• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui peran Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen Liquified Petroleum Gas (LPG)

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bagi konsumen Liquified Petroleum Gas (LPG).

1.4. Kegunaan Penulisan

1.4.1. Kegunaan Secara Teoritis

Peneliti ini secara teoritis diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi yang positif dalam mengembangkan ilmu hukum terutama tentang Peranan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terhadap Perlindungan Konsumen Pengguna Liquefied petroleum Gas (LPG).

1.4.2 Kegunaan Praktis

Secara Praktis, peneliti ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi antara lain bagi pemerintah, akademisi, notaries dan masyarakat umum. Manfaat yang diberikan yaitu terkait dengan Peranan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terhadap Perlindungan Konsumen Pengguna Liquefied petroleum Gas (LPG).

9 1.5. Tinjauan Pustaka

Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) adalah organisasi non-pemerintah yang didirikan pada tanggal 11 Mei 1993. Tujuan berdirinya Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga dapat melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.

Adapun tugas Yayasan Lembaga konsumen Indonesia menurut Pasal 44 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen yaitu :

1. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati - hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

2. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

3. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen

4. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen

5. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Konsumen adalah tiap orang yang memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain ataupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun secara bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

10

Pada hakekatnya terdapat dua instrument hukum yang penting yang menjadi landasan kebijakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, undang-undang dasar 1945 mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui system pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.

2. Undang-Undang no. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK) Lahirnya undang - undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita pada suatu barang atau jasa. UUPK menjamin segala kepastian hukum bagi konsumen.

Tujuan Perlindungan konsumen di antaranya yaitu Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Perlindungan konsumen, yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Meningkatkan harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif dari penggunaan barang dan atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan perlindungan pasien yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat informasi,

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha,

6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

11

Peraturan perlindungan konsumen Sebenarnya kita semua tanpa terkecuali berkepentingan dalam perlindungan ini, karena kita semua merupakan konsumen. Pada dasarnya yang memerlukan perlindungan adalah semua barang dan jasa yang diperlukan oleh seorang konsumen bagi dirinya dan diperolehnya dari pihak yang lain baik dengan jalan membeli, memberi imbalan ataupun yang diperoleh secara gratis.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam yang dapat dipahami, sebagai berikut:

1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati - hati dalam

12

mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

2. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak - hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep - konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan -pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak - hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak - hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Pada saat ini bahan bakar merupakan kebutuhan yang penting bagi masyarakat Kepentingan tersebut digunakan untuk memperlancar kegiatan dalam kebutuhan sehari - hari. Dari bahan bakar tersebut dapat dihasilkan energi yang dapat membantu kehidupan manusia. Bahan bakar sendiri memiliki jenis bermacam-macam di antaranya minyak bumi dan gas alam. Liquefied Petroleum Gas (LPG) merupakan bahan bakar berupa gas yang dicairkan merupakan produk

13

minyak bumi yang diperoleh dari proses distilasi bertekanan tinggi. Fraksi yang digunakan sebagai umpan dapat berasal dari beberapa sumber yaitu dari Gas alam maupun Gas hasil dari pengolahan minyak bumi (Light End). Komponen utama Liquefied Petroleum Gas (LPG) terdiri dari Hidrokarbon ringan berupa Propana (C3H8) dan Butana (C4H10), serta sejumlah kecil Etana (C2H6,) dan Pentana (C5H12).

Liquefied Petroleum Gas (LPG) digunakan sebagai bahan bakar untuk rumah tangga dan industri. Liquefied Petroleum Gas (LPG) terutama digunakan oleh masyarakat tingkat menengah keatas yang kebutuhannya semakin meningkat dari tahun ketahun karena termasuk bahan bakar yang ramah lingkungan. Sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga, Liquefied Petroleum Gas (LPG) harus memenuhi beberapa persyaratan khusus dengan tujuan agar aman dipakai dalam arti tidak membahayakan bagi si pemakai dan tidak merusak peralatan yang digunakan serta effisien dalam pemakaiannya.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah merupakan tipe penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filososfi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.8

8Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 101-102.

14

Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual yaitu menganalisis permasalahan yang akan dibahas melalui konsep-konsep hukum yang diambil dan buku-buku serta literatur-literatur maupun dengan pendekatan kasus-kasus yang ada relevansinya dengan permasalahan.

1.6.2. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum adalah suatu hal yang sangat penting di dalam menyusun suatu karya ilmiah dalam bidang ilmu hukum yaitu digunakan untuk menunjang kebenaran. Dalam penulisan ini bahan hukum diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer, yaitu sumber bahan hukum berasal dari UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Undang-undang dasar 1945, Kitab Undang-undang hukum Perdata.

2. Bahan hukum sekunder, penelitian kepustakaan berupa buku-buku literature, jurnal-jurnal hukum, karya para sarjana, surat kabar, serta Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan masalah Perlindungan Konsumen.

1.6.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Adapun metode pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah dengan metode pencatatan artinya bahan hukum yang dikumpulkan diklasifikasi sesuai jenis bahan hukum yang akan digunakan seperti : teori-teori hukum, jurnal hukum dan pandangan-pandangan ahli hukum, demikian juga dengan perundang-undangan yang terkait.

15 1.6.4. Analisis bahan hukum

Setelah bahan hukum yang dibutuhkan terkumpul, maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode pengolahan bahan hukum secara sistematis yaitu argumentasi hukum berdasarkan logika deduktif dan induktif. Penyajiannya dilakukan secara deskriptif analisis yaitu suatu analisis bahan hukum yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis kemudian diuraikan dalam bentuk skripsi.

16 BAB II

PERAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA (YLKI) DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

LIQUEFIED PETROLEUM GAS (LPG)

2.1. Hubungan Hukum Pelaku Usaha dengan Konsumen

Hubungan hukum (rechtbetrekkingen) “adalah hubungan antara dua subyek hukum atau lebih mengenai hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.”9 Hubungan hukum dapat terjadi antara sesama subyek hukum dan antara subyek hukum dengan benda.

Hubungan antara sesama subyek hukum dapat terjadi antara orang, orang dengan badan hukum, dan antara sesama badan hukum. “Hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda berupa hak apa yang dikuasai oleh subyek hukum itu atas benda tersebut, baik benda berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak.”10 “Hubungan hukum memiliki syarat-syarat yaitu adanya dasar hukum dan adanya peristiwa hukum.”11

Menurut Ernest Barker, agar hak-hak konsumen itu sempurna harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan manusia, hak itu diakui oleh masyarakat dan hak itu dinyatakan demikian dan karena itu dilindungi dan dijamin oleh lembaga negara.12

Di Indonesia hak-hak konsumen diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), terutama huruf b yang menyatakan “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

9Soeroso R., 2006, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 269.

10Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta, hal. 254

11R. Soeroso., 2006, Op.cit., hal. 271

12Adrian Sutendi, ,2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 50

17

jaminan yang dijanjikan”, dan huruf c menyatakan bahwa “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. Dengan menggunakan kedua ayat pada Pasal 4 UUPK ini, maka dapat diketahui bahwa konsumen berhak atas segala janji yang dijanjikan oleh pelaku usaha dalam mempromosikan barang dan/atau jasa serta berhak atas segala informasi terkait dengan barang dan/atau jasa. Untuk itu dapat dikatakan bahwa pelaku usaha di sisi lain berkewajiban untuk menepati janji-janji serta memberikan segala informasi terkait barang dan/atau jasa.

Selain pengaturan mengenai hak-hak konsumen, diatur juga mengenai kewajiban dari pelaku usaha pada sebagaimana Pasal 7 huruf b UUPK menyatakan bahwa:

Kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, dimana kewajiban dari pelaku usaha tersebut dapat dilihat juga sebagai hak dari konsumen.

Pelaku usaha dalam memberikan informasi barang atau jasa harus memperhatikan ketentuan dari Pasal 9 dan 10 UUPK bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar. Mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan sebelum konsumen membeli atau mempergunakan barang atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha.

Berkaitan dengan hal tersebut, hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen telah terjadi ketika pelaku usaha memberikan janji-janji serta informasi-informasi terkait barang dan/atau jasa, karena sejak saat itulah timbul

18

hak dan kewajiban para pihak, baik pelaku usaha dan konsumen. Hubungan hukum tersebut didasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), dimana pelaku usaha telah sepakat terhadap apa yang dijanjikan pada saat memberikan janji-janji pada sebuah iklan, ataupun selebaran atau brosur, sehingga janji-janji tersebut akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Peristiwa hukum yang terjadi terhadap pelaku usaha dengan konsumen tersebut adalah perdagangan baik barang ataupun jasa.

2.2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen

Perlunya kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin adanya kepastian hukum.

Sedangkan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara seimbang. Kedudukan konsumen yang lemah tersebut maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dilahirkan sebagai instrumen hukum yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak konsumen. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa: “konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa serta berhak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”.13

Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban Perlindungan hukum terhadap

13Janus Sidabalok, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Paulinus Josua, Medan, hal.1.

19

konsumen adalah sebuah penegakan hukum yang membutuhkan pengaturan berupa ancaman si pelanggar. Hal ini tercermin di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang merupakan suatu perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan pemberian perlindungan kepada konsumen dan menurut Munir Fuadi bahwa:

apabila suatu hukum telah ditegakkan terhadap seseorang, berarti suatu langkah untuk merealisasi kebahagiaan masyarakat luas telah diambil, sekaligus pula terwujudnya suatu langkah kesengsaraan (penggerogotan kebahagiaan) terhadap pihak melanggar ketentuan hukum.14

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang sering terjadi hanya sebatas kesepakatan lisan mengenai harga barang dan atau jasa tanpa diikuti dan ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan umum mengenai bentuk perjanjian tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan (fisik) tertentu. Suatu perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih melibatkan satu orang lain atau lebih. Sedangkan untuk syarat sahnya suatu perjanjian ditegaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata, bahwa perjanjian sah jika :

1. Dibuat berdasarkan kata sepakat dari pihak, tanpa adanya paksaan kekhilafan maupun penipuan;

2. Dibuat oleh mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum;

3. Memiliki objek perjanjian yang jelas; dan 4. Didasarkan pada klausula yang halal.

14Munir Fuadi, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 22.

20

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang dan suatu persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata).

Alasan pokok terjadinya hubungan hukum perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha yaitu kebutuhan akan barang dan atau jasa tertentu.

Pelaksanaannya senantiasa harus menjaga mutu suatu produk agar konsumen dapat menikmati penggunaan, pemanfaatan, dan pemakaian barang dan atau jasa tersebut secara layak. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur hak dan kewajiban pelaku usaha.

Pengertian pelaku usaha tercantum dalam Pasal 1 Nomor 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa :

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik-baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang diberikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Sedangkan dalam penjelasan UUPK yang termasuk pelaku usaha yaitu perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Jadi pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut luas sekali, karena pengertiannya tidak dibatasi hanya pabrikan saja, melainkan juga para distributor (dan jaringannya), serta termasuk para importir

21

Di dalam menjalankan usahanya pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Pengaturan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha dapat bersumber pada peraturan perundangan yang bersifat umum dan juga perjanjian/kontrak yang bersifat khusus.

Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban-kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

22

Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.

Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik, karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha. Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab pelaku usaha.

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi dimana ia berada. “Secara harfiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang, tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.”15 Begitu pula kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Konsumen dapat dibedakan berdasarkan unsur kegunaan yang dikenal konsumen antara dan konsumen akhir. Perbedaan ini tergantung untuk kegunaan apakah suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan itu untuk tujuan memproduksi barang atau jasa untuk di jual kembali (tujuan komersil).

15AZ. Nasution, 2007, Op.cit., hal. 3.

23

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 Nomor 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa batasan konsumen yaitu :

Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Konsumen sebagai peng-Indonesia-an dari istilah asing, Inggris consumer dan Belanda consument, secara harfiah diartikan sebagai orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau penggunaan jasa tertentu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang, ada juga yang mengartikan setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.

Dari pengertian di atas terlihat bahwa ada pembedaan antara

Dari pengertian di atas terlihat bahwa ada pembedaan antara

Dokumen terkait