• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permintaan LPG (Liquefied Petroleum Gas) Pedagang Martabak Kaki Lima dan Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Permintaan LPG (Liquefied Petroleum Gas) Pedagang Martabak Kaki Lima dan Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor"

Copied!
364
0
0

Teks penuh

(1)

BOGOR

8.1 Pendapatan Usaha Martabak Kaki Lima di Kota Bogor

Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha martabak kaki lima yang dijalankan. Pendapatan atau keuntungan adalah selisih dari total penerimaan dengan total biaya. Perhitungan pendapatan usaha rata-rata pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 44.

Tabel 44. Perhitungan Pendapatan Usaha Rata-rata Pedagang Martabak Kaki Lima di Kota Bogor per Bulan

No Komponen Pendapatan Pedagang Martabak Kaki Lima

Jumlah

1. TOTAL PENERIMAAN (Rp) 19 745 625.00

a. Harga rata-rata martabak (Rp/porsi) 11 525.00 b. Jumlah rata-rata masakan (porsi) 1 708.75

2 TOTAL BIAYA (Rp) 13 907 465.93

a. Total Biaya Non Tunai (Rp) a.1. Biaya penyusutan gerobak (Rp) a.2. Biaya penyusutan loyang (Rp) a.3. Biaya penyusutan peralatan (Rp) a.4. Biaya penyusutan kompor gas (Rp) a.6. Biaya tenaga kerja dalam keluarga (Rp)

506 009.22

b.2. Biaya pembelian tepung terigu (Rp) b.3. Biaya pembelian mentega (Rp) b.4. Biaya pembelian gula (Rp) b.5. Biaya pembelian telur ayam (Rp) b.6. Biaya tenaga kerja luar keluarga (Rp)

b.7. Biaya pungutan (Rp)

3. PENDAPATAN ATAS BIAYA TUNAI (Rp) 6 344 168.30 4. PENDAPATAN ATAS BIAYA TOTAL (Rp) 5 838 159.07

5. R/C (Atas Biaya Tunai) 1.47

(2)

Penerimaan usaha martabak kaki lima adalah hasil kali jumlah martabak yang dihasilkan per bulan dikalikan dengan harga rata-rata martabak, diasumsikan satu bulan terdiri dari 30 hari. Rata-rata total penerimaan pedagang martabak kaki lima per bulan adalah Rp 19 745 625.00. Penerimaan terkecil pedagang martabak kaki lima adalah Rp 13 500 000.00 per bulan, sedangkan penerimaan terbesar pedagang martabak kaki lima adalah Rp 39 000 000.00 per bulan. Penerimaan responden pedagang martabak kaki lima dapat dilihat pada Lampiran 14. Rata-rata produk martabak manis yang paling digemari adalah produk dengan harga dan rasa biasa, seperti martabak isi kacang, martabak isi coklat, martabak isi keju, dan martabak isi ketan, sedangkan martabak manis dengan rasa lengkap atau istimewa jarang pembelinya. Berbeda dengan martabak manis, martabak telur dengan isi lebih banyak lebih digemari walaupun harganya lebih mahal.

(3)

Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada jumlah output yang diproduksi. Komponen biaya variabel dalam penelitian ini terdiri dari pembelian bahan bakar LPG, pembelian tepung terigu, mentega, gula, telur ayam, pembayaran upah tenaga kerja, dan biaya lain-lain yang dikeluarkan setiap hari. Upah tenaga kerja terdiri dari upah tenaga kerja dari dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja dari luar keluarga (TKLK). Biaya lain-lain mencakup pembelian coklat, keju, kacang, ketan, daging ayam, daging sapi, telur bebek, garam, vanili, seledri, soda kue, dsb. Dalam perhitungan pendapatan pedagang martabak kaki lima, perhitungan biaya dikelompokkan menjadi dua komponen yaitu biaya tunai dan biaya non tunai. Total biaya rata-rata pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor adalah sebesar Rp 13 907 465.93 per bulan. Total biaya terendah adalah sebesar Rp 7 336 085.71 per bulan, sedangkan total biaya tertinggi yang dikeluarkan pedagang martabak kaki lima adalah sebesar Rp 20 271 402.38 per bulan. Rincian biaya yang dikeluarkan pedagang martabak kaki lima dapat dilihat pada Lampiran 19.

(4)

sedangkan nilai pendapatan usaha atas biaya total terbesar pedagang martabak kaki lima adalah Rp 18 728 597.62 per bulan. Pendapatan rata-rata atas biaya total pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor adalah sebesar Rp 5 838 159.07 per bulan Pendapatan usaha responden pedagang martabak kaki lima dapat dilihat pada Lampiran 20. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 40 responden pedagang martabak kaki lima di Kota Bogor memiliki total penerimaan lebih besar dibandingkan total biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha martabak kaki lima ini menguntungkan untuk dilaksanakan. Pendapatan yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi. Nilai rasio penerimaan dan biaya menggambarkan efisiensi suatu usaha atau kegiatan produksi terhadap penggunaan satu unit input. Nilai R/C atas biaya tunai pedagang martabak kaki lima yang terkecil adalah 1.16 sedangkan nilai R/C atas biaya tunai pedagang martabak kaki lima yang terbesar adalah 2.57. Nilai R/C atas biaya tunai rata-rata pedagang martabak kaki lima adalah 1.47. Nilai R/C atas biaya total pedagang martabak kaki lima yang terkecil adalah 1.11 sedangkan nilai R/C atas biaya total pedagang martabak kaki lima yang terbesar adalah 2.36. Nilai R/C atas biaya total rata-rata pedagang martabak kaki lima adalah 1.42. Nilai R/C responden pedagang martabak kaki lima dalam penelitian ini menunjukkan angka lebih dari satu. Hal ini berarti bahwa usaha martabak kaki lima menguntungkan untuk dijalankan.

8.2 Pendapatan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor

(5)

Tabel 45. Perhitungan Pendapatan Rata-rata Pedagang Warung Tenda Pecel Lele di Kota Bogor per Bulan

No Komponen Pendapatan Pedagang Warung Tenda Pecel Lele

Jumlah

1. TOTAL PENERIMAAN (Rp) 36884 625.00

a. Harga rata-rata masakan (Rp/porsi) 12 125.00 b. Jumlah rata-rata masakan (porsi) 3 002.25

2 TOTAL BIAYA (Rp) 25 366 265.92

a. Total Biaya Non Tunai (Rp)

a.1. Biaya Penyusutan Investasi Awal (Rp) a.2. Biaya Penyusutan Kompor Gas (Rp)

149 772.92 145 572.92 4 200.00

b. Total Biaya Tunai (Rp) b.1. Biaya isi ulang LPG (Rp) b.2. Biaya pembelian beras (Rp) b.3. Biaya pembelian lele (Rp) b.4. Biaya pembelian ayam (Rp)

b.5. Biaya pembelian minyak goreng (Rp) b.6. Biaya tenaga kerja (Rp)

3. PENDAPATAN atas biaya tunai (Rp) 11 668 132.88 4. PENDAPATAN atas biaya total (Rp) 11 518 359 97

5. R/C atas biaya tunai 1.46

5. R/C atas biaya total 1.45 Sumber : Data diolah (2011)

Penerimaan usaha warung tenda pecel lele adalah hasil kali jumlah porsi masakan yang dihasilkan per bulan dikalikan dengan harga rata-rata masakan per porsi, diasumsikan satu bulan terdiri dari 30 hari. Rata-rata total penerimaan pedagang warung tenda pecel lele per bulan adalah Rp 36 884 625.00. Penerimaan terkecil pedagang warung tenda pecel lele adalah Rp 14 250 000.00 per bulan, sedangkan penerimaan terbesar adalah Rp 90 000 000.00 per bulan. Penerimaan responden pedagang warung tenda pecel lele dapat dilihat pada Lampiran 21.

(6)

walaupun tidak ada produksi. Komponen-komponen biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan peralatan atau investasi awal (terpal, spanduk, meja, kursi, piring, gelas, dan berbagai perlengkapan lainnya), dan biaya penyusutan kompor gas. Diasumsikan umur ekonomis penyusutan peralatan atau investasi awal adalah empat tahun, dan umur ekonomis kompor gas adalah lima tahun. Perhitungan biaya penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus, dapat dilihat pada Lampiran 22.

Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada jumlah output yang diproduksi. Komponen biaya variabel dalam penelitian ini terdiri dari pembelian bahan bakar LPG, pembelian beras, ikan lele, daging ayam, minyak goreng, pembayaran upah tenaga kerja, dan biaya-biaya selain biaya di atas yang dikeluarkan setiap hari seperti cabai, tomat, bawang, garam, bebek,

seafood, mentimun, kemangi, selada, bumbu-bumbu, dsb. Dalam penelitian ini

perhitungan biaya dibagi menjadi biaya tunai dan non tunai. Total biaya rata-rata pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor adalah Rp 25 366 265.03 per bulan. Total biaya tunai adalah Rp 25 216 492.11 per bulan. Total biaya yang dikeluarkan responden pedagang warung tenda pecel lele dapat dilihat pada Lampiran 24.

(7)
(8)

9.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele dibagi menjadi karakteristik umum, karakteristik usaha, dan karakteristik berdasarkan pola konsumsi LPG.

a. Karakteristik umum pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele meliputi jenis kelamin dan umur, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang, dan sumber modal. Pedagang martabak di daerah penelitian seluruhnya adalah laki-laki dan sebagian besar tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pengalaman berdagang mereka sebagian besar adalah antara 5-10 tahun. Sumber modal pedagang martabak kaki lima ini kebanyakan adalah modal sendiri, selain itu berasal dari pinjaman keluarga atau koperasi. Pedagang warung tenda pecel lele di daerah penelitian sebagian besar adalah tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Pengalaman berdagang mereka sebagian besar adalah antara 6-10 tahun. Sumber modal pedagang warung tenda pecel lele ini adalah modal sendiri, selain itu berasal dari pinjaman keluarga.

(9)

rata-rata Rp 10 000.00 sampai Rp 13 000.00 per martabak. Jumlah tenaga kerja pada usaha martabak kaki lima ini rata-rata adalah satu orang. Sebagian besar usaha warung tenda pecel lele menggunakan 200-400 kg beras, 100-200 kg lele, 200-300 kg ayam dalam sebulan. Usaha warung tenda pecel lele rata-rata menghasilkan 2 000 sampai 3 000 porsi dalam sebulan dengan harga rata-rata Rp 10 000.00 sampai Rp 15 000.00 per porsi. Jumlah tenaga kerja pada usaha warung tenda pecel lele ini rata-rata adalah 2-3 orang.

c. Karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele berdasarkan pola konsumsi LPG meliputi tempat pembelian LPG, frekuensi pembelian LPG, dan jumlah penggunaan LPG. Sebagian besar pedagang martabak kaki lima mendapatkan LPG dari pasar, dan membeli 1 tabung LPG dalam sekali pembelian. Dalam sebulan pedagang martabak kaki lima rata-rata membeli LPG sebanyak 13 kali dan menghabiskan rata-rata 36 kg LPG. Pedagang warung tenda pecel lele mendapatkan LPG dari agen, dan membeli satu tabung dalam sekali pembelian. Dalam sebulan pedagang warung tenda pecel lele rata-rata membeli LPG lebih dari 28 kali dan menghabiskan rata-rata 103 kg LPG. 2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan LPG pada pedagang

martabak kaki lima terdapat empat variabel yang berpengaruh nyata pada taraf = 10 persen yaitu harga LPG, harga telur ayam, jumlah tenaga kerja, dan dummy jenis martabak, sedangkan pada fungsi permintaan LPG oleh

(10)

yang berpengaruh nyata pada taraf = 10 persen yaitu harga minyak goreng, jumlah tenaga kerja, dan dummy masakan bebek bebek.

3. Analisis pendapatan usaha menunjukkan usaha martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele adalah usaha yang cukup menguntungkan untuk dijalankan. Nilai R/C ratio atas biaya total rata-rata pada pedagang martabak kaki lima adalah 1.42 sedangkan pada pedagang warung tenda pecel lele adalah 1.45.

9.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil penelitian, seluruh responden pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor menggunakan LPG 3 kg sebagai bahan bakar utama dalam usahanya. Karena itu, keberadaan LPG sangat dibutuhkan. Diperlukan peran pemerintah dalam hal distribusi LPG agar tidak terjadi kelangkaan LPG di lapangan.

2. Berdasarkan hasil penelitian, penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa harga LPG pada fungsi permintaan LPG oleh pedagang warung tenda pecel lele berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 90 persen. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk membuktikan pengaruh nyata harga LPG terhadap permintaan LPG pedagang warung tenda pecel lele pada selang 90 persen.

(11)

untuk membandingkan pendapatan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sebelum dan sesudah adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG dan menganalisis tentang dampak konversi minyak tanah menjadi LPG terhadap permintaan bahan bakar pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor serta usaha-usaha mikro lainnya. 4. Elastisitas harga LPG terhadap permintaan LPG pada pedagang martabak

(12)

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia berupa hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, dan pertambangan. Kekayaan alam yang melimpah terutama dari hasil tambang berupa minyak bumi pernah menjadikan Indonesia sebagai salah satu anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang merupakan organisasi dari negara-negara

penghasil minyak bumi. Namun penurunan produksi minyak bumi dalam negeri dan peningkatan konsumsi minyak bumi menyebabkan Indonesia berubah status menjadi negara net importir. Kondisi perminyakan Indonesia dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi Perminyakan Indonesia Tahun 2000-2008 Tahun Produksi Sumber : Organization of Petroleum Exporting /OPEC (2008)

(13)

tetapi sebagian besar ekspor dilakukan oleh Kontraktor KPS (Production Sharing Contract) sehingga penerimaannya tidak masuk Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) sedangkan impor seluruhnya dilakukan oleh Pertamina sehingga masuk pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pertamina, 2007).

Dilihat dari sisi konsumsi, permintaan minyak bumi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah menyebabkan konsumsi minyak bumi semakin meningkat pula. Peningkatan jumlah penduduk ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1930-2010

Tahun Jumlah Penduduk (Juta Jiwa) Pertumbuhan (%)

1930 60.7 - Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada saat sensus penduduk pertama kali dilaksanakan pada tahun 1930 adalah 60.7 juta jiwa. Jumlah ini terus meningkat menjadi 237.6 juta jiwa pada sensus penduduk tahun 2010. Tingginya tingkat konsumsi tidak diimbangi dengan peningkatan produksi menyebabkan defisit bahan bakar minyak (BBM), sehingga untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri pemerintah melakukan impor dari negara lain.

(14)

perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, hal ini tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Pasal 8, pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemanfaatan minyak dan gas bumi ini secara tidak langsung diimplementasikan melalui penyediaan BBM murah dengan adanya subsidi BBM yang merupakan pengeluaran rutin negara.

Harga minyak dunia pada tahun 2005 sampai dengan pertengahan tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan harga minyak dunia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Harga Rata-Rata Minyak Dunia Tahun 2005-2008

Tahun Harga Rata-rata Minyak Dunia/West Texas Intermediate Spot Average/WTI

(USD/barel)

2005 53.4

2006 64.3

2007 72.3

2008 97.0

Sumber : Kementerian Keuangan (2010)

Berdasarkan Tabel 3, rata-rata harga minyak dunia (West Texas Intermediate Spot Average) pada tahun 2005 adalah sebesar USD 53.4 per barel

meningkat menjadi USD 64.3 per barel pada tahun 2006 dan USD 72.3 per barel pada tahun 2007. Pada awal tahun 2008 terjadi peningkatan harga yang sangat drastis mencapai USD 97.0 per barel. Seiring dengan peningkatan harga minyak dunia (WTI), harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude-Oil Price/ICP)

(15)

mengalami peningkatan menjadi USD 71.6 per barel, sehingga selama tahun 2009 harga rata-rata minyak ICP mencapai 61.6 per barel (Kementerian Keuangan, 2010).

Terjadinya kenaikan harga minyak dunia ini mengakibatkan pemerintah menaikkan harga BBM dua kali pada tahun 2005. Selain itu, kenaikan harga minyak dunia ini memberikan dampak terhadap meningkatnya beban subsidi BBM dalam APBN. Perkembangan subsidi BBM di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Subsidi BBM di Indonesia Tahun 1994-2002

(Milyar Rupiah)

Tahun Anggaran Biaya Pokok BBM Hasil Penjualan Bersih Subsidi

1994/1995 14 049.00 14 935.60 -886.60

1995/1996 15 829.50 14 858.30 -28.80

1996/1997 20 171.90 17 314.30 2 587.60

1997/1998 34 145.60 18 279.50 15 866.10

1998/1999 36 593.90 29 140.90 7 453.00

1999/2000 71 411.36 30 487.96 40 923.40

2000/2001 88 837.08 35 027.48 53 809.60

2001/2002 108 798.35 39 417.55 68 380.80 Sumber : Biro Pusat Statistik (2003)

(16)

rupiah pada tahun 2008, dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 45.0 triliun rupiah. Berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), anggaran subsidi BBM pada tahun 2010 adalah 88.9 triliun rupiah (Kementerian Keuangan, 2011).

Beban subsidi BBM yang terus meningkat ini dikendalikan pemerintah dengan cara mengurangi pengeluaran negara dalam mensubsidi bahan bakar minyak tanah bagi masyarakat melalui langkah-langkah penghematan subsidi, salah satunya adalah dengan melaksanakan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG. Sebelum melakukan program konversi minyak tanah bersubsidi menjadi LPG, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral melakukan perhitungan tentang jumlah subsidi yang dapat dihemat dengan adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG. Hasil perhitungan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2007 menunjukkan bahwa penerapan kebijakan ini dapat mengurangi subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar Rp 20.12 triliun per tahun seperti yang terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbandingan Minyak Tanah dan LPG

Perbandingan Minyak Tanah LPG

Kesetaraan 1 liter 0.57 kg

Nilai Kalori 8 498.75 (Kcal/liter) 6 302.58 (Kcal/liter) Pengalihan Volume Minyak Tanah Subsidi 10 000 000 kiloliter 5 746 095 MT/tahun Asumsi Harga Keekonomian Rp 5 665 /liter Rp 7 127 /kg

Harga Jual Rp 2 000 /liter Rp 4 250 /kg

Besaran Subsidi Rp 3 665 /liter Rp 2 877 /kg

Total Subsidi Rp 36.65 triliun/tahun Rp 16.53 triliun/tahun

Besarnya subsidi yang bisa dihemat Rp 20.12 triliun/tahun

Sumber : Departemen ESDM (2007)

(17)

minyak tanah menjadi LPG direncanakan dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2007 dan berakhir pada tahun 2010. Kota Bogor yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Barat adalah salah satu daerah sasaran konversi pada tahun 2007 (Pertamina, 2007). Target program konversi minyak tanah menjadi LPG adalah rumah tangga kelas sosial C1 atau yang berpendapatan di bawah Rp 1.5 juta/bulan dan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak dalam usahanya. Program konversi minyak tanah menjadi LPG yang sudah dilaksanakan kurang lebih empat tahun mengakibatkan adanya perubahan pola konsumsi energi pada rumah tangga. Selain memberikan pengaruh kepada rumah tangga, adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG ini juga memberikan pengaruh kepada para pelaku usaha, dalam hal ini usaha mikro, dalam hal pola konsumsi bahan bakarnya.

Berdasarkan Sensus Ekonomi Tahun 2006, penyebaran usaha di Indonesia didominasi oleh skala usaha mikro yaitu sebesar 83.27 persen dibandingkan 15.81 persen usaha kecil dan 0.67 persen usaha menengah (BPS, 2006). Dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah, usaha mikro juga mendominasi di Kota Bogor yaitu sebesar 80 persen dari keseluruhan jumlah usaha yang ada di Kota Bogor (Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009). Perkembangan jumlah perusahaan menurut skala usaha di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha di Kota Bogor Tahun 2007-2009

No. Jenis Usaha 2007 2008 2009

1. Usaha Mikro 23 873 25 718 25 804 2. Usaha Kecil 6 366 4 822 4 838

3. Usaha Menengah 1 598 1 607 1 614

(18)

Tabel 6 menunjukkan jumlah usaha mikro, kecil dan menengah di Kota Bogor cenderung meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Usaha mikro pada tahun 2007 berjumlah 23 873 atau sebesar 75 persen dari jumlah keseluruhan, meningkat menjadi 80 persen pada tahun 2008 dan 2009 yaitu berjumlah 25 718 dan 25 804 dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah.

Usaha mikro pada penelitian ini dibatasi dengan pedagang mikro yaitu pedagang kaki lima di Kota Bogor. Di Kota Bogor terdapat 51 titik pedagang kaki lima dengan jumlah keseluruhan 9 710 PKL. Pedagang kaki lima Kota Bogor sebagian besar jenis barang dagangannya adalah berupa makanan, minuman, jajanan dan oleh-oleh yaitu sebesar 43 persen (Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor, 2010). Jenis barang yang dijual oleh pedagang kaki lima Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis Barang Dagangan Pedagang Kaki Lima Kota Bogor

No. Jenis Barang Dagangan Persentase (%)

1. Makanan, minuman, jajanan, dan oleh-oleh 43.00

2. Hasil pertanian 38.00

3. Industri dan kerajinan 9.00

4. Jasa (tambal ban dan servis) 2.00

5. Bekas pakai 1.00

6. Lainnya 11.00

Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor (2010)

(19)

martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele menggunakan LPG 3 kg yang disubsidi pemerintah sebagai bahan bakar dalam kegiatan usahanya. Sebagai akibat dari konversi minyak tanah menjadi LPG, terdapat perubahan pola konsumsi dan permintaan bahan bakar yang dilakukan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele. Oleh karena itu perlu adanya penelitian tentang bagaimana permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor.

1.2 Rumusan Masalah

Program konversi minyak tanah menjadi LPG merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi subsidi BBM, dengan mengalihkan pemakaian minyak tanah menjadi LPG. Program ini diimplementasikan dengan membagikan paket tabung LPG beserta isinya, kompor gas dan aksesorisnya kepada rumah tangga dan usaha mikro pengguna minyak tanah.

Adanya program konversi minyak tanah menjadi LPG yang dilaksanakan oleh pemerintah akan mengubah kebiasaan rumah tangga, dalam hal ini pola konsumsi terhadap penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Usaha mikro yang selama ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar dalam produksinya, harus menggantinya dengan menggunakan LPG sebagai bahan bakar dalam proses produksi usahanya.

(20)

rumah tangga dan usaha mikro sebagai target program konversi minyak tanah menjadi LPG.

Kota Bogor memiliki letak yang strategis (BPS Kota Bogor, 2010). Letaknya yang strategis menjadikan Kota Bogor sebagai wilayah transit dan tujuan wisata, baik wisata alam, budaya maupun wisata kuliner. Keadaan ini memberikan peluang untuk mengembangkan beberapa sektor, khususnya sektor perdagangan. Data menunjukkan bahwa usaha mikro mendominasi di Kota Bogor dengan jumlah 23 873 pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 25 804 pada tahun 2009. Usaha mikro di Kota Bogor 43 persen adalah usaha di bidang makanan, minuman, jajanan, dan oleh-oleh yang banyak menggunakan bahan bakar minyak dalam usahanya. Dalam penelitian ini diteliti usaha martabak kaki lima untuk mewakili makanan cemilan, dan usaha warung tenda pecel lele mewakili makanan berat untuk mengenyangkan, karena kedua jenis makanan ini berkembang dan banyak ditemui di Kota Bogor. Penelitian Hardian, 2011 menunjukkan bahwa jumlah pedagang martabak kaki lima yang tersebar di enam kecamatan di Kota Bogor adalah 106 orang, dan penelitian Abidin, 2011 menunjukkan bahwa pedagang warung tenda pecel lele di Kota Bogor berjumlah 148 orang.

(21)

bahan-bahan pokok yang digunakan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele sangat fluktuatif. Perkembangan harga bahan-bahan pokok ini dapat dilihat pada Tabel 8.

Permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sejauh mana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele menjadi hal yang penting, karena akan berhubungan dengan kelangsungan produksi dan pendapatan pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele tersebut.

Tabel 8. Perkembangan Harga Bahan Pokok di Indonesia Tahun 2010-2012

No. Komoditas Unit 1/12

Sumber : Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2012)

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa hal yang dianalisis dalam penelitian ini adalah :

(22)

2. Bagaimanakah permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhinya?

3. Bagaimanakah pendapatan usaha pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan utama dari penelitian ini adalah menganalisis permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor. Atas dasar tujuan utama penelitian maka tujuan operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik pedagang martabak kaki lima dan warung

tenda pecel lele di Kota Bogor yang menggunakan LPG sebagai bahan bakarnya.

2. Menganalisis permintaan LPG pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Menganalisis pendapatan usaha pedagang martabak kaki lima dan warung

tenda pecel lele di Kota Bogor.

1.4 Manfaat Penelitian

(23)

Bagi pemerintah atau instansi pengambil keputusan terkait diharapkan penelitian ini dapat sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan terkait dengan kelanjutan program konversi minyak tanah menjadi LPG. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan sebagai sumber informasi dan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Pedagang martabak dibatasi pada pedagang martabak kaki lima yang melaksanakan usahanya di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak dan termasuk dalam skala usaha mikro. Jenis martabak yang dijual adalah martabak manis dan martabak telur. Pedagang pecel lele dibatasi pada pedagang warung tenda pecel lele yang menyajikan pecel lele, pecel ayam, bebek goreng, dan aneka masakan seafood. Pedagang warung tenda pecel lele dalam penelitian ini termasuk

skala usaha mikro. Pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele berada di enam kecamatan di Kota Bogor.

(24)

2.1 Bahan Bakar Minyak dan Gas

BBM (bahan bakar minyak) adalah jenis bahan bakar (fuel) yang

dihasilkan dari pengilangan (refining) minyak mentah (crude oil). Minyak mentah

dari perut bumi diolah dalam pengilangan (refinery) terlebih dahulu untuk

menghasilkan produk-produk minyak (oil products), gas, naphta, light sulfur wax residue (LSWR) dan aspal (Nugroho, 2005).

2.1.1 Minyak Tanah

Minyak tanah adalah bahan bakar minyak jenis distilat tidak berwarna yang jernih. Minyak tanah atau kerosene merupakan bagian dari minyak mentah

yang memiliki titik didih antara 150˚C dan 300˚C. Minyak tanah digunakan sebagai alat bantu penerangan, memasak, water heating, dan lain-lain yang

umumnya untuk pemakaian domestik atau rumahan (Pertamina, 2007).

2.1.2 Liquefied Petroleum Gas

LPG (Liquefied Petroleum Gas) secara harafiah berarti gas minyak bumi

yang dicairkan. LPG adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam. Gas akan berubah menjadi cair jika ditambah tekanan dan diturunkan suhunya. Komponennya didominasi oleh propana (C3H8) dan butana (C4H10). LPG juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam jumlah kecil misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Pertamina memasarkan LPG sejak tahun 1969 dengan merek dagang ELPIJI (Pertamina, 2007).

(25)

sekitar 80-85 persen dari kapasitasnya untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang dikandungnya. Rasio antara volume

gas bila menguap dengan gas dalam keadaan cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi biasanya sekitar 250:1.

Berdasarkan komposisi propana dan butana, LPG dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

1. Mix LPG, yang merupakan campuran dari propana dan butana,

2. LPG propana, yang sebagian besar terdiri dari dari C3, 3. LPG butana, yang sebagian besar terdiri dari C4.

Spesifikasi masing-masing LPG tercantum dalam keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Nomor: 25K/36/DDJM/1990. LPG butana dan LPG mix biasanya dipergunakan oleh masyarakat umum untuk bahan bakar

memasak, sedangkan LPG propana biasanya dipergunakan di industri-industri sebagai pendingin, bahan bakar pemotong, untuk menyemprot cat dan lainnya. ELPIJI yang dipasarkan Pertamina dalam kemasan tabung (3 kg, 6 kg, 12 kg, 50 kg) dan curah merupakan LPG mix, dengan komposisi + 30 persen propana dan

70 persen butana. Varian lain adalah LPG odourless (tidak berbau).

LPG berbentuk gas pada suhu kamar. Pengubahan bentuk LPG menjadi cair adalah untuk mempermudah pendistribusiannya. Berdasarkan cara pencairannya, LPG dibedakan menjadi:

1. LPG Refrigerated, yaitu LPG yang dicairkan dengan cara didinginkan (titik

(26)

yang harus didinginkan agar LPG tetap dapat berbentuk cair serta dibutuhkan proses khusus untuk mengubah LPG Refrigerated menjadi LPG Pressurized,

2. LPG Pressurized, yaitu LPG yang dicairkan dengan cara ditekan (4-5 kg/cm2).

LPG jenis ini disimpan dalam tabung atau tangki khusus bertekanan. LPG jenis inilah yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi di rumah tangga dan industri, karena penyimpanan dan penggunaannya tidak memerlukan penanganan khusus seperti LPG Refrigerated.

ELPIJI yang dipasarkan Pertamina dalam kemasan tabung dan curah adalah LPG Pressurized. Adapun sifat umum ELPIJI Pertamina adalah:

1. Tekanan gas ELPIJI cukup besar, bila bocor segera membentuk gas, memuai dan mudah terbakar,

2. Berat jenis ELPIJI lebih besar dari udara sehingga cenderung bergerak ke bawah,

3. ELPIJI tidak mengandung racun,

4. Berbau sehingga mudah mendeteksi kebocoran.

Salah satu resiko penggunaan ELPIJI adalah terjadinya kebocoran pada tabung atau instalasi gas sehingga bila terkena api dapat menyebabkan kebakaran. Pada awalnya, gas ELPIJI tidak berbau, dengan demikian sulit mendeteksi bila terjadi kebocoran. Menyadari hal itu Pertamina menambahkan gas mercaptan,

yang baunya khas dan menusuk hidung. Langkah itu sangat berguna untuk mendeteksi bila terjadi kebocoran tabung gas (Pertamina, 2007).

(27)

Commerce Commission (ICC). Berat tabung bervariasi sesuai dengan ukuran,

yaitu : 3 kg, 6 kg, 12 kg, 50 kg, dan skid tank (1000 kg dan 4000 kg)

Tabung dilengkapi dengan valve atau klep yang berguna menahan gas

agar tidak mengalir keluar, sekaligus merupakan celah untuk mengeluarkan gas.

Valve harus tertutup dengan segel alumunium (rain cap) sebagai jaminan keaslian

tabung. Pada lubang valve terdapat ring/cincin karet yang berguna mengatur

saluran gas melalui regulator untuk mengamankan gas.

Perlengkapan tambahan yang harus ada agar LPG dapat digunakan adalah regulator. Regulator berfungsi untuk mengatur tekanan gas yang keluar dari tabung. Dalam keadaan terpasang, gas bertekanan tinggi dalam tabung sudah berhubungan langsung dengan regulator. Bila katup dibuka, gas akan mengalir keluar dengan tekanan rendah (Pertamina, 2007).

2.2 Konversi Minyak Tanah Menjadi LPG

Program konversi minyak tanah menjadi LPG merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi subsidi BBM dengan mengalihkan pemakaian minyak tanah menjadi LPG. Program ini diimplementasikan dengan membagikan paket tabung LPG 3 kg beserta isinya, satu set kompor gas satu pit berikut selang dan regulator (Pertamina, 2007).

Target program konversi minyak tanah ke LPG adalah rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak. Persyaratan rumah tangga dan usaha mikro yang berhak menerima paket konversi adalah sebagai berikut :

(28)

dibuktikan dan melampirkan KTP atau KK atau surat keterangan dari kelurahan setempat.

2. Usaha mikro, persyaratannya adalah merupakan pengguna minyak tanah untuk bahan bakar memasak dalam usahanya, penduduk legal setempat dengan dibuktikan dan melampirkan KTP atau KK atau surat keterangan dari kelurahan setempat, serta melampirkan keterangan usaha dari kelurahan setempat.

Adapun landasan hukum yang digunakan untuk program ini adalah : 1. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan LPG Bumi, yang

menyatakan bahwa Menteri (yang bertanggung jawab di bidang minyak dan LPG bumi) bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan di bidang minyak dan LPG.

2. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. a. Bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan

pasokan energi dalam negeri.

b. Mengurangi ketergantungan penggunaan energi yang berasal dari minyak bumi, salah satunya dengan mengalihkan ke energi lainnya.

c. Terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu

peranan minyak bumi menjadi 20 persen dan peranan LPG bumi menjadi lebih dari 30 persen terhadap konsumsi energi nasional.

3. UU No.18 Tahun 2006 tentang APBN yang memuat anggaran untuk subsidi LPG 3 kg pada tahun 2007 sebesar Rp 1.9 triliun.

(29)

Tujuan dari kebijakan konversi minyak tanah menjadi LPG adalah dalam rangka :

1. Melakukan diversifikasi pasokan energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya minyak tanah.

2. Melakukan efisiensi anggaran pemerintah karena penggunaan LPG lebih efisien dan subsidinya relatif lebih kecil daripada subsidi minyak tanah. 3. Menyediakan bahan bakar yang praktis, bersih, dan efisien untuk rumah

tangga dan usaha mikro.

Program konversi minyak tanah menjadi LPG dilaksanakan secara bertahap dari tahun 2007-2010 dengan jumlah total Kepala Keluarga (KK) terkonversi adalah 42 020 000 KK (Pertamina, 2007). Program konversi minyak

tanah menjadi LPG dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Program Konversi Minyak Tanah menjadi LPG di Indonesia Tahun 2007-2010

Tahun KK terkonversi (tahun berjalan) Wilayah

2007 3 500 000 Jawa-Bali & Palembang

2008 12 500 000 Medan, Pekanbaru, Sumsel, Jawa-Bali, Balikpapan, Makassar

2009 13 251 516 Seluruh Jawa-Bali

2010 12 768 484 Luar Jawa

Sumber : PERTAMINA (2007)

2.3 Usaha Mikro

Badan Pusat Statistik (1999) membagi usaha industri pengolahan di Indonesia menjadi empat kategori berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dimiliki, yaitu:

(30)

2. Industri dan Dagang Kecil (ID-Kecil), adalah usaha industri pengolahan yang memiliki tenaga kerja antara lima sampai 19 orang.

3. Industri dan Dagang Menengah (ID-Menengah), adalah usaha industri pengolahan yang memiliki tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang.

4. Industri dan Dagang Besar (ID-Besar), adalah usaha industri pengolahan yang memiliki tenaga kerja 100 orang lebih.

Menurut Bank Indonesia (2003), usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 000 000.00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 000 000.00 (tiga ratus juta rupiah). Menurut Kementerian Koperasi, usaha mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100 000 000.00 (seratus juta rupiah) per tahun, dan dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp 50 000 000.00 (lima puluh juta rupiah). Adapun ciri-ciri usaha mikro adalah sebagai berikut:

1. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;

2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat; 3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak

memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;

4. Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;

(31)

6. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank;

7. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.

Beberapa contoh usaha mikro adalah sebagai berikut :

1. Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan pembudidaya;

2. Industri makanan dan minuman, industri meubelair pengolahan kayu dan rotan, industri pandai besi pembuat alat-alat;

3. Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dan lain-lain; 4. Peternak ayam, itik dan perikanan;

5. Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit (konveksi).

2.4 Pedagang Kaki Lima

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 23/MPP/Kep/1/1998 Pasal 4 tentang lembaga-lembaga usaha perdagangan terdiri dari: (1) Termasuk pedagang informal adalah pedagang kaki lima, pedagang keliling, pedagang kelontong, pedagang asongan, bakul gendong, kedai, warung, depot, los pasar, jasa reparasi, jasa pertukangan, dan

(32)

Pedagang kaki lima yang biasanya disingkat menjadi PKL adalah penjual barang dan jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan ekonomi yang tergolong dalam skala usaha mikro atau kecil yang menggunakan fasilitas umum dan bersifat sementara atau tidak menetap dengan menggunakan sarana berdagang yang mudah dipindahkan dan dibongkar pasang (Perda Kota Bogor No. 13 Tahun 2005).

PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara

tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan dan menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi-fungsi manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal (Mulyanto, 2007).

2.5 Martabak Kaki Lima

(33)

dimakan dengan saus encer berwarna coklat tua yang merupakan campuran air dengan cuka, gula jawa dan gula pasir, sebagai pelengkap biasanya juga disertakan acar mentimun dan cabe rawit.

Di Indonesia ada dua jenis martabak, pertama adalah martabak telur, yang kedua adalah martabak terang bulan atau biasa disebut martabak manis (Dean, 2005). Martabak terang bulan/martabak manis merupakan jenis martabak khas Indonesia yang tidak ditemukan di negara lain. Martabak terang bulan atau martabak manis disebut terang bulan, karena bentuknya bulat seperti bulan purnama. Martabak manis ini dibuat dengan berbahan dasar adonan tepung terigu, gula, telur, dan lain-lain. Adonan tersebut dicetak dengan menggunakan cetakan piring seng dengan ukuran kurang lebih 20 cm dan dipasang tangkai pipa besi. Dipanggang dan digoyangkan diatas bara api, arang kayu, atau kompor minyak. Isi atau topping yang terdapat pada martabak manis adalah olesan

mentega/margarine, susu, selai stroberi, selai nanas, meises, kacang, keju, ketan

dan lain-lain.

Pedagang martabak di dalam menjajakan dagangannya memerlukan beberapa peralatan pokok untuk mendukung keberhasilan usahanya. Beberapa peralatan penting tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Dean, 2005) : 1. Gerobak

Gerobak atau counter apapun bisa digunakan. Gerobak sebagai meja kerja

(34)

2. Loyang

Loyang terbuat dari besi cor dan memiliki berbagai macam ukuran. Ukuran loyang martabak sangat beragam, mulai ukuran 18/20 cm, 20/22 cm, 22/24 cm, 24/26 cm, 26/28 cm, 28/30 cm. Loyang harus selalu bersih dan kering agar tidak berkarat dan selalu halus.

3. Kompor

Pedagang menggunakan kompor sebagai alat untuk memanggang martabak. Ada tiga jenis kompor yang biasanya digunakan pedagang yaitu : kompor minyak tanah, kompor gas dan kompor tungku dari arang. Bagi yang belum terbiasa menggunakan kompor minyak tanah, resiko martabak berbau minyak tanah dan berbau asap kemungkinan besar bisa terjadi. Sebaliknya jika menggunakan tungku arang, aroma kue sangat alami dan enak, bagi yang belum terbiasa resikonya adalah abu kayu yang masuk ke dalam martabak. Kompor yang baik adalah kompor yang bisa memberikan panas secara merata dengan api yang tidak terlalu besar tetapi stabil.

4. Gerobak Kompor

(35)

5. Tabung Gas

Sebagai bahan bakar, gas adalah pilihan kebanyakan pedagang martabak. Gas tidak menyebabkan bau asap, tidak menimbulkan bau minyak tanah seperti minyak tanah. Gas juga tidak menyebabkan abu seperti tungku arang. Untuk memastikan keamanannya, regulator harus terpasang dengan benar pada tabung gas dan tabung gas dijauhkan atau diberi jarak aman dari kompor panggang.

Pedagang martabak kaki lima adalah orang yang melakukan usaha martabak yang berada di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak. Mereka berjualan dari sore hari hingga malam hari. Kebanyakan orang menyebutnya pedagang kaki lima (Hardian, 2011).

2.6 Warung Tenda Pecel Lele

Pecel lele merupakan produk olahan perikanan berupa ikan lele yang digoreng dan disajikan bersama nasi, sambal dan lalapan. Warung tenda merupakan salah satu usaha perdagangan di bidang makanan dengan menggunakan tenda yang terdapat di sepanjang jalan dan lokasi. Warung tenda memiliki ciri khas tertentu seperti menu yang unik (tradisional), suasana santai, harga yang lebih murah, tempat strategis, pelayanan yang lebih cepat dan penjualannya dilakukan pada malam hari. Ciri khas tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen yang berasal dari berbagai golongan. Warung tenda menurut Astuti 2002 merupakan salah satu wirausaha bidang pangan yang dikelola untuk mencari terobosan baru yang menjadi trend atau suatu mode.

(36)

goreng, burung dara goreng, soto, tahu dan tempe, makanan laut (Seafood),

masakan khas Cina, Jepang, dan sebagainya.

Warung tenda menggunakan atap terpal yang terbuat dari plastik anti bocor sehingga bila saat hujan turun tidak membasahi konsumen. Setiap sisi warung tenda tertutup oleh kain spanduk yang salah satu sisinya bertuliskan dan bergambar produk yang dihidangkan di warung tenda tersebut yaitu pada bagian yang terlihat dari sisi jalan (Idris, 2004).

Warung tenda pecel lele membuka usaha menjelang sore hingga malam hari. Persiapan dimulai dengan mendirikan tenda yang dilakukan secara bersama-sama oleh para pekerja. Lokasi yang banyak digunakan sebagai tempat beroperasinya warung tenda adalah sebuah pelataran di depan perumahan atau perkantoran. Peralatan untuk mendirikan tenda biasanya dibawa dari rumah menggunakan gerobak atau ada yang menitipkannya di dekat lokasi (Anggraini, 2006).

2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu

(37)

2. Judul : Analisis Permintaan Telur Ayam Ras oleh Pedagang Martabak Telur di Kota Bogor.

ayam ras oleh pedagang martabak telur di Kota Bogor.

2. Menganalisis faktor yang mempengaruhi permintaan telur ayam ras oleh pedagang martabak telur di Kota Bogor.

3. Mengukur pendapatan pedagang martabak telur di Kota Bogor. 4. Menganalisis respon permintaan

telur ayam ras terhadap harga dan pendapatan.

2. Berdasarkan uji-t, variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap permintaan telur ayam ras adalah volume usaha unit B dan volume unit usaha D ( = 0.01),dummy lokasi ( = 0.05), harga minyak goreng ( = 0.1). 3. Pendapatan bersih pedagang martabak telur

kios adalah Rp 4 959 056/bulan dan pedagang martabak telur gerobak adalah sebesar Rp 1 134 291.12/bulan.

4. Elastisitas permintaan telur ayam ras oleh pedagang martabak telur bersifat inelastis (0.166). 2. Membuat model permintaan

minyak tanah sektor rumah tangga di Kota Salatiga

1. Analisis regresi linear berganda

1. Harga minyak tanah dan harga kayu bakar berpengaruh negatif terhadap jumlah minyak tanah yang diminta sektor rumah tangga di Kota Salatiga.

2. Pendapatan dan harga LPG berpengaruh positif terhadap permintaan minyak tanah sektor rumah tangga di Kota Salatiga

1. Mengidentifikasi profil dan karakteristik pedagang warung tenda pecel lele.

2. Menganalisis pendapatan usaha warung tenda pecel lele.

1. Usaha warung tenda pecellele menguntungkan dimana nilai R/C lebbih dari satu.

2. Strategi yang sesuai adalah hold and maintain, strategi yang dapat diterapkan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk.

(38)

2. Judul : Analisis Faktor-Faktor

2. Mengkaji hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan permintaan listrik pada industri TPT.

berganda terhadap permintaan listrik di industri TPT. 2. Harga solar dan krisis ekonomi berpengaruh

negatif terhadap permintaan listrik industri TPT.

3. Harga listrik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan listrik industri TPT.

1. Menganalisis pengaruh harga LPG terhadap permintaan LPG di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh perubahan harga barang substitusi LPG (minyak tanah dan tarif listrik), pengaruh

2. Harga LPG berpengaruh negatif, signifikan. 3. Harga minyak tanah berpengaruh positif,

signifikan.

4. Pendapatan per kapita berpengaruh positif,signifikan.

5. Dummy krisis ekonomi berpengaruh signifikan.

6. Tarif dasar listrik berpengaruh positif namun tidak signifikan

1. Mengetahui profil pedagang, konsumen, dan usaha warung tenda pecel lele.

2. Menganalisis pendapatan usaha warung tenda.

3. Menganalisis permintaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pecel lele.

4. Mengetahui elastisitas harga, elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan.

3. Pendapatan bersih pedagang warung tenda pecel lele rata-rata Rp 18 169 300 per bulan, R/C 1.55.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pecel lele pada warung tenda adalah harga pecel lele, harga pecel ayam, pendapatan disposible, umur, dan dummy lokasi.

(39)

Subsidi APBN dan Efisien Usaha Mikro di Kota Bogor (Periode 2005-2010)

2. Dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha mikro.

3. Adanya program konversi minyak tanah ke LPG berdampak pada efisiensi usaha mikro.

8. 1. Nama : Widodo Hardian (2011) 2. Judul : Analisis Karakteristik dan

Perilaku Wirausaha Pedagang Martabak Manis Kaki Lima di Kota Bogor

1. Mendeskripsikan karakteristik individu dan usaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor.

2. Menganalisis perilaku wirausaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor. 3. Menganalisis hubungan antara

karakteristik pedagang

2. Sebagian besar pedagang martabak manis kaki lima berumur di bawah 33 tahun,berasal dari Jawa Barat, lulusan SMP, jumlah tanggungan 1-3 orang.

3. Sebagian besar usaha adalah milik sendiri,pengalaman berdagang 1-157 bulan, penerimaan usaha Rp 1 833 000.

4. Unsur-unsur perilaku usaha yang dominan terhadap perilaku wirausaha pedagang adalah pengetahuan dan sikap wirausaha pedagang martabak manis.

5. Karakteristik pedagang yang mempengaruhi perilaku wirausaha pedagang martabak manisadalah jumlah tanggungan keluarga dan lama berdagang.

9. 1. Nama : Diana Bhakti (2011) 2. Judul : Permintaan Energi Rumah

Tangga di Pulau Jawa

1. Menganalisis perilaku rumah tangga di Pulau Jawa dalam

2. Harga komoditi dan pendapatan (pengeluaran) mempengaruhi secara signifikan proporsi pengeluaran setiap kelompok komoditi. 3. Komoditi energi (selain listrik) bersifat elastis,

sehingga peningkatan harga komoditi energi akan cukup efektif untuk menurunkan tingkat konsumsi energi.

(40)

Tabel 10 menunjukkan bahwa Nurlianti (2002) melakukan penelitian tentang Analisis Permintaan Telur Ayam Ras oleh Pedagang Martabak Telur di Kota Bogor. Penelitian dilakukan di enam kecamatan di Kota Bogor dan jenis pedagang martabak telur dibagi menjadi dua jenis yaitu pedagang kios dan pedagang gerobak. Kakisina (2003) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan minyak tanah sektor rumah tangga di Kota Salatiga. Penelitian oleh Kakisina (2003) ini menggunakan data primer dan dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda

ordinary least square (OLS). Penelitian Anggraini (2006) tentang analisis

pendapatan dan strategi pemasaran usaha warung tenda pecel lele di sepanjang Jalan Pajajaran Bogor, menggunakan metode analisis tabulasi dan deskriptif, analisis biaya, analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya, serta analisis SWOT. Yugustya (2006) meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deret waktu (time series) dari tahun 1982-2004 yang hanya mencakup dua

golongan sektor yaitu industri tekstil dan industri pakaian jadi.

Fauzan (2007) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan liquid petroleum gas di Indonesia periode 1980-2003 dengan

(41)

mempengaruhi permintaan pecel lele, serta mengetahui elastisitas harga, elastisitas silang dan elastisitas pendapatan.

Maulidyawati (2011) meneliti tentang dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN dan efisiensi usaha mikro di Kota Bogor periode 2005-2010. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner kepada usaha mikro dengan metode purposive sampling. Penelitian Hardian (2011) bertujuan untuk

mendeskripsikan karakteristik individu dan usaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor, menganalisis perilaku wirausaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor, dan menganalisis hubungan antara karakteristik pedagang martabak manis dengan perilaku usaha pedagang martabak manis kaki lima di Kota Bogor. Responden penelitiannya berjumlah 106 orang dengan metode sensus. Bhakti (2011) melakukan penelitian tentang permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika dengan menggunakan model LA-AIDS (Linear approximation – Almost Ideal Demand System).

(42)

permintaan minyak tanah sektor rumah tangga di Kota Salatiga, penelitian Yugustya mengkaji analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan listrik pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia, dan penelitian Bhakti mengkaji tentang permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa sedangkan penelitian ini mengkaji tentang permintaan LPG oleh pedagang makanan di Kota Bogor.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Fauzan (2007) adalah dalam hal jenis data yang digunakan dan cakupan penelitian. Fauzan menggunakan data sekunder time series periode tahun 1980-2003, sedangkan penelitian ini

menggunakan data cross section. Tujuan penggunaan data primer pada penelitian

(43)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

LPG bagi pedagang martabak kaki lima dan warung tenda pecel lele di Kota Bogor adalah bahan bakar utama dalam proses produksinya. Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini akan membahas tentang teori permintaan, konsep permintaan turunan, dan analisis pendapatan usaha.

3.1.1 Teori Permintaan

Jumlah yang diminta adalah jumlah komoditi total yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam menganalisis permintaan barang normal. Pertama, kuantitas yang diminta merupakan kuantitas yang diinginkan (desired). Istilah kuantitas yang diminta

digunakan untuk menunjukkan pembelian yang diinginkan, sedangkan istilah kuantitas nyata yang dibeli (quantity actually bought) digunakan untuk

menunjukkan jumlah pembelian yang sebenarnya. Kedua, apa yang diinginkan tidak merupakan harapan kosong, tetapi merupakan permintaan efektif, artinya, jumlah dimana orang bersedia membeli pada harga yang mereka harus bayar untuk komoditi tersebut. Ketiga, kuantitas yang diminta merupakan arus pembelian yang kontinu (Lipsey, et al. 1993).

(44)

rumah tangga, distribusi pendapatan dalam masyarakat, selera, jumlah penduduk, dan ramalan keadaan di masa yang akan datang (Nicholson, 2002).

1. Harga komoditi itu sendiri

Hubungan antara permintaan suatu komoditi dengan harganya dijelaskan dalam hukum permintaan. Hukum permintaan menyatakan ”bahwa harga suatu komoditi dan kuantitas yang diminta berhubungan secara negatif, dengan faktor lain tetap sama”. Artinya, semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang akan diminta untuk komoditi tersebut akan semakin besar, dan semakin tinggi harganya, semakin rendah jumlah yang diminta. Perubahan harga akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva permintaan. 2. Harga komoditi lain yang berhubungan dengan komoditi tersebut

Perubahan harga barang lain akan menyebabkan perubahan permintaan. Kaitan antara suatu barang dengan barang lain dibedakan menjadi dua yaitu barang substitusi (pengganti) dan barang komplementer (pelengkap). Barang substitusi adalah barang lain yang menggantikan fungsi suatu barang, jika harga barang substitusi turun, maka akan menurunkan permintaan barang yang digantikannya. Barang komplementer adalah barang yang jika digunakan bersama-sama dengan barang lain akan menambah kepuasan penggunanya. Peningkatan atau penurunan permintaan barang komplementer sebanding dengan permintaan barang yang dilengkapinya.

(45)

artinya kenaikan harga minyak tanah (barang Y) cenderung akan meningkatkan permintaan LPG (barang X) dan sebaliknya. Berbanding terbalik jika barang X dan Y komplementer, maka hubungannya adalah negatif. Berarti jika harga barang X naik cenderung akan menurunkan permintaan akan barang Y. Contohnya kompor gas dan LPG. Jika harga kompor gas meningkat maka permintaan LPG akan menurun, dan sebaliknya. 3. Pendapatan rumah tangga

Pendapatan rumah tangga merupakan faktor penting dalam menentukan corak permintaan terhadap berbagai jenis komoditi. Perubahan pendapatan akan menimbulkan perubahan permintaan suatu jenis komoditas. Pendapatan yang tinggi menyebabkan rumah tangga memiliki pilihan komoditi untuk dikonsumsi lebih banyak sehingga dapat lebih leluasa memilih komoditi yang akan dikonsumsi. Misalnya suatu rumah tangga menerima pendapatan yang lebih besar, maka dapat diperkirakan bahwa rumah tangga tersebut akan mengkonsumsi lebih banyak barang, pada kondisi harga barang tersebut tetap. Akibatnya secara keseluruhan untuk pasar dapat diperkirakan bahwa jumlah barang yang diminta akan lebih banyak daripada permintaan sebelumnya atas barang tersebut pada tingkat harga yang sama.

Permintaan atas suatu barang, biasanya akan meningkat apabila variabel pendapatan juga mengalami peningkatan. Hal ini berlaku pada barang normal. Namun pada beberapa barang, yang dikenal sebagai barang inferior,

(46)

3. Distribusi Pendapatan dalam Masyarakat

Distribusi pendapatan dalam masyarakat dapat mempengaruhi corak permintaan dari berbagai jenis barang. Sejumlah pendapatan masyarakat yang tertentu besarnya akan menimbulkan corak permintaan masyarakat yang berbeda apabila pendapatan tersebut diubah corak distribusinya. Hal ini berkaitan dengan tingkatan kelas sosial masyarakat, golongan masyarakat kelas atas tentunya akan memiliki pola permintaan barang yang berbeda dengan golongan masyarakat kelas menengah dan bawah.

4. Selera

Selera memberikan pengaruh yang besar terhadap keinginan masyarakat untuk membeli berbagai komoditi. Pendidikan merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi selera seseorang. Orang yang berpendidikan tinggi akan memiliki selera yang berbeda dengan orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Pekerjaan, umur, daerah, tempat tinggal, anggota keluarga, etnis merupakan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi selera seseorang.

6. Jumlah penduduk

(47)

7. Ekspektasi di masa yang akan datang

Teori perkiraan yang rasional (Theory of Rational Expectation)

menyatakan bahwa masyarakat umumnya berperilaku berjaga-jaga dalam mengantisipasi kondisi yang akan terjadi di masa mendatang. Hal ini berarti kejadian yang diperkirakan akan terjadi di masa yang akan mempengaruhi situasi saat ini. Perubahan-perubahan yang diramalkan mengenai keadaan masa mendatang dapat mempengaruhi permintaan. Ramalan naiknya harga-harga di masa depan akan mendorong konsumen untuk membeli lebih banyak pada masa sekarang, untuk menghemat pengeluaran di masa yang akan datang.

Sulit untuk meneliti faktor-faktor di atas secara bersamaan. Oleh karena itu, permintaan suatu komoditi dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri dan dianggap faktor-faktor lain tidak berubah ”cateris paribus”. Permintaan suatu

komoditi dipengaruhi oleh faktor lain yang dapat dianalisa dengan memisalkan harga komoditi tersebut konstan. Dengan demikian, perubahan permintaan suatu komoditi dapat diketahui apabila pendapatan, harga komoditi lain, selera, dan faktor lainnya mengalami perubahan (Nicholson, 2002).

Dalam analisis ekonomi permintaan suatu barang, variabel-varibel yang diperhitungkan biasanya adalah variabel-variabel yang pengaruhnya besar dan mempengaruhi permintaan secara langsung (Nicholson, 2002). Berdasarkan uraian di atas, fungsi permintaan dapat disusun sebagai berikut :

Dx = f ( Px, Py, I, Dist, Pref, Pop, Expect ) ………..….…….. (1) dimana :

(48)

Px = harga dari barang x (bernilai negatif),

Py = harga barang lain (dapat bernilai positif/negatif), I = pendapatan per kapita (bernilai positif),

Dist = disribusi pendapatan dalam masyarakat Pref = preferensi /selera konsumen,

Pop = jumlah penduduk

Expect = ekspektasi di masa yang akan datang.

Tanda positif atau negatif dari suatu permintaan secara teori ekonomi merupakan hubungan antara variabel bebas terhadap variabel tak bebas yang mempengaruhi permintaan. Berdasarkan persamaan di atas, maka dapat ditulis persamaan matematis Dx/ Px < 0 (jika harga barang x naik, maka permintaan atas barang x akan turun, begitu juga sebaliknya), Dx/Py > 0 (jika harga barang substitusi y naik, maka permintaan atas barang x akan naik, dan sebaliknya), Dx/ I > 0 (jika pendapatan per kapita naik, maka permintaan atas barang x akan naik, dan sebaliknya). Persamaan tersebut menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel bebas dengan variabel tak bebas secara teori ekonomi dengan asumsi barang normal. Di luar asumsi tersebut akan terjadi penyimpangan pola hubungan.

(49)

1. Permintaan langsung, yaitu permintaan untuk konsumsi pribadi. Permintaan ini berakar dari kepuasan atau utilitas yang berkaitan dengan konsumsi sebuah barang dan jasa.

2. Permintaan turunan, yaitu berhubungan dengan permintaan akan satu produk yang dipergunakan dalam produksi barang atau jasa lain yang diminta oleh para konsumen.

3.1.2 Konsep Permintaan Turunan

Permintaan akan input timbul karena produsen berhasrat melakukan proses produksi tertentu. Proses produksi tersebut dilakukan karena satu alasan, yaitu karena adanya permintaan akan output. Jadi permintaan akan input timbul

karena adanya permintaan akan output. Hal ini menyebabkan permintaan akan input disebut sebagai derived demand atau permintaan turunan (Boediono, 2000).

Jumlah input yang diminta oleh seorang produsen tergantung pada berapa besar output yang akan diproduksi.

(50)

Sebaliknya, jumlah dari setiap masukan yang dipergunakan dalam produksi akan menurun ketika manfaat marginal yang dihasilkan lebih kecil dari biaya marginal untuk penggunaannya.

Derived demand digunakan untuk menunjukan daftar permintaan bagi

input yang dipakai dalam menghasilkan produk akhir. Derived demand berbeda

dengan primary demand dalam banyaknya pasar dan proses pergantian per unit

produk. Kurva derived demand dapat berubah salah satunya karena pergeseran

kurva primary demand atau perubahan marjin pemasaran. Secara empiris

hubungan derived demand dapat diperkirakan secara tidak langsung antara lain

dengan mengurangkan marjin yang terdapat dalam daftar primary demand atau

secara langsung dengan menggunakan data harga dari jumlah yang diperoleh dari setiap tingkat pemasaran (Tomek dan Robinson 1990). Menurut Tomek dan Robinson (1990), jika dilihat melalui kurva, kurva derived demand (Dd) terletak

dibawah kurva primary demand (DP) sehingga untuk jumlah barang yang sama,

harga primary demand relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan derived demand. Hal ini terjadi karena adanya pengolahan atau proses lebih lanjut dari

input menjadi output akhir, seperti terlihat pada Gambar 1. Harga (P)

PP

Pd

Primary Demand

Derived Demand

Qa Kuantitas per unit(Q)

Sumber : Tomek dan Robinson (1990)

Gambar 1. Kurva derived demand dan primary demand

(51)

Derived demand dapat diturunkan dari fungsi produksi dengan asumsi

bahwa produsen memaksimalkan keuntungan. Sementara itu, fungsi produksi merupakan hubungan fisik antara output (Y) dengan input (X) serta faktor tetapnya (A).

Y = f(X1, X2, X3, …., Xn A) ………..………..…... (2) Keuntungan ( ) merupakan pengurangan dari Total Revenue (TR) dengan Total Varibel Cost (TVC) dan Total Fixed Cost (TFC), dalam hal ini TFC dianggap konstan nilainya.

= TR – TVC – TFC

= (Py . Y) – (Px . X) – FC ….……...….…….………....….…..… (3) Kemudian keuntungan maksimum didapat ketika turunan pertama terhadap x sama dengan nol (d /dx=0) sehingga persamaan (3) berubah menjadi :

………...…….………...….…..…… (4)

dimana

Untuk memudahkan dalam memahami persamaan (4), dapat dirubah bentuknya menjadi :

……….……..…….……...(5)

VMP (Value Of Marginal Product) merupakan MPP yang dinilai dalam

(52)

X* = f(Px, Py, A) ……….…...…………....……...…...… (6) Produsen akan menggunakan input X sampai jumlah tertentu sehingga VMPx sama dengan harga per unit X. Ini adalah tingkat penggunaan input X yang optimal karena menghasilkan keuntungan maksimum bagi produsen. Kurva VMPx digambarkan dari kurva MPPx dengan mengubah skala sumbu vertikal dari satuan fisik menjadi satuan nilai (uang). Penurunan kurva VMPx terdapat pada Gambar 2, sedangkan kurva VMPx sama dengan kurva permintaan input X terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3 menunjukkan bahwa apabila harga input X adalah P’x, maka jumlah input x yang diminta produsen adalah OX1 agar memenuhi syarat VMPx = Px dan apabila harga input X adalah P”x maka jumlah input x yang diminta produsen adalah OX2. Hal ini menunjukkan bahwa kurva VMPx adalah kurva permintaan produsen akan input X. Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus satu input variabel dan produsen beroperasi dalam persaingan sempurna baik di pasar input maupun di pasar output, maka bagian yang menurun dari kurva VMP adalah juga kurva permintaan akan input variabel tersebut (Boediono, 2000). Dalil yang mengatakan bahwa kurva VMPx adalah kurva permintaan produsen akan input X berlaku atas dasar :

1. Produsen dianggap sebagai pembeli kecil di pasar input X,

2. Produsen beroperasi dalam persaingan sempurna di pasar outputnya,

(53)

Output

TPP

X1 X2 X3 Penggunaan Input X Output

APP

0 Penggunaan input X

MPP Harga Input (Rp)

0 VMPx Penggunaan Input X Sumber : Boediono (2000)

(54)

Rupiah

P''x

P'x

VMPx = Dx

O X2 X1 Penggunaan Input X

Sumber : Boediono (2000)

Gambar 3. Kurva VMPx = Kurva Permintaan Input X

Menurut Boediono (2000), permintaan input dipengaruhi oleh :

1. Teknologi : kemajuan teknologi atau peningkatan produktifitas suatu input menggeser permintaan akan input ke kenan,

2. Bentuk pasar : semakin sempurna persaingan dalam pasar output, semakin landai kurva permintaan akan output dan semakin elastis permnintaan akan input tersebut.

3. Semua faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen akan output seperti selera, pendapatan, harga barang-barang lain, distribusi pendapatan, dan lain sebagainya.

3.1.3 Analisis Pendapatan Usaha

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan. Menurut Lipsey, et all (1993), rumus yang

(55)

Keuntungan ( ) = Total Penerimaan (TR) – Total Biaya (TC) …....… (7) Kriteria:

Jika total penerimaan (TR) > total biaya (TC), usaha untung

Jika total penerimaan (TR) = total biaya (TC), usaha tidak untung, tidak rugi (impas).

Jika total penerimaan (TR) < total biaya (TC), usaha rugi.

Penerimaan yang besar tidak selalu menunjukkan efisiensi yang tinggi karena ada kemungkinan penerimaan yang besar tersebut diperoleh dari investasi yang berlebihan. Efisiensi suatu usaha atau kegiatan produksi terhadap penggunaan satu unit input digambarkan oleh nilai rasio penerimaan dan biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi.

Analisis imbangan antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya merupakan suatu pengujian keuntungan suatu jenis usaha. Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio) didapat berdasarkan pembagian antara total penerimaan dengan total biaya, dirumuskan menjadi :

R/C = TR/TC ……….…...……...……....……...…...… (8) Kriteria :

Jika R/C > 1, usaha tersebut untung.

Gambar

Tabel 44. Perhitungan Pendapatan Usaha Rata-rata Pedagang Martabak
Tabel 45.  Perhitungan Pendapatan Rata-rata Pedagang Warung Tenda
Tabel 1. Tabel 1. Kondisi Perminyakan Indonesia Tahun 2000-2008
Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Subsidi BBM di Indonesia Tahun 1994-2002
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa fungsi bintang terdapat tiga menurut periwayatan, yakni sebagai navigasi atau arah petunjuk perjalanan dalam ilmu pengetahuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi kerja dan lingkungan kerja terhadap kinerja pegawai pada rumah sakit umum daerah lamaddukkelleng

Using panel data from the Industrial Products index of the Bursa Malaysia (the Malaysian stock exchange) during 2003-2006, we show that the ingrained ‘life-raft values’

Sistem Akreditasi Nasional mendorong tumbuh kembangnya dorongan internal dalam institusi maupun program studi untuk melakukan perbaikan mutu secara berkelanjutan;.

Berapakah banyaknya penumpang masing-masing kelas agar diperoleh hasil penjualan tiket sebesar- besarnya?. Hitunglah hasil penjualan terbesat tiket

Salah satu fungsi perangkat lunak ini adalah model stabilitas (SLOPE/W). SLOPE/W adalah komponen dari satu paket produk geoteknikal yang disebut GeoStudio. SLOPE/W

Dengan memperhatikan beberapa bahaya yang ditimbulkan dari penyimpangan seksual (homoseks dan lesbian) baik dari segi kesehatan maupun untuk kelangsungan

Tujuan dari penulisan laporan akhir ini adalah untuk mengetahui kondisi pembebanan transformator, drop tegangan dan rugi daya sebelum dan sesudah dipasangnya