• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6. Metode Penelitian

1.6.3. Teknik pengumpulan bahan hukum

Adapun metode pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah dengan metode pencatatan artinya bahan hukum yang dikumpulkan diklasifikasi sesuai jenis bahan hukum yang akan digunakan seperti : teori-teori hukum, jurnal hukum dan pandangan-pandangan ahli hukum, demikian juga dengan perundang-undangan yang terkait.

15 1.6.4. Analisis bahan hukum

Setelah bahan hukum yang dibutuhkan terkumpul, maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode pengolahan bahan hukum secara sistematis yaitu argumentasi hukum berdasarkan logika deduktif dan induktif. Penyajiannya dilakukan secara deskriptif analisis yaitu suatu analisis bahan hukum yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis kemudian diuraikan dalam bentuk skripsi.

16 BAB II

PERAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA (YLKI) DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

LIQUEFIED PETROLEUM GAS (LPG)

2.1. Hubungan Hukum Pelaku Usaha dengan Konsumen

Hubungan hukum (rechtbetrekkingen) “adalah hubungan antara dua subyek hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.”9 Hubungan hukum dapat terjadi antara sesama subyek hukum dan antara subyek hukum dengan benda.

Hubungan antara sesama subyek hukum dapat terjadi antara orang, orang dengan badan hukum, dan antara sesama badan hukum. “Hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda berupa hak apa yang dikuasai oleh subyek hukum itu atas benda tersebut, baik benda berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak.”10 “Hubungan hukum memiliki syarat-syarat yaitu adanya dasar hukum dan adanya peristiwa hukum.”11

Menurut Ernest Barker, agar hak-hak konsumen itu sempurna harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan manusia, hak itu diakui oleh masyarakat dan hak itu dinyatakan demikian dan karena itu dilindungi dan dijamin oleh lembaga negara.12

Di Indonesia hak-hak konsumen diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), terutama huruf b yang menyatakan “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

9Soeroso R., 2006, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 269.

10Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta, hal. 254

11R. Soeroso., 2006, Op.cit., hal. 271

12Adrian Sutendi, ,2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 50

17

jaminan yang dijanjikan”, dan huruf c menyatakan bahwa “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. Dengan menggunakan kedua ayat pada Pasal 4 UUPK ini, maka dapat diketahui bahwa konsumen berhak atas segala janji yang dijanjikan oleh pelaku usaha dalam mempromosikan barang dan/atau jasa serta berhak atas segala informasi terkait dengan barang dan/atau jasa. Untuk itu dapat dikatakan bahwa pelaku usaha di sisi lain berkewajiban untuk menepati janji-janji serta memberikan segala informasi terkait barang dan/atau jasa.

Selain pengaturan mengenai hak-hak konsumen, diatur juga mengenai kewajiban dari pelaku usaha pada sebagaimana Pasal 7 huruf b UUPK menyatakan bahwa:

Kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, dimana kewajiban dari pelaku usaha tersebut dapat dilihat juga sebagai hak dari konsumen.

Pelaku usaha dalam memberikan informasi barang atau jasa harus memperhatikan ketentuan dari Pasal 9 dan 10 UUPK bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar. Mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan sebelum konsumen membeli atau mempergunakan barang atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha.

Berkaitan dengan hal tersebut, hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen telah terjadi ketika pelaku usaha memberikan janji-janji serta informasi-informasi terkait barang dan/atau jasa, karena sejak saat itulah timbul

18

hak dan kewajiban para pihak, baik pelaku usaha dan konsumen. Hubungan hukum tersebut didasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), dimana pelaku usaha telah sepakat terhadap apa yang dijanjikan pada saat memberikan janji-janji pada sebuah iklan, ataupun selebaran atau brosur, sehingga janji-janji tersebut akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Peristiwa hukum yang terjadi terhadap pelaku usaha dengan konsumen tersebut adalah perdagangan baik barang ataupun jasa.

2.2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen

Perlunya kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin adanya kepastian hukum.

Sedangkan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara seimbang. Kedudukan konsumen yang lemah tersebut maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dilahirkan sebagai instrumen hukum yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak konsumen. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa: “konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa serta berhak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”.13

Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban Perlindungan hukum terhadap

13Janus Sidabalok, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Paulinus Josua, Medan, hal.1.

19

konsumen adalah sebuah penegakan hukum yang membutuhkan pengaturan berupa ancaman si pelanggar. Hal ini tercermin di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang merupakan suatu perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan pemberian perlindungan kepada konsumen dan menurut Munir Fuadi bahwa:

apabila suatu hukum telah ditegakkan terhadap seseorang, berarti suatu langkah untuk merealisasi kebahagiaan masyarakat luas telah diambil, sekaligus pula terwujudnya suatu langkah kesengsaraan (penggerogotan kebahagiaan) terhadap pihak melanggar ketentuan hukum.14

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang sering terjadi hanya sebatas kesepakatan lisan mengenai harga barang dan atau jasa tanpa diikuti dan ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan umum mengenai bentuk perjanjian tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan (fisik) tertentu. Suatu perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih melibatkan satu orang lain atau lebih. Sedangkan untuk syarat sahnya suatu perjanjian ditegaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata, bahwa perjanjian sah jika :

1. Dibuat berdasarkan kata sepakat dari pihak, tanpa adanya paksaan kekhilafan maupun penipuan;

2. Dibuat oleh mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum;

3. Memiliki objek perjanjian yang jelas; dan 4. Didasarkan pada klausula yang halal.

14Munir Fuadi, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 22.

20

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang dan suatu persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata).

Alasan pokok terjadinya hubungan hukum perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha yaitu kebutuhan akan barang dan atau jasa tertentu.

Pelaksanaannya senantiasa harus menjaga mutu suatu produk agar konsumen dapat menikmati penggunaan, pemanfaatan, dan pemakaian barang dan atau jasa tersebut secara layak. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur hak dan kewajiban pelaku usaha.

Pengertian pelaku usaha tercantum dalam Pasal 1 Nomor 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa :

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik-baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang diberikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Sedangkan dalam penjelasan UUPK yang termasuk pelaku usaha yaitu perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Jadi pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut luas sekali, karena pengertiannya tidak dibatasi hanya pabrikan saja, melainkan juga para distributor (dan jaringannya), serta termasuk para importir

21

Di dalam menjalankan usahanya pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Pengaturan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha dapat bersumber pada peraturan perundangan yang bersifat umum dan juga perjanjian/kontrak yang bersifat khusus.

Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban-kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

22

Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.

Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik, karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha. Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab pelaku usaha.

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi dimana ia berada. “Secara harfiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang, tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.”15 Begitu pula kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Konsumen dapat dibedakan berdasarkan unsur kegunaan yang dikenal konsumen antara dan konsumen akhir. Perbedaan ini tergantung untuk kegunaan apakah suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan itu untuk tujuan memproduksi barang atau jasa untuk di jual kembali (tujuan komersil).

15AZ. Nasution, 2007, Op.cit., hal. 3.

23

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 Nomor 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa batasan konsumen yaitu :

Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Konsumen sebagai peng-Indonesia-an dari istilah asing, Inggris consumer dan Belanda consument, secara harfiah diartikan sebagai orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau penggunaan jasa tertentu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang, ada juga yang mengartikan setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.

Dari pengertian di atas terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum. Pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau tujuan komersial.16

Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa pengertian konsumen adalah konsumen akhir. Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen ialah pembeli, istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli.

“Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Johm F. Kennedy dengan mengatakan Consumers by definition include us all.17

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan juga sejumlah hak dan kewajiban konsumen yang mendapat jaminan

16Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, FH Unlas Press, Banjarmasin, hal. 7

17Mariam Darus Badrulzaman, 1985, Perlindungan Terhadap Konsumen dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar) dalam BPHN Simposium Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Binacipta, Jakarta.

hal. 57

24

dan perlindungan hukum. Sebagai pemakai barang dan atau jasa, konsumen memiliki hak dan kewajiban yang sangat penting untuk dapat bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri ketika hak-haknya dilanggar oleh pelaku usaha. Setiap konsumen tidak hanya mempunyai hak yang bisa dituntut dari pelaku usaha, tetapi juga kewajiban yang harus dipenuhi atas diri pelaku usaha.

Bob Widyahartono menyebutkan bahwa deklarasi hak konsumen yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tanggal 15 Maret 1962, menghasilkan empat hak dasar konsumen yang meliputi hak-hak sebagai berikut:

1. Hak untuk mendapat keamanan (the right to safety);

2. Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed);

3. Hak untuk memilih (the right to choose);

4. Hak untuk didengar (the right to be heard)18

Jika dihubungkan dengan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, distributor maupun retailer mempunyai kedudukan yang sama. Hak dan kewajiban mereka seperti yang tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen. Sedangkan bila dihubungkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, maka distributor maupun trailer tidak termasuk dalam pengertian konsumen, karena tujuan mereka memperoleh barang tidak bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan bermaksud untuk diperdagangkan.

Hak dan kewajiban mereka tidak sama seperti yang tercantum dalam Pasal 4 dan

18Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta Selatan, Visi Media, hal. 24

25

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, kedua Pasal tersebut hanya berlaku bagi konsumen akhir.

Kewajiban-kewajiban konsumen yang diatur dalam Pasal 5 UU PK adalah:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali konsumen tidak memperoleh manfaat yang maksimal, atau bahkan dirugikan dari mengkonsumsi suatu barang/jasa.

Namun setelah diselidiki, kerugian tersebut terjadi karena konsumen tidak mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian yang telah disediakan oleh pelaku usaha.

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa Tak jarang pula konsumen tidak beritikad baik dalam bertransaksi atau mengkonsumsi barang. Hal ini tentu saja akan merugikan khalayak umum, dan secara tidak langsung si konsumen telah merampas hak-hak orang lain.

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Ketentuan ini sudah jelas, ada uang, ada barang.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, patut diartikan sebagai tidak berat sebelah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pada prinsipnya kewajiban tersebut bermaksud agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan atau kepastian hukum baginya. Mengenai hubungan antara pabrikan dengan distributor dan atau trailer terdapat satu Pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur tentang distributor tersebut, yaitu Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 24 ayat (1)

Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila : a) Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan atau jasa tersebut. b) Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan atau jasa yang

26

dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

Ayat (2)

Pelaku usaha sebagaimana pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan atau jasa tersebut”.

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tersebut tidak lain bermaksud agar konsumen tetap terlindungi, sehingga hubungan antara pelaku usahapun patut diatur. Hal tersebut penting artinya bagi konsumen seandainya dirugikan oleh pelaku usaha, karena Pasal ini memberikan kepastian hukum bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban memberikan ganti rugi kepada konsumen dan sebaliknya konsumen akan tetap dapat mengajukan tuntutan kepada pelaku usaha walaupun sesungguhnya yang telah melakukan perubahan pada barang yang diproduksi adalah pelaku usaha lain (misalnya distributor ataupun trailer).

2.3. Peran Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

Dilihat dari sejarahnya, dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang selanjutnya ditulis YLKI tanggal 11 Mei 1973. Secara historis, pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri. Terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. “Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita.”19

19Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Op.cit., hal. 23

27

Sebagai suatu konsep, konsumen telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen. Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen.20

Dengan berdirinya YLKI muncul dari sekelompok kecil anggota masyarakat yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi. Yang semula justru bertujuan mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi yang diberi nama pekan swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan wadah bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Keberadaan YLKI diarahkan pada usaha meningkatkan kepedulian kritis konsumen atas hak dan kewajibannya, dalam upaya melindungi dirinya sendiri, keluarga, serta lingkungannya. “Metode kerja YLKI baru pada penelitian terhadap sejumlah produk barang dan jasa kemudian diperlihatkan hasilnya kepada masyarakat. Gerakan ini belum mempunyai kekuatan lobi untuk memberlakukan atau mencabut suatu peraturan”.21

Tugas YLKI dalam Melindungi Konsumen tercantum dalam pasal 44 angka 3 UUPK Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat adalah:

1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

2. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan.

3. Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.

4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.

5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

20Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2014, Op.cit., hal. 22

21Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, hal. 91

28

Tugas utama dari YLKI yaitu memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan. Pemberian nasihat kepada konsumen ini maksudnya adalah pemberian nasihat dari YLKI kepada konsumen yang memerlukan secara lisan atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. YLKI juga harus membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan. YLKI memberikan bantuan gratis bagi konsumen yang merasa tidak puas atas produk dan layanan yang diperoleh, serta memastikan perlindungan atas hak-hak mereka. Pengaduan dapat disampaikan secara langsung, melalui surat, telepon, faksimili dan e-mail, atau melalui media massa.

Bidang pengaduan YLKI menampung keluhan konsumen yang kecewa terhadap produsen barang atau penyelenggara jasa tertentu. YLKI juga memberikan bantuan untuk membawa perkara terkait ke pengadilan, bila proses mediasi atau rekonsiliasi menemui jalan buntu. Tentang tugas LPKSM dalam membantu memperjuangkan hak konsumen. Ditentukan bahwa LPKSM dapat

melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan atau kelompok.

Selain menerima laporan konsumen melalui bidang pengaduan, YLKI juga menyelenggarakan Bulan Pengaduan Konsumen, sebuah program penanganan

Selain menerima laporan konsumen melalui bidang pengaduan, YLKI juga menyelenggarakan Bulan Pengaduan Konsumen, sebuah program penanganan

Dokumen terkait