BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Anak sebagai
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimaksudkan agar orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak, yang dalam pelaksanaannya berdasarkan asas-asas, yaitu non diskriminasi; kepentingan yang terbaik untuk anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memberikan definisi perlindungan anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak menyangkut perlindungan agama, kesehatan, pendidikan dan sosial, hal ini terdapat dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 58.
Terkait dengan perlindungan terhadap anak dari kekerasan dalam rumah tangga, maka Penulis akan menguraikan sebagai berikut :
a. Pasal 44 sampai dengan Pasal 47 mengenai perlindungan kesehatan anak. Orang tua dan keluarga bertanggung jawab atas perlindungan kesehatan anak yang harus diberikan secara optimal sejak dalam kandungan dan mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. Hal ini terkait maraknya kasus aborsi karena hamil akibat perkosaan, alasan sosial ekonomi, pergaulan bebas, ketidaksiapan psikologis atau karena tidak diinginkan maka asupan gizi untuk bayi tidak diperhatikan baik sengaja atau tidak disengaja sehingga bayi lahir cacat.
Data yang disajikan Ketua Minat Kesehatan Ibu dan Anak/Reproduksi Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyatakan bahwa 11,13% dari 2,6 juta kasus aborsi di Indonesia dilakukan karena kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy), lebih lanjut dikatakan oleh Deputi Bidang Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Siswanto Agus Wilopo bahwa sedikitnya 700 ribu diantaranya dilakukan oleh remaja atau perempuan berusia di bawah 20 tahun(Setiap jam 300 kasus aborsi
terjadi di Indonesia.
http://berita.kapanlagi.com/hukum- kriminal/setiap-jam-300-kasus-aborsi-terjadi-di-indonesia-pld2uqz.html>[12 November 2010 pukul 12.31 WIB]).
Data lain disajikan oleh Luh Putu Ika Widani dari Kisara (Kita Sayang Remaja) Bali yang mengatakan bahwa jumlah kasus aborsi di Indonesia setiap tahun mencapai 2,3 juta, 30 persen diantaranya dilakukan oleh para remaja. Beliau mengatakan bahwa kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja menunjukkan kecenderungan meningkat antara 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahun, dari survei yang pernah dilakukan pada sembilan kota besar di Indonesia menunjukkan, KTD mencapai 37.000 kasus, 27 persen di antaranya terjadi dalam lingkungan pranikah dan 12,5 persen adalah pelajar(30
Persen Pelaku Aborsi Remaja.
http://www.antaranews.com/view/?i=1234758374&c=NAS&s=>[12 November 2010 pukul 12.42 WIB]).
Selain perlindungan sejak dalam kandungan, di Pasal 47 terdapat juga kewajiban melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuh anak ke pihak lain, hal ini dimaksudkan agar anak tidak dianggap sebagai barang yang bisa seenaknya saja diperjualbelikan potong per potong dengan alasan apapun, terkadang karena masalah ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya maka orang tua tega mengorbankan anaknya untuk diambil organnya dan dijual.
Perlindungan yang diterima oleh anak dalam hal kesehatan, menurut Penulis termasuk perlindungan anak dari kekerasan fisik (terhadap korban aborsi dan pengambilan organ tubuh), kekerasan Psikis (paksaan serta ancaman untuk diambil organnya) dan kekerasan sosial (eksploitasi ekonomi, jual beli organ anak). Walaupun dalam hal ini kondisi anak yang menjadi korban masih dalam kandungan (janin).
b. Pasal 48 sampai dengan Pasal 54 mengenai perlindungan pendidikan anak. Pendidikan untuk anak adalah penting karena anak merupakan masa depan bangsa. Masalah pendidikan untuk anak terkadang dikesampingkan oleh orang tua/keluarga, hal ini terjadi bukan hanya pada keluarga miskin saja, namun juga pada keluarga yang mampu. Pada keluarga miskin pendidikan anak kadang diabaikan karena ketidakmampuan biaya sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, anak juga harus bekerja membantu orang tua, apalagi untuk anak perempuan dianggap hanya akan mengurusi masalah ”dapur”. Untuk keluarga mampu, karena kesibukan orang tua, maka kontrol dan perhatian mengenai perkembangan pendidikan anak tidak dipedulikan, asal diberi uang saku dan penyediaan fasilitas yang banyak, anak dianggap sudah bisa belajar sendiri. Lain lagi untuk anak cacat, terkadang karena kekurangan yang ada didalam diri anak, orang tua/keluarga tidak memberikan layanan pendidikan yang memadai karena dianggap merepotkan dan hanya menghabiskan uang keluarga saja.
Perlindungan pendidikan bagi anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menurut Penulis bukan hanya fasilitas pendidikan yang memadai, namun juga yang paling penting adalah perhatian orang tua/keluarga terhadap perkembangan pendidikan anak.
Perlindungan anak dalam hal pendidikan, menurut Penulis merupakan perlindungan dari kekerasan sosial yaitu penelantaran pendidikan bagi anak.
c. Pasal 55 sampai dengan Pasal 58 mengenai perlindungan sosial anak.
Perlindungan sosial bagi anak, menurut Penulis adalah mengenai perlindungan anak agar anak tidak terlantar dalam hal apapun, sehingga perkembangan anak baik fisik, psikis dan sosialnya tidak terganggu. Kebanyakan kasus anak terlantar di Indonesia adalah karena faktor ekonomi/kemiskinan.
Sejak krisis ekonomi tahun 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat 85 persen. Menurut data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002 jumlah anak terlantar usia 5 -18 tahun sebanyak 3.488.309 anak di 30 provinsi. Sedangkan balita yang terlantar berjumlah 1.178.82, dan anak jalanan tercatat ada 94.674 anak. Anak nakal 193.155. Anak yang membutuhkan perlindungan khusus sekitar 6.686.936 anak, dan yang potensial telantar sebanyak 10.322.674 anak. Yang lebih dahsyat lagi, sekitar 36.500.000 anak Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan(Anak-anak yang terlantar. http://www.anakteladan.org/?p=26>[12 November 2010 pukul 01.02 WIB])
Menurut Asep Chayanto anggota panitia rencana aksi nasional hak asasi manusia (Ranham) kota Tasikmalaya, sekaligus praktisi kemasyarakatan bahwa sebayak 37.740 orang usia bayi di Jawa Barat terlantar akibat permasalahan faktor ekonomi dan kurangnya kesadaran masyarakat termasuk orang tua bayi dalam memahami hak asasi manusia. Selanjutnya Sekretaris daerah kota Tasikmalaya, Drs H Tio Indra Setiadi tersebut, menjelaskan jumlah bayi terlantar merupakan rekapitulasi data anak terlantar di Jawa Barat dari data dinas sosial. Ia menjelaskan selain bayi, kalangan anak-anak yang terlantar di Jawa Barat mencapai 301.357 orang anak, remaja putus sekolah 45.215 orang, anak jalanan 20.655 orang, dan korban `traficking` 31 orang(Sebanyak 37.740 Bayi di Jawa Barat Terlantar. http://www.antaranews.com/berita/1261090816/sebanyak-37740-bayi-di-jawa-barat-terlantar>[12 November 2010 pukul 01.07 WIB]) Di samping ketiga bentuk perlindungan diatas, terdapat pula bentuk perlindungan khusus yang memang diberikan khusus kepada anak-anak yang termasuk anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran. Perlindungan khusus ini di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 71.
Diantara Pasal 59 sampai dengan Pasal 71 tersebut, menurut Penulis hanya beberapa pasal saja yang mengatur mengenai perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana (Pasal 64 ayat (3)), perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan khusus bagi anak korban penjualan dan perdagangan anak (Pasal 68), perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan fisik, psikis dan seksual (Pasal 69), dan perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran (Pasal 71).
Bentuk perlindungan yang diterima oleh anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menurut pasal-pasal yang telah Penulis sebutkan terdapat beberapa bentuk perlindungan yang sama dan yang berbeda, untuk lebih jelasnya maka akan Penulis sajikan sebagai berikut :
a. Pasal 64 ayat (3), perlindungan khusus bagi anak korban tindak pidana, dilaksanakan melalui :
1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga.
2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial.
4) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
b. Pasal 66, perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, dilakukan melalui :
1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.
2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
3) pelibatan berbagai instansi pemerintahan, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
c. Pasal 68, perlindungan khusus bagi anak korban penjualan dan perdagangan anak, dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
d. Pasal 69, perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan fisik, psikis dan seksual, dilakukan melalui :
1) penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak dari tindak kekerasan.
2) pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi.
e. Pasal 71, perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran, dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
Kelemahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam melindungi anak korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain : a. Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang
bertanggungjawab atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat (3)) hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui : (1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; (2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi; (3) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan (4)
pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara. Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan dilakukan melalui : (1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; (2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan (3) pelibatan pemerintah dan
masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual. Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat.
Dengan demikian perlindungan yang diberikan oleh undang-undang ini pada dasarnya masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.
b. Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak (Pasal 74-76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderitaan anak korban kekerasan.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diundangkan tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95. Fokus utama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas :
a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender; c. nondiskriminasi; dan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyebutkan bahwa penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Dalam upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mewajibkan beberapa pihak untuk melakukan kerjasama supaya lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang diarahkan kepada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdapat bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, sebagai berikut :
a. Kepolisian :
1) Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (Pasal 16 (1)).
2) Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan (Pasal 16 (3)).
3) Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (Pasal 18).
4) Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 19).
5) Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang : (a) identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
(b) kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
(c) kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (Pasal 20). b. Tenaga kesehatan (Pasal 21 (1)) :
1) Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi;
2) Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Pasal 21 (2)).
c. Pekerja Sosial (Pasal 22 (1)) :
1) Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
2) Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
3) Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan 4) Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada
korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Pasal 22 (2)).
d. Relawan pendamping (Pasal 23) :
Relawan pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan.
Bentuk pelayanannya adalah:
1) Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara
objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
3) Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
4) Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
e. Pembimbing rohani (Pasal 24) :
Memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
f. Advokat (Pasal 25) :
1) Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
3) Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
g. Pengadilan :
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (Pasal 28).
Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk (Pasal 31 (1)) :
1) menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi korban.
2) mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
Pertimbangan pengadilan dimaksud dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 31 (2)).
Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan (Pasal 33 (1)). Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Pasal 33 (2)).
Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, dengan kewajiban mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Pasal 34).
Kelemahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam melindungi anak korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain :
a. Dalam hal bukti, walaupun dapat dilakukan dengan bukti satu orang yaitu korban sendiri dan hasil visum, banyak institusi kepolisian yang menolak menjalankannya, polisi kerap meminta saksi tambahan, padahal kekerasan ini terjadi dalam lingkup domestik sehingga kecil kemungkinan dilakukan orang lain selain pelaku dan korban, kalaupun dialami atau disaksikan oleh anak, anak kerap bingung, takut, dan tak bisa bersaksi.
b. Kerap terjadi penyulitan pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga, terlebih bila korban mengadu dikantor polisi yang berbeda dengan domisilinya, apalagi hal tersebut dilakukan oleh anak, yang mungkin hanya dianggap hal yang main-main, padahal seringkali korban kekerasan dalam rumah tangga harus pergi dari rumah tempat kasus terjadi untuk mencari perlindungan dari kerabat atau teman.
c. Pengadilan kerap tak mengabulkan permohonan perlindungan terhadap korban sebelum proses peradilan dimulai. Selain itu, besarnya biaya visum yang harus ditanggung korban saat membuat pengaduan juga kerap memberatkan.
Pasalnya, dalam undang-undang tersebut, negara hanya menanggung visum yang dibuat di rumah sakit (RS) pemerintah. Padahal kalau korban dari daerah, biaya perjalanan membuat visum di rumah sakit pemerintah bisa menjadi sangat mahal.
d. Pemerintah belum mewujudkan lembaga konseling yang diamanatkan didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
e. Perlindungan hukum untuk anak yang menjadi korban kekerasan karena perkawinan yang belum tercatat secara resmi juga belum diatur dalam undang-undang ini.
f. Kepolisian juga baru menganggap kekerasan dalam bentuk penelantaran
ekonomi baru bisa diproses jika anak tersebut kelaparan atau diberi makan orang lain.
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban berlaku sejak tanggal 11 Agustus 2006 setelah diundangkan di Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2006.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ini dikeluarkan karena pentingnya saksi dan korban dalam proses pemeriksaan di pengadilan sehingga membutuhkan perlindungan yang efektif, profesional, dan proposional terhadap saksi dan korban.
Perlindungan saksi dan korban dilakukan berdasarkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan kepastian hukum. Perlindungan saksi dan korban berlaku kepada semua proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman pada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
Perlindungan saksi dan korban dilakukan karena adanya hak-hak seorang saksi dan korban yang harus dilindungi, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu :
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Kelemahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi anak korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain :
a. Tidak adanya definisi saksi dan korban secara spesifik terhadap anak yaitu saksi anak dan korban anak, sehingga terdapat perbedaan perlakuan terhadap anak dari orang dewasa yang menjadi korban.
b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya sedikit mengatur mengenai pelapor, tidak disebutkan secara spesifik perbedaan syarat pelapor dengan saksi, serta tidak disebutkan perlindungan hukum terhadap pelapor yang dalam hal ini dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini terlihat di Pasal 10
ayat (1) yang menyebutkan perlindungan saksi bagi saksi dan korban, tidak termasuk saksi pelapor.
c. Dalam hal saksi korban adalah anak, tidak adanya ketentuan secara spesifik