KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
STEPANUS DANANG PRASETYO
NIM. E 0006232
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh
Stepanus Danang Prasetyo
NIM. E0006232
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Desember 2010
Dosen Pembimbing
Dosen Pembimbing I
Prof. DR. Hartiwiningsih,S.H.,M.Hum
NIP. 195702031985032001
Dosen Pembimbing II
Siti Warsini,S.H.,M.H
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh :
Stepanus Danang Prasetyo
NIM. E0006232
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada ,
Hari : Jumat
Tanggal : 31 Desember 2010
Dewan Penguji,
1. Ismunarno, S.H., M.Hum : ………
Ketua
2. Siti Warsini, S.H., M.H : ...
Sekretaris
3. Prof. DR. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum : ... Anggota
Mengetahui
Dekan,
PERNYATAAN
Nama : Stepanus Danang Prasetyo
NIM : E.0006232
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Penulisan hukum (skripsi) berjudul :
KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA adalah betul-betul karya sendiri.
Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda
citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan Penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
Penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Desember 2010
yang membuat pernyataan
Stepanus Danang Prasetyo
ABSTRAK
Stepanus Danang Prasetyo. E0006232. KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kekerasan dan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga serta untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif dan terapan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum terkait isu hukum mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menelaah isu hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Adapun, untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya digunakan jenis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai bahan pengkajian dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektonik (internet). Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis dengan teknik analisis deduksi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasaan sosial. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebenarnya telah mengatur mengenai perlindungan anak dari kekerasan, yaitu kekerasan yang dapat terjadi dalam rumah tangga, seperti yang tercantum dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 71. Upaya perlindungan terus menerus diupayakan baik oleh pemerintah bekerja sama dengan lembaga sosial dan masyarakat. Pelaksanaan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tidaklah semudah yang dibayangkan, hal ini terjadi karena adanya kendala-kendala baik dari anak/korban, keluarga dan juga dari masyarakat, terutama pandangan masyarakat yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah keluarga yang biasa terjadi.
ABSTRACT
Stepanus Danang Prasetyo. E0006232. VIKTIMOLOGY STUDY ON CHILDREN AS VICTIMS OF DOMESTIC VIOLENCE. Faculty of Law University Of Sebelas Maret Surakarta.
This legal research aims to find out how other forms of violence and protect children who are victims of domestic violence and to identify constraints in the implementation of the protection of children as victims of domestic violence.
This research is prescriptive and normative law is applied to find the rule of law, legal principles, as well as legal doctrines related to legal issues regarding legal protection of children who are victims of domestic violence. Some approaches used to examine this legal issue is with the approach of legislation and case approach. Now, to resolve legal issues and provide prescriptions about what should be used when the type of primary law materials and secondary legal materials as a material assessment by techniques studies document collection of legal materials or library materials from both print and electronic media (internet). Further legal materials were analyzed with analysis techniques deduction
Based on the research and discussion concluded that other forms of violence against children in the household in the form of physical violence, psychological violence, sexual violence and social violence. Law Number 23 Year 2002 on Child Protection has actually been set on protecting children from violence, that violence can occur in households, as stated in Article 42 through Article 71. Safeguard measures being taken both by the government in cooperation with social institutions and society. Implementation of the protection of children who are victims of domestic violence is not as easy as imagined, this happens because of the constraints both of the child / victim, the family and also from the community, especially the views of people who think domestic violence is a common family problem occur.
MOTTO
(Wiem Soegondo)
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan skripsi ini untuk :
My Savior and My Redeemer, JESUS
CHRIST
My parents whom i m rightly proud of
My lovely Brother
KATA PENGANTAR
Terima kasih yang tak terhingga serta rasa syukur, terucap kepada Tuhan
Yesus Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan nikmat dan
karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum/skripsi ini
yang berjudul “Kajian Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga”
Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum dan Ibu
Siti Warsini, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan yang terbaik bagi Penulis. Penulis juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung, memberikan
kritik, saran, bantuan serta arahan kepada Penulis, sehingga penulisan hukum ini
dapat terselesaikan. Ungkapan terima kasih tersebut secara khusus Penulis
sampaikan dengan segala kerendahan hati kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Negeri Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
3. Bapak Sapto Hermawan, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik yang
telah membimbing dan mengarahkan Penulis selama masa studi.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta, terima kasih untuk semua ilmu yang diberikan kepada Penulis.
5. Staf Tata Usaha, Staf Pendidikan, Staf Kemahasiswaan, Staf Perpustakaan,
dan segenap karyawan-karyawati Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas
Maret Surakarta.
6. Untuk keluargaku tercinta, Ibu dan Mbah Uti yang tak pernah bosan memberi
motivasi yang baik, dukungan moril dan spirituil serta limpahan cinta dan
kasih sayang. Untuk adikku Anthonius Denny Febrianto yang selalu
menemani dan memberi motivasi serta masukan-masukan bermakna untuk
walaupun hanya sebentar kurasakan kasih sayangmu secara nyata dibumi ini,
namun aku merasakan besarnya kasihmu dari surga.
7. Untuk Budhe dan Pakdhe, Mbak Tutin sekeluarga, Mas Janto sekeluarga, Mas
Kelik, Mas Didik sekeluarga, Pakdhe Nardi sekeluarga, Om Wiem sekeluarga
atas cinta kasih, doa dan dukungannya.
8. Keluarga Besar Pratiyodha Paramita spesial untuk angkatan 9, Keluarga Besar
Soliska (Solidaritas Siswa-Siswi Katolik Klaten) spesial untuk angkatan 11,
Keluarga Besar Gopala Valentara spesial untuk Diklatsar XXIII, semua
saudara-saudaraku dan teman-temanku yang menemaniku mengisi waktu
dengan senyum.
9. Long Distance Spirituality Team (LDS Team) yang setiap hari memberikan
kabar gembira yang menyejukkan dan menguatkan, terima kasih atas doa dan
dukungannnya.
10. Special thanks to my Princess for always grabbing my hands and be my
wings.
11. Untuk semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu Penulis selama ini, terima kasih semuanya.
Akhir kata Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan hukum ini, baik dalam kalimat maupun isinya karena memang tidak ada
yang sempurna. Oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan hukum ini. Semoga
penulisan hukum ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
semua pihak yang membutuhkannya.
Surakarta, Desember 2010
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Kerangka Teori ... 11
1. Tinjauan Tentang Viktimologi... ... 11
a. Pengertian Viktimologi ... 11
b. Perkembangan Viktimologi ... 11
c. Ruang Lingkup Viktimologi ... 11
d. Manfaat Viktimologi... 12
e. Tujuan Viktimologi... 13
2. Tinjauan Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 13
a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 13
b. Ruang Lingkup Rumah Tangga ... 14
c. Unsur-Unsur Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 14
3. Tinjauan Tentang Korban ... 15
a. Pengertian Korban... 15
b. Tipologi Korban ... 16
c. Hak-hak Korban ... 18
d. Kewajiban-kewajiban Korban... 19
4. Tinjauan Tentang Anak ... 20
a. Pengertian Anak ... 20
b. Hak-hak Anak ... 22
c. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak... 26
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 29
A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak dalam Rumah Tangga... 29
B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Anak sebagai Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga... 39
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak... 43
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 49
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 54
C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 62
D. Tinjauan Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 65
BAB IV PENUTUP ... 73
A. Simpulan ... 73
B. Saran... 73
DAFTAR BAGAN
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan
memberikan definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
memberikan pengertian bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
(rumah tangga). Sebuah keluarga (rumah tangga) yang sempurna adalah yang
terdiri dari seorang bapak, seorang ibu dan anak, sehingga kehadiran anak menjadi
hal yang penting dalam sebuah keluarga, begitu pula sebaliknya sebuah keluarga
mempunyai peranan yang penting bagi anak.
Anak dalam perspektif hukum Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi
subyek hukum internasional. Konsekwensi yuridisnya, Konvensi Hak Anak
(KHA) mewajibkan negara yang telah meratifikasi untuk melakukan intervensi
lebih kepada anak melalui hukum domestik. Konstitusi Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (UUD 1945) melalui amandemen telah secara expresive verbis
mendudukkan hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 28
B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh kembang, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi, dengan pemuatan ini perlindungan anak sudah menjadi hak
konstitutif.
Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 3 ayat (2) memberikan tanggung jawab
kepada pihak yang terdekat dengan anak yakni keluarga untuk menjamin
pemenuhan hak anak, bunyi pasal tersebut menyebutkan bahwa negara berusaha
menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk
kesejahteraannya dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang
tua, wali hukum, atau orang-orang lain yang secara sah atas anak, dan untuk
tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang
Keluarga merupakan tempat memberikan pendidikan yang baik untuk
anak. Melalui pendidikan yang diterima dari keluarga, maka anak diharapkan
menjadi seorang yang mempunyai mental dan pribadi yang baik serta dapat
menjadi generasi penerus yang mempunyai potensi bagi agama, keluarga, bangsa
dan bagi dirinya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa anak adalah tunas,
potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, agar setiap anak kelak mampu
memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun
sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberi jaminan terhadap pemenuhan
hak-hak serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Pemahaman ini sejalan
dengan pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Berkaitan dengan hal perlindungan anak dari kekerasan penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan
mengenai upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni
sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, dan komprehensif,
undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak
berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
a. non dikriminasi;
b. kepentingan yang terbaik untuk anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Di sisi lain Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
ialah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan.
Namun demikian, kekerasan terhadap anak terus terjadi dan mengalami
peningkatan.
Tingginya kekerasan pada anak memperlihatkan bahwa persoalan
kekerasan menjadi persoalan yang amat serius, apalagi kekerasan tersebut
dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, terlebih oleh orang tuanya sendiri.
Dari keseluruhan pengaduan kekerasan terhadap anak yang diterima Komisi
Nasional Perlindungan Anak, pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi
diantaranya adalah pertama, munculnya kekerasan dalam rumah tangga,
terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang
lainnya menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak
seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Kedua, terjadinya disfungsi
keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Ketiga,
faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya
kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak
terjadi (Syamsul Muarif. Kekerasan Orang Tua Pada Anak.
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/25/kekerasan-orang-tua-pada-anak>[tanggal 18 Agustus 2010 pukul 09.30 WIB]).
Selama ini pandangan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga
dipandang adalah sesuatu yang wajar dan hal itu disikapi sebagai konflik rumah
tangga semata. Pandangan tersebut diperparah lagi oleh adanya mitos-mitos yang
merendahkan martabat istri, perempuan dan anak-anak, sebaliknya suami/ayah
menjadi dominan terhadap anggota keluarga yang lain. Hal tersebut secara
berlebihan merupakan suatu ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam
rumah tangga, bahkan diterima sebagai sesuatu kondisi yang lazim. Tindak
kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi
manusia. Kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga tersebut telah melanggar
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya
dalam Pasal 13 huruf d yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam
atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan kekejaman,
kekerasan dan penganiayaan. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak.
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merumuskan larangan melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
baik kekerasan fisik, psikis, seksual ataupun penelantaran, yang mana dalam Pasal
2 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga
meliputi suami, istri dan anak, maka dapat dipahami bahwa perlindungan terhadap
anak dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga wajib dilakukan oleh
orang dalam lingkup keluarga tersebut, termasuk juga masyarakat dan pemerintah.
Sebagai salah satu contoh adalah hal yang menimpa Ferry, seorang bayi
berusia 5 (lima) bulan yang dianiaya Yani, ibu kandungnya, sehingga mengalami
patah tulang tangan, kaki, serta gegar otak. Sementara Icha kakak Ferry yang
berumur 5 (lima) tahun juga kerap kali dianiaya oleh Yani, sehingga kepalanya
lebam-lebam dan menyebabkan kondisi psikologisnya tidak baik. Menurut
Psikiater Dadang Hawari, Yani, ibu kandung korban, kemungkinan mengalami
gejala gangguan jiwa dan paranoid karena ditinggal suaminya, ketidaksiapan
mempunyai anak serta impitan ekonomi (Harian Media Indonesia, Pemerintah
Harus Tegas Tangani Kekerasan Pada Anak, Edisi Cetak: Selasa, 8 Juni 2010).
Uraian tersebut menunjukkan masih banyaknya kekerasan yang dialami
anak dalam rumah tangga, terutama oleh orang tua mereka sendiri. Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik untuk mengadakan penulisan hukum
(skripsi) dengan judul KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
Penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga?
2. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai korban
kekerasan dalam rumah tangga?
3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan
terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga?
C. Tujuan Penulisan Hukum
Adapun tujuan yang ingin dicapai Penulis dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam
rumah tangga.
b. Untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak
sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.
c. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan
terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan bagi setiap mahasiswa dalam
meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri
Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan pemahaman Penulis dalam
bidang hukum pidana khususnya mengenai anak sebagai korban kekerasan
rumah tangga dan bentuk perlindungan serta kendala-kendalanya.
D. Manfaat Penulisan Hukum
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai teaching materials
mata kuliah viktimologi maupun mata kuliah terkait perlindungan hukum
terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi
tambahan bagi Penulis lain yang kaitannya dengan viktimologi.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberi jawaban atas permasalahan yang akan diteliti.
b. Dapat mengembangkan daya pikir dan analisis Penulis sehingga dapat
mengetahui kemampuan Penulis dalam menerapkan materi ilmu hukum
yang diperoleh.
c. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca maupun Penulis
mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang kaitannya dengan
kekerasan dalam rumah tangga.
d. Dapat dipakai sebagai masukan bagi kalangan penegak hukum, lembaga
perlindungan anak, keluarga, masyarakat maupun pemerintah terkait dengan
permasalahan yang diteliti oleh Penulis.
E. Metode Penulisan Hukum
1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum jenis ini acapkali
hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law of books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas
(Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008: 18).
2. Sifat Penelitian
Sifat Penelitian dalam penulisan ini adalah deskriptif. “Penelitian
deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran
suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala
Penelitian ini memberikan deskripsi mengenai bentuk-bentuk kekerasan
yang dialami anak dalam rumah tangga, membahas perlindungan hukum
terhadap kekerasan yang dialami anak dalam rumah tangga, dan membahas
mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan
terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum normatif ini dengan menggunakan pendekatan
undang-undang (Statute Approach). Hal tersebut karena penelitian hukum
normatif dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud
Marzuki, 2005: 93).
Dalam penelitian ini Penulis memusatkan perhatiannya kepada
perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah
tangga.
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan Penulis dalam penelitian hukum ini adalah
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier, yaitu :
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2006:
141). Bahan hukum primer yang digunakan dalam penyusunan ini, antara
lain :
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan.
8) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
9) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
Kerjasama dan Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
10) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak.
b. Bahan hukum sekunder, yang terutama adalah buku-buku hukum,
termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum,
disamping itu juga, kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas
putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 155).
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti kamus (hukum), eksiklopedia (Amiruddin dan Zainal
Asikin, 2008: 32).
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah suatu teknik yang dilakukan peneliti
dalam mencari, memilih dan mereduksi data yang digunakan dalam penelitian.
Tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini adalah
mengumpulkan bahan kepustakaan, baik kepustakaan biasa maupun
kepustakaan internet (cyber library) yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan dengan seefektif
mungkin.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam
mengklarifikasikan, menguraikan data yang diperoleh kemudian melalui proses
pengolahan nantinya data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang
diteliti. Metode deduksi adalah metode yang digunakan Penulis untuk analisis
data yang diperoleh dalam penelitian ini. Sedangkan yang dimaksud dengan
yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut
ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun oleh Penulis ialah
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi latar belakang, Penulis mengangkat masalah tinjauan
viktimologi terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah
tangga. Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus
cita-cita perjuangan bangsa sering menjadi korban kekerasan baik secara
fisik, psikis, seksual maupun sosial dan kebanyakan kasus yang
ditemukan pelaku utamanya adalah orang tua atau keluarga terdekatnya
yang seharusnya menjadi tempat berlindung paling aman dari segala
ancaman dan bahaya yang dapat dialami oleh anak seperti yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, sejalan dengan itu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga mengatur
mengenai perlindungan bagi anggota rumah tangga (termasuk anak),
harus dilakukan oleh orang tua dan keluarga terdekatnya, sehingga
dengan demikian Penulis merumuskan masalah yakni bentuk-bentuk
kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, bentuk-bentuk
perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah
tangga dan juga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah
tangga dengan tujuan mencari jawaban dari rumusan masalah yang ada,
tujuan penulisan hukum, manfaat penulisan hukum dan metode
penulisan hukum serta sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka
memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur
yang Penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan yang sedang Penulis teliti. Hal tersebut meliputi :
Tinjauan Tentang Viktimologi, Tinjauan Tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Tinjauan Tentang Korban dan Tinjauan Tentang Anak.
Dalam hal ini, untuk kerangka pemikiran Penulis akan menampilkan
bagan kerangka pemikiran.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini, Penulis membahas sekaligus menjawab
permasalahan yang telah ditentukan Penulis sebelumnya. Pertama
mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga,
kedua mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga dan ketiga mengenai
kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak
sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan penutup yang menguraikan secara singkat
tentang simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan
permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas
hasil keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Viktimologi
a. Pengertian Viktimologi
Viktimologi berasal dari bahasa latin yaitu victima yang berarti
korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi dapat
diartikan suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya
korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah
manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
b. Perkembangan Viktimologi
Perkembangan viktimologi dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu :
1) Fase Penal atau Special Victimology, yaitu fase dimana viktimologi
hanya mempelajari korban kejahatan saja.
2) Fase General Victimology, yaitu fase dimana viktimologi tidak hanya
mempelajari tentang korban kejahatan namun juga korban kecelakaan.
3) Fase New Victimology, yaitu fase viktimologi yang telah mengalami
perkembangan yang lebih luas, bukan hanya korban kejahatan dan
kecelakaan saja yang dipelajari, namun juga korban karena
penyalahgunaan kekuasaan dan menyangkut hak-hak asasi manusia.
c. Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti mengenai korban, seperti peranan korban saat
terjadinya tindak pidana, hubungan antara korban dan pelaku, rentannya
posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan.
Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi
bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu
victimy yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk
pula korban kecelakaan, dan korban bencana alam selain korban kejahatan
dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun dalam perkembangannya di tahun
korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak
mengkaji korban karena musibah atau bencana alam, karena bencana alam
di luar kemauan manusia (out of man’s will) (Dikdik M. Arief Mansur dan
Elisatris Gultom, 2007: 43).
Perkembangan mengenai ruang lingkup viktimologi menjadi lebih
luas lagi, hal ini mengingat pentingnya peranan korban dalam setiap
terjadinya tindak pidana, seperti dalam Kongres Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) kelima di Genewa tahun 1975 dan Kongres keenam tahun
1980 di Caracas yang meminta perhatian lebih untuk korban kejahatan
selain kejahatan konvensional seperti pemerasan, pencurian dan
pembunuhan namun korban kejahatan inkonvensional seperti terorisme,
pembajakan dan kejahatan kerah putih.
d. Manfaat Viktimologi
Beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari viktimologi
adalah sebagai berikut :
1) Viktimologi mempelajari hakekat siapa itu korban dan yang
menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi
bagi mereka yang terlibat dalam suatu proses viktimisasi;
2) Viktimologi memberikan sumbangan pengertian yang lebih baik
tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan
mental, fisik dan sosial. Tujuannya ialah untuk memberikan penjelasan
mengenai peran korban dan hubungannya dengan pelaku;
3) Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai
hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang
dihadapinya berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka.
Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak
menjadi korban struktural atau nonstruktural;
4) Viktimologi juga memberikan permasalahan viktimisasi yang tidak
langsung. Dengan demikian dimungkinkan menentukan asal mula
terlebih dahulu kasus–kasus, mengatasi akibat–akibat merusak dan
mencegah pelanggaran kejahatan lebih lanjut;
5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi masalah
kompensasi pada korban. Pendapat-pendapat viktimologis
dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi
pengadilan terhadap perilaku kriminal. Mempelajari korban dari dan
dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga suatu studi mengenai
hak dan kewajiban hak asasi manusia (Arif Gosita, 1989: 41).
e. Tujuan Viktimologi
Tujuan viktimologi menurut Muladi adalah
1) Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya
viktimisasi;
3) Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan
manusia (Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto & G. Widiartana,
2001: 175).
2. Tinjauan Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga
a. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga diistilahkan dengan
kekerasan domestik, dengan pengertian domestik ini diharapkan memang
tidak melulu konotasinya dalam suatu hubungan suami istri saja, tetapi juga
setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu, jadi bisa saja tidak ada
hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah (anak, adik, kakak, dll) atau
bahkan seorang pembantu rumah tangga.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan definisi
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
tangga. Menurut H. Lien Brugg bahwa “domestic violence is a pattern of
coercive and assaultive behaviors that include physical, sexual, verbal, and
psychological attacks and economic coercion that adults or adolescents use
against their intimate partner”(Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola
tindakan kekerasan dan penyerangan fisik, seksual, verbal, dan serangan
psikis dan penelantaran ekonomi kepada orang dewasa atau
anak-anak/remaja oleh orang dekatnya) (H. Lien Brugg, 2003: 15).
b. Ruang Lingkup Rumah Tangga
Didalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dinyatakan bahwa
lingkup rumah tangga meliputi :
1) Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
H. Lien Brugg memberikan pengertian ruang lingkup keluarga yang
lebih luas, yaitu wanita, pria, anak/remaja, orang cacat, gay atau lesbian
sesuai dengan pernyataannya bahwa “ Anyone can become a victim of
domestic violence. Victims of domestic violence can be women, men,
adolescents, disabled persons, gays, or lesbians, they can be of any age and
work in any profession”(Setiap orang dapat menjadi korban kekerasan
dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dialami
oleh wanita, pria, anak-anak/remaja, orang cacat, gay atau lesbian dari
berbagai umur dan bekerja diberbagai profesi) (H. Lien Brugg, 2003: 23).
c. Unsur-Unsur Kekerasan dalam Rumah Tangga
Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan dalam rumah tangga
menurut Iptu Nunik Suryani dari Polres Klaten adalah
2) Korban perempuan dan/atau anak;
3) Berakibat kesengsaraan/penderitaan fisik, psikis, seksual dan
penelantaran;
4) Perbuatan pemaksaan/perampasan kemerdekaan;
5) Terjadi dalam lingkup rumah tangga (Nunik Suryani, 2006).
3. Tinjauan Tentang Korban
a. Pengertian Korban
Korban suatu tindak kejahatan tidak selalu berupa individu atau
orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau
juga badan hukum, bahkan dalam kejahatan tertentu, bisa juga korban
adalah berupa ekosistem, hewan atau tumbuhan. Berbagai pengertian
korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli, konvensi-konvensi
internasional maupun dalam peraturan perundang-undangan, untuk lebih
jelasnya beberapa pengertian korban adalah sebagai berikut :
1) Korban menurut beberapa Ahli
a) Menurut Arief Gosita
“korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
hak asasi pihak yang dirugikan” (Arif Gosita, 1993: 63).
b) Menurut Muladi
“korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik
atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial
terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau
kondisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara,
termasuk penyalahgunaan kekuasaan” (Muladi dalam Dikdik M.
Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 46).
c) Menurut Raplh de Sola, korban (victim) “…person who has injured
mental or physical suffering, loss of property or death resulting from
(korban adalah orang yang mengalami penderitaan mental atau fisik,
kehilangan harta benda atau mengakibatkan kematian karena suatu
tindak pidana atau percobaan tindak pidana yang dilakukan orang
lain) (Raplh de Sola dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris
Gultom, 2007: 46).
2) Korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Definisi korban menurut undang-undang ini, korban adalah
orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga.
3) Korban menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Definisi korban menurut undang-undang ini adalah seseorang
yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok
yang menderita secara langsung, namun lebih luas bahwa korban termasuk
didalamnya keluarga ataupun tanggungan langsung dari korban dan
orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
kerugian atau untuk mencegah viktimisasi. Namun dalam penelitian ini
yang dimaksud korban yaitu orang yang mengalami kerugian/penderitaan
secara langsung baik fisik, mental dan sosial yang terjadi dalam rumah
tangga dan dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam lingkup rumah
tangga, khususnya orang tua.
b. Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk
lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban, yaitu
sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 49) :
1) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap
2) Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu
sehingga cenderung menjadi korban.
3) Provocative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan
terjadinya kejahatan.
4) Participating victims, yaitu mereka dengan perilakunya memudahkan
dirinya menjadi korban.
5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan
yang dibuatnya sendiri.
Tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status
korban, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris
Gultom, 2007: 49) :
1) Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan pelaku.
2) Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong
dirinya menjadi korban.
3) Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
4) Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
5) Sosially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial
yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
6) Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Menurut Sellin dan Wolfgang, pengelompokan korban sebagai
berikut (Sellin dan Wolfgang dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris
Gultom, 2007: 50) :
1) Primary victimization, yaitu berupa individu atau perorangan (bukan
kelompok).
2) Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan
hukum.
4) No victimization, yaitu korban yang tidak diketahui, misal konsumen
yang tertipu dalam menggunakan suatu produk.
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, ada
empat prinsip tipe korban, hal ini dikemukakan oleh Stephen Schafer, yaitu
sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 50) :
1) Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetap menjadi korban.
Tipe ini kesalahan ada pada pelaku.
2) Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Tipe ini, korban
dinyatakan turut andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan
terletak pada pelaku dan korban.
3) Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.
Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin
dan sebagainya. Dalam hal ini korban tidak dapat disalahkan, tetapi
masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
4) Korban karena juga sebagai pelaku, ini yang dikatakan sebagai
kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia
juga sebagai pelaku.
Apabila mencermati mengenai tipologi korban tersebut, anak sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam biologically weak
victimsdan primary victimization.
c. Hak-Hak korban
Seseorang yang menjadi korban sering kali tidak mempergunakan
hak-hak yang seharusnya mereka terima karena berbagai alasan, misalnya
karena kekhawatiran prosesnya yang lama sehingga biaya yang harus
dikeluarkan banyak dan untuk korban kekerasan dalam rumah tangga karena
menganggap sebagai urusan rumah tangga biasa.
Secara umum hak-hak korban adalah sebagai berikut (Dikdik M.
Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 52) :
1) Hak untuk memperoleh ganti rugi atas penderitaan yang dialaminya;
3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan keluar dari tahanan
sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
8) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan
dengan kejahatan yang menimpa korban;
9) Hak atas kebebasan/kerahasiaan pribadi.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menyatakan hak-hak korban
yang secara khusus berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu
korban berhak mendapatkan :
1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
5) Pelayanan bimbingan rohani.
d. Kewajiban-Kewajiban Korban
Penanggulangan kejahatan tidak akan berjalan dengan baik apabila
tidak ada informasi dari korban itu sendiri, maka disamping hak yang telah
diterima korban, melekat juga kewajiban kepadanya, antara lain:
1) Kewajiban untuk tidak main hakim sendiri/balas dendam terhadap
pelaku;
2) Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan
3) Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai
terjadinya kejahatan kepada pihak berwenang;
4) Kewajiban untuk tidak melakukan penuntutan yang berlebihan kepada
pelaku;
5) Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa
dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;
6) Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam
upaya penanggulangan kejahatan;
7) Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak
menjadi korban lagi.
4. Tinjauan Tentang Anak
a. Pengertian Anak
Hukum Indonesia terdapat pluralisme terhadap kriteria anak, ini
sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara
tersendiri kriteria tentang anak. Antara lain dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 24 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa
apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila
ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya
si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya dengan tidak dikenakan upaya hukum, atau
memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak
dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini
sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak.
2) Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak lebih dahulu kawin.
3) Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
4) Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi
dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin.
Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah
kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam
perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak
dianggap sudah dewasa; walaupun umurnya belum genap 18 (delapan
belas) tahun.
5) Anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok
Perkawinan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Pokok Perkawinan mengatakan, seorang pria hanya diijinkan kawin
apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
telah mencapai umur 16 tahun (enam belas) tahun. Penyimpangan atas
hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan
Negeri.
6) Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
Dalam praktek terdapat kesulitan menentukan usia ini, karena tidak
semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat kenal Lahir, Akibatnya
adakalanya menentukan usia ini dipergunakan Rapor, Surat baptis atau
Surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Kadang kala terdapat
kejanggalan, anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya
tapi menurut keterangan usia masih muda. Bahkan adakalanya orang yang
terlibat kasus pidana membuat keterangan bahwa dia masih anak-anak
sementara usia sudah dewasa dan sudah kawin. Dengan banyaknya batasan
umur yang berbeda dari peraturan-peraturan yang ada, maka dalam hal
definisi anaka, Penulis menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Hak-Hak Anak
Anak sebagai generasi penerus bangsa telah mendapatkan kedudukan
oleh dunia internasional, dengan banyaknya pelanggaran terhadap hak-hak
anak maka terdapat berbagai macam peraturan untuk melindungi hak-hak
anak agar perkembangan anak berjalan dengan baik. Peraturan yang bersifat
internasional ini selanjutnya diikuti oleh negara-negara di dunia dengan
meratifikasinya sehingga di masing-masing negara, khususnya Indonesia
terdapat peraturan mengenai perlindungan hak anak.
1) Hak Anak menurut Konvensi Hak Anak (Child Right Convention)
Hak anak telah diakui secara internasional dengan adanya
Konvensi Hak Anak (Child Right Convention) pada tanggal 20
November 1989 yang disepakati dalam Sidang Majelis Umum (General
Assembly) Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-44, yang selanjutnya telah
dituangkan dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 44/25
tanggal 5 Desember 1989. Konvensi hak anak ini merupakan hukum
internasional yang mengikat negara peserta (state parties), Indonesia
sebagai masyarakat internasional dan anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Adapun hak anak menurut Konvensi Hak Anak jo Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Hak Anak adalah
sebagai berikut :
1. Hak Hidup (Survival Rights), perlindungan ini meliputi :
a. Anak mempunyai hak untuk hidup (Pasal 6);
b. Hak atas tingkat kehidupan yang layak atas kesehatan dan
pelayanan kesehatan (Pasal 24).
2. Hak mendapatkan Perlindungan (Protection Right), hak ini
meliputi :
a. Larangan diskriminasi anak,
1. Nondiskriminasi terhadap anak (Pasal 2);
2. Hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan (Pasal 7);
3. Hak anak cacat (Pasal 23);
4. Hak anak kelompok minoritas (Pasal 30).
b. Larangan eksploitasi anak,
1. Hak berkumpul dengan orang tua (Pasal 10);
2. Kewajiban negara mencegah atau mengatasi penculikan
(Pasal 11);
3. Kewajiban negara untuk memberi perlindungan khusus bagi
anak yang kehilangan keluarga (Pasal 20);
4. Adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan anak (Pasal 21);
5. Peninjauan periodik atas anak yang ditempatkan dalam
pengasuhan negara karena alasan pengawasan,
perlindungan dan penyembuhan (Pasal 25);
6. Kewajiban negara melindungi anak dari pekerjaan yang
mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak
(Pasal 32);
7. Hak anak atas perlindungan penyalahgunaan obat bius dan
narkotika, baik dalam proses produksi maupun distribusi
8. Hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan
penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan
pornografi (Pasal 34);
9. Kewajiban negara mencegah penjualan, penyelundupan dan
penculikan anak (Pasal 35);
10. Hak perlindungan dari segala bentuk eksploitasi yang belum
tercantum dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 35;
11. Larangan penyiksaan perlakuan atau hukuman yang kejam,
hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan
semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak
(pasal 37);
12. Kewajiban negara menjamin anak korban konflik
bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan
atau eksploitasi untuk memperoleh perawatan yang layak
demi penyembuhan reintegrasi sosial mereka (Pasal 39);
13. Hak anak yang didakwa ataupun yang diputuskan telah
melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya
dan khususnya untuk menerima manfaat dari segala proses
hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan
pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan
institusional sedapat mungkin dihindari (Pasal 40);
14. Kekerasan dan penelantaran bagi anak yang tidak
mempunyai keluarga.
c. Perlindungan anak dalam krisis dan darurat, perlindungan ini
meliputi :
1. Anak dalam situasi darurat (Children ini situation of
emergency), seperti :
a. Anak dalam pengungsian (Pasal 22);
b. Anak-anak korban peperangan/konflik bersenjata (Pasal
2. Anak yang berkonflik dengan hukum (Children in conflict
in the law), seperti :
a. Prosedur peradilan anak (Pasal 40);
b. Anak-anak yang berada dalam penekanan kebebasan
(Pasal 37);
c. Reintegrasi sosial anak-anak dan penyembuhan fisik dan
psikologi anak (Pasal 39).
3. Anak-anak dalam situasi eksploitasi (Children in situation
of exploitation), seperti :
a. Eksploitasi ekonomi;
b. Pekerjaan anak (Pasal 32);
c. Penyalahgunaan obat bius dan narkotika (Pasal 33);
d. Eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual (Pasal
34);
e. Bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (Pasal 36);
f. Perdagangan anak, penculikan dan penyelundupan anak
(Pasal 35);
g. Anak-anak dari kelompok minoritas atau anak-anak
penduduk suku terasing (Children belonging to a
minority or an indegenous group) (Pasal 30).
3. Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights), hal ini meliputi
:
a. Hak mengambil langkah legislasi dan administrasi (Pasal 4);
b. Hak hidup (Pasal 6);
c. Hak untuk mempertahankan identitas (pasal 8);
d. Hak anak untuk dipisahkan dari orang tuanya (Pasal 9);
e. Hak menjamin repatriasi keluarga (pasal 10);
f. Hak menyatakan pendapat secara bebas dan untuk didengar
(pasal 13);
g. Hak untuk kemerdekaan berpikir (Pasal 14);
i. Hak memperoleh informasi (Pasal 17);
j. Hak anak menikmati norma kesehatan tertinggi (Pasal 24);
k. Hak mendapat pendidikan, baik formal maupun nonformal
(Pasal 28 dan Pasal 29);
l. Hak bermain dan berekreasi ke luar negeri .
4. Hak berpartisipasi (Participation Rights), meliputi :
a. Menjamin pandangan anak (Pasal 12);
b. Hak anak untuk menyatakan pendapat secara bebas (Pasal 13);
c. Hak anak untuk berkumpul (Pasal 15).
2) Hak Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dalam pasal 4 sampai dengan pasal 18 mengatur secara khusus
mengenai hak anak. Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan setiap anak dalam
pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya.
c. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak
Di Indonesia penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak meliputi :
1) Non diskriminasi;
2) Kepentingan yang terbaik untuk anak;
3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
B. Kerangka Pemikiran
Keluarga / Rumah Tangga Perlindungan
bagi anak
Kekerasan terhadap anak Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Orang Lain
Anak sebagai Korban
Viktimologi
Keterangan :
Pokok masalah ini adalah perlindungan terhadap anak dari korban
kekerasan dalam rumah tangga. Melihat dari studi yang diteliti, perlu adanya
perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal
ini sesuai dengan maksud dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, yang tujuannya adalah untuk memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak dan perlakuan tanpa diskriminasi
mental maupun sosial serta berakhlak mulia, maka perlu adanya perlindungan
terhadap anak, khususnya dalam lingkup rumah tangga. Menurut penelitian
dan data yang diperoleh dari berbagai sumber, telah banyak terjadi kekerasan
terhadap anak di Indonesia, selain orang lain yang tidak mempunyai hubungan
dekat dengan anak, kekerasan terhadap anak justru lebih banyak dilakukan
oleh anggota keluarganya sendiri, faktor yang paling banyak menyebabkan
kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan rumah tangga adalah
perselisihan antara orang tua, yang mana anak menjadi sasaran pelampiasan
kemarahan orang tua, pola didik dan pola asuh yang salah, faktor ekonomi,
dan pandangan orang tua bahwa anak adalah milik orang tua. Keluarga yang
seharusnya menjadi tempat paling aman untuk berlindung anak dari segala
bahaya, malah menjadi tempat paling berbahaya bagi anak, hal ini disebabkan
pula bahwa banyak kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga tidak
terdeteksi secara dini oleh masyarakat sekitar dan terlebih bahwa pandangan
masyarakat yang menganggap bahwa apabila masalah rumah tangga sampai
terdengar oleh umum maka menjadi aib bagi keluarga tersebut, dan pada
akhirnya anak yang menjadi korban kekerasan rumah tangga semakin tertekan
dan pelakupun secara bebas dapat melakukan kekerasan yang sama kepada
anak. Permasalahan perlindungan terhadap anak dari kekerasan dalam rumah
tangga menjadi sangat sulit untuk diungkap kepermukaan, walaupun dalam
beberapa kasus kekerasan rumah tangga dapat terungkap, permasalahan baru
akan muncul kembali dikarenakan adanya permintaan dari pihak keluarga
untuk memberi kebebasan kepada pelaku dengan alasan pelaku adalah tulang
punggung kelurga. Uraian tersebut menurut Penulis menjadi menarik untuk
diteliti dan ditinjau dari viktimologi, terutama apakah Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat benar-benar melindungi hak
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bentuk-bentuk
kekerasan yang meliputi kekerasan dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut memang tidak secara khusus ditujukan kepada anak,
namun hal tersebut dapat menimpa anak mengingat bahwa didalam sebuah
keluarga dimungkinkan ada penghuni yang masih anak-anak, hal ini juga terlihat
dari ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga yang didalamnya adalah anak,
walaupun tidak ada kejelasan mengenai batas usia anak dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
memang tidak membagi bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak seperti
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun dengan meminjam definisi kekerasan
dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Penulis memberikan definisi kekerasan
terhadap anak dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak
dalam rumah tangga dengan merubah obyek dan lingkupnya, sehingga definisi
kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran anak termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup keluarga/rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap
anak dalam rumah tangga dibagi menjadi kekerasan fisik terhadap anak dalam
rumah tangga, kekerasan psikis terhadap anak dalam rumah tangga, kekerasan
seksual terhadap anak dalam rumah tangga dan kekerasan sosial (penelantaran dan
eksploitasi) terhadap anak dalam rumah tangga.
Selanjutnya Penulis akan membahas satu persatu bentuk-bentuk kekerasan
terhadap anak dalam rumah tangga, sebagai berikut :
1. Kekerasan fisik terhadap anak dalam rumah tangga
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat. Menurut Suharto, kekerasan fisik terhadap anak adalah
penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa
menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau
kematian pada anak (Suharto dalam Abu Huraerah, 2007: 48).
Penganiayaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si penindak.
Pengertian tersebut dianut dalam praktik hukum selama ini, dari pengertian itu, maka penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a) adanya kesengajaan; b) adanya perbuatan;
c) adanya akibat perbuatan (dituju) yakni : 1) rasa sakit, tidak enak pada tubuh; 2) lukanya tubuh;
d) akibat mana menjadi tujuan satu-satunya (Adami Chasawi, 2001: 12)
Manifestasi yang umumnya ditemukan meliputi memar, luka bakar,
patah tulang, trauma kepala dan cedera pada perut. Jumlah sedikit tetapi
bermakna pada kematian yang tidak terduga pada bayi dan anak-anak kecil
misalnya sudden infant death syndrome biasanya berkaitan dengan kekerasan
fisik (Moersintowati B. Narendra, 2005: 4). Hal ini terjadi karena tingkah laku