• Tidak ada hasil yang ditemukan

1    BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan fenomena sosial dan ekonomi yang kompleks serta terdapat di berbagai masyarakat, baik yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maupun non-Islam. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi terwujud sebagai hasil interaksi ketidakberdayaan antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia, terutama aspek sosial dan aspek ekonomi maupun aspek perilaku.1 Kemiskinan adalah cross sectors problems, cross areas, dan cross generations, sehingga untuk menanganinya dibutuhkan pendekatan yang terpadu, komprehensif, dan berkelanjutan.

Tipologi kemiskinan juga dicirikan oleh berbagai dimensi, baik dimensi sosial maupun ekonomi sehingga pola kemiskinan juga berbeda-beda. Menurut Max-Neef2 terdapat enam macam kemiskinan dan membentuk suatu pola kemiskinan tertentu, yaitu (1) kemiskinan subsistensi;

penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal. (2) kemiskinan perlindungan; lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, dan polusi), kondisi kerja buruk, dan tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah (3) kemiskinan pemahaman; kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan, (4) kemiskinan partisipasi; tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas, (5) kemiskinan identitas; terbatasnya pembauran antar kelompok

      

1M.Hamdar Arraiyyah, Meneropong Fenomena Kemiskinan Telaah Perspektif Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 1-2

2Max-Neef, Manfred A, Human Scale Development, Conception, Aplication and Further Reflection (NewYork: Zed Books, 1992), hlm. 11.

 

2   

sosial, terfragmentasi; dan (6) kemiskinan kebebasan; stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.

Khusus Indonesia, secara umum, angka kemiskinan sejak 1970–

2014 berfluktuasi dan cenderung terus menurun. Penurunan tersebut tidak lepas dari upaya keras pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan melalui berbagai program pro-rakyat. Kendati belum bisa dikatakan maksimal, akan tetapi tren penurunan menunjukan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan pemerintah telah memberikan efek positif bagi peningkatan kemampuan masyarakat.3

Pemerintah telah melaksanakan penanggulangan kemiskinan melalui berbagai program pemberdayaan, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, serta melaksanakan percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam upaya mencapai masyarakat Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Namun keseluruhan upaya tersebut belum maksimal jika tanpa dukungan dari para pemangku kepentingan lainnya.

Penanggulangan kemiskinan yang komprehensif memerlukan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha (sektor swata), dan masyarakat merupakan pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab yang sama terhadap penanggulangan kemiskinan.

Pemberdayaan dalam wacana pembangunan biasanya selalu dikaitkan dengan konsep keberdayaan, partisipasi, perilaku, dan keadilan sosial.

Menurut Novida kemiskinan disebabkan oleh faktor internal, eksternal, nilai budaya yang kurang mendukung, dan kurangnya akses terhadap pemanfaatan pembangunan. Kurangnya akses terhadap pembangunan berhubungan dengan modal dasar yang dimiliki masyarakat seperti rendahnya pendidikan, banyaknya jumlah anggota keluarga yang harus ditanggung, rendahnya kepemilikan asset, serta rendahnya motivasi untuk keluar dari kemiskinan.4

      

3 BPS berbagai Edisi

4Novida. “Analisis Faktor yang mempengaruhi Kemiskinan di Kota Medan: Studi Kasus di Kawasan Kumuh”, Tesis (Medan: Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2006).

 

3   

Menurut Lewis, untuk menanggulangi kemiskinan, perbaikan dan perubahan struktur kemasyarakatan adalah hal mutlak, karena di dalam struktur masyarakat banyak nilai-nilai dan norma yang mengarah pada perilaku dan budaya kemiskinan. Orang miskin memiliki kebiasaan sendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Orang miskin biasanya berperilaku malas, fatalisme, rendah diri, tidak memiliki jiwa kewirausahaan, dan kurang menghormati etos kerja.5

Lantas muncul pertanyaan, perbaikan dan perubahan struktur kemasyarakatan serta kemampuan seperti apa yang perlu mendapat perhatian dan perlu dimiliki oleh penerima pemberdayaan. Huseini menjelaskan bahwa modal manusia yang merupakan refleksi dari pendidikan, pengalaman, intuisi dan keahlian berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi dalam memacu keberdayaan, demikian juga dengan modal fisik, dan modal sosial. Oleh karena itu modal manusia, modal fisik, dan modal sosial harus menjadi perhatian utama dalam pemberdaayaan masyarakat.6

Dasmin Sidu dalam studinya menyimpulkan bahwa modal fisik, modal manusia, dan modal sosial berperan secara signifikan dalam menciptakan keberdayaan. Menurut Dasmin Sidu tingkat keberdayaan masyarakat memiliki korelasi positif dan cukup kuat dengan ketersediaan faktor modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital), modal sosial (social capital), perubahan sikap, dan perubahan perilaku. Perubahan perilaku merupakan upaya singkat untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin.7

      

5Lewis, Oscar, Kisah Lima Keluarga. Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm 57.

6Huseini, M. Mencermati Misteri Globalisasi: Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource-Based (Depok: Fisip Universitas Indonesia. 1999), hlm. 22.

7Ibid.

 

4   

Karena pondasi utama pemberdayaan masyarakat miskin terfokus pada unsur kesetaraan (equality), kerjasama, dan upaya saling berbagi (sharing) dan terkait dengan modal dasar yang dimiliki masyarakat miskin serta sikap dan perilaku mereka, maka upaya pemberdayaan masyarakat dapat pula dilakukan dengan berbasis zakat, dimana Strategi demikian menurut Sri Edi Swasono disebut Strategi Societal Welfare -Pembangunan Ekonomi Rakyat sebagai Strategi-.8 Pendekatan pemberdayaan masyarakat berbasis zakat bertujuan untuk menginternalisasikan tujuan zakat bagi perubahan kesejahteraan masyarakat miskin (duafa). Zakat bukan hanya ibadah maliyah yang hanya karitatif, melainkan juga digunakan untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat duafa sehingga memiliki daya untuk berusaha dan mandiri sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan secara materi maupun immateri.

Konsep zakat sebagai sumber pemberdayaan masyarakat dan keberdayaan atau kemandirian juga sejalan dengan teori pembangunan berbasis partisipasi masyarakat karena zakat diatur untuk membangun keadilan sosial-ekonomi dan pembagian yang adil atas kekayaan dalam masyarakat.9 Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa memberikan perhatian penuh pada pemberdayaan masyarakat miskin berbasis zakat tersebut.

Dompet Dhuafa Republika adalah lembaga nirlaba milik masyarakat Indonesia yang berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF.

Konseptual pemberdayaan masyarakat berbasis zakat dalam survey awal peneliti terhadap beberapa penerima manfaat zakat menunjukkan bahwa masih banyak sikap masyarakat penerima manfaat zakat (mustahiq) -yang notabenenya adalah masyarakat miskin- -yang enggan untuk segera keluar dari kemiskinan, sikap lebih banyak meluangkan waktunya untuk       

8Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi dan Pemikiran Ekonomi Strategi-Strategi Pembangunan (Jakarta: Fakulats Ekonomi UI, 2010), h l m. 9.

9Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi dan Pemikiran Ekonomi Strategi-Strategi Pembangunan (Jakarta: Fakulats Ekonomi UI, 2010), hlm. 11.

 

5   

kegiatan-kegiatan tidak produktif seperti ngrumpi, menonton TV, kuli kasar paruh waktu, masih banyak pandangan yang menyatakan kondisi terjadi sekarang ini harus diterima sebagai takdir, atau alasan lingkungan alam yang tidak mendukung sehingga terjadi kemiskinan, atau pemerintah yang bertanggung jawab atas terjadinya kemiskinan ini.

Sebagai alat ilahi, zakat seharusnya dapat mengurangi kemiskinan mustahiq secara efektif dan bila digunakan sebagai dana investasi bukan dana konsumsi, dana zakat seharusnya mempunyai manfaat yang lebih besar dan lebih baik lagi bagi mustahiq. Kenyataannya mustahiq tetap miskin, bahkan setelah menerima pemberdayaan lembaga zakat, padahal dalam sejarah mulia dari umat Islam, dana zakat telah mampu menumbangkan kemiskinan dari masyarakat.

Jadi, pertanyaan penelitiannya adalah: (1). Mengapa zakat tidak menghilangkan kemiskinan mustahiq. (2). Bagaimana pengaruh modal dasar mustahiq dan pemberdayaan atas mustahiq terhadap sikap mustahiq untuk keluar dari kemiskinan. (3). Bagaimana pengaruh modal dasar mustahiq dan pemberdayaan atas mustahiq serta sikap mustahiq untuk keluar dari kemiskinan terhadap keberdayaan mustahiq. (4). Determinan apa saja yang mempengaruhi tingkat keberdayaan mustahiq.

Yogyakarta di pilih sebagai tempat penelitian karena masyarakat Yogyakarta rasional10 juga plural.11 Masyarakat Yogyakarta berpendidikan12 dan berbudaya13 serta toleran baik dalam relasi intra maupun inter-religi.14       

10Jaya, Pajar Hatma Indra, “Dinamika Pola Pikir Orang Jawa Di Tengah Arus Modernisasi”, Humaniora, Vol 24, No 2, 2012, hlm. 133-140

11Tasdyanto, “Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota Di Yogyakarta”, Jurnal Ekosains, Vol 2, No 3, 2010, hlm. 45-54.

12Putro, Zaenal A E, 2010, “Ketahanan Toleransi Orang Jawa : Studi tentang Yogyakarta Kontemporer”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol 5, No 2, 2010, hlm. 67-75.

13Ibid.

14Widya, Diatyka, 2010, “Tradisi, Ekonomi-Politik dan Toleransi Yogyakarta”, Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol 15, No 2, 2010, hlm. 37-60.

 

6   

Sementara itu Dompet Dhuafa dipilih sebagai obyek penelitian karena di Dompet Dhuafa ada devisi Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa (MM-DD) sebuah devisi nirlaba yang berdiri pada tahun 2000 yang mempunyai kegiatan inti pemberdayaan dan pendampingan masyarakat melalui pengembangan usaha mikro dan kecil secara individu maupun berkelompok.

Dokumen terkait