• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap anak mempunyai hak yang sama untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara maksimal sesuai potensinya. Secara berlapis, dimulai dari lingkar keluarga dan kerabat, masyarakat sekitar, pemerintah lokal sampai pusat, hingga masyarakat internasional berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan mengupayakan pemenuhan atas hak dasar anak. Hanya jika setiap lapisan pemangku kewajiban dapat berfungsi dengan baik serta mampu menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya, anak akan dapat memiliki kehidupan yang berkualitas dan memungkinkan untuk tumbuh serta berkembang secara optimal sesuai potensinya. Anak memiliki hak azasi manusia yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia dan merupakan landasan bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian diseluruh dunia. Hak-hak anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang wajib dilindungi, dihormati dan ditegakkan oleh negara baik sebelum maupun sesudah lahir. Indonesia merupakan negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sejak tahun 1990.

Dengan demikian, Indonesia wajib mengimplementasikan hak-hak anak dalam program aksi, kebijakan, regulasi hukum yang berpihak dan menjamin hak-hak anak. Realita bahwa masih banyak anak yang terbaikan haknya, dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, bahkan tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak menunjukkan kurang memadainya perlindungan terhadap anak. Padahal, anak belum mampu melindungi dirinya

sendiri. Anak membutuhkan perlindungan yang memadai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2009), jumlah anak Indonesia di bawah 18 tahun mencapai 85.146.600 jiwa dan mengalami penurunan menjadi 79.729.824 jiwa pada tahun 2010. Ditinjau dari derajat kesehatan, gizi, dan kesiapan belajar pendidikan pra sekolah terutama pada anak balita yang berasal dari keluarga miskin atau sangat miskin, belum tersentuh sistem layanan dan perlindungan yang memadai. Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial mencatat jumlah anak jalanan tahun 2007 sebanyak 230.000 jiwa. Adapun Badan Pusat Statistik bersama ILO mengestimasi jumlah anak jalanan sebanyak 320.000 pada tahun 2009 (Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2011).

Fenomena yang perlu mendapat perhatian saat ini adalah maraknya anak-anak terlantar. Meningkatnya angka penduduk miskin telah mendorong meningkatnya angka anak putus sekolah dan meningkatnya anak-anak terlantar. Pada umumnya anak-anak terlantar mengalami masalah ganda seperti kesulitan ekonomi, menderita gizi buruk, kurang perhatian dan kasih sayang orang tua, tidak bisa mendapat layanan pendidikan secara maksimal, dan lain sebagainya.

Menurut Departemen Sosial RI (2006:1), ketelantaran pada anak secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yakni (1) factor ketidaksengajaan atau dengan kata lain karena kondisi yang tidak memungkinkan dari orang tua atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan anaknya, (2) faktor kesengajaan untuk menelantarkan anaknya karena rendahnya tanggung jawab sebagai orang tua atau keluarga terhadap anaknya.

Pada dekade terakhir, permasalahan anak terlantar menjadi salah satu permasalahan krusial baik dilihat dari kompleksitas masalah maupun kuantitas dari

sosial ekonomi yang belum kondusif. Pada sisi lain ternyata masih terdapat pemahaman yang rendah mengenai arti penting anak oleh masyarakat, serta komitmen dan tanggung jawab orang tua atau keluarga yang cukup rendah, sehingga menyebabkan ketelantaran pada anak. Anak terlantar merupakan salah satu masalah kesejahteraan sosial yang membutuhkan perhatian secara khusus. Selain karena jumlah yang cukup besar, masalah anak terlantar memiliki lingkup dan cakupan yang tidak bias berdiri sendiri namun saling terkait dan saling memengaruhi bila kebutuhan dan hak mereka tidak terpenuhi.

Seperti yang tercantum dalam Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar (Departemen Sosial RI, 2008:1), permasalahan anak terlantar dapat kita lihat dari berbagai perspektif, diantaranya; 1) anak terlantar yang mengalami masalah dalam sistem pengasuhan seperti yang dialami anak yatim piatu, anak yatim, anak piatu, anak dari orang tua tunggal, anak dengan ayah/ibu tiri, anak dari keluarga yang kawin muda, dan anak yang tidak diketahui asal-usulnya (anak yang dibuang orang tuanya); 2) anak yang mengalami masalah dalam cara pengasuhan seperti anak yang mengalami tindak kekerasan baik secara fisik, sosial maupun psikologis, anak yang mengalami eksploitasi ekonomi dan seksual serta anak yang diperdagangkan; 3) dan anak yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi seperti anak yang kurang gizi dan anak yang tidak bersekolah atau putus sekolah. Hal inilah yang terjadi pada anak jalanan.

Anak jalanan merupakan salah satu bagian dari anak terlantar. Anak jalanan adalah contoh dari anak-anak yang terlantar, baik dari pengasuhan maupun pendidikannya. Keberadaan dan berkembangnya anak jalanan merupakan persoalan yang perlu mendapat perhatian. Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan

untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalan dan tempat-tempat umum lainnya (Departemen Sosial RI, 2005: 5).

Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi. Masalah anak jalanan masih merupakan masalah kesejarteraan social yang serius dan perlu mendapat perhatian. Hal ini mengingat bahwa anak-anak yang hidup di jalan sangatlah rentan terhadap situasi buruk, perlakuan yang salah dan eksploitasi baik itu secara fisik maupun mental. Hal ini akan sangat mengganggu perkembangan anak secara mental, fisik, sosial, maupun kognitif, serta anak tidak mendapatkan hak dalam memperoleh pendidikan dan penghidupan yang layak. Kondisi yang tidak kondusif di jalanan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi anak akan berpengaruh pula pada kehidupan anak di masa mendatang.

Anak jalanan seperti halnya anak-anak lain, memiliki hak yang sama. Yakni mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang layak. Namun fenomena-fenomena keterlantaran yang terjadi di masyarakat tersebut membuat anak jalanan harus hidup di jalanan yang jauh dari kesejahteraan yang seharusnya mereka dapatkan. Dalam perkembangannya menuju kedewasan, tiap anak masih sangat membutuhkan dukungan dan pendampingan dari orang tua dan orang-orang sekitar agar mereka dapat melalui proses tumbuh kembang secara optimal. Begitu halnya dalam proses perkembangan menuju kedewasaaan.

Keberadaan anak-anak jalanan tampaknya telah menjadi fenomena di kota-kota besar Indonesia. Fenomena ini, selain dampak dari derasnya arus urbanisasi dan perkembangan lingkungan perkotaan yang menawarkan mimpi kepada masyarakat

yang menjadikan jumlah anak jalanan yang melonjak drastis. Aktivitas anak jalanan beraneka ragam, diantaranya pengamen, pedagang koran, pedagang rokok, pembersih kaca mobil, pengemis, sampai kepada pengedar “kotak amal”. Mereka terutama beroperasi di perempatan jalan (traffic light), dengan sasarannya adalah pengemudi dan penumpang kendaraan roda empat. Kehadiran anak-anak di jalanan adalah sesuatu yang dilematis. Di satu sisi mereka mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan (income), yang membuatnya bisa bertahan hidup (survival) dan dapat menopang kehidupa keluarga. Namun, di sisi lain mereka bermasalah, karena seringkali tindakannya merugikan orang lain. Mereka acapkali melakukan tindakan tidak terpuji seperti sering berkata kotor, mengganggu ketertiban jalan misalnya : memaksa pengemudi kendaraan bermotor memberi uang (walaupun tidak seberapa), merusak body mobil dengan goresan, dan melakukan tindakan kriminal lainnya. Disamping itu, masalah anak-anak jalanan lainnya yaitu seringkali menjadi obyek kekerasan. Mereka merupakan kelompok sosial yang rawan dari berbagai tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, emosional, seksual, maupun kekerasan sosial.

Mereka menjadi obyek kekerasan fisik orang dewasa, yang sama-sama bekerja di jalanan, seperti : dipukul, ditendang, dijewer, dan lain-lain. Diantara mereka juga seringkali menjadi obyek kekerasan fisik petugas ketertiban umum. Kekerasan dalam bentuk emosional, misalnya dimarahi, dibentak, dicacimaki, dan lain-lain. Kekerasan seksual, seperti pelecahan seksual, bahkan diperkosa (anak jalanan wanita) dan disodomi (anak jalanan pria disodomi orang dewasa). Sedangkan kekerasan sosial, bisa dalam bentuk eksploitasi anak yaitu mereka dipaksa oleh orang tuanya atau pihak lain (sindikat) untuk bekerja dijalanan maupun dalam bentuk penelantaran anak, yaitu anak dibiarkan dan tidak penuhi kebutuhan hidupnya,

seperti makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, air bersih, kesempatan untuk bermain da waktu luang.

Anak-anak jalanan ditantang oleh resiko yang mau tidak mau harus dihadapi saat mereka berada di jalanan. Dengan mengacu pada International Conference on

Street Children yang diselenggarakan di Yogyakarta, 10-11 September 1996,

resiko-resiko yang dapat diidentifikasi adalah menjadi korban kekerasan (pemerasan, penganiayaan, eksploitasi seksual, penangkapan, dan perampasan modal kerja); kelangsungan hidup terancam, kurang/salah gizi ; stagnasi perkembangan (mental); internalisasi perilaku/sikap yang menyimpang (meminum minuman keras, penyalahgunaan obat, tindakan kriminal, destruktif, dan seks bebas); ancaman tidak langsung (zat polutan, kecelakaan lalu lintas, HIV/AIDS) serta keterkucilkan dan stigmatisasi sosial.

Disamping itu, karena masa anak dan remaja (usia 10-21 tahun) ini dianggap sebagai masa persiapan untuk mencapai cita-cita pada masa dewasanya, maka anak jalanan menjadi berkurang kesempatannya untuk membekali diri dengan pendidikan formal dan keterampilan khusus lainnya. Padahal di sisi lain, mereka kelak harus bersaing dengan anak-anak lain seusianya, yang memang tidak memiliki hambatan dalam hal materi, fasilitas yang dibutuhakan, maupun kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Resiko-resiko tersebut akan tetap “menempel” pada diri anak, meskipun mereka tidak meneruskan keberadaannya di jalanan. Pada periode pasca jalanan, anak menjadi tidak mempunyai keterampilan di sektor lain (non jalanan), tidak memiliki identitas diri yang sempurna, internalisasi perilaku/sub kultur jalanan, traumatized dan stigmatized, serta reproduksi kekerasan.

para pendatang telah membentuk beragam lapisan kehidupan sosial. Diantaranya bagi golongan yang tidak memiliki skils atau keahlian menyebabkan tumbuhnya kantong-kantong kemiskinan para pendatang. Seperti di ibukota Republik Indonesia yaitu Jakarta, kantong-kantong kemiskinan yang tersebar di ibukota telah melahirkan generasi anak-anak jalanan. Mereka mengais rejeki di tengah kerasnya kehidupan metropolitan seperti mengamen, menc ari barang-barang bekas, menarik gerobak air, mengemis, dan lain-lain

(http://www.fotokita.net/cerita/131964158300_0000181/potret-anak-jalanan oleh Arie Basuki, diakses pada tanggal 03 Februari 2016 pukul 15.00 WIB).

Menteri Sosial Khofifah mengatakan Jakarta harus bebas dari anak Jalanan. Karena melihat rentan kejahatan dan bahaya yang didapat saat anak-anak berada dijalan. Keberadaan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah salah satu persoalan klasik yang dialami Indonesia saat ini. Menurutnya, tentu banyak harapan oleh seluruh masyarakat agar Ibu Kota dapat bebas dari anak jalanan. Karena melih at kehidupan di Jakarta, anak jalanan ini rentan menjadi korban tindakan kriminal atau resiko lainnya. Keberadaan mereka meminta-minta di jalan bisa menjadi korban kecelakaan, mereka juga membuat para pengendara merasa tidak nyaman. Anak-anak jalanan juga menjadi generasi penerus bangsa, tentunya mereka harus dibina, dirawat dan diperhatikan agar dapat menjadi tabungan bangsa yang lebih baik (www.metro.sindonews.com/read/2013/07/25/31/765344/mensos-keselamatan-anak-jalanan-sangat-rentan diakses pada tanggal 03 Februari 2016 pukul 15.00 WIB).

Munculnya anak jalanan umumnya dipengaruhi oleh keluarga ekonomi yang rendah. Rendahnya pendapatan keluarga tersebut mendorong anak masuk dalam

jalanan seringkali mendorong anak untuk bekerja. Mereka mempunyai kewajiban untuk ikut membantu orang tua yang mempunyai pendapatan rendah. Selain itu adanya kakak yang bekerja dapat mendorong adik laki-laki/perempuan untuk ikut bekerja, terutama kakak yang bekerja sebagai anak jalanan.

Di Sumatera Utara, tercatat sebanyak 2.867 anak jalanan yang tersebar di 5 kota, yakni Medan (663 anak), Dairi (530 anak), Tapanuli Tengah (225 anak), Nias Selatan (224 anak), dan Tanah Karo (157 anak). Sisanya tersebar di 25 Kabupaten/Kota lainnya. Survei yang pernah dilakukan oleh PKPA Kota Medan tahun 2011, terdapat 7 kecamatan yang memiliki populasi anak jalanan di atas 50 anak dalam satu kecamatan. Ketujuh kecamatan tersebut yakni Medan Johor (57 anak), Medan Amplas (81 anak), Medan Kota (94 anak), Medan Maimun (103 anak), Medan Sunggal (75 anak), Medan Petisah (60 anak), dan Medan Barat (53 anak). (PKPA. 2011).

Sejak 2009 rancangan kebijakan, strategi dan program terobosan yang telah lama digagas mulai diaktualisasikan sehingga gap yang ada mampu diperkecil. Sejak itu Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) mulai dikembangkan dan diujicobakan untuk penanganan anak jalanan di lima wilayah yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta. Belajar dari pengalaman implementasi awal tersebut, mulai 2010, layanan PKSA telah diperluas jangkauan target sasaran maupun wilayahnya meliputi anak balita terlantar, anak jalanan dan anak terlantar, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dengan kecacatan, serta anak yang membutuhakan perlindungan khusus lainnya seperti anak yang berada dalam situasi darurat, anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, korban kekerasan dan eksploitasi seksual, eksploitasi ekonomi, korban

penyalahgunaan narkoba/zat adiktif, penderita HIV/AIDS, dan anak dari kelompok minoritas atau komunitas adat terpencil.

PKSA dikembangkan dengan perspektif jangka panjang sekaligus untuk menegaskan komitmen Kementerian Sosial untuk merespon tantangan dan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial anak yang berbasis hak. PKSA ini juga perwujudan dari kesungguhan Kementerian Sosial mendorong perubahan paradigma dalam pengasuhan, peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan tanggung jawab orang tua/keluarga, dan perlindungan anak yang bertumpu pada keluarga dan masyarakat, serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar anak yang dapat merespon keberagaman kebutuhan melalui tabungan.

Salah s atu lembaga yang menangani permasalahan anak untuk kota Medan adalah Lembaga Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI). Lembaga yang beralamat di Jalan Sei Arakundo Gang Tula Nomor 14 Kecamatan Medan petisah ini telah memenuhi persyaratan oleh Kementerian Sosial RI untuk menyelenggarakan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Pinggiran rel kereta Gaperta merupakan salah satu wilayah yang menjadi sasaran Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Dimana daerah ini merupakan daerah pemukiman yang kumuh, yang rata-rata hidup dengan penghasilan yang rendah.

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti Bagaimana respon anak jalanan terhadap Program Kesejahteraan Sosial Anak di pinggiran rel kereta api Gaperta Kecamatan Medan Helvetia. Maka penulis menyusun penelitian ini dengan judul “Respon penerima bantuan program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI) di daerah Pinggiran Rel

Dokumen terkait