• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP

C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa

Menurut J.G. Starke, bentuk- bentuk dalam penyelesaian sengketa dapat digolongkan menjadi 2 bentuk23;

1. Penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan solusi yang bersahabat.

2. Penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau diterapkan adalah melalui kekerasan.

23

J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 2 , (Jakarta:Sinar Grafika, 2004) hlm. 651

1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai 1. Negosiasi

Merupakan cara penyelesaian sengketa yang banyak ditempuh serta efektif dalam menyelesaikan sengketa internasional. Negosiasi adalah

perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui perundingan tanpa melibatkan pihak ketiga. Penyelesaian sengketa dengan cara ini meskipun terlihat mudah namun juga sering mengalami kegagalan seperti adanya penolakan salah satu pihak untuk melakukan negosiasi.

Beberapa kelemahan menggunakan cara negosiasi:

a. Bila kedudukan pihak-pihak yang bernegosiasi tidak seimbang; b. Kadang-kadang sangat memerlukan waktu yang lama untuk

mengajak pihak lain mau bernegosiasi; c. Jika salah satu pihak kontra produktif.

Dalam hal telah disepakatinya suatu hal oleh para pihak dalam negosiasi, maka hal tersebut dituangkan dalam dokumen atau perjanjian antara pihak, yang berkekuatan hukum. Dan dalam hal kesepakatan tersebut gagal dipenuhi para pihak, secara tertulis juga, maka akan ditempuh cara lainnya seperti arbitrase, konsiliasi, mediasi, dan lain-lain.

Dalam penyelesaian cara ini sering ditemui bahwa inilah satu-satunya cara yang dipakai karena negara sering merasakan keuntungannya meskipun sengketa itu rumit dan sulit untuk didamaikan.24

2. Jasa Baik (Good Offices)

Dalam hal negosiasi tidak berjalan, maka pada umumnya dibutuhkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa. Dalam Jasa Baik ini, pihak ketiga tersebut berusaha mengupayakan pertemuan para pihak-pihak bersengketa untuk berunding, tanpa adanya keterlibatan dalam perundingan tersebut.

Tujuan dari jasa baik ini agar kontak antar pihak tetap terjamin dengan mempertemukan para pihak agar mau berunding melalui keikutsertaan pihak ke-3. Setiap pihak dapat meminta kehadiran jasa baik meskipun tidak ada kewajiban bagi pihak lainnya untuk menerima hal tersebut. Hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat.25

Sebagai contoh Finlandia sebagai good offices terhadap Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005. Dan PBB dalam

mempertemukan Indonesia dengan Belanda pada tahun 1947. Indikator keberhasilan dari good offices dapat dilihat melalui kemampuan untuk dapat mempertemukan para pihak yang bersengketa.

3. Mediasi

24

Huala Adolf, Hukum..., Op.Cit, hlm. 27

25

Keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah lebih kuat dimana mediator berperan aktif dalam mendamaikan pihak yang bersengketa dan dapat memberikan rekomendasi untuk penyelesaian sengketa. Mediasi bertujuan menciptakan hubungan langsung antara pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa dapat mengurangi ketegangan antara pihak bersengketa dan menjadi saluran informasi bagi pihak yang bersengketa serta dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa yang dapat

memuaskan pihak yang bersengketa.

Negara, NGO, individu atau organisasi regional maupun internasional yang dianggap netral dan bisa diterima oleh pihak yang bersengketa. Penetapan mediator dapat dipilih langsung oleh pihak yang bersengketa ataupun atas usul masyarakat internasional, adapun yang menawarkan jasanya untuk menjadi mediator dalam sebuah sengketa. Dalam mediasi harus dilakukan atas persetujuan para pihak yang bersengketa.

Seorang mediator diberikan kebebasan dalam menentukan proses

penyelesaian sengketanya dengan memberikan saran maupun usulan yang diperolehnya dari hasil laporan para pihak terhadap sengketa tersebut. Mediator juga dapat menggunakan asas ex aequo et bono (kepatutan dan kelayakan) sehingga tidak terbatas oleh hukum yang ada.

4. Pencari Fakta (Fact Finding/ Inquiry)

Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi

secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak lain. Negara dan organisasi sering kali menggunakan inquiry.

Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya. Tugas komisi pencari fakta terbatas hanya untuk memberikan pernyataan

menyangkut kebenaran fakta, tidak berwenang memberikan suatu putusan (award). Pemilihan penyelesaian sengketa dengan cara inquiry harus dilakukan atas kesepakatan para pihak untuk memilih cara tersebut.

Meskipun di lapangan, tim pencari fakta sering menemui kesulitan jika negara teritorial tempat penyelidikan diadakan kurang kooperatif. Maka dengan adanya ketentuan Pasal 39 Piagam PBB, Dewan Keamanan PBB dapat mengirimkan komisi pencari fakta atas nama PBB tanpa persetujuan negara teritorial bila menurut Dewan Keamanan sengketa yang muncul sudah termasuk kategori mengancam atau melanggar perdamaian keamanan internasional atau juga tindakan agresi.

Pasal 39 Piagam PBB:

Dewan Keamanan PBB akan menentukan ada atau tidaknya suatu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan akan menganjurkan atau memutuskan tindakan apa

yang harus diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42, untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.

5. Konsiliasi (Conciliation)

Merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik yang

menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam cara ini, juga menggunakan pihak ketiga dalam menyelesaiakan sengketa. Melalui cara ini, pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang

dipermasalahkan lalu memberikan usulan-usulan formal mengenai penyelesaian sengketanya. Usulan ini tidak mengikat para pihak yang bersengketa. Konsiliasi dapat dilakukan oleh lembaga atau komisi yang permanen maupun ad hoc. 26

Yang membedakan konsiliasi dengan mediasi adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal yang dapat diterapkan dalam perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi sedangkan mediasi tidak ada hukum acara formal yang mengaturnya.

2. Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan

Dalam penyelesaian sengketa juga dimungkinkan untuk dilakukan dengan cara kekerasan apabila penyelesaian sengketa dengan cara damai tak tercapai.

Penyelesaian ini sering juga disebut dengan penyelesaian secara tidak damai, diantaranya berupa:

a. Perang

Bertujuan untuk menaklukan negara lawan dimana negara yang dikalahkan tersebut akan menerima syarat penyelesaian-penyelesaian dan tidak memiliki alternatif lain selain mematuhi hal tersebut.

Yang disebut dengan perang adil pada awal perkembangan hukum internasional adalah perang yang dilakukan dengan penggunaan senjata yang sederhana yang disertai pernyataan perang oleh satu pihak kepada pihak yang lain dan pihak lain tersebut akan bersiap untuk membela dirinya. 27 Pada abad ke-18, hak berdaulat untuk menyelesaikan sengketa dengan perang lebih ditekankan dan tidak mempermasalahkan parameter hak negara dalam menggunakan kekerasan.

b. Retorsi

Merupakan istilah pembalasan dendam oleh suatu negara atas tindakan kurang bersahabat dari negara lain. Bentuk retorsi dapat dicontohkan diantaranya: pemutusan hubungan diplomatik; pencabutan privilege-privilege diplomatik; deportasi dibalas deportasi; persona non grata dibalas persona non grata; dan lain sebagainya. Retorsi sah dan dibenarkan asalkan tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan.

c. Reprisal

Merupakan metode oleh negara-negara untuk mengupayakan ganti rugi dari negara lain dengan melakukan tindakan yang sifatnya pembalasan. Pada

27

zaman dahulu, reprisal ini merupakan penyitaan harta benda maupun penahanan orang. Namun pada zaman sekarang ini, tindakan reprisal merujuk pada tindakan pemaksaan oleh satu negara kepada negara lain bertujuan menyelesaikan sengketa yang diakibatkan tindakan tidak sah negara tersebut.

Perbedaan antara reprisal dengan retorsi menurut Starke adalah bahwa reprisal adalah pembalasan yang meliputi tindakan yang boleh dikatakan merupakan perbuatan ilegal sedangkan dalam retorsi tindakan balas dendam tersebut dibenarkan oleh hukum.28

Reprisal dapat berupa suatu pemboikotan berang terhadap suatu negara tertentu; embargo; demonstrasi angkatan laut; atau pemboman. Dalam perkembangan praktek internasional, reprisal dibenarkan dalam hal negara lawan tersebut bersalah atas tindakan suatu pelanggaran internasional. Reprisal tidak dibenarkan dalam hal negara pelanggar tanpa diminta memberikan ganti rugi atas kesalahannya atau tindakan reprisal itu melebihi proporsi atas kerugian yang diderita.

d. Blokade secara damai

Merupakan blokade yang dilakukan pada waktu damai untuk memaksa negara yang di blokade tersebut agar memenuhi ganti rugi yang diderita negara yang memblokade. Dapat dikatakan bahwa blokade damai ini dalam tahapan melebihi reprisal namun masih di bawah perang. Beberapa penulis telah meragukan legalitas tindakan ini, dan keabsahan blokade damai masih dipertanyakan ditinjau dari Piagam PBB.

e. Embargo

Merupakan larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo. Embargo juga ditetapkan sebagai sanksi bagi negara pelanggar hukum internasional.

f. Intervensi

Menurut Starke, intervensi termasuk dalam cara penyelesaian sengketa dengan kekerasan.29 Intervensi yang dalam kaitan ini berarti suatu tindakan yang melebihi campur tangan saja, yang lebih kuat daripada mediasi atau usulan diplomatik. 30Campur tangan yang bertentangan dengan kepentingan negara tersebut dilarang dan sudah termasuk kategori intervensi. Adapun bentuk intervensi yang dibenarkan dalam hukum internasional yaitu:31

1) Intervensi kolektif, merupakan intervensi dibawah kewenangan Dewan Keamanan PBB sesuai dengan bab VIII Piagam PBB; 2) Intervensi untuk melindungi hak dan kepentingan serta jiwa

warga negara di luar negeri;

3) Intervensi untuk pertahanan diri, diperlukan untuk menghilangkan bahaya serangan bersenjata;

4) Intervensi dalam urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaan negara tersebut;

29

JG Starke, Pengantar....,Op.Cit., hlm. 679

30

JG Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 1, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hlm. 135

31

5) Intervensi dalam hal negara pengintervensi telah melakukan pelanggaran berat dalam hukum internasional dalam melakukan operasi intervensinya.

3. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum a. Melalui Jalur Arbitrase

Menurut Komisi Hukum Internasional, penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah prosedur penyelesaian sengketa antar negara yang bersifat mengikat berdasar hukum dan hasilnya dapat diterima secara sukarela.

Prinisip kesukarelaan terlihat dalam Arbitrase, yaitu para pihak sepakat untuk membawa sengketanya ke arbitrase.

Permanent Court of Arbitration (PCA) dibentuk melalui Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 yang mengatur proses beracara di PCA. Kompetensi PCA juga meliputi sengketa yang terjadi antara negara dengan subjek hukum internasional non negara yang mana tidak dapat ditangani oleh Mahkamah Internasional.

Arbitrase berfokus pada masalah hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dilihat dari hukum internasional. Dengan penerapan hukum sesuai dengan fakta yang ada, maka diharapkan penyelesaian sengketa akan tercapai.

Putusan Arbitrase bersifat mengikat secara hukum bagi para pihak yang terkait. Mayoritas putusan arbitrase dipatuhi oleh para pihak meskipun belum ada perangkat untuk menjamin penguatan hukum akan itu.

Para pihak dalam proses arbitrase dapat memilih atbitrator nya sendiri. Serta juga dapat memasukkan ahli-ahli teknis yang diperlukan dan menentukan sendiri prosedur yang harus dijalani seperti untuk tidak mempublikasi putusan arbitrase.

b. Melalui Pengadilan Internasional

Ada beberapa pengadilan internasional, diantaranya:

1) International Court of Justice (ICJ)

Adalah pengadilan yang mengadili sengketa antar negara di bidang hukum internasional;

2) International Tribunal for the Law of the Sea

Khusus untuk mengadili sengketa di bidang hukum laut internasional;

3) International Criminal Court (ICC) dan Ad Hoc Tribunal

Mengadili individu, terdakwa yang diduga telah melakukan kejahatan internasional.

ICJ merupakan salah satu organ penting PBB yang diatur oleh Statuta Mahkamah Internasional. Meskipun negara anggota PBB juga merupakan anggota statuta tapi tidak ada kewajiban negara anggota untuk membawa sengketanya ke hadapan ICJ.

ICJ dianggap cara utama penyelesaian sengketa meskipun statistik menunjukkan hanya 4-5 perkara saja yang diajukan ke ICJ setiap tahunnya.

Adapun alasan mengapa masyarakat internasional jarang menyelesaikan sengketa melalui ICJ dipengaruhi beberapa faktor:

1) Proses ICJ dianggap sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah;

2) Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup tinggi;

3) ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) Adapun sengketa hukum yang dapat diajukan ke ICJ diantaranya menyangkut:

 Penafsiran suatu perjanjian;

 Setiap masalah hukum internasional;

 Eksistensi suatu fakta yang jika terjadi akan merupakan suatu pelanggaran kewajiban hukum internasional;

 Sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran kewajiban hukum internasional.

ICJ terdiri dari 15 hakim dengan kewarganegaraan berbeda yang dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak oleh Majelis Umum dengan rekomendasi Dewan Keamanan. Komposisi ini termasuk satu hakim dari masing-masing negara anggota tetap Dewan Keamanan (Hak Veto tidak berlaku). Lima orang dari negara-negara barat, tiga dari Afrika (1 orang dari negara berbahasa Prancis yang menganut Civil Law, 1 orang dari negara berbahasa Inggris yang menganut Common Law, dan 1 orang dari Arab), tiga orang dari Asia, dua orang dari Eropa Timur, dan dua orang dari Amerika Latin. Adapun hakim-hakim dalam ICJ ini

Dokumen terkait