• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna

Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

STEPANUS DANANG PRASETYO

NIM. E 0006232

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh

Stepanus Danang Prasetyo

NIM. E0006232

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Desember 2010

Dosen Pembimbing

Dosen Pembimbing I

Prof. DR. Hartiwiningsih,S.H.,M.Hum

NIP. 195702031985032001

Dosen Pembimbing II

Siti Warsini,S.H.,M.H

(3)

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh :

Stepanus Danang Prasetyo

NIM. E0006232

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada ,

Hari : Jumat

Tanggal : 31 Desember 2010

Dewan Penguji,

1. Ismunarno, S.H., M.Hum : ………

Ketua

2. Siti Warsini, S.H., M.H : ...

Sekretaris

3. Prof. DR. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum : ... Anggota

Mengetahui

Dekan,

(4)

PERNYATAAN

Nama : Stepanus Danang Prasetyo

NIM : E.0006232

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Penulisan hukum (skripsi) berjudul :

KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA adalah betul-betul karya sendiri.

Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda

citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti

pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik

berupa pencabutan Penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari

Penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Desember 2010

yang membuat pernyataan

Stepanus Danang Prasetyo

(5)

ABSTRAK

Stepanus Danang Prasetyo. E0006232. KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kekerasan dan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga serta untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif dan terapan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum terkait isu hukum mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menelaah isu hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Adapun, untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya digunakan jenis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai bahan pengkajian dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektonik (internet). Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis dengan teknik analisis deduksi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasaan sosial. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebenarnya telah mengatur mengenai perlindungan anak dari kekerasan, yaitu kekerasan yang dapat terjadi dalam rumah tangga, seperti yang tercantum dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 71. Upaya perlindungan terus menerus diupayakan baik oleh pemerintah bekerja sama dengan lembaga sosial dan masyarakat. Pelaksanaan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tidaklah semudah yang dibayangkan, hal ini terjadi karena adanya kendala-kendala baik dari anak/korban, keluarga dan juga dari masyarakat, terutama pandangan masyarakat yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah keluarga yang biasa terjadi.

(6)

ABSTRACT

Stepanus Danang Prasetyo. E0006232. VIKTIMOLOGY STUDY ON CHILDREN AS VICTIMS OF DOMESTIC VIOLENCE. Faculty of Law University Of Sebelas Maret Surakarta.

This legal research aims to find out how other forms of violence and protect children who are victims of domestic violence and to identify constraints in the implementation of the protection of children as victims of domestic violence.

This research is prescriptive and normative law is applied to find the rule of law, legal principles, as well as legal doctrines related to legal issues regarding legal protection of children who are victims of domestic violence. Some approaches used to examine this legal issue is with the approach of legislation and case approach. Now, to resolve legal issues and provide prescriptions about what should be used when the type of primary law materials and secondary legal materials as a material assessment by techniques studies document collection of legal materials or library materials from both print and electronic media (internet). Further legal materials were analyzed with analysis techniques deduction

Based on the research and discussion concluded that other forms of violence against children in the household in the form of physical violence, psychological violence, sexual violence and social violence. Law Number 23 Year 2002 on Child Protection has actually been set on protecting children from violence, that violence can occur in households, as stated in Article 42 through Article 71. Safeguard measures being taken both by the government in cooperation with social institutions and society. Implementation of the protection of children who are victims of domestic violence is not as easy as imagined, this happens because of the constraints both of the child / victim, the family and also from the community, especially the views of people who think domestic violence is a common family problem occur.

(7)

MOTTO

(Wiem Soegondo)

(8)

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan skripsi ini untuk :

My Savior and My Redeemer, JESUS

CHRIST

My parents whom i m rightly proud of

My lovely Brother

(9)

KATA PENGANTAR

Terima kasih yang tak terhingga serta rasa syukur, terucap kepada Tuhan

Yesus Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan nikmat dan

karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum/skripsi ini

yang berjudul “Kajian Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban

Kekerasan Dalam Rumah Tangga”

Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum dan Ibu

Siti Warsini, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

bimbingan dan arahan yang terbaik bagi Penulis. Penulis juga mengucapkan

banyak terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung, memberikan

kritik, saran, bantuan serta arahan kepada Penulis, sehingga penulisan hukum ini

dapat terselesaikan. Ungkapan terima kasih tersebut secara khusus Penulis

sampaikan dengan segala kerendahan hati kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Negeri Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

3. Bapak Sapto Hermawan, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik yang

telah membimbing dan mengarahkan Penulis selama masa studi.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret

Surakarta, terima kasih untuk semua ilmu yang diberikan kepada Penulis.

5. Staf Tata Usaha, Staf Pendidikan, Staf Kemahasiswaan, Staf Perpustakaan,

dan segenap karyawan-karyawati Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas

Maret Surakarta.

6. Untuk keluargaku tercinta, Ibu dan Mbah Uti yang tak pernah bosan memberi

motivasi yang baik, dukungan moril dan spirituil serta limpahan cinta dan

kasih sayang. Untuk adikku Anthonius Denny Febrianto yang selalu

menemani dan memberi motivasi serta masukan-masukan bermakna untuk

(10)

walaupun hanya sebentar kurasakan kasih sayangmu secara nyata dibumi ini,

namun aku merasakan besarnya kasihmu dari surga.

7. Untuk Budhe dan Pakdhe, Mbak Tutin sekeluarga, Mas Janto sekeluarga, Mas

Kelik, Mas Didik sekeluarga, Pakdhe Nardi sekeluarga, Om Wiem sekeluarga

atas cinta kasih, doa dan dukungannya.

8. Keluarga Besar Pratiyodha Paramita spesial untuk angkatan 9, Keluarga Besar

Soliska (Solidaritas Siswa-Siswi Katolik Klaten) spesial untuk angkatan 11,

Keluarga Besar Gopala Valentara spesial untuk Diklatsar XXIII, semua

saudara-saudaraku dan teman-temanku yang menemaniku mengisi waktu

dengan senyum.

9. Long Distance Spirituality Team (LDS Team) yang setiap hari memberikan

kabar gembira yang menyejukkan dan menguatkan, terima kasih atas doa dan

dukungannnya.

10. Special thanks to my Princess for always grabbing my hands and be my

wings.

11. Untuk semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu Penulis selama ini, terima kasih semuanya.

Akhir kata Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam

penulisan hukum ini, baik dalam kalimat maupun isinya karena memang tidak ada

yang sempurna. Oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan hukum ini. Semoga

penulisan hukum ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan

semua pihak yang membutuhkannya.

Surakarta, Desember 2010

Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Kerangka Teori ... 11

1. Tinjauan Tentang Viktimologi... ... 11

a. Pengertian Viktimologi ... 11

b. Perkembangan Viktimologi ... 11

c. Ruang Lingkup Viktimologi ... 11

d. Manfaat Viktimologi... 12

e. Tujuan Viktimologi... 13

2. Tinjauan Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 13

a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 13

b. Ruang Lingkup Rumah Tangga ... 14

c. Unsur-Unsur Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 14

3. Tinjauan Tentang Korban ... 15

a. Pengertian Korban... 15

b. Tipologi Korban ... 16

c. Hak-hak Korban ... 18

d. Kewajiban-kewajiban Korban... 19

4. Tinjauan Tentang Anak ... 20

a. Pengertian Anak ... 20

b. Hak-hak Anak ... 22

c. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak... 26

(12)

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 29

A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak dalam Rumah Tangga... 29

B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Anak sebagai Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga... 39

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak... 43

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 49

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 54

C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 62

D. Tinjauan Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 65

BAB IV PENUTUP ... 73

A. Simpulan ... 73

B. Saran... 73

(13)

DAFTAR BAGAN

(14)

DAFTAR TABEL

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan

memberikan definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini

memberikan pengertian bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga

(rumah tangga). Sebuah keluarga (rumah tangga) yang sempurna adalah yang

terdiri dari seorang bapak, seorang ibu dan anak, sehingga kehadiran anak menjadi

hal yang penting dalam sebuah keluarga, begitu pula sebaliknya sebuah keluarga

mempunyai peranan yang penting bagi anak.

Anak dalam perspektif hukum Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi

subyek hukum internasional. Konsekwensi yuridisnya, Konvensi Hak Anak

(KHA) mewajibkan negara yang telah meratifikasi untuk melakukan intervensi

lebih kepada anak melalui hukum domestik. Konstitusi Undang-Undang Dasar

Tahun 1945 (UUD 1945) melalui amandemen telah secara expresive verbis

mendudukkan hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 28

B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh kembang, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi, dengan pemuatan ini perlindungan anak sudah menjadi hak

konstitutif.

Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 3 ayat (2) memberikan tanggung jawab

kepada pihak yang terdekat dengan anak yakni keluarga untuk menjamin

pemenuhan hak anak, bunyi pasal tersebut menyebutkan bahwa negara berusaha

menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk

kesejahteraannya dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang

tua, wali hukum, atau orang-orang lain yang secara sah atas anak, dan untuk

tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang

(16)

Keluarga merupakan tempat memberikan pendidikan yang baik untuk

anak. Melalui pendidikan yang diterima dari keluarga, maka anak diharapkan

menjadi seorang yang mempunyai mental dan pribadi yang baik serta dapat

menjadi generasi penerus yang mempunyai potensi bagi agama, keluarga, bangsa

dan bagi dirinya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa anak adalah tunas,

potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran

strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, agar setiap anak kelak mampu

memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan

seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun

sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk

mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberi jaminan terhadap pemenuhan

hak-hak serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Pemahaman ini sejalan

dengan pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Berkaitan dengan hal perlindungan anak dari kekerasan penjelasan umum

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan

mengenai upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni

sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.

Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, dan komprehensif,

undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak

berdasarkan asas-asas sebagai berikut :

a. non dikriminasi;

b. kepentingan yang terbaik untuk anak;

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Di sisi lain Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

(17)

ialah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan.

Namun demikian, kekerasan terhadap anak terus terjadi dan mengalami

peningkatan.

Tingginya kekerasan pada anak memperlihatkan bahwa persoalan

kekerasan menjadi persoalan yang amat serius, apalagi kekerasan tersebut

dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri, terlebih oleh orang tuanya sendiri.

Dari keseluruhan pengaduan kekerasan terhadap anak yang diterima Komisi

Nasional Perlindungan Anak, pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi

diantaranya adalah pertama, munculnya kekerasan dalam rumah tangga,

terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang

lainnya menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak

seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Kedua, terjadinya disfungsi

keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Ketiga,

faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya

kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak

terjadi (Syamsul Muarif. Kekerasan Orang Tua Pada Anak.

http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/25/kekerasan-orang-tua-pada-anak>[tanggal 18 Agustus 2010 pukul 09.30 WIB]).

Selama ini pandangan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga

dipandang adalah sesuatu yang wajar dan hal itu disikapi sebagai konflik rumah

tangga semata. Pandangan tersebut diperparah lagi oleh adanya mitos-mitos yang

merendahkan martabat istri, perempuan dan anak-anak, sebaliknya suami/ayah

menjadi dominan terhadap anggota keluarga yang lain. Hal tersebut secara

berlebihan merupakan suatu ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam

rumah tangga, bahkan diterima sebagai sesuatu kondisi yang lazim. Tindak

kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi

manusia. Kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga tersebut telah melanggar

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya

dalam Pasal 13 huruf d yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam

(18)

atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan kekejaman,

kekerasan dan penganiayaan. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa negara, pemerintah, masyarakat,

keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap

penyelenggaraan perlindungan anak.

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merumuskan larangan melakukan

kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,

baik kekerasan fisik, psikis, seksual ataupun penelantaran, yang mana dalam Pasal

2 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga

meliputi suami, istri dan anak, maka dapat dipahami bahwa perlindungan terhadap

anak dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga wajib dilakukan oleh

orang dalam lingkup keluarga tersebut, termasuk juga masyarakat dan pemerintah.

Sebagai salah satu contoh adalah hal yang menimpa Ferry, seorang bayi

berusia 5 (lima) bulan yang dianiaya Yani, ibu kandungnya, sehingga mengalami

patah tulang tangan, kaki, serta gegar otak. Sementara Icha kakak Ferry yang

berumur 5 (lima) tahun juga kerap kali dianiaya oleh Yani, sehingga kepalanya

lebam-lebam dan menyebabkan kondisi psikologisnya tidak baik. Menurut

Psikiater Dadang Hawari, Yani, ibu kandung korban, kemungkinan mengalami

gejala gangguan jiwa dan paranoid karena ditinggal suaminya, ketidaksiapan

mempunyai anak serta impitan ekonomi (Harian Media Indonesia, Pemerintah

Harus Tegas Tangani Kekerasan Pada Anak, Edisi Cetak: Selasa, 8 Juni 2010).

Uraian tersebut menunjukkan masih banyaknya kekerasan yang dialami

anak dalam rumah tangga, terutama oleh orang tua mereka sendiri. Berdasarkan

latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik untuk mengadakan penulisan hukum

(skripsi) dengan judul KAJIAN VIKTIMOLOGI TERHADAP ANAK

(19)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

Penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga?

2. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai korban

kekerasan dalam rumah tangga?

3. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan

terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga?

C. Tujuan Penulisan Hukum

Adapun tujuan yang ingin dicapai Penulis dalam penulisan ini adalah

sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam

rumah tangga.

b. Untuk mengetahui mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak

sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

c. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan

terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan bagi setiap mahasiswa dalam

meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri

Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan pemahaman Penulis dalam

bidang hukum pidana khususnya mengenai anak sebagai korban kekerasan

rumah tangga dan bentuk perlindungan serta kendala-kendalanya.

D. Manfaat Penulisan Hukum

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

(20)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai teaching materials

mata kuliah viktimologi maupun mata kuliah terkait perlindungan hukum

terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi

tambahan bagi Penulis lain yang kaitannya dengan viktimologi.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberi jawaban atas permasalahan yang akan diteliti.

b. Dapat mengembangkan daya pikir dan analisis Penulis sehingga dapat

mengetahui kemampuan Penulis dalam menerapkan materi ilmu hukum

yang diperoleh.

c. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca maupun Penulis

mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang kaitannya dengan

kekerasan dalam rumah tangga.

d. Dapat dipakai sebagai masukan bagi kalangan penegak hukum, lembaga

perlindungan anak, keluarga, masyarakat maupun pemerintah terkait dengan

permasalahan yang diteliti oleh Penulis.

E. Metode Penulisan Hukum

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah

menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum jenis ini acapkali

hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law of books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma

yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas

(Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008: 18).

2. Sifat Penelitian

Sifat Penelitian dalam penulisan ini adalah deskriptif. “Penelitian

deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,

keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran

suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala

(21)

Penelitian ini memberikan deskripsi mengenai bentuk-bentuk kekerasan

yang dialami anak dalam rumah tangga, membahas perlindungan hukum

terhadap kekerasan yang dialami anak dalam rumah tangga, dan membahas

mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan

terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum normatif ini dengan menggunakan pendekatan

undang-undang (Statute Approach). Hal tersebut karena penelitian hukum

normatif dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud

Marzuki, 2005: 93).

Dalam penelitian ini Penulis memusatkan perhatiannya kepada

perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah

tangga.

4. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan Penulis dalam penelitian hukum ini adalah

data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

dan bahan hukum tersier, yaitu :

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2006:

141). Bahan hukum primer yang digunakan dalam penyusunan ini, antara

lain :

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban.

5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

(22)

6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan.

8) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan

Kerjasama dan Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

10) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi

Konvensi Hak Anak.

b. Bahan hukum sekunder, yang terutama adalah buku-buku hukum,

termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum,

disamping itu juga, kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas

putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 155).

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder seperti kamus (hukum), eksiklopedia (Amiruddin dan Zainal

Asikin, 2008: 32).

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu teknik yang dilakukan peneliti

dalam mencari, memilih dan mereduksi data yang digunakan dalam penelitian.

Tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini adalah

mengumpulkan bahan kepustakaan, baik kepustakaan biasa maupun

kepustakaan internet (cyber library) yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan dengan seefektif

mungkin.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam

mengklarifikasikan, menguraikan data yang diperoleh kemudian melalui proses

pengolahan nantinya data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang

diteliti. Metode deduksi adalah metode yang digunakan Penulis untuk analisis

data yang diperoleh dalam penelitian ini. Sedangkan yang dimaksud dengan

(23)

yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut

ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika laporan penulisan hukum yang disusun oleh Penulis ialah

sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, Penulis mengangkat masalah tinjauan

viktimologi terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah

tangga. Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus

cita-cita perjuangan bangsa sering menjadi korban kekerasan baik secara

fisik, psikis, seksual maupun sosial dan kebanyakan kasus yang

ditemukan pelaku utamanya adalah orang tua atau keluarga terdekatnya

yang seharusnya menjadi tempat berlindung paling aman dari segala

ancaman dan bahaya yang dapat dialami oleh anak seperti yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, sejalan dengan itu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga mengatur

mengenai perlindungan bagi anggota rumah tangga (termasuk anak),

harus dilakukan oleh orang tua dan keluarga terdekatnya, sehingga

dengan demikian Penulis merumuskan masalah yakni bentuk-bentuk

kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, bentuk-bentuk

perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah

tangga dan juga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan

perlindungan terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah

tangga dengan tujuan mencari jawaban dari rumusan masalah yang ada,

tujuan penulisan hukum, manfaat penulisan hukum dan metode

penulisan hukum serta sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka

(24)

memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur

yang Penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan

permasalahan yang sedang Penulis teliti. Hal tersebut meliputi :

Tinjauan Tentang Viktimologi, Tinjauan Tentang Kekerasan Dalam

Rumah Tangga, Tinjauan Tentang Korban dan Tinjauan Tentang Anak.

Dalam hal ini, untuk kerangka pemikiran Penulis akan menampilkan

bagan kerangka pemikiran.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, Penulis membahas sekaligus menjawab

permasalahan yang telah ditentukan Penulis sebelumnya. Pertama

mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga,

kedua mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak sebagai

korban kekerasan dalam rumah tangga dan ketiga mengenai

kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap anak

sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang menguraikan secara singkat

tentang simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan

permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas

hasil keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Viktimologi

a. Pengertian Viktimologi

Viktimologi berasal dari bahasa latin yaitu victima yang berarti

korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi dapat

diartikan suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya

korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah

manusia sebagai suatu kenyataan sosial.

b. Perkembangan Viktimologi

Perkembangan viktimologi dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu :

1) Fase Penal atau Special Victimology, yaitu fase dimana viktimologi

hanya mempelajari korban kejahatan saja.

2) Fase General Victimology, yaitu fase dimana viktimologi tidak hanya

mempelajari tentang korban kejahatan namun juga korban kecelakaan.

3) Fase New Victimology, yaitu fase viktimologi yang telah mengalami

perkembangan yang lebih luas, bukan hanya korban kejahatan dan

kecelakaan saja yang dipelajari, namun juga korban karena

penyalahgunaan kekuasaan dan menyangkut hak-hak asasi manusia.

c. Ruang Lingkup Viktimologi

Viktimologi meneliti mengenai korban, seperti peranan korban saat

terjadinya tindak pidana, hubungan antara korban dan pelaku, rentannya

posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan.

Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi

bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu

victimy yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk

pula korban kecelakaan, dan korban bencana alam selain korban kejahatan

dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun dalam perkembangannya di tahun

(26)

korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak

mengkaji korban karena musibah atau bencana alam, karena bencana alam

di luar kemauan manusia (out of man’s will) (Dikdik M. Arief Mansur dan

Elisatris Gultom, 2007: 43).

Perkembangan mengenai ruang lingkup viktimologi menjadi lebih

luas lagi, hal ini mengingat pentingnya peranan korban dalam setiap

terjadinya tindak pidana, seperti dalam Kongres Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) kelima di Genewa tahun 1975 dan Kongres keenam tahun

1980 di Caracas yang meminta perhatian lebih untuk korban kejahatan

selain kejahatan konvensional seperti pemerasan, pencurian dan

pembunuhan namun korban kejahatan inkonvensional seperti terorisme,

pembajakan dan kejahatan kerah putih.

d. Manfaat Viktimologi

Beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari viktimologi

adalah sebagai berikut :

1) Viktimologi mempelajari hakekat siapa itu korban dan yang

menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi

bagi mereka yang terlibat dalam suatu proses viktimisasi;

2) Viktimologi memberikan sumbangan pengertian yang lebih baik

tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan

mental, fisik dan sosial. Tujuannya ialah untuk memberikan penjelasan

mengenai peran korban dan hubungannya dengan pelaku;

3) Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai

hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang

dihadapinya berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka.

Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak

menjadi korban struktural atau nonstruktural;

4) Viktimologi juga memberikan permasalahan viktimisasi yang tidak

langsung. Dengan demikian dimungkinkan menentukan asal mula

(27)

terlebih dahulu kasus–kasus, mengatasi akibat–akibat merusak dan

mencegah pelanggaran kejahatan lebih lanjut;

5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi masalah

kompensasi pada korban. Pendapat-pendapat viktimologis

dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi

pengadilan terhadap perilaku kriminal. Mempelajari korban dari dan

dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga suatu studi mengenai

hak dan kewajiban hak asasi manusia (Arif Gosita, 1989: 41).

e. Tujuan Viktimologi

Tujuan viktimologi menurut Muladi adalah

1) Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;

2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya

viktimisasi;

3) Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan

manusia (Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto & G. Widiartana,

2001: 175).

2. Tinjauan Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga

a. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga diistilahkan dengan

kekerasan domestik, dengan pengertian domestik ini diharapkan memang

tidak melulu konotasinya dalam suatu hubungan suami istri saja, tetapi juga

setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu, jadi bisa saja tidak ada

hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah (anak, adik, kakak, dll) atau

bahkan seorang pembantu rumah tangga.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan definisi

kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

(28)

tangga. Menurut H. Lien Brugg bahwa “domestic violence is a pattern of

coercive and assaultive behaviors that include physical, sexual, verbal, and

psychological attacks and economic coercion that adults or adolescents use

against their intimate partner”(Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola

tindakan kekerasan dan penyerangan fisik, seksual, verbal, dan serangan

psikis dan penelantaran ekonomi kepada orang dewasa atau

anak-anak/remaja oleh orang dekatnya) (H. Lien Brugg, 2003: 15).

b. Ruang Lingkup Rumah Tangga

Didalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dinyatakan bahwa

lingkup rumah tangga meliputi :

1) Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);

2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah,

perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap

dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau

3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut.

H. Lien Brugg memberikan pengertian ruang lingkup keluarga yang

lebih luas, yaitu wanita, pria, anak/remaja, orang cacat, gay atau lesbian

sesuai dengan pernyataannya bahwa “ Anyone can become a victim of

domestic violence. Victims of domestic violence can be women, men,

adolescents, disabled persons, gays, or lesbians, they can be of any age and

work in any profession”(Setiap orang dapat menjadi korban kekerasan

dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dialami

oleh wanita, pria, anak-anak/remaja, orang cacat, gay atau lesbian dari

berbagai umur dan bekerja diberbagai profesi) (H. Lien Brugg, 2003: 23).

c. Unsur-Unsur Kekerasan dalam Rumah Tangga

Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan dalam rumah tangga

menurut Iptu Nunik Suryani dari Polres Klaten adalah

(29)

2) Korban perempuan dan/atau anak;

3) Berakibat kesengsaraan/penderitaan fisik, psikis, seksual dan

penelantaran;

4) Perbuatan pemaksaan/perampasan kemerdekaan;

5) Terjadi dalam lingkup rumah tangga (Nunik Suryani, 2006).

3. Tinjauan Tentang Korban

a. Pengertian Korban

Korban suatu tindak kejahatan tidak selalu berupa individu atau

orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau

juga badan hukum, bahkan dalam kejahatan tertentu, bisa juga korban

adalah berupa ekosistem, hewan atau tumbuhan. Berbagai pengertian

korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli, konvensi-konvensi

internasional maupun dalam peraturan perundang-undangan, untuk lebih

jelasnya beberapa pengertian korban adalah sebagai berikut :

1) Korban menurut beberapa Ahli

a) Menurut Arief Gosita

“korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah

sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan

kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan

hak asasi pihak yang dirugikan” (Arif Gosita, 1993: 63).

b) Menurut Muladi

“korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual

maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik

atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial

terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau

kondisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara,

termasuk penyalahgunaan kekuasaan” (Muladi dalam Dikdik M.

Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 46).

c) Menurut Raplh de Sola, korban (victim) “…person who has injured

mental or physical suffering, loss of property or death resulting from

(30)

(korban adalah orang yang mengalami penderitaan mental atau fisik,

kehilangan harta benda atau mengakibatkan kematian karena suatu

tindak pidana atau percobaan tindak pidana yang dilakukan orang

lain) (Raplh de Sola dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris

Gultom, 2007: 46).

2) Korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Definisi korban menurut undang-undang ini, korban adalah

orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam

lingkup rumah tangga.

3) Korban menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban

Definisi korban menurut undang-undang ini adalah seseorang

yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi

yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok

yang menderita secara langsung, namun lebih luas bahwa korban termasuk

didalamnya keluarga ataupun tanggungan langsung dari korban dan

orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi

kerugian atau untuk mencegah viktimisasi. Namun dalam penelitian ini

yang dimaksud korban yaitu orang yang mengalami kerugian/penderitaan

secara langsung baik fisik, mental dan sosial yang terjadi dalam rumah

tangga dan dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam lingkup rumah

tangga, khususnya orang tua.

b. Tipologi Korban

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk

lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban, yaitu

sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 49) :

1) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap

(31)

2) Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu

sehingga cenderung menjadi korban.

3) Provocative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan

terjadinya kejahatan.

4) Participating victims, yaitu mereka dengan perilakunya memudahkan

dirinya menjadi korban.

5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan

yang dibuatnya sendiri.

Tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status

korban, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris

Gultom, 2007: 49) :

1) Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama

sekali dengan pelaku.

2) Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong

dirinya menjadi korban.

3) Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi

dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

4) Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki

kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

5) Sosially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial

yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

6) Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena

kejahatan yang dilakukannya sendiri.

Menurut Sellin dan Wolfgang, pengelompokan korban sebagai

berikut (Sellin dan Wolfgang dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris

Gultom, 2007: 50) :

1) Primary victimization, yaitu berupa individu atau perorangan (bukan

kelompok).

2) Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan

hukum.

(32)

4) No victimization, yaitu korban yang tidak diketahui, misal konsumen

yang tertipu dalam menggunakan suatu produk.

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, ada

empat prinsip tipe korban, hal ini dikemukakan oleh Stephen Schafer, yaitu

sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 50) :

1) Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetap menjadi korban.

Tipe ini kesalahan ada pada pelaku.

2) Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang

merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Tipe ini, korban

dinyatakan turut andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan

terletak pada pelaku dan korban.

3) Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.

Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin

dan sebagainya. Dalam hal ini korban tidak dapat disalahkan, tetapi

masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.

4) Korban karena juga sebagai pelaku, ini yang dikatakan sebagai

kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia

juga sebagai pelaku.

Apabila mencermati mengenai tipologi korban tersebut, anak sebagai

korban kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam biologically weak

victimsdan primary victimization.

c. Hak-Hak korban

Seseorang yang menjadi korban sering kali tidak mempergunakan

hak-hak yang seharusnya mereka terima karena berbagai alasan, misalnya

karena kekhawatiran prosesnya yang lama sehingga biaya yang harus

dikeluarkan banyak dan untuk korban kekerasan dalam rumah tangga karena

menganggap sebagai urusan rumah tangga biasa.

Secara umum hak-hak korban adalah sebagai berikut (Dikdik M.

Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 52) :

1) Hak untuk memperoleh ganti rugi atas penderitaan yang dialaminya;

(33)

3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;

4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

5) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;

6) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;

7) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan keluar dari tahanan

sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;

8) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan

dengan kejahatan yang menimpa korban;

9) Hak atas kebebasan/kerahasiaan pribadi.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menyatakan hak-hak korban

yang secara khusus berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu

korban berhak mendapatkan :

1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun

berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap

tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan; dan

5) Pelayanan bimbingan rohani.

d. Kewajiban-Kewajiban Korban

Penanggulangan kejahatan tidak akan berjalan dengan baik apabila

tidak ada informasi dari korban itu sendiri, maka disamping hak yang telah

diterima korban, melekat juga kewajiban kepadanya, antara lain:

1) Kewajiban untuk tidak main hakim sendiri/balas dendam terhadap

pelaku;

2) Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan

(34)

3) Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai

terjadinya kejahatan kepada pihak berwenang;

4) Kewajiban untuk tidak melakukan penuntutan yang berlebihan kepada

pelaku;

5) Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa

dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;

6) Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam

upaya penanggulangan kejahatan;

7) Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak

menjadi korban lagi.

4. Tinjauan Tentang Anak

a. Pengertian Anak

Hukum Indonesia terdapat pluralisme terhadap kriteria anak, ini

sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara

tersendiri kriteria tentang anak. Antara lain dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 24 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa

apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila

ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya

si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau

pemeliharanya dengan tidak dikenakan upaya hukum, atau

memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak

dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini

sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak.

2) Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa

adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)

tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

3) Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

(35)

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan.

4) Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi

dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan

belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin.

Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah

kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam

perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak

dianggap sudah dewasa; walaupun umurnya belum genap 18 (delapan

belas) tahun.

5) Anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok

Perkawinan

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Pokok Perkawinan mengatakan, seorang pria hanya diijinkan kawin

apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita

telah mencapai umur 16 tahun (enam belas) tahun. Penyimpangan atas

hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan

Negeri.

6) Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah

(36)

Dalam praktek terdapat kesulitan menentukan usia ini, karena tidak

semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat kenal Lahir, Akibatnya

adakalanya menentukan usia ini dipergunakan Rapor, Surat baptis atau

Surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Kadang kala terdapat

kejanggalan, anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya

tapi menurut keterangan usia masih muda. Bahkan adakalanya orang yang

terlibat kasus pidana membuat keterangan bahwa dia masih anak-anak

sementara usia sudah dewasa dan sudah kawin. Dengan banyaknya batasan

umur yang berbeda dari peraturan-peraturan yang ada, maka dalam hal

definisi anaka, Penulis menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Hak-Hak Anak

Anak sebagai generasi penerus bangsa telah mendapatkan kedudukan

oleh dunia internasional, dengan banyaknya pelanggaran terhadap hak-hak

anak maka terdapat berbagai macam peraturan untuk melindungi hak-hak

anak agar perkembangan anak berjalan dengan baik. Peraturan yang bersifat

internasional ini selanjutnya diikuti oleh negara-negara di dunia dengan

meratifikasinya sehingga di masing-masing negara, khususnya Indonesia

terdapat peraturan mengenai perlindungan hak anak.

1) Hak Anak menurut Konvensi Hak Anak (Child Right Convention)

Hak anak telah diakui secara internasional dengan adanya

Konvensi Hak Anak (Child Right Convention) pada tanggal 20

November 1989 yang disepakati dalam Sidang Majelis Umum (General

Assembly) Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-44, yang selanjutnya telah

dituangkan dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 44/25

tanggal 5 Desember 1989. Konvensi hak anak ini merupakan hukum

internasional yang mengikat negara peserta (state parties), Indonesia

sebagai masyarakat internasional dan anggota Perserikatan

Bangsa-Bangsa telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dengan

mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang

(37)

Adapun hak anak menurut Konvensi Hak Anak jo Keputusan

Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Hak Anak adalah

sebagai berikut :

1. Hak Hidup (Survival Rights), perlindungan ini meliputi :

a. Anak mempunyai hak untuk hidup (Pasal 6);

b. Hak atas tingkat kehidupan yang layak atas kesehatan dan

pelayanan kesehatan (Pasal 24).

2. Hak mendapatkan Perlindungan (Protection Right), hak ini

meliputi :

a. Larangan diskriminasi anak,

1. Nondiskriminasi terhadap anak (Pasal 2);

2. Hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan (Pasal 7);

3. Hak anak cacat (Pasal 23);

4. Hak anak kelompok minoritas (Pasal 30).

b. Larangan eksploitasi anak,

1. Hak berkumpul dengan orang tua (Pasal 10);

2. Kewajiban negara mencegah atau mengatasi penculikan

(Pasal 11);

3. Kewajiban negara untuk memberi perlindungan khusus bagi

anak yang kehilangan keluarga (Pasal 20);

4. Adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan anak (Pasal 21);

5. Peninjauan periodik atas anak yang ditempatkan dalam

pengasuhan negara karena alasan pengawasan,

perlindungan dan penyembuhan (Pasal 25);

6. Kewajiban negara melindungi anak dari pekerjaan yang

mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak

(Pasal 32);

7. Hak anak atas perlindungan penyalahgunaan obat bius dan

narkotika, baik dalam proses produksi maupun distribusi

(38)

8. Hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan

penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan

pornografi (Pasal 34);

9. Kewajiban negara mencegah penjualan, penyelundupan dan

penculikan anak (Pasal 35);

10. Hak perlindungan dari segala bentuk eksploitasi yang belum

tercantum dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 35;

11. Larangan penyiksaan perlakuan atau hukuman yang kejam,

hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan

semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak

(pasal 37);

12. Kewajiban negara menjamin anak korban konflik

bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan

atau eksploitasi untuk memperoleh perawatan yang layak

demi penyembuhan reintegrasi sosial mereka (Pasal 39);

13. Hak anak yang didakwa ataupun yang diputuskan telah

melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya

dan khususnya untuk menerima manfaat dari segala proses

hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan

pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan

institusional sedapat mungkin dihindari (Pasal 40);

14. Kekerasan dan penelantaran bagi anak yang tidak

mempunyai keluarga.

c. Perlindungan anak dalam krisis dan darurat, perlindungan ini

meliputi :

1. Anak dalam situasi darurat (Children ini situation of

emergency), seperti :

a. Anak dalam pengungsian (Pasal 22);

b. Anak-anak korban peperangan/konflik bersenjata (Pasal

(39)

2. Anak yang berkonflik dengan hukum (Children in conflict

in the law), seperti :

a. Prosedur peradilan anak (Pasal 40);

b. Anak-anak yang berada dalam penekanan kebebasan

(Pasal 37);

c. Reintegrasi sosial anak-anak dan penyembuhan fisik dan

psikologi anak (Pasal 39).

3. Anak-anak dalam situasi eksploitasi (Children in situation

of exploitation), seperti :

a. Eksploitasi ekonomi;

b. Pekerjaan anak (Pasal 32);

c. Penyalahgunaan obat bius dan narkotika (Pasal 33);

d. Eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual (Pasal

34);

e. Bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (Pasal 36);

f. Perdagangan anak, penculikan dan penyelundupan anak

(Pasal 35);

g. Anak-anak dari kelompok minoritas atau anak-anak

penduduk suku terasing (Children belonging to a

minority or an indegenous group) (Pasal 30).

3. Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights), hal ini meliputi

:

a. Hak mengambil langkah legislasi dan administrasi (Pasal 4);

b. Hak hidup (Pasal 6);

c. Hak untuk mempertahankan identitas (pasal 8);

d. Hak anak untuk dipisahkan dari orang tuanya (Pasal 9);

e. Hak menjamin repatriasi keluarga (pasal 10);

f. Hak menyatakan pendapat secara bebas dan untuk didengar

(pasal 13);

g. Hak untuk kemerdekaan berpikir (Pasal 14);

(40)

i. Hak memperoleh informasi (Pasal 17);

j. Hak anak menikmati norma kesehatan tertinggi (Pasal 24);

k. Hak mendapat pendidikan, baik formal maupun nonformal

(Pasal 28 dan Pasal 29);

l. Hak bermain dan berekreasi ke luar negeri .

4. Hak berpartisipasi (Participation Rights), meliputi :

a. Menjamin pandangan anak (Pasal 12);

b. Hak anak untuk menyatakan pendapat secara bebas (Pasal 13);

c. Hak anak untuk berkumpul (Pasal 15).

2) Hak Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak dalam pasal 4 sampai dengan pasal 18 mengatur secara khusus

mengenai hak anak. Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan setiap anak dalam

pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung

jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;

c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;

e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya.

c. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak

Di Indonesia penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak meliputi :

1) Non diskriminasi;

2) Kepentingan yang terbaik untuk anak;

3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;

(41)

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak

anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara

optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak

Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

B. Kerangka Pemikiran

Keluarga / Rumah Tangga Perlindungan

bagi anak

Kekerasan terhadap anak Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

Orang Lain

Anak sebagai Korban

Viktimologi

Keterangan :

Pokok masalah ini adalah perlindungan terhadap anak dari korban

kekerasan dalam rumah tangga. Melihat dari studi yang diteliti, perlu adanya

perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal

ini sesuai dengan maksud dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, yang tujuannya adalah untuk memberikan

jaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak dan perlakuan tanpa diskriminasi

(42)

mental maupun sosial serta berakhlak mulia, maka perlu adanya perlindungan

terhadap anak, khususnya dalam lingkup rumah tangga. Menurut penelitian

dan data yang diperoleh dari berbagai sumber, telah banyak terjadi kekerasan

terhadap anak di Indonesia, selain orang lain yang tidak mempunyai hubungan

dekat dengan anak, kekerasan terhadap anak justru lebih banyak dilakukan

oleh anggota keluarganya sendiri, faktor yang paling banyak menyebabkan

kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan rumah tangga adalah

perselisihan antara orang tua, yang mana anak menjadi sasaran pelampiasan

kemarahan orang tua, pola didik dan pola asuh yang salah, faktor ekonomi,

dan pandangan orang tua bahwa anak adalah milik orang tua. Keluarga yang

seharusnya menjadi tempat paling aman untuk berlindung anak dari segala

bahaya, malah menjadi tempat paling berbahaya bagi anak, hal ini disebabkan

pula bahwa banyak kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga tidak

terdeteksi secara dini oleh masyarakat sekitar dan terlebih bahwa pandangan

masyarakat yang menganggap bahwa apabila masalah rumah tangga sampai

terdengar oleh umum maka menjadi aib bagi keluarga tersebut, dan pada

akhirnya anak yang menjadi korban kekerasan rumah tangga semakin tertekan

dan pelakupun secara bebas dapat melakukan kekerasan yang sama kepada

anak. Permasalahan perlindungan terhadap anak dari kekerasan dalam rumah

tangga menjadi sangat sulit untuk diungkap kepermukaan, walaupun dalam

beberapa kasus kekerasan rumah tangga dapat terungkap, permasalahan baru

akan muncul kembali dikarenakan adanya permintaan dari pihak keluarga

untuk memberi kebebasan kepada pelaku dengan alasan pelaku adalah tulang

punggung kelurga. Uraian tersebut menurut Penulis menjadi menarik untuk

diteliti dan ditinjau dari viktimologi, terutama apakah Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat benar-benar melindungi hak

(43)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah

setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan

pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bentuk-bentuk

kekerasan yang meliputi kekerasan dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik,

kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga.

Bentuk-bentuk kekerasan tersebut memang tidak secara khusus ditujukan kepada anak,

namun hal tersebut dapat menimpa anak mengingat bahwa didalam sebuah

keluarga dimungkinkan ada penghuni yang masih anak-anak, hal ini juga terlihat

dari ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga yang didalamnya adalah anak,

walaupun tidak ada kejelasan mengenai batas usia anak dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

memang tidak membagi bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak seperti

disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun dengan meminjam definisi kekerasan

dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Penulis memberikan definisi kekerasan

terhadap anak dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak

dalam rumah tangga dengan merubah obyek dan lingkupnya, sehingga definisi

kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap

(44)

fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran anak termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup keluarga/rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap

anak dalam rumah tangga dibagi menjadi kekerasan fisik terhadap anak dalam

rumah tangga, kekerasan psikis terhadap anak dalam rumah tangga, kekerasan

seksual terhadap anak dalam rumah tangga dan kekerasan sosial (penelantaran dan

eksploitasi) terhadap anak dalam rumah tangga.

Selanjutnya Penulis akan membahas satu persatu bentuk-bentuk kekerasan

terhadap anak dalam rumah tangga, sebagai berikut :

1. Kekerasan fisik terhadap anak dalam rumah tangga

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit atau luka berat. Menurut Suharto, kekerasan fisik terhadap anak adalah

penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa

menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau

kematian pada anak (Suharto dalam Abu Huraerah, 2007: 48).

Penganiayaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si penindak.

Pengertian tersebut dianut dalam praktik hukum selama ini, dari pengertian itu, maka penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a) adanya kesengajaan; b) adanya perbuatan;

c) adanya akibat perbuatan (dituju) yakni : 1) rasa sakit, tidak enak pada tubuh; 2) lukanya tubuh;

d) akibat mana menjadi tujuan satu-satunya (Adami Chasawi, 2001: 12)

Manifestasi yang umumnya ditemukan meliputi memar, luka bakar,

patah tulang, trauma kepala dan cedera pada perut. Jumlah sedikit tetapi

bermakna pada kematian yang tidak terduga pada bayi dan anak-anak kecil

misalnya sudden infant death syndrome biasanya berkaitan dengan kekerasan

fisik (Moersintowati B. Narendra, 2005: 4). Hal ini terjadi karena tingkah laku

Gambar

Tabel I : Data Kekerasan Terhadap Anak di Sumatera Utara.....................

Referensi

Dokumen terkait

Profil perlindungan hukum terhadap anak dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mencakup segala aspek yang berkaitan dengan kesehatan anak, baik dari segi

Judul Penelitian : Implentasi Undang-Undang Nomor 23 Tabun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Tumah Tangga Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.

Pada pasal 5 Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak perubahan atas udang-undang nomor 23 tahun 2002 menyatakan:62 “Setiap anak berhak atas suatu nama

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1 angka 4: Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Kebijakan tentang pemulihan untuk anak korban kekerasan dapat dilacak tidak hanya dari kebijakan-kebijakan tentang anak seperti Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

KUHP KUHP memberikan perlindungan kepada korban kekerasan terhadap anak dalam lingkup rumah tangga yang masih bersifat umum yaitu terdapat pada pasal-pasal yang mengatur tentang