• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V STRUKTUR WACANA MITOS RATU KIDUL DI PESISIR BALI SELATAN

WACANA MITOS RATU KIDUL Wacana Mitos RK di Pesisir

B. Unsur Historis

Pesona alam Bali yang eksotis-religius dengan keunikan budaya didasari oleh agama Hindu, menyebabkan Bali mendapat julukan sebagai “Pulau Seribu Pura, Bali Sorga Dunia” dan lain-lain. Namun, di balik semua itu ada sesuatu yang hilang dari keberadaan pulau Bali, yaitu histori/sejarah yang hubungannya dengan masa lampau. Jika dunia mempunyai cerita tentang daratan yang hilang, maka masyarakat Bali mempunyai fakta sejarah yang hilang, yaitu hilangnya sejarah bumi Bali. Menurut Darmaya (Pustaka Bali, 2010:1-2), dasar-dasar sejarah Bali yang objektif belum dapat dirumuskan hingga saat ini, sehingga masyarakat Bali hanya mengetahui

tentang sejarah Bali berdasarkan pada cerita-cerita yang bersifat mitologis, seperti: purana, babad, tutur, bancangah, dan lain-lain.

Dalam kumpulan Prasasti Bali I dan II yang ditulis oleh Rudolf Goris, di Bali terdata ± 153 buah prasasti yang diterbitkan oleh 38 raja. Selain itu, peninggalan arkeologis berupa arca pemujaan maupun Pura sebagai simbol kekuasaan raja-raja Bali tidak terhitung jumlahnya. Sebelum abad masehi, agama Hindu belum berkembang di Bali sehingga dalam Bali Purana disebutkan pulau Bali masih kosong. Pada saat itu, di Bali terdapat dua kelompok masyarakat, yaitu: (a) kelompok ras Papua Melayunesia yang dipengaruhi oleh budaya jaman perundagian dengan melakukan pemujaan ke arah gunung yang disebut wangsa Bukit; (b) kelompok ras Austronesia yang dipengaruhi oleh budaya zaman Bahari dengan melakukan pemujaan ke arah laut yang disebut wangsaPeminggir.

Masuknya agama Hindu-Budha, pada awal abad pertama, ketika laut digunakan sebagai lalu lintas perdagangan yang utama, maka mulai berdatangan para pedagang dari wilayah Asia maupun Eropa. Di Asia telah tumbuh kerajaan-kerajaan besar, seperti: Kalingga, Campa, dan lain-lain. Oleh karena itu, di Indonesia belum berdiri kerajaan yang berdaulat, maka tentu menjadi daerah rebutan bagi kerajaan- kerajaan tersebut.

Pada awal abad pertama, pulau Bali di bawah kekuasaan wangsa Sora dari India, dan mulailah berkembang sekte Sora. Abad ke empat, pulau Bali berada di bawah kekuasaan raja Campa yang bersifat Siwaistis sehingga berkembang agama Hindu yang bersifat Siwaistis. Pada abad ke enam, Bali berada di bawah kekuasaan

dinasti Han dan Tang dari Cina, sehingga mulai berkembang agama Budha di Bali. Pada abad ke tujuh, di Indonesia telah berdiri beberapa kerajaan Hindu yang mempunyai kekuasaan besar, seperti: Sri Wijaya, Taruma negara, Kalingga, Mataram Kuno, dan lain-lain. Bali pun pernah menjadi rebutan kerajaan-kerajaan tersebut

sehingga ada kiasan yang mengatakan “ dugas gumi Baline nu enceh”(pada saat pulau Bali dalam keadaan cair) merujuk pada hal-hal yang sudah lama/kuno.

Pada saat Bali sudah berdiri dan menjadi kerajaan Hindu yang berdaulat dalam artian sudah memiliki raja yang sah, maka ditemukan simbol-simbol kekuasaan sesuai dengan wangsa pendukung raja-raja yang pernah berkuasa. Hal ini ditunjukkan oleh prasasti Sukawana A I tahun 882 M. Dari 38 (tiga puluh delapan ) raja yang tertulis dalam prasasti Bali, berasal dari keturunan dan dinasti yang berbeda, seperti: dinasti kerajaan Mataram, Sri Wijaya, Medang Kemulan, Daha, Singosari, Majapahit, Gelang-gelang, Pajang, dinasti Arya Bali dan kekuasaan dinasti lainnya.

Perlu diketahui, tidak semua raja Bali merupakan raja yang berdaulat. Ada kalanya raja Bali menjadi raja bawahan dari raja-raja Nusantara yang setara posisinya dengan Adipati atau Raja Patih. Di Bali pernah terjadi dualisme kekuasaan, yaitu dalam waktu yang bersamaan Bali dikuasai oleh dua kerajaan bahkan tiga kerajaan, dari dinasti yang berbeda. Setiap dinasti mempunyai hari kemenangan kekuasaan yang sekarang menjadi hari raya Hindu. Pura dan tempat pemujaan raja-raja, seperti: pura Indra Kila, pura Jenggala, pura Wong Arya, pura Maospahit, pura Rambut Siwi, pura Batur dan lain-lain menjadi simbol kekuasaan. Demikian juga keraton dipandang

sebagai pusat kekuasaan, seperti: Singhamandawa, Singhadwala, Wijaya Pura, Tri Sakti Pura, Sorapati Pura, Pura Dharma Hanyar Kutri, Lingga Buwana, Pura Maospahit, Sweca Pura, Smara Pura, dan lain-lain.

Kekuasaan keraton juga didukung oleh, kelompok keagamaan yang bernama wangsa dan bentuk bangunan khusus menjadi simbol atau ciri khas kekuasaan.

Gunung atau bukit dan laut atau ‘segara’menjadi pusat orientasi keagamaan, seperti: gunung Batur, gunung Agung, bukit Lempuyang, bukit Ulu Watu, bukit Jati, dan Pura Segara di sepanjang pesisir pantai, baik Selatan maupun Utara. Dewa-dewa pujaan biasanya mengikuti sekte raja yang berkuasa sehingga ada sebutan: Mahasora, Mahaindra, Mahaiswara, Mahakala, Mahasaraswati, dan lain-lain.

Dalam catatan sejarah, nama Ratu Kidul sering dikaitkan dengan berdirinya kerajaan Mataram Kuno (Hindu) pada tahun 732 M di bawah Rakai Sanjaya (Arifin, 2007:5). Pada era kebangkitannya setelah ditinggal oleh raja yang bernama Sanna, Mataram mengalami kerusakan akibat serangan Sriwijaya. Dalam usaha

menyelamatkan diri, sebagaimana terdapat dalam “Cerita Parahyangan”, Sang Senna

diselamatkan ke Gunung Merapi, kemudian meminta perlindungan ‘Rahyangta Kidul’. “Na sang Senna diintarkeun ke gunung Merapi....Anggeuh sakamantrian lunga ka rahyangta kidul....” (itu sang Senna dihindarkan ke gunung

Merapi...bermaksud dengan kementriannya pergi ke Rahyangta Kidul). Menyelamatkan diri ke gunung Merapi masuk akal, karena letak pusat kerajaan Mataram adalah di desa Canggal (sebelah Barat Magelang) yang dibuktikan dengan

adanya lingga Gunung Wukir desa Canggal serta sisa-sisa candi yang pernah didirikan oleh Sanjaya.

Gunung Merapi juga diyakini sebagai salah satu pusat kerajaan alam halus. Rahyangta Kidul yang dimaksud dalam naskah tersebut adalah Ratu Kidul, dan menurut Arifin (dalam Sholikhin, 2009:9) Rahyangta, adalah sebutan kuno kepada seorang mendiang yang sudah lama meninggal dunia sehingga sebutan itu dimaksudkan roh atau arwah dari orang yang meninggal itu. Pemahaman ini sejalan dengan informasi dari I B. Miyasa (wawancara, 4 Juni 2015), bahwa Ida Ratu Kanjeng (Ratu Kidul) adalah roh manusia juga yang telah lama meninggal dan sudah menempati alam dewata.

Setelah lama tokoh mistis RK tidak muncul, nama RK kembali mengemuka pada era Mataram Islam, setelah Babad Tanah Jawi menuturkan kisah percintaan RK dengan Panembahan Senopati (Olthof, 2009:93-98), yang melahirkan legalitas bahwa RKadalah permaisuri Panembahan Senopati. Ada perbedaan tokoh yang dituju antara cerita Parahyangan dengan Babad Tanah Jawi. Jika dalam cerita Parahyangan yang disebut dan dituju adalahRKutama, sementara dalam Babad Tanah Jawi yang disebut RKhanyalah salah satu dari Ratu yang menjadi wakilRKyang utama.

Dalam Serat Centini, RK dikaitkan dengan tradisi Kahyangan Dalepih (Wonogiri) yang tertera dalam Prasasti Majapahit di Candi Sukuh (1457 M). Diceritakan, seorang putri wiku yang bertapa di Kahyangan Dalepih, sebagai berikut:

Ratu Dalepih Ratu Kidul, kagarwa nJeng Senopati, dadya bu maru lan putra, rumeksa wahyaning aji” (Serat Centini, 1989:8/18-19). Nama RK muncul kembali

pada zaman Republik di bawah presiden Soekarno yang disebut-sebut sebagai abdi, atau sekaligus menjadi “suami”, dan lukisan RK dipasang pada sebuah ruangan di Istana Negara. Demikian juga saat pemerintahan Soeharto, kembali muncul wacana RK, yang oleh Mama Laurentina (peramal/paranormal) menjelang wafat dikatakan beliau didampingi untuk dijemput oleh RK. Berikutnya, wacana RK muncul kembali pada saat Joko Widodo akan menjadi Gubernur DKI dan semakin santer terdengar hingga menjadi presiden.

Di Bali pernyataan senada dan masuk akal disampaikan oleh Mangku Wirya (wawancara,10 Mei 2013), bahwa ‘Bunda Ratu Kidul’ adalah junjungan umat Hindu sebagai ibu Nusantara, dan sudah ada sejak lama dan terus mengontrol para penguasa dan rakyatnya di negeri ini. Dalam buku babad Brahmana yang diterjemahkan dari lontar Dwijendra Tatwa, menyebut nama Sanghyang Sinuhun Kidul yang dianugrahkan oleh Dalem Waturenggong (± abad ke-15 M) sebagai gelar Danghyang Nirartha setelah beliau mencapai moksa.

Di dalam babad Sukawati juga muncul nama Ida Bhatara Kasuun Kidul. Diceritakan pada abad ke-17 seorang ahli ilmu hitam bergelar Ki Balian Batur sebagai penghuni teledu nginyahdi sebelah Barat desa Cau, kalah perang dengan raja Mengwi yang bergelar I Gusti Anglurah Agung Made Agung alias Tjokordo Sakti Blambangan. Hal ini berkat bantuan dari I Dewa Agung Anom (Sri Aji Sirikan) yang menembakkan peluru Ki Seliksik dengan bedil Ki Narantaka. I Dewa Agung Anom adalah adik I Dewa Agung Dimade putra dari raja Klungkung.

Suatu pagi, I Dewa Agung Anom turun dari peraduan, beliau mendapati seorang pria tampan gagah berwibawa duduk bersila di amben (serambi) gedong peraduan. Tamu tidak dikenal itu berpakaian serba kuning. Ketika ditanya, dengan sangat hormat sang tamu menyembah dan memperkenalkan diri bernama Ki Gede Macaling dari Nusa Penida. Ia di utus oleh Ida Bhatara Kasuun Kidul untuk menyampaikan anugrah Ida Bhatara berupa lontar dengan cakepan yang terbuat dari denta(gading) yang bernama Ki Pengasih Jagat. Ki Gede Macaling bersedia menjadi pengamer-amer di Bumi Timbul, tetapi Ia minta dibuatkan tempat peristirahatan di Jaba Pura Erjeruk. Pada saat ini, wacana mitos RKdi Bali sudah menyebar, terutama di kalangan para penekun spiritual dengan ajaran khas Kejawen menjadi Sasuhunan Kidul(Bunda Ratu Kidul).

Dengan berpedoman kepada jejak historis yang tertuang dalam naskah seperti uraian di atas maka adanya keyakinan dan pemujaan terhadap RKterutama yang ada di pesisir Bali Selatan masuk akal dan bisa diterima oleh masyarakat di Bali terutama bagi yang merasakan masih ada hubungan historis. Apalagi saat ini nama RKdi Bali dipandang sebagai personifikasi dewa-dewi Hindu penguasa sumber mata air umumnya dan laut khususnya, tentu membuat masyarakat semakin yakin sehingga dengan tulus ikhlas turut menyakralkannya.