• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1Per lindungan Hukum Bank BRI.

Sebagaimana Bank BRI dalam Rangka menjalankan fungsinya sebagai penyaluran dana untuk masyarakat secara memberikan kredit dengan jaminan dalam sebuah perjanjian kredit merupakan sesuatu yang mutlak dalam pemberian kredit, hal ini sejalan dengan ketentuan perundang-undangan berlaku. Diperlukan jaminan guna menajamin kepastian, ketertiban dan kelancaran pelunasan utang debitur kepada kreditur. Dalam pemberian kredit harus memperhatikan bentuk perjanjian dan disamping itu memperhatikan jaminan yang bernilai material juga diharuskan melihat jaminan yang bernilai immaterial. Hal ini untuk mencegah kesan bahwa Bank hanya mementingkan jaminan fisik saja, namun dalam alasan pemberian kredit Bank BRI dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat untuk memungkinkan perluasan kredit pasar modal karena tidak semua nasabah yang mempunyai SHM ( Sertfikat Hak Milik ), HGB ( Hak Guna Bangunan ) dan surat kuasa menjual agunan notariil dari Notaris untuk menjadi kekuatan sita. Maka dari itu dalam pemberian kredit di Bank BRI harus juga memenuhi pula persyaratan-persyaratan yang ditentukan seperti :

a. Petok D atau kutipan leter C ( buku C ). b. PBB ( Pajak Bumi dan Bangunan ).

c. Surat Pernyatan Persaksian Hak yang dibuat oleh Kelurahan. d. Surat Keterangan Usaha yang dibuat oleh Kelurahan.

f. Foto copy KTP yang bersangkutan ( Kartu Tanda Penduduk ).38

Maka berdasarkan Undang-Undang Perbankan pada penjelasan disebutkan bahwa untuk memperoleh keyakinan Bank sebelum pemberian kredit, Bank BRI harus melakukan prinsip kehati-hatian dalam sistem penilaian yang dilakukan berdasarkan prinsip keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajiban hutangnya. Berkaitan dengan prinsip kehatian-hatian, kita dapat menemukan Pasal di dalam Undang-undang Nomer 10 Tahun 1998 yang menegaskan kembali mengenai pentingnya prinsip-prinsip kehati-hatian untuk diterapkan dalam kegiatan usaha Bank, yakni dalam Pasal 29 ayat ( 2 ) UU Nomer 10 tahun 1998 mengemukakan bahwa :

“ Bank wajib memelihara tingkat kesehatan Bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas menajemen, likuiditas, rentabilitas, solvalibitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha Bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat ( 2 ) Undang-undang perbankan diatas, maka tidak ada alasan untuk apa pun juga bagi pihak Bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usahanya. Namun Untuk memperoleh keyakinan sebelum pemberian kredit tidak hanya prinsip kehati-hatian saja tetapi Bank BRI juga melakukan pula penilaian seksama terhadap 5C dari debitur seperti :

38

Wawancara dengan mantri atau staf-staf Bank BRI.

1. Character ( Watak )

Watak atau ( character ) adalah sifat dasar yang ada dalam hati seseorang. Watak dapat berupa baik dan jelek bahkan ada yang terletak diantara baik dan jelek. Watak merupakan bahan pertimbangan untuk mengetahui resiko. Tidak mudah untuk menentukan watak seoarng debitur apalagi debitur baru pertama kali mengajukan permohonan kredit.

Untuk mengetahui watak seorang dapat mengetahui cirri-ciri oaring tersebut seperti misalnya peminum minuman keras, suka berjudi, suka menipu dan lain sebagainya. Untuk petugas analisi perlu melakukan penyelidikan atau mencari berbagai informasi mengenai watak seorang pemohon kredit karena watak dan tabiat menjadi dasar penilaian utama. Meskipun analisa dari berbagai aspek baik tetapi kalau watak seorang pemohon kredit jelek maka akibatnya resiko kredit menjadi besar. Watak dapat diartikan seperti kpribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit. Debitur yang mempunyai watak suka minuman keras, berjudi dan tidak jujur kemungkinan besar akan melakukan penyimpangan dalam penggunan kredit. Kredit digunakan tidak sesuai tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian kredit akibat proyek yang dibiayai dengan kredit tidak menghasilkan pendapatan sehingga mengakibatkan kredit macet atau lalai. Oleh karena itu analisa perlu menyelidiki dan mencari informasi tentang asal-usul kehidupan pribadi pemohon kredit.

2. Capital ( modal )

Seorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk mempelancar kegiatan usahanya. Seorang yang akan mengajukan permohonan kredit baik untuk kepentingan produktif atau komsumtif maka orang itu harus memiliki modal. Misalnya orang yang akan mengajukan kredit pemilikan rumah ( KPR ) untuk membeli rumah maka pemohon kredit harus memiliki modal membayar uang muka. Uang muka itulah sebagai modal sendiri yang dimiliki pemohon kredit sedangkan kredit berfungsi sebagi tambahan.

Pemohon kredit yang berbentuk badan usaha, besar modalnya yang dimiliki pemohon kredit ini dapat dicermati dari laporan keuangannya. Semakin besar jumlah modal yang dimiliki maka menunjukkan perusahan tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban membayar hutangnya.

3. Capacity ( Kemampuan )

Seoarang debitur yang mempunyai karakter atau watak baik selalu akan memikirkan mengenai pembayaran kembali hutangnya sesuai waktu yang ditentukan. Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran debitur harus memiliki kemampuan memadai yang berasal dari pendapatan pribadi jika

debitur perorangan atau pendapatannya perusahaan bila debitur bebentuk badan usaha.

Seorang analisis harus mampu menganalisa kemapuan debitur untuk membayar kembali hutangnya. Bagi debitur perorangan analis harus mendapat informasi yang benar mengahasilkan atau pendapatan debitur. Apa pekerjaan, usaha debitur yang mengindikasikan debitur memperoleh pendapatan sehingga memberi keyakinan adanya kemampuan debitur. Bagi debitur badan usaha seorang analis harus meyakini pendapatan yang diperoleh dari usaha-usaha debitur yang menunjukkan adanya kemampuan dari debitur.

4. Collateral ( J aminan )

Jaminan berate harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan hutang jika kemudian hari debitur tidak melunasi hutangnya dengan jaln menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu. Yang Jaminan meliputi jaminan material berupa barang atau benda ( materiil ) jaminan yang bergerak atau tidak bergerak misalnya tanah, bangunan, mobil, motor, saham dan jaminan yang bersifat imateriil merupakan jaminan yang secara fisik tidak dapat dikuasai langsung oleh Bank misalnya jaminan pribadi ( borgtocht ), Garansi Bank ( Bank lain ).

Fungsi jaminan guna memberikan hak dan kekuasan kepada Bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang jaminan tersebut bilamana debitur tidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang ditentukan dalam perjanjian.

5. Condition of Economy ( Kondisi Ekonomi )

Selain faktor-faktor diatas, yang perlu mendapat perhatian penuh dari analis adalah kondisi ekonomi Negara. Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu diberikan oleh Bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dn pendapatan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya. Bermacam-macam kondisi luar pengetahuan Bank dan diluar pengetahuan kredit. Kondisi ekonomi yang dapat mempengaruhi kemampuan pemohon kredit mengembalikan hutangnya sering sulit untuk diprediksi. Kondisi ekonomi Negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada kemampuan pemoho kredit untuk melunasi hutangnya.39

39

Sehubungan itu bilamana dana yang ada di Bank digunakan oleh Bank untuk dalam pemberian kredit, maka dari itu Bank hanya boleh memberikan kredit dengan menggunakan dana yang berasal dari simpanan masyarakat yang diberikan kepada nasabah yang telah diyakini benar oleh Bank mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan dan pihak Bank kepada debitur harus membuat bentuk perjanjian dalam pemberian kredit.

Oleh karena itu menurut hukum, perjanjian kredit harus dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUHPerdata seperti telah diuraikan di depan. Namun dari sudut pembuktian perjanjian lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun harus dibuat secara tertulis yang digunakan sebagai alat bukti, misalya kita menyimpan tabungan atau deposito di Bank maka akan memperoleh buku tabungan atau biyet deposito sebagai alat bukti. Maka untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian kredit secara tertulis sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum untuk tidak dilanggar, oleh karena itu penjelasan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang nomer 10 tahun 1998 tentang Perbankan menjelaskan bahwa:

“Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis”

Dengan demikian, pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit tertulis, baik akta dibawah tangan maupun akta notarial yang menyebutkan bahwa :

1. Akta Dibawah Tangan

Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan dinamakan akta dibawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan fomulir perjanjian dalam bentuk standard ( standaardform ) yang isinya, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sediri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Dibawah Tangan.

Dalam rangka penandatangan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada calon-calon debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut . syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau dirundingkan atau di negoisasi dengan calon debitur. Calon debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit. Seandainya calon debitur melakukan protes atau tidak setuju terhadap Pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon debitur. Calon debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit ( posisi lemah ) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon debitur dapat menyetujui. Perjanjian kredit yang sudah disiapkan Bank dalam bentuk standard ( standard form ), contohnya perjanjian kredit retail BRI, perjanjian kredit pemilikan rumah Bank Tabungan Negara ( KPR – BTN ) dan lain sebagainya.

2. Akta Notar ial

Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris yang dinamakan Akta Otentik atau Akta Notarial. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian

itu adalah seorang Notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam Akta Notariil. Memang notaries dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk Akta Notariil atau Akta Otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk Akta Notariil atau Akta Otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, sperti iventasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi ( kredit yang diberikan lebih dari dari satu kreditur atau lebih dari satu Bank ).40

Apabila dalam perjanjian kredit tersebut debitur melanggar dalam isi perjanjian kredit seperti, jangka waktu pembiayaannya telah habis akan tetapi debitur tidak atau belum dapat melunasi kewajibannya untuk membayar hutangnya pada Bank. maka pihak Bank menilai telah melakukan cidera janji atau wanprestasi. Ketentuan cidera janji merupakan ukuran yang sangat penting atau dasar hukum bagi kreditur untuk mengambil langkah atau tindakan kepada debitur apakah memberikan somasi atau jika diperlukan tindakan hukum.41

3.2Wanpr estasi

Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, maka perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Dalam hal ini ada 4 keadaan, yaitu : a. Debitur tidak melakukan prestasi apapun sesuai ketentuan perjanjian kredit.

Misalnya, debitur tidak membayar bunga yang diwajibkan setiap bulan harus dibayar. Debitur tidak membayar angsuran hutangnya setiap bulan yang diwajibkan dibayar setiap bulan.

b. Debitur melaksanakan prestasi sesuai apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

Misalnya, debitur membayar bunga setiap bulan tetapi jumlahnya kurang dari yang ditentukan dalam perjanjian. Contohnya, bunga tiap bulan sesuai

40

Op.cit., Sutarno, hal 99-100.

41

perjanjian besarnnya lima juta rupiah tetapi debitur hanya membayar empat juta rupiah.

c. Debitur melakukan prestasi sesuai apa yang dijanjikan tetapi terlambat. Misalnya, debitur diwajibkan membayar angsuran hutangnya ( pokok dan bunganya ) setiap bulan selambat-lambatnya akhir bulan tetapi debitur baru membayar setelah lewat bulat yang bersangkutan. Atau debitur harus melunasi seluruh hutangnya selambat-lambatnya akhir jangka waktu kredit misalnya 18 agustus 2002 tetapi debitur baru membayar tanggal 25 agustus 2002. Pada umumnya dengan lewatnya jangka waktu kredit debitur belum melunasi seluruh kewajibanya maka debitur dinilai wanprestasi. Tetapi lewatnya jangka waktu kredit bukan satu-satunya alasan cidera janji masih terdapat ukuran lainnya untuk menetapkan debitur wanprestasi. Kalau lewatnya jangka waktu kredit merupakan satu-satunya ukuran wanprestasi maka tidak menguntungkan bagi kreditur atau bank terhadap kredit jangka panjang misalnya jangka waktu 5-20 tahun. Bank tidak bisa menagih sebelum jangka waktu 5-20 tahun lewat. Oleh karena itu harus ada ukuran atau alasan lain yang tidak bisa dipenuhi atau dipatuhi debitur dapat dijadikan alasan lain untuk menetapkan wanprestasi.

d. Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Misalnya, kreditnya diberikan kepada debitur sesuai perjanjian digunakan untuk konstruksi pembangunan rumah tetapi oleh debitur digunakan membeli mesin-mesin. Ini berarti debitur melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan.42

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi perlu diperhatikan perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitur supaya dia memenuhi prestasi. Dalam hal ini telah ditentukan tenggang waktunya menurut ketentuan pasal 1238 KUHPerdata, debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.

42

Untuk memperingatkan debitur supaya dia memenuhi prestasi perlu diberikan peringatan tertulis atau surat selama tiga kali dan penagihan secara rutin oleh depkoletor Bank BRI . Peringatan tertulis yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan dan . Jika dalam waktu itu debitur tidak memenuhinya, maka debitur dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.

Peringatan tertulis misalnya, melalui surat tercatat, telegram, faksimile, atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debitur dengan tanda terima. Surat peringatan itu disebut ingbreke stelling.

Setelah itu peringatan tertulis diterima oleh debitur dan debitur melakukan itikad baik untuk melunasinya, maka Bank BRI melakukan upaya perdamaian. Upaya perdamaian tersebut dengan cara kekeluargaan dan kreditur melakukan restrukturisasi kredit dengan membuat penjadwalan ulang kredit dan pengurangan tunggakan bunga dan besarnya pengurangan tunggakan dapat diberikan maksimal sebesar tunggakan bunga yang ada tetapi tetap harus memperhitungkan risiko kerugian yang paling minimum bagi BRI unit khususnya bagi tunggakan bunga yang belum dibayar sama sekali sejak kupedes direalisir termasuk bagi kupedes dengan angsuran sekali lunas. Apabila udah dilakukan restrukturisasi seorang debitur tetap melakukan wanprestasi, maka pihak Bank BRI mempunyai 3 cara untuk mengatasinya sebagai berikut :

1. Menjual agunan yang dilakukan BRI tetapi atas kesepakatan debitur.

2. Debitur menjual sendiri agunannya dan apabila harga penjualan agunannya lebih dari hutangnya, maka sisanya uang penjualan agunan bisa ambil.

3. Menjual agunan melalui Notaris.43 3.2.1Sanksi Hukum Wanprestasi.

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman dan sanksi hukum berikut ini :

a. Debitur diwajibkan membayar ganti rugi kerugian yang diderita oleh kreditur, menurut Pasal 1234 KUHPerdata bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan, menurut Pasal 1266 KUHPerdata bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

c. Perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi, menurut Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata bahwa jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.

d. Debitur wajib membayar biaya pekara jika dipekarakan di muka pengadilan negeri dan debitur dinyatakan bersalah.44

43

Wawancara dengan mantri atau staf-staf Bank BRI.

44

Op.cit., Abdulkadir Muhammad, hal 242-243.

BAB IV

PENUTUP

4.1Kesimpulan

Berdasarkan data yang diperoleh bahwa pemberian kredit oleh Bank BRI di Surabaya dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pemberian kredit oleh Bank BRI yang diberikan kepada debitur dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat dapat diberikan, karena untuk memungkinkan perluasan pasar modal, tidak semua nasabah mempunyai SHM atau HGB dan pihak kreditur mempunyai surat kuasa menjual agunan notariil dari Notaris apabila debitur melakukan wanprestasi.

2. Syarat-syarat serta tahapan-tahapan pemberian kredit yang diberikan pihak Bank BRI menurut para debitur sangat susah dan lama.

3. Apabila jaminan petok D atas namanya tidak sama atau berbeda dengan Kartu Tanda Penduduk ( KTP ) debitur maka Bank BRI tidak dapat memberikan pemberian kredit.

4. Apabila dalam perjanjian kredit debitur melanggar dalam isi perjanjian, maka pihak Bank BRI menilai bahwa debitur melakukan cidera janji atau wanprestasi.

5. Upaya Bank BRI terhadap debitur yang melakukan wanprestasi yaitu dengan melakukan penagihan secara rutin oleh depkolektor serta mencantumkan

surat pemanggilan sebanyak tiga kali agar debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan.

6. Apabila debitur melakukan itikad baik dengan memenuhi prestasinya, pihak Bank BRI akan melakukan upaya perdamaian dengan melakukan restrukturisasi penjadwalan ulang kredit dan melakukan pengurangan tunggakan bunga.

4.2Sar an

Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat disampaikan beberapa saran antara lain :

1. Proses pemberian kredit terhadap debitur supaya evaluasi yang lebih diperketat, agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan debitur dikemudian hari.

2. Tahapan proses permohonan pengambilan kredit supaya lebih disederhanakan, agar tidak menyulitkan calon debitur.

3. Agar tidak memberatkan debitur, maka bunga yang ditetapkan oleh Bank BRI Surabaya supaya dikurangi.

Dokumen terkait