• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak dalam Rumah

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak dalam Rumah

kekerasan dalam rumah tangga?

3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga?

C. Tujuan Penulisan Hukum

Adapun tujuan yang ingin dicapai Penulis dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

b. Untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

c. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan pemahaman Penulis dalam bidang hukum pidana khususnya mengenai anak sebagai korban kekerasan rumah tangga dan bentuk perlindungan serta kendala-kendalanya.

D. Manfaat Penulisan Hukum

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum, khususnya viktimologi.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai teaching materials mata kuliah viktimologi maupun mata kuliah terkait perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi tambahan bagi Penulis lain yang kaitannya dengan viktimologi.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberi jawaban atas permasalahan yang akan diteliti.

b. Dapat mengembangkan daya pikir dan analisis Penulis sehingga dapat mengetahui kemampuan Penulis dalam menerapkan materi ilmu hukum yang diperoleh.

c. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca maupun Penulis mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang kaitannya dengan kekerasan dalam rumah tangga.

d. Dapat dipakai sebagai masukan bagi kalangan penegak hukum, lembaga perlindungan anak, keluarga, masyarakat maupun pemerintah terkait dengan permasalahan yang diteliti oleh Penulis.

E. Metode Penulisan Hukum

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum jenis ini acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law of books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008: 18).

2. Sifat Penelitian

Sifat Penelitian dalam penulisan ini adalah deskriptif. “Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat” (Amirudin dan Zainal Asikin, 2006: 25).

Penelitian ini memberikan deskripsi mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang dialami anak dalam rumah tangga, membahas perlindungan hukum terhadap kekerasan yang dialami anak dalam rumah tangga, dan membahas mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum normatif ini dengan menggunakan pendekatan undang-undang (Statute Approach). Hal tersebut karena penelitian hukum normatif dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93).

Dalam penelitian ini Penulis memusatkan perhatiannya kepada perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

4. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan Penulis dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu :

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Bahan hukum primer yang digunakan dalam penyusunan ini, antara lain :

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban.

5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan.

8) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan

Kerjasama dan Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 10) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi

Konvensi Hak Anak.

b. Bahan hukum sekunder, yang terutama adalah buku-buku hukum,

termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum, disamping itu juga, kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 155).

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus (hukum), eksiklopedia (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008: 32).

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu teknik yang dilakukan peneliti dalam mencari, memilih dan mereduksi data yang digunakan dalam penelitian. Tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini adalah mengumpulkan bahan kepustakaan, baik kepustakaan biasa maupun kepustakaan internet (cyber library) yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan dengan seefektif mungkin.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam mengklarifikasikan, menguraikan data yang diperoleh kemudian melalui proses pengolahan nantinya data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Metode deduksi adalah metode yang digunakan Penulis untuk analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini. Sedangkan yang dimaksud dengan metode deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor

yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun oleh Penulis ialah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, Penulis mengangkat masalah tinjauan viktimologi terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa sering menjadi korban kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial dan kebanyakan kasus yang ditemukan pelaku utamanya adalah orang tua atau keluarga terdekatnya yang seharusnya menjadi tempat berlindung paling aman dari segala ancaman dan bahaya yang dapat dialami oleh anak seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sejalan dengan itu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga mengatur mengenai perlindungan bagi anggota rumah tangga (termasuk anak), harus dilakukan oleh orang tua dan keluarga terdekatnya, sehingga dengan demikian Penulis merumuskan masalah yakni bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dan juga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dengan tujuan mencari jawaban dari rumusan masalah yang ada, tujuan penulisan hukum, manfaat penulisan hukum dan metode penulisan hukum serta sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori memberikan landasan teori atau

memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang Penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang Penulis teliti. Hal tersebut meliputi : Tinjauan Tentang Viktimologi, Tinjauan Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Tinjauan Tentang Korban dan Tinjauan Tentang Anak. Dalam hal ini, untuk kerangka pemikiran Penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, Penulis membahas sekaligus menjawab permasalahan yang telah ditentukan Penulis sebelumnya. Pertama mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, kedua mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dan ketiga mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas hasil keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Viktimologi a. Pengertian Viktimologi

Viktimologi berasal dari bahasa latin yaitu victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi dapat diartikan suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.

b. Perkembangan Viktimologi

Perkembangan viktimologi dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu :

1) Fase Penal atau Special Victimology, yaitu fase dimana viktimologi

hanya mempelajari korban kejahatan saja.

2) Fase General Victimology, yaitu fase dimana viktimologi tidak hanya

mempelajari tentang korban kejahatan namun juga korban kecelakaan.

3) Fase New Victimology, yaitu fase viktimologi yang telah mengalami

perkembangan yang lebih luas, bukan hanya korban kejahatan dan kecelakaan saja yang dipelajari, namun juga korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan menyangkut hak-hak asasi manusia. c. Ruang Lingkup Viktimologi

Viktimologi meneliti mengenai korban, seperti peranan korban saat terjadinya tindak pidana, hubungan antara korban dan pelaku, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan.

Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimy yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan korban bencana alam selain korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun dalam perkembangannya di tahun 1985, Separovic mempelopori pemikiran agar viktimologi khusus mengkaji

korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau bencana alam, karena bencana alam di luar kemauan manusia (out of man’s will) (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 43).

Perkembangan mengenai ruang lingkup viktimologi menjadi lebih luas lagi, hal ini mengingat pentingnya peranan korban dalam setiap terjadinya tindak pidana, seperti dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kelima di Genewa tahun 1975 dan Kongres keenam tahun 1980 di Caracas yang meminta perhatian lebih untuk korban kejahatan selain kejahatan konvensional seperti pemerasan, pencurian dan pembunuhan namun korban kejahatan inkonvensional seperti terorisme, pembajakan dan kejahatan kerah putih.

d. Manfaat Viktimologi

Beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari viktimologi adalah sebagai berikut :

1) Viktimologi mempelajari hakekat siapa itu korban dan yang

menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam suatu proses viktimisasi;

2) Viktimologi memberikan sumbangan pengertian yang lebih baik

tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya ialah untuk memberikan penjelasan mengenai peran korban dan hubungannya dengan pelaku;

3) Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai

hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau nonstruktural;

4) Viktimologi juga memberikan permasalahan viktimisasi yang tidak

langsung. Dengan demikian dimungkinkan menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus, mengetahui

terlebih dahulu kasus–kasus, mengatasi akibat–akibat merusak dan mencegah pelanggaran kejahatan lebih lanjut;

5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi masalah

kompensasi pada korban. Pendapat-pendapat viktimologis

dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap perilaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga suatu studi mengenai hak dan kewajiban hak asasi manusia (Arif Gosita, 1989: 41).

e. Tujuan Viktimologi

Tujuan viktimologi menurut Muladi adalah

1) Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;

2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya

viktimisasi;

3) Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan

manusia (Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto & G. Widiartana, 2001: 175).

2. Tinjauan Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga a. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga diistilahkan dengan kekerasan domestik, dengan pengertian domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam suatu hubungan suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu, jadi bisa saja tidak ada hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah (anak, adik, kakak, dll) atau bahkan seorang pembantu rumah tangga.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah

tangga. Menurut H. Lien Brugg bahwa “domestic violence is a pattern of coercive and assaultive behaviors that include physical, sexual, verbal, and psychological attacks and economic coercion that adults or adolescents use against their intimate partner”(Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola tindakan kekerasan dan penyerangan fisik, seksual, verbal, dan serangan psikis dan penelantaran ekonomi kepada orang dewasa atau anak-anak/remaja oleh orang dekatnya) (H. Lien Brugg, 2003: 15).

b. Ruang Lingkup Rumah Tangga

Didalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dinyatakan bahwa lingkup rumah tangga meliputi :

1) Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau

3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut.

H. Lien Brugg memberikan pengertian ruang lingkup keluarga yang lebih luas, yaitu wanita, pria, anak/remaja, orang cacat, gay atau lesbian sesuai dengan pernyataannya bahwa “ Anyone can become a victim of domestic violence. Victims of domestic violence can be women, men, adolescents, disabled persons, gays, or lesbians, they can be of any age and work in any profession”(Setiap orang dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dialami oleh wanita, pria, anak-anak/remaja, orang cacat, gay atau lesbian dari berbagai umur dan bekerja diberbagai profesi) (H. Lien Brugg, 2003: 23). c. Unsur-Unsur Kekerasan dalam Rumah Tangga

Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan dalam rumah tangga menurut Iptu Nunik Suryani dari Polres Klaten adalah

2) Korban perempuan dan/atau anak;

3) Berakibat kesengsaraan/penderitaan fisik, psikis, seksual dan

penelantaran;

4) Perbuatan pemaksaan/perampasan kemerdekaan;

5) Terjadi dalam lingkup rumah tangga (Nunik Suryani, 2006).

3. Tinjauan Tentang Korban a. Pengertian Korban

Korban suatu tindak kejahatan tidak selalu berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum, bahkan dalam kejahatan tertentu, bisa juga korban adalah berupa ekosistem, hewan atau tumbuhan. Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli, konvensi-konvensi internasional maupun dalam peraturan perundang-undangan, untuk lebih jelasnya beberapa pengertian korban adalah sebagai berikut :

1) Korban menurut beberapa Ahli

a) Menurut Arief Gosita

“korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan hak asasi pihak yang dirugikan” (Arif Gosita, 1993: 63).

b) Menurut Muladi

“korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau kondisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan” (Muladi dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 46).

c) Menurut Raplh de Sola, korban (victim) “…person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemted criminal offense committed by another…”

(korban adalah orang yang mengalami penderitaan mental atau fisik, kehilangan harta benda atau mengakibatkan kematian karena suatu tindak pidana atau percobaan tindak pidana yang dilakukan orang lain) (Raplh de Sola dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 46).

2) Korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Definisi korban menurut undang-undang ini, korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

3) Korban menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban

Definisi korban menurut undang-undang ini adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang menderita secara langsung, namun lebih luas bahwa korban termasuk didalamnya keluarga ataupun tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi kerugian atau untuk mencegah viktimisasi. Namun dalam penelitian ini yang dimaksud korban yaitu orang yang mengalami kerugian/penderitaan secara langsung baik fisik, mental dan sosial yang terjadi dalam rumah tangga dan dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, khususnya orang tua.

b. Tipologi Korban

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 49) :

1) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap

2) Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.

3) Provocative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan

terjadinya kejahatan.

4) Participating victims, yaitu mereka dengan perilakunya memudahkan

dirinya menjadi korban.

5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan

yang dibuatnya sendiri.

Tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 49) :

1) Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama

sekali dengan pelaku.

2) Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong

dirinya menjadi korban.

3) Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi

dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

4) Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki

kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

5) Sosially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial

yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

6) Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena

kejahatan yang dilakukannya sendiri.

Menurut Sellin dan Wolfgang, pengelompokan korban sebagai berikut (Sellin dan Wolfgang dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 50) :

1) Primary victimization, yaitu berupa individu atau perorangan (bukan

kelompok).

2) Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan

hukum.

4) No victimization, yaitu korban yang tidak diketahui, misal konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produk.

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, ada empat prinsip tipe korban, hal ini dikemukakan oleh Stephen Schafer, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 50) :

1) Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetap menjadi korban.

Tipe ini kesalahan ada pada pelaku.

2) Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang

merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Tipe ini, korban dinyatakan turut andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.

3) Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.

Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin dan sebagainya. Dalam hal ini korban tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.

4) Korban karena juga sebagai pelaku, ini yang dikatakan sebagai

kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.

Apabila mencermati mengenai tipologi korban tersebut, anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam biologically weak

victimsdan primary victimization.

c. Hak-Hak korban

Seseorang yang menjadi korban sering kali tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya mereka terima karena berbagai alasan, misalnya karena kekhawatiran prosesnya yang lama sehingga biaya yang harus dikeluarkan banyak dan untuk korban kekerasan dalam rumah tangga karena menganggap sebagai urusan rumah tangga biasa.

Secara umum hak-hak korban adalah sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 52) :

1) Hak untuk memperoleh ganti rugi atas penderitaan yang dialaminya;

3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;

4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

5) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;

6) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;

7) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan keluar dari tahanan

sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;

8) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan

dengan kejahatan yang menimpa korban;

9) Hak atas kebebasan/kerahasiaan pribadi.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menyatakan hak-hak korban yang secara khusus berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu korban berhak mendapatkan :

1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap

Dokumen terkait