedakan menjadi:

1. LPG Refrigerated, yaitu LPG yang dicairkan dengan cara didinginkan (titik

cair Propana + -42°C, dan titik cair Butana + -0.5°C). LPG jenis ini umum digunakan untuk mengapalkan LPG dalam jumlah besar (misalnya, mengirim LPG dari negara Arab ke Indonesia). Dibutuhkan tangki penyimpanan khusus

yang harus didinginkan agar LPG tetap dapat berbentuk cair serta dibutuhkan proses khusus untuk mengubah LPG Refrigerated menjadi LPG Pressurized,

2. LPG Pressurized, yaitu LPG yang dicairkan dengan cara ditekan (4-5 kg/cm2).

LPG jenis ini disimpan dalam tabung atau tangki khusus bertekanan. LPG jenis inilah yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi di rumah tangga dan industri, karena penyimpanan dan penggunaannya tidak memerlukan penanganan khusus seperti LPG Refrigerated.

ELPIJI yang dipasarkan Pertamina dalam kemasan tabung dan curah adalah LPG Pressurized. Adapun sifat umum ELPIJI Pertamina adalah:

1. Tekanan gas ELPIJI cukup besar, bila bocor segera membentuk gas, memuai dan mudah terbakar,

2. Berat jenis ELPIJI lebih besar dari udara sehingga cenderung bergerak ke bawah,

3. ELPIJI tidak mengandung racun,

4. Berbau sehingga mudah mendeteksi kebocoran.

Salah satu resiko penggunaan ELPIJI adalah terjadinya kebocoran pada tabung atau instalasi gas sehingga bila terkena api dapat menyebabkan kebakaran. Pada awalnya, gas ELPIJI tidak berbau, dengan demikian sulit mendeteksi bila terjadi kebocoran. Menyadari hal itu Pertamina menambahkan gas mercaptan,

yang baunya khas dan menusuk hidung. Langkah itu sangat berguna untuk mendeteksi bila terjadi kebocoran tabung gas (Pertamina, 2007).

Bahan bakar cair LPG disimpan dan dikemas dalam tabung baja dalam berbagai ukuran. Tabung tersebut telah diuji oleh Dinas Pembinaan Norma- Norma Keselamatan Kerja (DPNKK) sesuai standar tes 4.B240 Interstate

Commerce Commission (ICC). Berat tabung bervariasi sesuai dengan ukuran,

yaitu : 3 kg, 6 kg, 12 kg, 50 kg, dan skid tank (1000 kg dan 4000 kg)

Tabung dilengkapi dengan valve atau klep yang berguna menahan gas

agar tidak mengalir keluar, sekaligus merupakan celah untuk mengeluarkan gas.

Valve harus tertutup dengan segel alumunium (rain cap) sebagai jaminan keaslian

tabung. Pada lubang valve terdapat ring/cincin karet yang berguna mengatur

saluran gas melalui regulator untuk mengamankan gas.

Perlengkapan tambahan yang harus ada agar LPG dapat digunakan adalah regulator. Regulator berfungsi untuk mengatur tekanan gas yang keluar dari tabung. Dalam keadaan terpasang, gas bertekanan tinggi dalam tabung sudah berhubungan langsung dengan regulator. Bila katup dibuka, gas akan mengalir

Dokumen terkait