• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Perusahaan merupakan salah satu elemen yang memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian di suatu negara. Dalam pembangunan perekonomian ini perusahaan membutuhkan peran aktif masyarakat serta arahan dan bimbingan dari pemerintah untuk menciptakan iklim ekonomi yang baik, atas timbal baliknya dunia usaha atau perusahaan seharusnya memberikan tanggapan yang positif terhadap peran serta masyarakat dan regulasi dari pemerintah, akan tetapi kebanyakan perusahaan masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari keuntungan saja. Mereka memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya, dan pembayaran pajak kepada negara. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya saja, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial karena kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, misalnya eksploitasi sumber daya dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi perusahaan. Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab social perusahaan yang paling primitif. Konsep CSR juga muncul karena

dilatarbelakangi oleh adanya prinsip-prinsip etika bisnis. Agoes dan Ardana (2013:126) dalam bukunya “Etika Bisnis dan Profesi” menyatakan:

Dunia bisnis belajar dari berbagai kasus penyelewengan yang telah menimpa banyak perusahaan multinasional di AS dan krisis ekonomi yang menimpa Indonesia menjelang akhir abad ke-20 serta kerusakan lingkungan dan pemanasan global yang sebagian besar diakibatkan oleh praktik-praktik bisnis amoral yang dijalankan oleh para eksekutif perusahaan. Para eksekutif puncak bisnis multinasional akhirnya semakin menyadari perlunya dikembangkan prinsip-prinsip etika bisnis universal yang berlaku secara global.

John Naisbitt (1995) dalam Agoes dan Ardana (2013) menyatakan bahwa kinerja ekonomi (berupa keuntungan) dan kinerja etis bukanlah dua kutub yang bertentangan dari suatu kontinum, melainkan kinerja etis justru akan menjadi faktor strategis dalam menentukan kinerja ekonomis. Adapun prinsip etika bisnis menurut Caux Round Table yang dikutip dari buku “Etika Bisnis & Profesi” (Agoes dan Ardana, 2013) adalah:

1. Tanggung jawab bisnis: dari Shareholder ke Stakeholder

2. Dampak ekonomis dan social dari bisnis: menuju inovasi, keadilan dan komunitas dunia

3. Perilaku bisnis: dari hukum yang tersurat ke semangat saling percaya 4. Sikap saling menghormati aturan

5. Dukungan bagi perdagangan multilateral 6. Sikap hormat bagi lingkungan alam

7. Menghindari operasi-operasi yang tidak etis

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah CSR juga muncul dilandasi karena secara umum ada prinsip-prinsip etika bisnis yang berlaku dalam aktifitas bisnis selama ini hingga akhirnya istilah Corporate Social Responsibility

(CSR) atau tanggung jawab sosial saat ini sudah menjadi sangat popular dan ramai diperbincangkan dalam dunia bisnis. CSR merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan perusahaan sebagai wujud nyata atas tanggung jawabnya terhadap seluruh pihak yang terkena dampak dalam aktivitas bisnis perusahaan tersebut, diantaranya konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan. Cara pandang perusahaan terhadap CSR diklasifikasikan dalam tiga kategori menurut Wibisono (2007) dalam bukunya yang berjudul “Membedah Konsep & Alikasi CSR”. Ketiga kategori tersebut dipaparkan secara ringkas sebagai berikut:

Pertama, CSR dilakukan hanya sekedarnya saja artinya pemenuhan tanggung jawab sosial lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan ketimbang kesukarelaan, seperti pemenuhan tanggung jawab oleh PT Lapindo Brantas kepada para korban lumpur panas, berikutnya karena reputation driven yaitu untuk mendongkrak citra perusahaan. Contohnya saat bencana tsunami di Aceh banyak korporasi memberikan bantuan berupa uang, sembako, medis, dan sebagainya. Kemudian perusahaan melakukan publikasi positif untuk mendongkrak citra korporasi.

Kedua, sebagai upaya memenuhi kewajiban (compliance). CSR diimplementasikan karena ada regulasi, hukum, dan aturan yang memaksanya. Misalnya karena adanya market driven. Selain market driven, driven lain yang sanggup memaksa perusahaan untuk mempraktikkan CSR adalah adanya penghargaan (reward) yang diberikan institusi atau lembaga. Misalnya CSR

Award yang digelar oleh Departemen Sosial, dan Proper (Program Peringkat

Kinerja Perusahaan) yang dihelat oleh Kementrian Lingkungan Hidup.

Ketiga, CSR dipandang bukan lagi sekedar compliance tetapi beyond

compliance atau compliance plus. CSR diimplementasikan karena memang ada

dorongan yang tulus dari dalam (internal driver). Perusahaan meyakini bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan

(sustainability) usaha. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya

melainkan sebagai sentra laba di masa mendatang. CSR merupakan nyawa korporasi. Aktivitas CSR berada dalam koridor strategi perusahaan yang diserahkan untuk mencapai bottom line business goal yaitu mendatangkan keuntungan, dan efeknya positif ke arah pembentukan citra, melampaui standar regulasi yang berlaku, mendongkrak nilai saham, atau memenangi kompetisi dan memperoleh penghargaan.

CSR menjadi hal yang penting untuk diimplementasikan dalam sebuah perusahaan karena akan menentukan keberlanjutan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Elkington dalam Agoes dan Ardana (2013:90) mengemukakan “tanggung jawab sosial perusahaan mencakup tiga dimensi, yang lebih popular dengan singkatan 3P, yaitu mencapai keuntungan (profit) bagi perusahaan, pemberdayaan masyarakat (people), dan memelihara kelestarian alam/bumi (planet)”.

Pengungkapan CSR dalam laporan keuangan juga dapat memfasilitasi para investor dan pemegang saham untuk menilai apakah kebijakan CSR yang dilakukan perusahaan sejalan dengan kepentingan mereka atau tidak. Di sisi lain,

masyarakat saat ini sudah cukup kritis atas dampak negatif yang dirasakannya sebagai akibat dari aktivitas bisnis suatu perusahaan. Sikap masyarakat yang merasa dirugikan dapat ditunjukkan melalui demonstrasi atau bahkan menuntut untuk menutup perusahaan. Akibatnya keberlangsungan hidup perusahaan akan terancam, oleh karena itu tujuan perusahaan tidak dapat mencapai keuntungan saja, seperti pada tragedi spektakuler di ladang migas Lapindo. Dampak dari lumpur lapindo telah dirasakan oleh banyak pihak. Penyebab dari semburan lumpur tersebut yang dilansir dari www.republika.co.id adalah karena dinding sumur tidak dipasang hingga dasar, padahal dalam rencananya dinding akan dipasang hingga dasar tempat melakukan pengeboran. Operator hanya memasang dinding seperempat dari kedalaman pengeboran yang akan dilakukan. Dalam program tertulis dinding harus dipasang hingga kedalaman 8.500 feet (kaki), namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dipenuhi, bahkan pengeboran terus dilakukan hingga kedalaman 9,297 feet. Akibat dinding tidak dipasang hingga kedalaman 8.500 feet, maka tekanan air dari dalam terus naik ke atas dan mencari celah yang akhirnya menyembur tidak jauh dari sumur pengeboran. Lumpur yang keluar sangat mengejutkan warga dan memberi dampak buruk yang sangat besar. Warga lokal di beberapa desa sekitar telah kehilangan rumah, pekerjaan, bahkan mungkin masa depan. Setidaknya 20 pabrik/perusahaan di kawasan itu dengan jumlah karyawan 2500 orang, terpaksa juga harus tutup dan gigit jari karena tidak berdaya sama sekali menghadapi terjangan lumpur. Sekolah, sarana ibadah dan sarana umum lainnya yang berada disekitar luapan lumpur ikut tenggelam. Infrastruktur dan fasilitas lainnya pun ikut rusak. Para investor pun mulai ragu

menanamkan modalnya di wilayah Sidoarjo. Lumpur telah meluluhlantakkan tatanan kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup sekitarnya. (Wibisono 2007:48).

Dari permasalahan di atas dapat kita lihat bahwa pertumbuhan dan perkembangan suatu usaha tidak lepas dari pihak pemangku kepentingan dalam perusahaan tersebut, seperti konsumen, pemasok, kompetitor, lembaga keuangan, tenaga kerja, masyarakat dan terutama lingkungan. Pihak pemangku kepentingan ini seharusnya menjadi objek dari tanggung jawab sosial perusahaan, oleh karena itu perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada

single bottom line saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom line. Triple bottom line reporting merupakan laporan yang memberikan

informasi mengenai pelaksanaan kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungan dari sebuah entitas. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable), tetapi juga harus memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Apabila prinsip triple bottom line reporting dapat diimplementasikan dengan baik, maka akan menunjukkan bahwa akuntabilitas perusahaan tidak hanya untuk pelaksanaan kegiatan ekonomi mereka, tetapi juga untuk pelaksanaan kegiatan sosial dan lingkungan, dengan demikian prinsip triple bottom line reporting dapat mengakomodasi kepentingan

stakeholder secara luas, tidak hanya kepentingan shareholder dan bondholder

saja, di samping itu pelaksanaan CSR menurut Untung (2009:6) dalam bukunya “Coprorate Social Responsibility” memberikan banyak manfaat bagi perusahaan, antara lain:

a. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan b. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial

c. Mereduksi resiko bisnis perusahaan

d. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha e. Membuka peluang pasar yang lebih luas

f. Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah g. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders

h. Memperbaiki hubungan dengan regulator

i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan j. Peluang mendapatkan penghargaan

Dalam perkembangannya, CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory agar memiliki daya atur yang jelas. Di Indonesia, pemerintah mempunyai andil yang cukup besar, yaitu dengan dikeluarkannya regulasi yang tertuang dalam:

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

 Pasal 74 menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang/berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

 Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan, untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

 Pasal 66 ayat 2c menyatakan bahwa semua perseroan wajib untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan

Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

 Pasal 2 menyatakan bahwa setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan.

 Pasal 7 menyatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa realisasi anggaran pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilaksanakan oleh perseroan diperhitungkan sebagai biaya perseroan.

Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan Bagi Emiten Atau Perusahaan Publik bagian Tata Kelola Perusahaan.

Peraturan ini menyatakan bahwa salah satu kewajiban bagi perusahaan dalam menyusun laporan tahunan yaitu melampirkan uraian mengenai aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.

Pengungkapan yang memadai terkait dengan kegiatan CSR masih dirasa kurang karena peraturan-peraturan di atas tidak memberikan pedoman khusus

mengenai bagaimana dan informasi apa saja yang harus dilaporkan oleh perusahaan mengenai pelaksanaan CSR. Selama ini pengungkapan mengenai kegiatan CSR hanya dilatarbelakangi kebutuhan perusahaan untuk membentuk

image bahwa dalam pandangan stakeholder perusahaan memiliki kepedulian

terhadap lingkungan sosial dan lingkungan hidup.

Pengungkapan CSR dalam laporan tahunan terkadang juga digunakan oleh manajer sebagai alat untuk mengamankan kedudukannya dan mengalihkan perhatian stakeholder dari monitoring aktivitas manajemen laba yang dilakukan pihak manajemen. Penyebabnya mungkin karena manajemen memiliki informasi yang lebih banyak daripada pemilik perusahaan sebagaimana dijelaskan dalam teori keagenan. Manajemen juga dapat mempengaruhi luasnya pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan terkait dengan pemilik perusahaan yang sekaligus menjadi manajemen perusahaan yang tercermin dalam keberadaan kepemilikan manajerial. Untuk memperoleh legitimasi yang lebih besar maka keberadaan manajemen yang sekaligus sebagai pemegang saham dapat mempengaruhi luasnya pengungkapan CSR perusahaan dalam laporan tahunan. Profitabilitas juga diprediksi dapat berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, dan ekuitas. Semakin tinggi profitabilitas, maka semakin tinggi efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan fasilitas perusahaan. Profitabilitas merupakan faktor yang memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada manajemen untuk melakukan program CSR secara luas, sehingga semakin

tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin luas pengungkapan informasi sosial. Tingkat leverage perusahaan menggambarkan risiko keuangan perusahaan. Tingkat leverage yang tinggi berarti perusahaan memiliki utang yang tinggi dalam struktur modalnya, dengan tingginya hutang perusahaan maka fokus perusahaan hanyalah untuk melunasi hutang sehingga aktifitas CSR yang dilakukan akan lebih minim. Dalam menjalankan aktifitas CSR, perusahaan juga biasanya mengkomunikasikan aktifitas tersebut kepada para stakeholder. Fungsi komunikasi menjadi sangat pokok dalam manajemen CSR. Pengkomunikasian CSR melalui media akan meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat, oleh karena hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengungkapan tanggung jawab sosial pada perusahaan pertambangan di Indonesia. Peneliti ingin melihat sudah sejauh mana perusahaan pertambangan di Indonesia mengungkapkan tanggung jawab sosialnya, dimana perusahaan pertambangan ini sering menggunakan hasil alam/bumi, apabila tidak dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab akan memberikan dampak yang sangat besar bagi kelangsungan hidup di bumi, baik masyarakatnya maupun lingkungan hidupnya.

Penelitian terdahulu jugabanyak memunculkan perbedaan hasil temuan, diantaranya yaitu ‘Amal (2011) menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara variabel manajemen laba dengan pengungkapan CSR, sementara Haryudanto (2011) dan Terzaghi (2012) menemukan bahwa manajemen laba tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. ‘Amal (2011) juga menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan

CSR, berbeda dengan Yintayani (2011) dan Terzaghi (2012) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. ‘Amal (2011) dan Yintayani (2011) juga menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR, sementara Putri (2014) menemukan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan ROE berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR. Yintayani (2011) menemukan leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR sementara Asrarsani (2013) menemukan bahwa leverage berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan CSR. Kristi (2012) menemukan bahwa media exposure berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR sedangkan Nur dan Priantinah (2012) menemukan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara media

exposure dan pengungkapan CSR.

Inkonsistensi hasil penelitian terdahulu memotivasi penulis untuk meneliti kembali tentang pengungkapan CSR lebih lanjut. Penelitian ini memperluas penelitian dari ‘Amal (2011). Judul penelitian yang diangkat adalah “Pengaruh Manajemen Laba, Kepemilikan Manajerial, Profitabilitas, Leverage, dan Media

Exposure terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada

Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012-2014”.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu:

1. Penelitian ini menggunakan data dari perusahaan pertambangan yang terdaftar di BEI pada tahun 2012-2014, sedangkan penelitian terdahulu

mengambil data dari perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada periode 2008-2009

2. Penelitian ini menambahkan variable leverage dan media exposure sebagai variable independen

3. Penelitian ini menggunakan enam variabel, dimana variabel independen terdiri dari manajemen laba, kepemilikan manajerial, profitabilitas, leverage, dan media exposure serta pengungkapan Corporate Social Responsibility

(CSR) sebagai variabel dependen. Sedangkan penelitian terdahulu

menggunakan lima varibel

Dokumen terkait