• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-Bentuk Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul

BAB V STRUKTUR WACANA MITOS RATU KIDUL DI PESISIR BALI SELATAN

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT

4.2. Bentuk-Bentuk Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul

Bentuk persepsi wacana mitosRKmerupakan sekumpulan informasi dari para informan (nara sumber) terpilih, yang karena pengetahuan dan pengalamannya dipandang memahami mitos tersebut. Bentuk persepsi yang diperoleh dari para nara sumber, dikumpulkan dengan teknik dan metode pengumpulan data yang berlaku pada umumnya, yakni wawancara. Bentuk persepsi masyarakat terhadap wacana RK yang telah dikelompokkan menjadi 2 versi disusun kembali (rekonstruksi) menjadi teks. Bentuk persepsi masyarakat terhadap mitos RK di pesisir Bali Selatan bermacam-macam, menyebabkan wacana mitosRKsangat variatif, sesuai profesi dan tujuan masing-masing kelompok masyarakat. Ada tiga kelompok profesi masyarakat yang diminta informasinya, yaitu: (1) kelompok paranormal dan penekun spiritual; (2) kelompok nelayan (kehidupan di pantai/laut); (3) kelompok masyarakat multikultur (melaksanakan aktivitas keagamaan yang berhubungan dengan laut).

Pengolahan data menggunakan metode kualitatif dengan kajian wacana naratif. Oleh karena itu, dalam pengolahan data tetap memperhatikan unsur-unsur pengutuh wacana, yakni aspek kohesi dan koherensi. Melalui wawancara, perekaman, dan pencatatan seperlunya, terhadap ketiga kelompok masyarakat tersebut diperoleh 2 versi wacana mitos tentang RK di Pesisir Bali Selatan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pada saat menganalisis struktur, fungsi, dan makna tekstual. Dengan

mengutip paragraf wacana atau persepsi dari ketiga kelompok masyarakat yang belum difragmentasi (cuplikan) diharapkan kealamiahan (naturalisasi) dan sifat wacana tetap terjaga keutuhannya. Bagaimanapun bentuk wacana RK di pesisir Bali Selatan, semua tergantung dari sudut pandang masyarakat.

Adapun bentuk-bentuk persepsi ke tiga kelompok masyarakat tersebut di atas tentang mitosRKdi pesisir Bali Selatan adalah sebagai berikut.

4.2.1 Kelompok masyarakat dengan profesi Paranormal (Penekun Spiritual). Kelompok paranormal (penekun spiritual) dimaksudkan, adalah masyarakat yang menjalankan profesi sebagai paranormal dan menekuni bidang spiritual.

Kelompok ini terdiri atas: ‘pemangku’, balian (dukun), pertapa, dan orang yang melakukan pencarian spiritual dengan cara memuja RK sebagai sasuhunan (mamundut). Kelompok masyarakat ini memandang RK sebagai ‘roh’ penyelamat yang menguasai lautan. Bagi kelompok ini, RKdipahami sebagai ‘roh’ leluhur yang

sudah lama meninggal, namun karena situasi dan kondisi alam yang tidak menentu,

maka oleh Tuhan ‘roh’ tersebut seolah-olah dihidupkan kembali untuk membantu mengatasi dan mengobati permasalahan duniawi yang dialami oleh manusia. Oleh karena itu, RK dipandang sebagai ‘ibu nusantara’. Kelompok ini lebih memahami

adanya konsep ‘roh’ dan reinkarnasi. Pemahaman seperti ini terwakili dari kutipan pernyataan salah satu paranormal, sebagai berikut:

“saya bukanlan putri raja, tetapi Tuhan menciptakan saya sebagai Dewi

Penguasa Dasar Lautan, bersama-sama Dewa Wisnu ada di atas saya dan banyak diberikan penjaga/pengawal berupa jin yang siap memberikan kekayaan, kesuksesan,

dan berkah yang ada di dasar lautan kepada manusia atas seijin Dewi Dasar Lautan

Ratu Kanjeng Kidul. Ijin saya berikan untuk menulis tentang ‘saya’ tetapi tolong

jangan hal ini disebarluaskan, katakan saja bahwa saya adalah Dewi Penguasa Dasar

lautan.” Boleh dibilang ‘ratu kanjeng’ bukanlah manusia, mungkin beliau itu lebih tepat dikatakan‘roh’yang dengan sengaja ditugaskan sebagai malaikat karena memiliki sifat-sifat kedewataannya (manusia super). Beliau ditugaskan menjaga dan melindungi sumber mata air khususnya laut dengan segala biota yang ada di dalamnya agar tidak dirusak oleh manusia (wawancara dengan I. A. Armeli, 4 Juli 2015).

Begitu pula dengan Bung karno, saya bisa kaitkan dengan proses dan keyakinan keberadaan ‘Bhatara Hyang Guru’ bahwa yang dikatakan Hyang Guru itu

dahulunya juga manusia yang berperilaku baik dan telah meninggal, lalu disebut sebagai leluhur. Para leluhur yang mengalami reinkarnasi berulang-ulang hingga karmanya dibayarkan semua, sehingga akan naik statusnya menjadi Dewa/Bhatara. Demikian juga Tuanku Bung karno dan Ratu Kanjeng. Banyak yang memohon keselamatan, kesehatan, kekayaan, kesuksesan, kemakmuran (berkah) kepadanya. Perlakuan seperti inilah yang terjadi pada saat ini di Bali. Artinya, beliau adalah juga leluhur kita yang patut dihormati dan dimuliakan, dipuja dengan membuatkan tempat pemujaan serta menghaturkan persembahan (wawancara dengan I B. Miyasa, 4 Juli 2015).

Paranormal lainnya menyebutkan RK sebagai ‘ibu nusantara’ (nenek

moyang/leluhur) ada dalam kutipan berikut; “sejak itu ‘bunda’ memang lebih sering

berada di Bali turut serta menjaga kestabilan kondisi pulau Bali dan masyarakat Bali

secara ‘niskala’ karena beliau adalah leluhur kita (ibu nusantara) yang sudah ada

sejak zaman Hindu Kuno (wawancara dengan Mangku Made Wirya, 25 Januari 2014). Hal senada juga disampaikan oleh Mangku Nengah Sarba (wawancara, 13 Juni 2014) sebagai berikut; “ saya adalah ‘abdi’ setia dari Kanjeng Ratu Kidul/Bunda Ratu. Beliau adalah ‘ibu nusantara’ yang kini menguasai samudra selatan.

Andre Mujiarto (wawancara, 2013), dalam wejangannya juga mengatakan;

“Ratu Kidul saya sebut Kanjeng Ibu Ratu Kidul, adalah sosok ‘da tan kasat mata’

bukan mitos atau cerita legenda, sehingga tidak perlu diragukan kebenarannya. Beliau adalah penguasa samudra Selatan yang secara sengaja diciptakan oleh Tuhan, ibarat

‘malaikat’ (memiliki sifat-sifat layaknya dewa) turun ke bumi sebagai penyeimbang dan membantu manusia mengatasi segala permasalahan duniawi.

Mangku Made Suada (wawancara,12 April 2014), menginformasikan; “Di tepi goa Kelelawar Suci terdapat pelinggih menyerupai tugu, dipercaya sebagai

pelinggih Ratu Biyang Sakti’ yang diyakini oleh masyarakat, khususnya paranormal

merupakan manifestasi Ratu Pantai Selatan (Ratu Kidul) karena berbalut kain hijau. Ida Bhatara di pelinggih ini (Ratu Biyang Sakti) juga dipercaya turut menjaga keselamatan dengan memberikan rasa aman dan memberikan berkah bagi para nelayan di laut. Di sanalah Kebo Iwa sering melakukan tapa brata yang dikawal oleh seekor ular besar dan seekor tikus putih sebesar anjing.

Mangku Ema (wawancara, 16 Juli 2015), di Pura Batu Bolong Yeh Gangga juga menyatakan, bahwa yang dipuja di Pura ini adalah ‘Ratu Biyang Sakti’ Dalem

Dasar Laut Jawa dan Bali berwujud perempuan cantik berambut panjang masih merupakan generasi (anak) dari leluhurnya di Pura Rambut Siwi. Beliau adalah Ratu Pantai Selatan (Ratu Kidul). Hasil terawangan beberapa paranormal juga mengatakan bahwa, pemujaan terhadap Dewi Laut ini berkaitan denganditemukannya ‘batu akik’

di Pura Luhur Srijong pantai Payan/Soka, Pura Batu Bolong Yeh Gangga dan Pura Tanah Lot. Benda-benda itu yang menjadi dasar kepercayaan masyarakat, khususnya para‘balian’(paranormal) terhadap Pura Batu Bolong telah dijaga oleh seorang dewi Laut yang cantik dan pemurah.

4.2.2 Kelompok masyarakat profesi Nelayan (kehidupan pantai/laut).

Masyarakat yang tergolong kelompok nelayan adalah masyarakat yang dibentuk salah satunya dengan tujuan menambah pendapatan setiap anggotanya melalui penangkapan ikan, baik untuk konsumsi sendiri maupun komersial. Hampir semua anggotanya adalah para pekerja yang pada siang hari berprofesi sebagai pekerja yang berkaitan dengan budidaya ikan.

Pada saat senggang atau pada saat malam hari, para anggota kelompok menangkap ikan untuk konsumsi maupun dijual. Beragam teknik dilakukan sebagai pekerjaan sampingan dengan tujuan untuk menambah pendapatan. Pekerjaan sampingan ini salah satunya adalah mengolah lahan pertanian atau pekerjaan sampingan lain terutama pada saat kondisi laut tidak mendukung. Tujuan dibentuknya kelompok nelayan adalah untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan. Di samping itu, untuk mengubah pola pikir setiap anggota dari menangkap ikan sebagai sampingan menjadi profesi yang menjanjikan dan menghasilkan, memupuk rasa kerja sama dan solidaritan sesama nelayan. Hal yang terpenting adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok khususnya serta masyarakat pada umumnya bisa

meningkat. Selain masyarakat nelayan, termasuk juga petani, jasa, dan pedagang yang beraktivitas dan mencari kehidupan di pantai/laut.

Kaitannya dengan wacana mitosRK, mereka pada umumnya mempersepsikan RKsebagai penguasa laut dan melindungi dari gelombang besar pada saat melaut atau melaksanakan aktivitas masing-masing. Oleh karena itu, mereka meyakini pada setiap

datangnya bulan Suro wajib melaksanakan ritual ‘petik laut’ (nelayan yang berasal dari Jawa). Sedangkan masyarakat lain yang mencari kehidupan di pantai/laut bahkan setiap hari mempersembahkan sesaji kepada penguasa laut sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui malaikatnya Kanjeng Ratu Kidul dan dewa-dewi penguasa sumber air. Adapun wacana tentang hal ini dapat di lihat pada kutipan berikut.

“suatu hari saya bersama satu orang teman berangkat melaut. Di seperempat perjalanan teman saya bergurau ingin bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Belum sampai di tengah laut tiba-tiba kami melihat ombak menggulung. Teman saya langsung pingsan tidak sadarkan diri dan sampai kini tidak bisa ngomong atau

‘kolok”. Ketika ditanyakan kepada orang pintar, dikatakan bahwa pada saat kejadian, Kanjeng Ratu sedang berada dalam gulungan ombak wajahnya cantik dan anggun seperti yang ada pada lukisan-lukisan itu. Akan tetapi, saya tidak melihat, sedangkan teman saya melihat hingga terkejut dan pingsan.

Pengalaman dan kejadian itu membuat saya tidak lagi melaut dan mengubah profesi menjadi tukang batu karena takut bertemu Kanjeng Ratu dan bisa kolok seperti teman kami. Para nelayan di sekitar laut, sampai di pantai Pengambengan setiap bulan Suro selalu mengadakan ritual ‘Petik Laut’. Ritual ini bertujuan untuk memohon keselamatan sekaligus kesejahteraan keluarganya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui perwujudan Kanjeng Ratu Kidul. Kami yakin dapat membantu memberikan solusi atas permasalahan yang kami alami terutama ketika berada di laut.

Walaupun sering terjadi kecelakaan di laut, namun tradisi ‘petik laut’ tetap saja kami

lakukan karena profesi kami sebagian besar menjadi nelayan dan bermukim di dekat laut (wawncara dengan Kotot, 13 Juni 2014).

Ida Bagus Surata (wawancara, 12 Juli 2015) menuturkan, bahwa di pantai Yeh Gangga khususnya di luhur Batu Bolong ini memang sering dilihat oleh paranormal ada penampakan wanita cantik menyerupai lukisan Dewi Gangga. Itu sebabnya

wilayah ini sangat disakralkan, dengan membuat larangan untuk mandi dan

mengotori pantai. Beliau dipercaya menjaga potensi kekayaan laut, yakni ‘udang lobster’ dan melindunginya dari para nelayan liar. Di tempat ini dipercayai ada dewa dan dewi yang menjaga laut, beliau adalah Dewa Baruna dan Dewi Gangga. Dewi Gangga sebagai Ratu Laut Selatan (Ratu Kidul) di Bali. Pantai ini juga sering digunakan untuk upacara ritual‘Melasti’dan‘Nyegara-Gunung’.

“Pada zaman dahulu, masyarakat di sekitar lokasi sebagian besar menggantungkan hidupnya di tepi pantai dengan profesi nelayan dan petani, konon melihat seberkas cahaya yang posisinya terletak di tepian pantai barbatu karang. Di sekitar cahaya itu masih dikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Di wilayah ini dahulu kala merupakan daerah pertanian, masyarakat subak bercocok tanam seperti;padi, jagung, palawija, menurut musim dan hari wewaran atau hari baik. Masyarakat setempat meyakini tempat terlihatnya cahaya merupakan pertanda kebaikan bagi kehidupan. Keyakinan itulah yang menyebabkan dibangunnya pura

yang diberi nama Srijong”(wawancara dengan Mangku Made Suada, 12 April 2014). 4.2.3 Kelompok masyarakat Multikultur.

Kelompok masyarakat multikultur, masih relevan untuk ditelaah karena sesuai dengan semboyan negara Indonesia “ Bhineka Tunggal Ika”. Masyarakat multikultur

lebih dipandang sebagai masyarakat yang memiliki kesederajatan dalam bertindak, walaupun berbeda-beda suku bangsa, ras, maupun agama. Masyarakat dimaksud menekankan pada keanekaragaman budaya dalam kesederajatan. Sebagai sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan atas perbedaan budaya. Nasikun (dalam Geertz, 1996:253) mengatakan, masyarakat multikultur adalah masyarakat yang bersifat majemuk dan secara struktur memiliki sub-sub kebudayaan yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat karena sering muncul konflik-konflik sosial.

Dengan demikian masyarakat multikultur merupakan masyarakat: (a) mengakui perbedaan dan kompleksitas dalam masyarakat; (b) menjunjung tinggi

unsur kebersamaan, kerja sama, selalu hidup berdampingan dengan damai meski terdapat perbedaan; (c) menghargai hak azasi manusia dan toleransi terhadap perbedaan; (d) tidak mempersoalkan kelompok minoritas maupun mayoritas; (e) merasa sederajat dalam kedudukan (status sosial) walaupun berbeda dalam kebudayaan dan SARA. Kelompok ini, dapat menerima keragaman dalam kehidupan, seperti: nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Istilah multikultur identik dengan majemuk, dan memiliki ciri beberapa bagian yang merupakan kesatuan. Plural artinya lebih dari satu, sedangkan beragam artinya, berwarna-warni.

Dalam kaitan dengan penelitian ini, masyarakat multikultur yang dimaksud, terdiri atas: tokoh masyarakat, agamawan, politikus, ilmuwan, pedagang, pejabat (legeslatif, ekskutif, dan yudikatif) yang secara langsung mengakui dan turut serta melakukan pemujaan terhadap laut melalui manifestasiRK. Kelompok ini memahami RK merupakan reinkarnasi dan sakthi dari dewa penguasa laut menurut Hindu. Dengan pemahaman dan sudut pandang seperti itu, maka muncullah pemberian nama terhadap RK berbeda-beda. Ada yang memandang sebagai putri raja yang telah bereinkarnasi secara berulang, dan ada pula yang memahami RK sebagai reinkarnasi dewa-dewi pelindung sumber mata air menurut Hindu dan pemberi berkah kesuburan, kesejahteraan kepada umat manusia. Persepsi terhadap keberadaan RK dapat di lihat dari kutipan hasil wawancara berikut.

Mangku Laksana (wawancara, 6 Juni 2014) menginformasikan;“Konon pada waktu itu, Ida Danghyang Sidhi Mantra beryoga semadhi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa yakni Sanghyang Siwa dan Sanghyang

Baruna Gni sebagai penguasa samudra raya. Kemudian Dang Hyang Sidhi Mantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah tepat di daerah

‘ceking geting’ (ruas jalan yang paling sempit). Akibat goresan itu air lautpun terguncang bergerak membelah bumi sehingga daratan Bali dan tanah Jawa yang semula jadi satu, akhirnya terpisah oleh lautan lalu dinamakan Selat Bali. Sedangkan

‘lingga’ ini ditemukan berbarengan dengan pendirian Pura Segara Rupek yang kemudian oleh masyarakat diyakini sebagai tempat memuja Dewa Siwa dan Dewi Parwati yang bermanifestasi sebagai Kanjeng Ratu Kidul (KRK).

Suatu ketika Dewa Siwa mengajarkan kepada Dewi Parwati ilmu ‘Tantra’,

namun dalam proses pembelajaran, Dewi Parwati tidak berkonsentrasi akibatnya ilmu yang diajarkan tidak bisa meresap. Akhirnya Dewa Siwa murka, lalu menghukum Dewi Parwati atas kegagalannya dengan mengirimnya kepada Dewi Gangga hingga bereinkarnasi menjadi putri seorang nelayan. Singkat cerita, penjelmaan sebagai putri seorang nelayan dimaksudkan agar dapat lebih memfokuskan pikiran, dalam mengatasi segala permasalahan duniawi. Pada reinkarnasi berikutnya beliau berwujud dan bermanifestasi sebagai Kanjeng Ratu Kidul (KRK) yang kini dipercaya oleh masyarakat di Jawa sebagai ratu penguasa pantai Selatan, tetapi di tempat ini dipercaya melindungi satwa langka. Pengiring (ancangan dan unen-unen) beliau adalah‘buyung bangke’(lalat hijau).

DahulunyaRKadalah seorang putri raja, sekitar abad ke-8 yang sangat cantik. Saking cantiknya semua laki-laki tertarik, akhirnya dikenai guna-guna rusaklah mukanya, karena malu lalu sang putri melarikan diri ke laut selatan namun kemudian

diberikan anugerah oleh ‘Bhatara Segara’ dijadikanlah penguasa lautan (wawancara dengan I B. Miyasa, 4 Juli 2015).

Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul, dahulunya adalah seorang putri yang pandai menari sehingga menjadi kesayangan pangeran. Namun, cinta mereka tidak mendapat restu dari raja sehingga dia menceburkan diri dan menjadi penguasa di laut Selatan (Meme Bukit).

Mangku Koming/Mk. Gede (wawancara, 11 Juli 2015) menceritakan bahwa Ratu Kidul di tempat ini memang sering hadir terutama saat pujawali (piodalan) yang jatuhnya pada hari Buda Cemeng Ukir. Tanda kehadiran beliau dituturkan sebagai berikut: Pada puncak piodalan biasanya ada salah satu ‘pemangku’ mengalami

‘kerawuhan’ (trans) tidak berhenti-henti sampai kemudian secara tiba-tiba air laut naik setinggi ± 2 meter terbelah lalu berjalan melewati gundukan pasir sejauh ± 0,5 km bergerak ke arah utara membentuk ‘loloan’, dan air itupun seolah berhenti (mecangcang)di depan sebuah jembatan yang menghubungkan antara pantai dengan Pura serta diikuti banyak sampah.

Orang yang mengalami ‘kerauhan’ secara otomatis berhenti. Bila dihubungkan dengan dunia‘niskala’ orang yang punya naluri spiritual tinggi melihat

telah datang sebuah ‘perahu emas’ berhenti (mecangcang) bersama seorang putri

cantik yang anggun. Sesuai tradisi, kedatangan air tersebut ‘dipendak’ (dijemput)

akan menyaksikan prosesi ritual piodalan di Pura ini dan air yang ‘mecangcang’ itu

langsung mengalir turun ke sungai rawa-rawa di bawah jembatan.

Di Pura Susunan Wadon terdapat sebuah pelinggih yang berbalut serba hijau. Dasar pelinggih dijaga oleh patung buaya. Menurut Mangku Dalem Sakenan (wawancara, 27 Maret 2014), yang bersthana pada pelinggih itu adalah “Ratu Ayu Manik Macorong Dane Gusti Blembong”. Nama inilah yang dikaitkan dengan Dewi

Penguasa Laut Selatan (Ratu Kidul). Pada saat ini, disthanakan di Pura Dalem

Sakenan pada pelinggih ‘Sawang Dalem’ yaitu pelinggih yang berada di luar

(samping kiri) pura Dalem Sakenan. Pura Dalem Sakenan ini, diyakini sebagai tempat krama subak memohon keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan agar segala tanaman di sawah dan ladang terhindar dari hama. Masyarakat meyakini bahwa

‘Hyang Sakenan’ dapat mengendalikan walang sangit sedangkan ‘Hyang Masceti’

mengendalikan tikus-tikus perusak tanaman.

Mangku Tamat (wawancara, 12 Juli 2015) menuturkan, bahwa cerita tentang RK sering terdengar di tempat ini. Namun, hanya sebatas ‘anjangsana’ karena tidak

ada situsnya, artinya beliau tidak diperdewakan. Akan tetapi, dalam agama Hindu selalu percaya adanya ‘Rwa-Bhineda’ yang diibaratkan sebagai Timur-Barat atau laki-perempuan. Atas dasar kepercayaan itu, mula-mula dibangun Pura Dalem Cemara (lanang) jauh sebelum adanya Pura Sakenan yang berkaitan dengan Pura Giri Sloka di Alas Purwa (wadon). Di pantai Serangan juga ada Syahbandar (pelabuhan) sehingga menimbulkan berbagai persepsi masyarakat dan selalu mengaitkan dengan keberadaan Siwa (Hindu) dan Budha. Kalau di Jawa RK dianggap dewi Laut, sama

dengan di Bali yang namanya ‘Laut’ tetap dipuji dan disakralkan terutama oleh

orang-orang intelek (spiritual). “Dengan kata dan nama apa kau bisa sembah, kalau

sudah percaya A, ya tetap A, pada dasarnya apapun yang kita katakan ‘jeg tetep Ida eling’. Laut pesisir Bali Selatan dari pantai Gilimanuk sampai Padangbai disakralkan,

maka cerita RK pasti ada tetapi dengan persepsi dan cara penyampaian yang berbeda. Menurut Wayan Lutur (wawancara, 17 Juli 2015) di Pura Tunggak Tiying ada beberapa palinggih, antara lain: palinggih Ida Ulam Agung, Ida Panji Landung, Palinggih Surya, Palinggih Ratu Niyang, Ratu Syahbandar, Ida Buaya Putih (pengabih Ratu Pantai Selatan). Dinamakan Tunggak Tiying konon pernah ada serumpun pohon bambu yang terbakar oleh ilmu kawisesan leluhur Puri Kesiman, tinggal satu tonggak (bongkol) bambu yang tidak terbakar. Tonggak itulah sebagai

tanda untuk penamaan Pura ini. Pernah juga ada penampakan api di ‘sunduk bale’ di

atas kepala Ratu Ngurah Mangku yang sedang ‘mekemit’. Antara sadar dan tidak sadar, Ratu Ngurah didatangi(keselang),menampakkan diri dalam wujud asli sebagai

‘tengkorak’. Melalui mimpi itu, Ida Panji Landung menampakkan diri seperti patung

yang ada pada saat ini yang menggunakan ‘kampuh’ poleng tiga warna. Hal ini juga

didukung dan dibenarkan oleh Anak Agung dari Puri Blahbatuh, bahwa tiga warna

yang dimaksudkan karena Ida sudah ‘meraga’ Hyang Tri Sakti. Di Pura Tunggak

Tiying yang dinamakan Ratu Kidul adalah Ratu Niyang ring Tengah Segara yang bergelar Ida Ratu Ayu Mas Kentel Gumi beliaulah Nyi Roro Kidul. Beliau telah menciptakan pulau Serangan yang muncul di tengah laut sehingga dinamakan pulau

Mas. Pada saat dilakukan reklamasi, pernah ada petunjuk gaib untuk segera menata kembali Pulau Serangan dan melindungi semua parhyangan yang ada yakni sebanyak 28 pura termasuk beji pura.

Dalam kaitannya dengan cerita Ratu Kidul (wawancara dengan Mangku Mertasari, 19 Maret 2014) dikatakan bahwa, Ida Ratu Dalem Segara bergelar ‘Ratu Ayu Mas Manik Tirta’ yang dimaksud. Beliau merupakan putri dari ‘Ida Bhatari Dewi Danuh’ penguasa dan pelindung sumber mata air yang secara khusus

ditugaskan melindungi kesakralan Pura dan pantai. Biasanya, di pura ini orang memohon kesuburan tanaman pertanian dan memohon pengobatan untuk penyembuhan dengan cara ‘malukat’. Bagi yang ingin ‘malukat,’ dibebaskan untuk

memilih‘Tirta Penglukatannya’,boleh diambil dari air laut atau dari sumber air yang ada di di tempat ini. Biasanya pilihan ‘tirta’ sesuai dengan kata hati (kleteg bayu)dan

‘rasa’. Kedatangan mereka atas dasar niat baik dan permohonan yang tulus ikhlas ke

hadapan Ida Sanghyang Widhi, apapun permohonannya dipastikan mendapat hasil. Mangku Made Ranten (wawancara, 3 Juni 2013) menuturkan, bahwa pura yang sudah berstatus Dang Kahyangan ini dikenal oleh masyarakat sebagai tempat

melaksanakan ritual ‘malukat’ yakni ritual pembersihan diri secara lahir bathin guna

menghilangkan segala noda, dosa, dan penyakit (fungsi pengobatan). Ritual ‘melukat’

didahului oleh prosesi pemujaan kepada dewa-dewi penguasa sumber mata air

pemberi kesembuhan dan keselamatan melalui doa (sae) salah satu disebutkan ‘Ratu Gede Sekaring Jagat’. Beliaulah Ratu Laut Selatan (Ratu Laut Kidul) yang kini sudah dipercaya di Bali turut serta bersama dewa-dewi lainnya membantu manusia mengatasi segala permasalahan duniawi. Sebelum ritual melukat dilaksanakan,

‘pemedek’ harus bersembahyang (matur piuning) terlebih dahulu pada sebuah palinggih yang diapit ‘patung buaya putih’ yang dipercaya sebagai pengawal

(ancangan) RK.

I Gusti Lanang Putu (wawancara, 11 Juli 2015) menuturkan, bahwa pura yang diberi nama Sukeluih Suun Kidul ini sesungguhnya diartikan sebagaiIda Sesuhunan ring Kidul yang telah dibuatkan tempat yang indah dan bagus. Keberadaan pelinggih

‘meru tumpang sebelas’ yang ada di ‘utama mandala’berkaitan dengan pelinggih lain

dan menyimpan banyak misteri terutama dengan pelinggih di ‘nista mandala’(jaba)

Pura yang tanpa identitas. Informan menceritakan tentang keberadaan Pura, bahwa pada zaman dahulu diceritakan seorang putri yang berasal dari desa Keramas-Gianyar