• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu tempat dimana suatu keanekaragaman hayati berada yang keberadaannya perlu dikaji. Menurut UU No. 41 tahun 1999, hutan di Indonesia memiliki tiga fungsi yaitu lindung, konservasi, dan produksi. Pengelolaan hutan di KPH Pekalongan Barat khususnya RPH Guci dilakukan untuk fungsi lindung dan produksi.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan lindung berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (UU No. 41 tahun 1999).

Adanya hutan tidak luput dari keberadaan masyarakat di sekitarnya yang memanfaatkan hasil hutan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan hasil hutan merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pengelolaan hutan misalnya pemanfaatan hasil hutan sebagai bahan obat. Pemanfaatan sumberdaya hutan yang ada untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari sebagai bahan obat merupakan pengetahuan yang sangat berharga dan merupakan budaya yang perlu digali agar pengetahuan tersebut tidak hilang seiring dengan perkembangan zaman.

Namun, perkembangan zaman yang semakin modern sekarang ini baik dari segi teknologi, ilmu pengetahuan, serta pembangunan yang meningkatkan perekonomian masyarakat mengakibatkan menurunnya kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan khususnya tumbuhan obat oleh masyarakat di sekitar hutan. Tumbuhan obat secara alami tumbuh di berbagai kawasan hutan, khususnya di hutan lindung. Namun demikian, data mengenai tumbuhan obat yang tumbuh di kawasan lindung tersebut belum seluruhnya terdokumentasi, contohnya di kawasan hutan lindung RPH Guci-KPH Pekalongan Barat.

Berkaitan dengan hal tersebut perlu dilakukan inventarisasi potensi tumbuhan obat di kawasan hutan lindung dan bentuk pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat di sekitar hutan lindung tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung kelestarian pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat sekitar hutan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi potensi tumbuhan obat di kawasan hutan lindung RPH Guci-KPH Pekalongan Barat, Jawa Tengah.

2. Mengidentifikasi bentuk pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung RPH Guci-KPH Pekalongan Barat, Jawa Tengah.

1.3 Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi, data dasar dan masukan bagi pihak pengelola Kawasan Hutan Lindung RPH Guci-KPH Pekalongan Barat dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati, terutama tumbuhan obat di kawasan tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Lindung

Undang-Undang No.41 tahun 1999 mendefinisikan hutan lindung sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Kriteria kawasan hutan lindung menurut PP No. 47 tahun 1997, yaitu: (1) kawasan hutan dengan faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan, (2) kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih, (3) kawasan hutan yang mempunyai ketinggian tempat di atas permukaan laut 2.000 m dpl atau lebih. Menurut Undang-Undang No. 62 tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan, pengelolaan hutan lindung diserahkan kepada Kepala Daerah Tingkat II yang mencangkup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Manan (1978) menjelaskan bahwa terdapat dua tipe hutan lindung di Indonesia berdasarkan pengelolaannya, yaitu: (1) hutan lindung mutlak, yaitu hutan lindung yang mempunyai keadaan alam yang sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya yang baik terhadap tanah, alam sekelilingnya dan tata air perlu dipertahankan dan dilindungi, (2) dan hutan lindung terbatas, yaitu diantara hutan lindung, ada yang karena keadaan alamnya dalam batas-batas tertentu, sedikit banyak masih dapat dipungut hasilnya, dengan tidak mengurangi fungsinya sebagai hutan lindung.

Pengelolaan hutan lindung adalah bagian integral dari pengelolaan DAS secara keseluruhan, dimana hutan lindung memegang peranan penting dari segi hidroorologi. Pengurusan hutan lindung dilakukan oleh Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) (Soerianegara 1996).

2.2 Tumbuhan Obat

Menurut Zuhud et al. (1994), tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat, yang dikelompokan menjadi: (1) tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional, (2) tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan pengunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis dan, (3) tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri.

Sandra dan Kemala (1994) mengatakan tumbuhan obat adalah semua tumbuhan, baik yang sudah dibudidayakan maupun yang belum dibudidayakan yang dapat digunakan sebagai obat. Tumbuhan obat menurut Departemen Kesehatan RI dalam SK. Menteri Kesehatan No.149/SK/Menkes/IV/1978 diacu dalam Kartikawati (2004) mengandung beberapa pengertian yaitu: (1) tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau jamu, (2) tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat (prokursor), (3) tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut digunakan sebagai obat.

Tumbuhan obat merupakan salah satu hasil hutan yang bernilai ekonomi tinggi. Pengobatan tradisional secara langsung atau tidak langsung mempunyai kaitan dengan upaya pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat. Berkaitan dengan hal tersebut dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam pengobatan tradisional, antara lain pandangan tentang sakit, pengetahuan ramuan obat tradisional, serta aturan adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati yang dapat dijumpai pada masyarakat asli Indonesia (Aliadi & Roemantyo 1994).

Hutan tropik Indonesia memiliki lebih dari 30.000 spesies tumbuhan berbunga, dan berpotensi sebagai bahan obat-obatan. Menurut Sangat et al. (2000), hutan di Indonesia terdapat sekitar 1.300 spesies tumbuhan yang berkhasiat obat. Menurut WHO terdapat 35.000 sampai 70.000 spesies tumbuhan

yang digunakan sebagai obat (Padulosi et al. 2002). Berdasarkan informasi tersebut Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati yang terhimpun dalam berbagai formasi hutan yang merupakan aset nasional yang tak terhingga nilainya bagi kepentingan kesejahteraan umat manusia (Zuhud et al. 1994).

Setiap unit kawasan ekosistem alam memiliki keanekaragaman hayati berupa tumbuhan dan hewan yang dapat mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya dalam menyediakan materi biologi untuk berbagai macam manfaat yang dapat diambil, berupa keanekaragaman tumbuhan obat untuk mengobati berbagai macam penyakit, keanekaragaman untuk pangan dan lain-lain (Zuhud et al. 2009).

Tumbuhan obat terdiri atas beberapa kriteria stadium pertumbuhan. Kriteria stadium pertumbuhan berbagai spesies tumbuhan adalah sebagai berikut (Kusmana & Istomo 1995):

a. Semai merupakan permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m.

b. Pancang merupakan permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm.

c. Tiang merupakan pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm. d. Pohon merupakan pohon dewasa berdiameter 20 cm atau lebih.

e. Tumbuhan bawah merupakan tumbuhan selain permudaan pohon, misal: rumput, herba, dan semak belukar.

2.3 Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Pengetahuan penggunaan tumbuhan sebagai obat telah diketahui sejak lama di Indonesia, bukti adanya penggunaan bahan alam terutama tumbuhan sebagai obat pada masa lalu dapat ditemukan dalam naskah lama pada daun lontar

“Husodo” (Jawa), “Usada” (Bali), “Lontarak pabbura” (Sulawesi Selatan), dan

dokumen lain seperti Serat Primbon Jambi, Serat racikan Boreh Wulang Dalem, dan juga pada dinding Candi Borobudur dengan adanya relief tumbuhan yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Zuraida et al. 2009).

Menurut Rachmat (2009), masyarakat yang berada di pedesaan dan masyarakat yang kurang mampu dalam segi ekonomi bergantung pada

pengobatan tradisional, hal ini dikarenakan pengobatan modern cukup mahal dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat di pedesaan tersebut. Mereka percaya pengobatan tradisional lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan modern, disamping itu pengobatan tradisional tidak memiliki efek samping.

Sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat secara tradisi merupakan salah satu bagian dari kebudayaan suku bangsa itu sendiri yang melibatkan hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang ditentukan oleh kebudayaan setempat sebagai pengetahuan yang diyakini serta menjadi sistem nilai. Pengobatan tradisional merupakan salah satu pengetahuan tradisional masyarakat, yaitu semua upaya pengobatan dengan cara lain diluar ilmu kedokteran berdasarkan pengetahuan yang berakar pada tradisi tertentu dan dilakukan secara turun-temurun. Selain itu, telah teruji memberikan sumbangsihnya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) (Rahayu 2006).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2012, di Kawasan Hutan Lindung RPH Guci-KPH Pekalongan Barat, Jawa Tengah (Lampiran 1). 3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alkohol 70%, dengan objek yang diteliti adalah spesies tumbuhan yang ditemukan dan dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan lindung. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Peralatan pembuatan petak ukur: kompas, tali rafia, golok, meteran 50 m dan patok.

2. Peralatan mengukur dimensi pohon: meteran jahit atau pita ukur.

3. Peralatan membuat herbarium: kertas koran, kantong plastik spesimen (trashbag), gunting, alat semprot dan label.

4. Tally sheet untuk analisis vegetasi.

5. Quesioner untuk wawancara serta alat tulis, dan kamera digital. 3.3. Pengambilan Data

3.3.1 Jenis data yang dikumpulkan

Jenis data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri atas data sekunder dan data primer (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian

Tahapan kegiatan Aspek yang dikaji Sumber data Metode 1. Kondisi umum

lokasi penelitian

1)Letak geografis 2)Luas wilayah

3)Topografi dan kelerengan 4)Tanah dan geologi 5)Hidrologi

6)Iklim

7)Flora dan fauna 8)Sosial, ekonomi, dan

budaya masyarakat sekitar

Pemkab Tegal, Penelitian sebelumnya Studi literatur 2. Potensi tumbuhan obat

Spesies tumbuhan obat Lapang 1. Analisis vegetasi 2. Pengambilan

contoh herbarium

Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian (Lanjutan)

Tahapan kegiatan Aspek yang dikaji Sumber data Metode 3. Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat sekitar hutan lindung RPH Guci

Spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat

Wawancara

4. Pengolahan dan analisis data

Data yang diperoleh di lapang

1.Secara manual dan komputansi 2.Analisis deskriptif,

kualitatif, dan kuantitatif

4.3.2 Teknik pengumpulan data 4.3.2.1 Penentuan responden

Penentuan responden dilakukan dengan teknik snowball sampling yaitu menentukan responden kunci (key person). Responden kunci digunakan sebagai penentu responden lainnya. Orang yang dijadikan responden kunci adalah orang yang memiliki pengetahuan luas mengenai nama lokal tumbuhan dan manfaat atau kegunaan tumbuhan tersebut serta memiliki intensitas tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan. Responden kunci tersebut diperoleh melalui informasi dari kepala resort, dan untuk menentukan responden selanjutnya diperoleh melalui responden pertama, hal yang sama dilakukan juga untuk menentukan responden selanjutnya. Responden yang akan diwawancarai pada penelitian ini sampai tidak ada penambahan informasi lagi.

4.3.2.1Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data mengenai spesies-spesies tumbuhan obat yang dimanfaatakan oleh masyarakat sekitar hutan. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur dengan pengisian kuisioner dan pendalaman pertanyaan sesuai keperluan. Hal-hal yang akan ditanyakan meliputi spesies tumbuhan dan jenis pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat.

Wawancara dilakukan di Desa Rembul, hal ini dikarenakan desa tersebut berada di sekitar kawasan hutan lindung. Responden yang diwawancarai yaitu sebanyak tujuh responden, berikut daftar nama responden yang diwawancarai (Tabel 2).

Tabel 2 Rekapitulasi nama responden

No Nama Usia

(tahun) Jenis kelamin Pekerjaan Pendidikan

1 Fahril 60 Laki-laki Penyadap SMP

2 Fakhori 41 Laki-laki Mandor SLTA

3 Ilyas 55 Laki-laki Penyadap Tidak tamat SD

4 Katho 40 Laki-laki Penyadap SMP

5 Muksin 30 Laki-laki Penyadap SMP

6 Ropii 47 Laki-laki Mandor SMP

7 Thoat 35 Laki-laki Penyadap SD

4.3.2.2Analisis vegetasi

Analisis vegetasi merupakan cara mempelajari susunan (komponen jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara & Indrawan 1998). Pada penelitian ini analisis vegetasi dilakukan untuk memperoleh data potensi tumbuhan obat di kawasan Hutan Lindung RPH Guci-KPH Pekalongan Barat, Jawa Tengah. Metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode kombinasi jalur dan garis berpetak dengan ukuran 20 m x 200 m, sebanyak 21 jalur (Tabel 3). Peletakan jalur secara sistematis dengan jarak antar jalur 50 m. Pembuatan jalur mewakili setiap tegakan dan ketinggian yang ada di kawasan hutan lindung tersebut. Jumlah petak contoh setiap jalurnya sebanyak 10 buah, selanjutnya petak contoh tersebut dibagi lagi menjadi petak ukur sesuai tingkat pertumbuhan vegetasinya.

Tabel 3 Penentuan Jumlah Jalur Berdasarkan Jenis Tegakan dan Ketinggian Tempat

Kelas ketinggian Jenis Tegakan Ketinggian tempat

(mdpl) No. Jalur Pegunungan bawah (1.100-1.300 mdpl) Rimba campur 1.100 1 1.250 2 1.300 3 Pinus 1.100 4 1.250 5 1.300 6 Pegunungan tengah (1.325-1.500 mdpl) Rimba campur 1.350 7 1.430 8 1.500 9 Pinus 1.325 10 1.430 11 1.500 12

Tabel 3 Penentuan Jumlah Jalur Berdasarkan Jenis Tegakan dan Ketinggian Tempat (Lanjutan)

Data yang dikumpulkan meliputi nama spesies, jumlah individu setiap spesies untuk tingkat pertumbuhan semai, pancang, tumbuhan bawah, epifit dan liana, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon dicatat nama spesies, jumlah individu, diameter batang. Tingkat pertumbuhan semai, tumbuhan bawah, epifit

dan liana (D) petak 2 m x 2 m (untuk semai tinggi ≤ 1,5 m), untuk tingkat

pertumbuhan pancang 5 m x 5 m (C) (tinggi > 1,5 m, diameter < 10 cm), untuk tingkat pertumbuhan tiang 10 m x 10 m (B) (diameter 10-19,9 cm), dan untuk tingkat pertumbuhan pohon ukuran petaknya 20 m x 20 m (A) (Gambar 2).

Keterangan:

A: Plot berukuran 20 m x 20 m (pohon) B: Plot berukuran 10 m x 10 m, (tiang) C: Plot berukuran 5 m x 5 m, (pancang)

D: Plot berukuran 2 m x 2 m, (semai, tumbuhan bawah, epifit, dan liana) 4.3.2.4 Pembuatan herbarium

Herbarium merupakan koleksi relatif tumbuhan yang terdiri atas bagian-bagian tumbuhan (ranting lengkap dengan daun, serta bunga dan buah jika ada).

Kelas ketinggian Jenis Tegakan Ketinggian tempat

(mdpl) No. Jalur Pegunungan atas (1.525-3.400 mdpl) Rimba campur 1.560 13 1.525 14 1.560 15 Pinus 1.560 16 1.725 17 1.725 18 Hutan alam 2.525 19 20 21 D A C B

Gambar 1 Desain Metode Kombinasi.

Pembuatan herbarium dilakukan untuk menunjang kegiatan identifikasi spesies tumbuhan. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium adalah sebagai berikut:

a. Mengambil contoh herbarium, yaitu ranting lengkap dengan daun, serta bunga dan buah jika ada.

b. Memotong bahan herbarium dengan panjang sekitar 40 cm.

c. Semprot bahan herbarium dengan alkohol 70% sebelum dimasukkan kedalam kertas koran kemudian dilengkapi dengan kertas label gantung berukuran 3cmx5cm yang memuat keterangan: nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan, dan nama kolektor.

d. Herbarium disusun dalam sasak dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 70oC selama 5 hari.

e. Herbarium yang sudah kering lengkap dengan keterangan-keterangan yang diperlukan diidentifikasi nama ilmiahnya. Identifikasi dilakukan oleh pihak yang memiliki keahlian dalam mengidentifikasi spesies tumbuhan.

4.3.2.5 Identifikasi kegunaan spesies tumbuhan

Identifikasi kegunaan spesies tumbuhan dilakukan dengan mengacu pada literatur terutama Heyne (1987), PROSEA, dan Zuhud et al. (2003), serta literatur lain yang terkait. Hasil identifikasi antara lain nama ilmiah, habitus, kegunaan dan bagian yang digunakan.

4.3.3 Analisis Data

4.3.3.1 Indeks Nilai Penting

Data hasil analisis vegetasi di Hutan Lindung RPH Guci-KPH Pekalongan Barat kemudian diolah untuk mendapatkan hasil sesuai dengan parameter vegetasi yaitu kerapatan, frekuensi, dominansi, dan Indeks Nilai Penting (INP). Parameter vegetasi tersebut dihitung dengan rumus (Soerianegara & Indrawan 1998):

a. Kerapatan suatu spesies (K)

b. Kerapatan relatif suatu spesies (KR)

c. Frekuensi suatu spesies (F)

∑ ∑

d. Frekuensi relatif suatu spesies (FR)

e. Dominansi suatu spesies (D) (untuk tiang dan pohon)

f. Dominansi relatif suatu spesies (DR)

g. Indeks Nilai Penting (INP) Untuk tingkat tiang dan pohon INP = KR + FR + DR

Untuk semai, pancang, tumbuhan bawah, liana, dan epifit: INP = KR + FR

4.3.3.2 Indeks keanekaragaman spesies (H’)

Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan menggunakan Shannon-Wiener Index (Magurran 1988):

H’ = ∑ ; dimana Pi = Keterangan :

H’ = Indeks Keanekaragaman Spesies ni= INP spesies

S = jumlah spesies N = INP seluruh spesies

Menurut Fachrul (2007) besarnya Indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon-Wienner Nilai H’ > 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman tinggi, nilai

H’ 1≤H’≤3 menunjukkan keanekaragaman sedang, dan nilai H’<1 menunjukkan

4.3.3.3 Indeks kekayaan spesies (Dmg)

Indeks kekayaan spesies merupakan nilai yang menunjukkan keanekaragaman suatu ekosistem (Magurran 1988):

DMg= Keterangan :

DMg= Indeks Kekayaan Spesies S = jumlah spesies yang ditemukan N = jumlah seluruh individu

Indeks kekayaan Margalef (DMg) adalah indeks yang menunjukan kekayaan spesies suatu komunitas, dimana besarnya nilai (DMg) dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu pada areal tersebut. Besarnya nilai (DMg) < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis rendah, nilai (DMg) 3,5-5,0 menunjukkan kekayaan jenis sedang, dan apabila nilai (DMg) > 5,0 maka kekayaan jenisnya tergolong tinggi.

4.3.3.4Indeks kemerataan (E)

Indeks kemerataan suatu spesies/evenness (E), dapat diperoleh menggunakan rumus di bawah ini (Magurran 1988):

E = Keterangan:

E =Indeks Kemerataan

H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener S = jumlah spesies

Menurut Magurran (1988) nilai E atau indeks kemerataan berkisar antara 0-1,0. Apabila E ≥ 1,0, maka indeks kemerataannya tinggi.

4.3.3.5 Persen habitus

Persen habitus diperoleh melalui perhitungan persentase habitus dari semua spesies yang ditemukan dalam kegiatan analisis vegetasi maupun dari spesies pada tiap-tiap kelompok kegunaan. Persen habitus menunjukkan tingkat dominasi suatu spesies habitus berdasarkan jumlah spesies yang termasuk di dalamnya, baik secara keseluruhan dari seluruh jumlah spesies yang ditemukan

maupun jumlah spesies dalam suatu kelompok kegunaan. Perhitungan persen habitus adalah sebagai berikut (Atok 2009):

4.3.3.6 Persentase potensi tumbuhan obat

Persentase potensi tumbuhan berguna dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi dan identifikasi spesies dan kegunaan tumbuhan di kawasan Hutan Lindung RPH Guci-KPH Pekalongan Barat. Berikut perhitungan persentase potensi tumbuhan obat (Atok 2009).

4.3.3.7 Persentase bagian yang digunakan

Perhitungan persentase bagian yang digunakan menunjukkan tingkat kegunaan suatu bagian. Bagian tumbuhan yang digunakan antara lain daun, akar, buah, bunga, umbi, batang, bunga, kulit kayu, dan rimpang. Perhitungannya menggunakan rumus sebagai berikut (Atok 2009):

4.3.3.8 Pengelompokkan penyakit

Pengklasifikasian jenis penyakit dari jenis tumbuhan obat yang ditemukan, disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Klasifikasi kelompok penyakit/penggunaan dan macam penyakit/penggunaan

No Kelompok penyakit/penggunaan Macam penyakit/penggunaannya

1 Gangguan peredaran darah Darah kotor, kanker darah, kurang darah, pembersih darah

2 Keluarga Berencana (KB) KB, membatasi kelahiran, menjarangi kehamilan, pencegah kehamilan

3 Penawar racun Digigit lipan, digigit serangga, keracunan jengkol, keracunan makanan, penawar racun

4 Pengobatan luka Luka, luka bakar, luka memar, luka bernanah, infeksi 5 Penyakit diabetes Diabetes, menurunkan kadar gula darah, sakit gula 6 Penyakit gangguan urat syaraf Lemah urat syaraf, susah tidur

7 Penyakit gigi Gigi rusak, penguat gigi, sakit gigi

8 Penyakit ginjal Ginjal, sakit ginjal, gagal ginjal, batu ginjal, kencing batu

Tabel 4 Klasifikasi kelompok penyakit/penggunaan dan macam penyakit/penggunaan (Lanjutan)

No Kelompok penyakit/ penggunaan Macam penyakit/ penggunaannya

9 Penyakit jantung Sakit jantung, shoke, jantung berdebar-debar, tekanan darah tinggi (hipertensi)

10 Penyakit kanker/tumor Kanker rahim, kanker payudara, tumor rahim, tumor payudara

11 Penyakit kuning Liver, sakit kuning, hepatitis, penyakit hati, hati bengkak

12 Penyakit khusus wanita Keputihan, terlambat haid, haid terlalu banyak, tidak datang haid

13 Penyakit kulit Koreng, bisul, panu, kadas, kurap, eksim, cacar, campak, borok, gatal, bengkak, luka bernanah, kudis, kutu air

14 Perawatan organ tubuh wanita Kegemukan, perawatan organ kewanitaan, pelangsing

15 Penyakit malaria Malaria, demam malaria

16 Penyakit kelamin Beser mani (spermatorea), gatal disekitar alat kelamin, impoten, infeksi kelamin, kencing nanah, lemah syahwat,

17 Penyakit mata Radang mata, sakit mata, trakoma, rabun senja 18 Penyakit mulut Gusi bengkak, gusi berdarah, mulut bau dan

mengelupas, sariawan

19 Penyakit otot dan persendian Asam urat, bengkak kelenjar, kejang perut, kejang-kejang, keseleo, nyeri otot, rematik, sakit otot, sakit persendian, sakit pinggang, terkilir

20 Penyakit tulang Patah tulang, sakit tulang

21 Penyakit telinga Congek, radang anak telinga, radang telinga, radang telinga tengah, sakit telinga, telinga berair

22 Tonikum Obat kuat, tonikum, penambah nafsu makan,

meningkatkan enzim pencernaan, astringen/ pengelat 23 Penyakit saluran pembuangan Ambien, gangguan prostat, kencing darah, peluruh

kencing/ keringat, sakit saluran kemih, sembelit, susah kencing, wasir

24 Penyakit saluran pencernaan Maag, kembung, masuk angin, sakit perut, cacingan, murus, peluruh kentut, karminatif, muntah, diare, disentri, sakit usus, kolera, muntaber, bengkak lendir, usus buntu

25 Penyakit saluran pernafasan/ THT

Asma, batuk, pilek, sesak nafas, sakit tenggorokan, TBC, TBC paru

26 Perawatan kehamilan dan persalinan

Keguguran, perawatan sebelum/ sesudah melahirkan/ persalinan, penyubur kandungan, susu bengkak, ASI 27 Perawatan rambut, muka, kulit Penyubur rambut, penghalus kulit, menghilangkan

ketombe, perawatan muka

28 Lain-lain Limpa bengkak, beri-beri, sakit kuku, sakit sabun, obat tidur, obat gosok, penenang dan penggunaan lain yang tidak tercantum di atas.

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

KPH Pekalongan Barat dibentuk berdasarkan surat keputusan Direksi BPU Perhutani Jakarta tanggal 1 Februari 1969 Nomor: 0112/BPU/Perhutani/1984. KPH Pekalongan Barat membagi wilayah hutannya berdasarkan fungsi lindung, produksi dan penggunaan lain.

Secara administrasi kehutanan Bagian Hutan (BH) Bumi Jawa termasuk wilayah Kesatuan Pengusahaan Hutan (KPH) Pekalongan Barat, memiliki luas 13.527,90 ha, terbagi dalam dua Bagian Kesatuan Pengusahaan Hutan (BKPH) yaitu : (1) BKPH Bumi Jawa, meliputi: resort polisi hutan (RPH) Batumirah, RPH Kalibakung, RPH Dukuh Tengah, dan RPH Guci; dan (2) BKPH Moga, meliputi: RPH Tlagasari, RPH Moga, RPH Karangsari, dan RPH Diwung. Hutan lindung RPH Guci memiliki luas kawasan sebesar 2.279,60 ha.

4.2 Topografi dan Kelerengan

Sebagian besar topografi berupa bukit dan Gunung yang terbelah oleh alur-alur sungai dari mata air puncak Gunung Slamet, sehingga membentuk lipatan-lipatan permukaan tanah berupa lembah, jurang dan Igir. Umumnya arah lereng ke barat laut ke bagian selatan banyak dijumpai puncak Gunung dan bukit sehingga relatif topografi lebih berat. Kelerengan berkisar antara 30-80% dengan ketinggian tempat 1.100 m – 3.400 m di atas permukaan laut.

4.3 Jenis Tanah dan Geologi

Jenis tanah yang dominan di Bagian Hutan (BH) Bumijawa, RPH Guci adalah latosol cokelat. Dari aspek geologi sebagian besar kawasan hutan berupa