• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penelitian mengenai perilaku kesehatan dari Susenas yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik dengan Departemen Kesehatan RI tahun 2001 menunjukkan di antara penduduk yang mengeluh sakit 56,3% mencari pengobatan sendiri. Dari yang mengobati sendiri didapatkan 84,2% menggunakan obat modern, 28,7% menggunakan obat tradisional dan 8,5% menggunakan cara lainnya (Anonim, 2001a). Data di atas menunjukkan bahwa persentase penderita yang melakukan pengobatan sendiri atau swamedikasi relatif tinggi.

Tindakan swamedikasi (self medication) mempunyai kecenderungan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Swamedikasi berarti penggunaan obat–obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif mereka sendiri (Anonim, 1999). Beberapa faktor dapat dikatakan berperan dalam peningkatan tersebut, yaitu: pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan yang mampu dikenali sendiri, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat–obat yang dapat dibeli secara bebas tanpa resep dokter atau OTR/Obat Tanpa Resep (OTC/Over The Counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan atau gejala yang muncul, serta diterimanya pengobatan tradisional sebagai bagian dari sistem kesehatan (WHO, 1998).

Suatu penelitian oleh Consumers Healthcare Products Association di Amerika Serikat menunjukkan populasi wanita dewasa lebih banyak daripada pria dalam melakukan pengobatan sendiri dan presentase tersebut semakin bertambah pada wanita dengan semakin bertambahnya usia. Sebanyak 66,6% wanita saling memberikan motivasi diantara mereka untuk memahami persoalan kesehatan dan masalah pengobatannya, sedangkan pada kelompok pria hal tersebut ditemukan hanya sebesar 58%. Sebanyak 82% wanita dan 71% pria mengakui menggunakan OTR untuk mengobati penyakit ringan yang sering mereka alami (Anonim, 2001b). Penelitian lain yang dilakukan di kota Yogyakarta mengungkapkan bahwa sebanyak 74,5% wanita melakukan swamedikasi dengan menggunakan obat demam bagi anak mereka untuk mengatasi demam pada anak (Rinukti dan Widayati, 2005). Dari penelitian yang telah dilakukan terlihat wanita lebih sering melakukan swamedikasi baik untuk dirinya sendiri maupun bagi anggota keluarganya dibandingkan dengan pria, oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan subyek ibu-ibu. Selain itu ibu mempunyai peran penting dalam tindakan swamedikasi untuk keluarganya.

Swamedikasi dipengaruhi beberapa faktor, antara lain motivasi, pengetahuan tentang obat dan penyakit yang diderita, kepercayaan terhadap khasiat obat yang digunakan, keadaan demografi, status sosial-pendapatan, tingkat pendidikan, adanya pengaruh dari orang lain (teman, saudara, dan tenaga kesehatan), serta tersedianya informasi yang berguna bagi konsumen (Covington,2000). Selain dipengaruhi sikap, perilaku seseorang dapat berubah dengan adanya pengetahuan atau tambahan informasi yang diperolehnya (Sarwono, 1997).

Obat–obat yang dapat digunakan dalam swamedikasi adalah OTR. Obat tanpa resep adalah jenis obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter dan digunakan untuk mencegah maupun mengobati jenis penyakit yang pola pengobatannya dapat ditetapkan sendiri dan telah ditegaskan aman dan manjur bila digunakan mengikuti petunjuk penggunaan serta peringatan yang tertera dalam label (Tjay dan Rahardja, 2002), dan produk vitamin termasuk salah satu jenis OTR, walaupun dalam perkembangannya Badan POM mulai memasukkan produk vitamin ke dalam jenisfood supplementdan bukan golongan obat bebas.

Penelitian di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa 60% wanita dan 46% pria menggunakan suplemen makanan, dan masing–masing sebanyak 30% dan 23% menyatakan menggunakannya sebagai salah satu metode pengobatan bagi penyakit ringan yang biasa dialami (Pal, 2002).

Laporan Fredonia Group mengungkapkan bahwa permintaan pasar Amerika Serikat tahun 2005 untuk suplemen makanan mencapai US $ 2545 juta. Untuk tahun 2010 diperkirakan permintaan pasar global untuk suplemen makanan meningkat sampai US $ 15,5 milyar, dengan permintaan pasar untuk produk vitamin diperkirakan mencapai US $ 4,2 milyar. Sedangkan permintaan pasar di Cina untuk produk vitamin pada tahun 2005 sebesar US $ 3,33 milyar, dan diperkirakan pada tahun 2015 meningkat sampai US $ 5,2 milyar (Douaud, 2006).

Di Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan oleh Badan POM tahun 2002 menunjukkan hasil dari pasca audit sebanyak 11257 iklan, diperoleh hasil sebanyak 50% adalah iklan suplemen makanan dan 25% iklan obat.

Seiring dengan gencarnya iklan suplemen makanan dan obat, baik di media cetak maupun elektronik, konsumsi masyarakat terhadap produk-produk tersebut cenderung meningkat berkaitan dengan gaya hidup, pola konsumsi, peningkatan derajat kesehatan, dan pencegahan penyakit.

Produk vitamin banyak dikonsumsi oleh masyarakat dengan berbagai maksud dan tujuan, diantaranya untuk menjaga kondisi tubuh agar tubuh tetap sehat dan untuk mengurangi kelelahan (Le Fever Kee and Hayes, 1997). Berkaitan dengan kepentingan perlu tidaknya mengkonsumsi produk vitamin untuk meningkatkan energi, memperpanjang umur dan memberikan perlindungan terhadap penyakit masih menjadi perdebatan dokter dan ahli gizi. Di satu pihak para dokter dan ahli gizi menyatakan bahwa makanan sehari-hari yang bervariasi akan memberikan semua jenis dan jumlah vitamin yang dibutuhkan, di pihak lain masyarakat sangat yakin bahwa vitamin akan menolong mereka hidup lebih sehat (Hutapea, 1993).

Jenis produk vitamin yang beredar saat ini jumlahnya sangat banyak, menurut data dari Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia tahun 2006 sudah beredar sekitar 467 macam produk vitamin. Dengan begitu banyaknya produk vitamin, mengakibatkan berbagai macam pola perilaku penggunaan produk vitamin. Apalagi produk-produk tersebut banyak digunakan dalam tindakan swamedikasi, sesuai dengan konsep swamedikasi bahwa tindakan pengobatan dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa intervensi dan pengawasan dari tenaga kesehatan dimana diri sendiri menjadi penentu dalam pengambilan keputusan.

Hasil penelitian tentang swamedikasi pada vaginitis di Kota Yogyakarta tahun 2006 (Widayati, 2006) menunjukkan bahwa terdapat 71% ketidaksesuaian dalam aspek pengenalan penyakit dan 33% ketidaksesuaian dalam pemilihan obatnya. Dari penelitian ini terlihat bahwa di masyarakat masih terdapat ketidaksesuaian dalam perilaku swamedikasi, karena itu peneliti tertarik untuk meneliti perilaku swamedikasi dengan obyek lain yaitu penggunaan produk vitamin.

Pada penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pola perilaku swamedikasi yang berkaitan dengan penggunaan produk vitamin serta mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan dengan pola perilaku swamedikasi dalam menggunakan produk vitamin khususnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penelitian payung yang berjudul “Pengembangan Model Edukasi untuk Peningkatan Kerasionalan Perilaku Swamedikasi Masyarakat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta". Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kemitraan antara Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan LitBangKes Departemen Kesehatan RI Jakarta.

1. Permasalahan

a. Seperti apa karakteristik ibu-ibu pelaku swamedikasi yang menggunakan produk vitamin di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

b. Seperti apa pola perilaku ibu-ibu dalam swamedikasi menggunaan produk vitamin di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

c. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu-ibu pelaku swamedikasi dengan pengetahuan, sikap, dan tindakannya dalam menggunakan produk vitamin di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? d. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendapatan ibu-ibu pelaku

swamedikasi dengan pengetahuan, sikap, dan tindakannya dalam menggunakan produk vitamin di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

2.Keaslian penelitian

Penelitian tentang produk vitamin pernah dilakukan oleh Gusmali (2000), yaitu mengenai kajian keamanan beberapa food supplement yang beredar di tiga kota besar berdasarkan informasi dari penandaan dan pengalaman. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan deskriptif, dengan cara melihat penandaan pada etiket, brosur, leflet, adventorial dan informasi pengguna food supplement. Hasil penelitian menunjukkan karakter konsumen suplemen makanan terbanyak perempuan 78,1%, usia 36-55 tahun 43,8%, pekerjaan swasta 39,1%, pendidikan tingkat sarjana 60,9%, pengalaman pemakaian kebanyakan konsumen mengkonsumsi satu produk 71,9%, dengan tujuan untuk menjaga kesehatan/meningkatkan stamina 69,4%, lama pemakaian 1-3 tahun 40,6%, efek samping hanya dialami beberapa orang 10,9%. Berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, dalam rancangan penelitian, metode pengambilan data, subyek penelitian dan produk suplemen makanan.

Penelitian tentang produk vitamin sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Sudiyanto, Sekartini, Sudarsono, Ahyadi, Purba, dan Iskandar (2002), yang mencari

hubungan antara pengetahuan dengan perilaku ibu yang mempunyai anak balita tentang pemberian suplemen multivitamin-mineral di Kelurahan Utan Kayu, Jakarta Timur. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan perilaku ibu yang mempunyai anak balita tentang pemberian suplemen multivitamin-mineral masih kurang dan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan ibu-ibu yang mempunyai balita tersebut. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini yaitu produk vitamin bukan untuk balita saja tetapi produk vitamin untuk balita, anak-anak maupun dewasa, lokasi penelitian, dan subyek penelitian yang digunakan.

Penelitian lain dilakukan oleh Susilowati (2004), tentang hubungan antara motivasi dan pengetahuan dengan tindakan penggunaan produk vitamin pada pengunjung 8 apotek di kota Yogyakarta periode 2003. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi dan tindakan penggunaan produk vitamin dengan tingkat hubungan sedang, serta menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan dengan tindakan penggunaan produk vitamin dengan tingkat hubungan sedang. Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian ini mencari hubungan antara tingkat sosial pendapatan dengan perilaku swamedikasi dalam menggunakan produk vitamin. Aspek sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan sedangkan aspek perilaku meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan. Perbedaan yang lain tentang subyek penelitian bukan pengunjung apotek tetapi ibu-ibu di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. Manfaat Penelitian a.Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang kesehatan mengenai perilaku swamedikasi dalam menggunakan produk vitamin.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini merupakan penelitian awal (baseline survey) dari rangkaian penelitian yang dirancang untuk pengembangan modul edukasi tentang swamedikasi dalam menggunakan produk vitamin. Sehingga penelitian ini dijadikan dasar dalam mendesain modul edukasi yang sesuai bagi masyarakat untuk meningkatan perilaku swamedikasi dalam menggunakan produk vitamin.

Modul edukasi yang nantinya menjadi produk akhir, diharapkan dapat digunakan sebagai panduan bagi masyarakat untuk melakukan swamedikasi secara tepat dan benar.

B. Tujuan Penelitian

Dokumen terkait