• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan reformasi yang menurunkan Pemerintah Orde Baru pada bulan Mei 1998 telah mendorong timbulnya perubahan aspirasi rakyat untuk menuntut perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Salah satu diantara tuntutan perubahan kepada pemerintah pusat adalah desentralisasi kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menanggapi tuntutan tersebut, Pemerintah I ndonesia melakukan pembaharuan atas komitmen politiknya untuk membentuk pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dengan menyusun dua undang -undang baru, yakni: Undang -Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut berfungsi sebagai dasar hukum untuk mendesentralisasikan kekuatan politik dan ekonomi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Politik desentralisasi ini kemudian dikenal juga dengan istilah Otonomi Daerah dan resmi diterapkan pada tanggal 1 Januari 2001 (Suharyo, 2000).

Kedua undang -undang tersebut ditetapkan sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR No. XV/ MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik I ndonesia. Undang -Undang No. 22 Tahun 1999 memberikan otonomi penuh pada kabupaten/ kota (Daerah Tingkat I I ) dan otonomi parsial pada provinsi (Daerah Tingkat I ). Undang-undang ini juga menetapkan 11 bidang pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten/ kota, yaitu: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan

kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Sementara itu, daerah provinsi mendapat kewenangan untuk melaksanakan pelayanan publik y ang terbatas dan tugas-tugas yang didelegasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 menetapkan sistem p embagian keuangan baru, dimana pemerintah daerah akan mendapat bagian y ang lebih besar dari pemanfaatan sumberdaya alam. Undang -Undang ini juga menyatakan bahwa Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan tanggung jawab atas perencanaan, pengaturan, pembiayaan dan pelayanan kepentingan (jasa) publik berdasarkan prinsip -prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan adanya pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat (Suharyo, 2000).

Undang -Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang -Undang No. 25 Tahun 1999 diharapkan membawa perubahan pada penataan kewenangan, sumberdaya aparatur/ personil, keuangan daerah, manajemen pelayanan publik maupun sistem kelembagaan daerah. Dalam hal penataan kelembagaan daerah, adanya Undang -Undang tersebut telah memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyusun dan menata kelembagaannya sesuai dengan karakteristik dan keanekaragaman budayanya.

Selain perubahan struktur kelembagaan, kebijakan otonomi daerah juga memberikan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan kata lain bahwa, konsekuensi atas penyerahan kewenangan dari pusat kepada daerah akan diikuti dengan penyerahan kewenangan pembiayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah (desentralisasi fiskal). Menurut I sdijoso

bagi daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan (baru) sebagai tuntutan pembiayaan rutin dan pembangunan. Sedangkan dari sisi pengeluaran, desentralisasi fiskal merupakan kewenangan daerah dalam menentukan alokasi dan prioritas penggunaan dana bantuan pembangunan dari pusat.

Perubahan -perubahan yang terjadi atas sistem pemerintahan daerah (kelembagaan maupun pengelolaan keuangan daerah) akibat penerapan kedua Undang -Undang tersebut akan mempengaruhi kegiatan perekonomian daerah. baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu visi otonomi daerah di I ndonesia adalah untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah dan memberikan peluang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untu k mengembangkan kebijakan regional dan lokal sehingga pendayagunaan potensi ekonomi di masing -masing daerah dapat dioptimalkan (Rasyid, 2001). Oleh sebab itu, hasil akhir yang sangat diharapkan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terjadinya pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan kegiatan perekonomian daerah. Penerapan kebijakan desentralisasi yang tepat dapat mendorong dan mempercepat pembangunan daerah melalui penciptaan dukungan yang lebih besar pada kegiatan perdagangan dan investasi (I sdijoso et al., 2001). Menurut Mahi (2000), dengan adanya otonomi daerah, terjadi perubahan mendasar dalam pembangunan daerah di I ndonesia. I mplikasi yang paling penting dari kebijakan otonomi daerah adalah terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan antar daer ah.

Salah satu kabupaten di I ndonesia yang menerima otonomi penuh semenjak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah pada tahun 2001 adalah kabupaten Pasuruan. Kabupaten ini merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur y ang jika dilihat dari letak geografisnya, wilayah Kabupaten Pasuruan terletak

pada jalur segitiga Surabaya-Malang-Bali yang sangat strategis sebagai wilayah pengembangan investasi Provinsi Jawa Timur untuk menopang pertumbuhan ekonomi regional (Dinas I nformasi & Komunikasi, 2002). Dari hasil studi KPPOD (Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah), daya tarik investasi kabupaten Pasuruan menurut persepsi pengusaha menduduki peringkat ke-60 dari 134 sampel kabupaten/ kota di I ndonesia. Jika dilihat dari potensi ekonominya maka Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu dari 10 kabupaten/ kota yang memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tertinggi di Jawa Timur (BPS, 2001a).

Pada permulaan pelaksanaan dan penerapan undang-undang otonomi daerah, kinerja perekonomian daerah Kabupaten Pasuruan mengalami perkembangan yang relatif baik dimana laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2001 adalah sebesar 3.74 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang mencapai 3.59 persen. Bahkan pada t ahun 2001 tersebut laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Pasuruan melebihi laju pertumbuhan PDB Nasional yang hanya 3.44 persen maupun PDRB Jawa Timur (3.34 persen), sedangkan pendapatan per kapita yang dicapai pada tahun 200 1 adalah sebesar Rp 2 908 903.26 juta.

Struktur ekonomi Kabupaten Pasuruan selama tahun 2000-2003 didukung oleh tiga sektor utama yaitu sektor industri pengolahan, pertanian dan perdagangan (Tabel 1). Pada tahun 2003, sektor industri pengolahan memegang porsi terbesar sebagai penyumbang PDRB kabupaten Pasuruan dengan pangsa sebesar 33.85 persen, sektor pertanian menduduki peringkat kedua dengan pangsa sebesar 2 9.98 persen dan pangsa sektor perdagangan adalah sebesar 15.71 persen.

Tabel 1. PDRB Kabupaten Pasuruan Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2000-2003

(Juta Rp)

Sekt or 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3

Pertanian 1 105 211.03 1 248 213.67 1 399 243.99 1 498 602.94

Pertambangan dan Penggalian 756.39 887.48 1 145.88 1 131.89

I ndustri Pengolahan 1 172 346.94 1 351 165.84 1 527 053.34 1 691 820.17

Listrik, Gas dan Air Minum 65 176.95 91 381.37 126 600.82 147 878.22

Bangunan 29 586.75 36 051.45 44 080.11 51 838.39

Perdagangan, Hotel dan Restoran 528 819.04 621 054.07 710 342.50 785 416.58

Angkutan dan Komunikasi 105 424.83 128 247.31 156 236.94 171 134.90

Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 112 602.49 128 870.35 147 970.95 164 113.71

Jasa-Jasa 339 687.12 403 359.06 449 420.60 486 499.17

PDRB 3 4 5 9 6 1 1 .5 5 4 009 230.60 4 562 095.13 4 998 435.97 Sumber: BAPPEDA dan BPS, 2004

Laju pertumbuhan sektoral pada tahun 2003 menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 2.26 persen dan relatif menurun jika dibandingkan laju pertumbuhan pada tahun 2002 yang mencapai 2.4 5 persen. Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada tahun tersebut adalah sektor bangunan sebesar 8.83 persen. Sementara untuk sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan mengalami peningkatan laju pertumbuhan bila dibandingkan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan industri pengolahan meningkat dari 3.46 persen pada tahun 2002 menjadi 4.78 persen pada tahun 2003 sedangkan sektor perdagangan mengalami pening katan laju pertumbuhan dari 5.10 persen menjadi 5.16 persen (BAPPEDA dan BPS, 2004).

PDRB Kabupaten Pasuruan dari sektor pertanian lebih banyak dipengaruhi o leh kinerja sub sektor tanaman pangan karena sub sektor ini memberikan kontribusi terbesar diantara sub sekto r-sub sektor lain (lebih dari 20 persen) kemudian diikuti oleh sub sektor peternakan dan perikanan (Tabel 2). Pangsa sub sektor per kebunan berada pada kisaran 1.38 -1.45 persen setingkat lebih tinggi bila dibandingkan dengan sub sektor kehutanan yang memiliki pangsa

kurang dari 0.15 persen. Walaupun pangsanya relatif kecil namun potensi sub sektor perkebunan dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah relatif besar, hal ini dapat dilihat dari perkembangan laju pertumbuhannya (Tabel 3). Laju pertumbuhan sub sektor perkebunan menunjukkan arah yang cenderung makin baik setelah pada tahun 1998 dan 1999 mengalami kontraksi akibat adanya krisis ekonomi maka pada tahun 2000 hingga 2001 mengalami laju pertumbuhan positif dan lebih tinggi diantara keempat sub sektor lain yakni sebesar 6.13 dan 7.55 persen. Pada tahun 2002, sub sektor perkebunan mengalami penurunan laju pertumbuhan namun pada tahun 2003 sub sektor ini kembali mengalami peningkatan laju pertumbuhan dan menduduki posisi tertinggi diantara keempat sub sektor lain.

Tabel 2. Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan , Tahun 1999 -2003

(% )

Sub Sekt or 1 9 9 9 2 0 0 0 200 1 2 0 0 2 200 3

Tanaman Bahan Makanan 22.13 21.86 20.72 20.38 20.06

Tanaman Perkebunan 1.38 1.41 1.47 1.45 1.45

Peternakan 3.79 3.76 3.87 3.88 3.81

Kehutanan 0.14 0.14 0.10 0.10 0.09

Perikanan 1.74 1.74 1.72 1.69 1.62

Pertanian 2 9 .1 8 28.91 2 7 .8 8 27.50 2 7 .0 4

Sumber: BAPPEDA dan BPS beberapa Tahun (Diolah)

Tabel 3. Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan , Tahun 1999 -2003

(% )

Sub Sekt or 199 9 2 0 0 0 200 1 2 0 0 2 200 3

Tanaman Bahan Makanan 2.58 2.40 -1.57 2.19 2.36

Tanaman Perkebunan -2.54 6.13 7.55 2.17 4.05

Peternakan -2.94 2.70 6.45 4.10 2.16

Kehutanan 1.70 1.14 -26.23 1.31 -3.23

Perikanan 1.94 3.55 2.42 2.15 -0.13

Pertanian 1 .5 8 2 .6 9 0 .1 8 2 .4 5 2 .2 6

Dengan laju pertumbuhan yang relatif besar, potensi sub sektor perkebunan di masa yang akan datang dapat diharapkan menjadi sub sektor andalan penggerak perekonomian daerah. Peranan penting sub sektor perkebunan selain sebagai sumber penerimaan daerah yang potensial, sub sektor perkebunan mempunyai interdependensi yang sangat kuat dengan industri pengolahan (agroindustri) karena sebagian besar output sub sektor ini digunakan sebagai bahan baku pada industri pengolahan. I mplikasinya, dinamika pertumbuhan sub sektor perkebunan sangat dipengaruhi oleh dinamika pertumbuhan industri pengolahan. Dengan kata lain industri pengolahan merupakan sektor pendukung sub sektor perkebunan (Saptana dan Sumaryanto, 2002). Semakin baik kinerja sub sektor perkebunan, akan meningkatkan pengembangan sektor pendukung seperti sarana produksi, transportasi, pengolahan dan pemasaran (perdagangan) (Said dan Dewi, 2003).

Kabupaten Pasuruan menghasilkan sembilan jenis tanaman perkebunan y ang dominan diusahakan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 4. Dari total luas areal perkebunan rakyat yang mencapai 31 266.80 ha, 50.3 persennya merupakan areal perkebunan kapuk randu, 16.5 persen merupakan areal tebu, 13 persen merupakan areal perkebunan kopi, 11 persen merupakan areal perkebunan kelapa sedangkan tanaman perkebunan yang lain memiliki luas areal kurang dari 1000 ha. Jika dilihat dari produksi yang dihasilkan, tebu merupakan komoditi yang menghasilkan produksi tertinggi dengan total produksi sebesar 21 184.76 ton jauh melampaui produksi kopi yang hanya mencapai 909 ton atau kapuk randu yang memiliki areal terluas hanya mampu berproduksi sebesar 4 242 ton. Sementara itu, jika dilihat dari jumlah petani yang mengusahakan, tanaman tebu juga merupakan tanaman yang dalam pengusahaannya paling

banyak melibatkan petani dengan total petani sebanyak 24 657 kepala keluarga sedang tanaman kapuk randu han ya diusahakan oleh 20 393 kepala keluarga. Tanaman perkebunan lain yang melibatkan petani yang relatif besar lainnya adalah tanaman kelapa dan kopi dengan jumlah petani masing -masing 18 349 dan 9 601 kepala keluarga.

Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Jumlah Petani Tanaman Perkebunan Kabupaten Pasuruan, Tahun 2003

Komodit i Luas Areal ( Ha) Produksi ( Ton) Bent uk Produksi Jumlah Petani ( KK)

Kelapa 3 539 2 400 Setara kopra 18 349

Kopi 4 184 909 Biji ose 9 601

Cengkeh 915 238 Biji kering 1 223

Kapuk Randu 15 702 4 242 Serat bersih 20 393

Jambu Mete 874 247 Biji mentor 4 024

Kenanga 302 534 Bunga segar 468

Tebu 5 169.3 21 184.76 Kristal gula 24 657

Kapas 8.5 1 610 Serat berbiji 127

Kunyit 223 1 173 Rimpang basah 853

Jahe 246 1 435 Rimpang basah 900

Temulawak 64 392 Rimpang basah 321

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pasuruan dalam BPS, 2004 Produksi perkebunan tebu yang relatif besar di Kabupaten Pasuruan menempatkan kabupaten ini sebagai salah satu sentra produksi gula di Jawa Timur. Perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan telah didukung oleh adanya industri pengolahan tebu yaitu pabrik gula (PG) Kedawung yang merupakan bagian dari PT Perkebunan Nusantara XI . PG Kedawung m emiliki kapasitas giling sebesar 2 203 ton/ hari. Pada tahun giling 2001, PG Kedawung mengolah 320 849.30 ton tebu dengan produksi hablurnya sebesar 19 975.20 ton (4.35 ton/ ha) (P3GI , 2002).

Produksi tanaman tebu yang relatif lebih besar dibanding tanaman perkebunan lain serta adanya industri pengolahan tebu menunjukkan bahwa perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan cukup potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sub sektor yang menyokong perekonomian daerah, apalagi

dalam kegiatan usahataninya tanaman tebu di Kabupaten ini melibatkan petani dalam jumlah yang relatif banyak. Peranan penting industri gula dalam suatu perekonomian daerah adalah karena industri gula ini merupakan industri yang tergolong dalam klasifikasi padat karya dan menghasilkan nilai tambah yang cukup besar melalui upah, laba dan sewa lahan (Woerjanto, 2000; Sawit, 1998). Selain itu gula sendiri merupakan bahan pangan yang penggunaannya bersifat luas. Hal ini disebabkan karena gula, pada satu sisi merupakan bahan pangan y ang dapat dikonsumsi langsung juga merupakan bahan baku bagi banyak industri (input antara). Oleh karena itu, peningkatan produksi industri gula dapat mendorong peningkatan produksi industri- industri yang menggunakan gula seb agai bahan bakunya (Simatupang et al., 1998).

Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, dimana pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri, menuntut adanya kemandirian daerah dalam merencanakan, membiayai maupun melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi masing-masing. Jika kebijakan otonomi daerah yang mendukung peran serta masyarakat dilaksanakan dengan baik, maka akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah yang pada gilirannya akan mendorong adanya ekspansi dalam perekonomian. Melalui pelaksanaan otonomi daerah, potensi kabupaten Pasuruan dalam menghasilkan produk gula seharusnya dapat dikembangkan menjadi sektor unggulan yang dapat menopang kegiatan perekonomian daerah. Peran pemerintah daerah sebag ai fasilitator dan regulator dalam perekonomian diharapkan mampu meningkatkan kinerja industri gula di kabupaten pasuruan melalui penciptaan iklim yang kondusif.

Kajian atas pelaksanaan otonomi daerah telah banyak dilakukan akan tetapi masih bersifat parsial. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pelaksanaan otonomi daerah serta menganalisis dampak penerapan otonomi daerah tersebut terhadap kinerja industri gula di kabupaten Pasuruan. Kajian ini mempertimbangkan aspek kelembagaan dan aspek ekonomi secara bersamaan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah aspek kelembagaan y ang berkaitan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan apakah penerapan otonomi daerah benar-benar telah menciptakan ekspansi dalam perekonomian melalui perbaikan kinerja sektoral khususnya industri gula.

Dokumen terkait