• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Bentuk Kekerasan dalam Pacaran

Menurut Murray (dalam Siagian 2009:16) bentuk-bentuk dating violence terdiri atas tiga bentuk, yaitu kekerasan verbal dan emosional, kekerasan seksual, kekerasan fisik.

1. Kekerasan Verbal dan Emosional

Kekerasan verbal dan emosional dalam berpacaran adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun

mimik wajah. Menurut Murray (dalam Siagian 2009:16), kekerasan verbal dan emosional terdiri dari:

a. Memangil Nama atau Memberi Julukan Negatif (Name Calling)

Name calling adalah memanggil pasangannya dengan

sebutan-sebutan yang negatif. Pasangan mengatakan pacarnya gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang menginginkan pacaran dengannya, mau muntah melihat pacarnya. Korban menerima tipe kekerasan ini, karena mereka tidak memiliki self esteem yang tinggi, sehingga tidak bisa mengatakan “jika saya jelek, mengapa kamu masih bersama saya sekarang”.

b. Mengintimidasi (Intimidating)

Pasangannya atau pacarnya akan menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya. Perlakuan menakut-nakuti dan menggertak pasangan dengan cara bertindak ceroboh saat mengendarai kendaraan. Jadi, pihak laki-laki atau perempuan dapat mengetahui apakah pacarnya marah atau tidak, dari ekspresi wajahnya dan perilakunya.

c. Melanggar Privasi dalam Pengunaan Alat Komunikasi (Use of pagers and cell phones)

Seorang pacar ada yang memberikan ponsel kepada pacarnya, supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap bisa menghubungi pacarnya. Alat komunikasi ini juga dapat memonitor pacarnya dan memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau. Ada juga dari mereka yang tidak memberikan ponsel kepada pacarnya, tetapi baik yang memberikan ponsel maupun yang tidak memberikan ponsel tersebut akan marah ketika orang lain menghubungi pacarnya, meskipun orangtua dari pacarnya, karena itu mengganggu kebersamaan mereka. Individu ini harus mengetahui siapa yang menghubungi pacarnya dan mengapa orang tersebut menghubungi pacarnya. Menerobos area pribadi dengan cara mengawasi pergaulan, melarang sampai mengambil alih isi alat komunikasi.

d. Menjadikan Pacar sebagai Penunggu Telepon Sehingga Membatasi Kebebasan (Making a boy/girl wait by the phone)

Seorang pacar berjanji akan menelepon pacarnya pada jam tertentu, akan tetapi sang pacar tidak menelepon juga. Pacar yang dijanjikan akan ditelepon, terus menerus menunggu telepon dari pasangannya, membawa teleponnya kemana saja di dalam rumah, misalnya pada saat makan bersama keluarga. Hal ini terjadi berkali-kali, sehingga membuat si pacar tidak mau menerima telepon dari temannya, tidak berinteraksi dengan

keluarganya karena sedang menunggu telepon dari pacarnya. Hal ini disebabkan karena pasangan ingin selalu melindungi kekasihnya.

e. Memonopoli Waktu Pasangannya (Monopolizing a girl’s/ boy`s time)

Korban dating violence cenderung kehabisan waktu untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk mengurus keperluannya karena pasangan yang selalu mengekang, karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan pacarnya.

f. Membuat Seseorang Merasa tidak Nyaman dengan Melakukan Penghinaan (Making a girl`s/ boy`s feel insecure)

Seringkali orang yang melakukan dating violence memanggil pacarnya dengan mengkritik. Perilaku ini ditandai dengan cara melakukan penghinaan seperti: bentuk rambut; pakaian, mereka mengatakan bahwa semua itu dilakukan karena mereka sayang pada pacarnya dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya. Padahal mereka membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika pacar mereka terus menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa semua yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau kesempatan untuk meninggalkan pasangannya.

g. Menuduh/Mempersalahkan (Blaming)

Semua kesalahan yang terjadi adalah perbuatan pasangannya, bahkan mereka sering mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang belum dapat dibuktikan kebenarannya seperti menuduh melakukan perselingkuhan, hubungan seks.

h. Mengancaman (Making threats)

Biasanya mereka mengatakan, “Jika kamu melakukan ini, maka saya akan melakukan sesuatu padamu”. Perlakuan menakut-nakuti ini bisa dilakukan agar korban menuruti kemauannya dengan memutuskan hubungan cinta, hingga menyebar foto-foto dan video. Ancaman mereka tidak hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orang tua, dan teman mereka.

i. Memanipulasi/Membuat Dirinya terlihat Menyedihkan (Manipulation / making himself look pathetic)

Hal ini sering dilakukan oleh pria. Perempuan sering dibohongi oleh pria. Pria biasanya mengatakan sesuatu hal yang konyol tentang kehidupan, misalnya pacarnya orang yang satu-satunya mengerti dirinya, atau mengatakan kepada pacarnya bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya lagi, memaksakan kehendaknya dengan cara mengungkit masa lalu yang menyedihkan.

j. Mengintrogasi (Interrogating)

Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur, cenderung menginterogasi pacarnya. Ia selalu menanyakan di mana pacarnya berada sekarang, siapa yang bersama mereka, berapa orang laki-laki atau wanita yang bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas pesan mereka.

k. Mempermalukan di Depan Publik (Humiliating her/ him in public)

Mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya. Atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya. Perilaku ini ditandai dengan cara memperlakukan sang pacar tidak baik, melakukan penghinaan terhadap suku, ras, dan agama. Bahkan, membeberkan aib sang pacar sebagai sebuah gurauan.

l. Merusakkan, Meminjam Benda/Sesuatu yang Berharga (Breaking borrow treasured items)

Tidak memperdulikan perasaan atau barang-barang, uang milik pacar mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka menganggap hal itu sebuah kebodohan.

2. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual dalam berpacaran adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya. Menurut Murray (dalam Siagian:2009:16), Kekerasan seksual terdiri dari:

a. Perkosaan

Melakukan hubungan seks secara paksa tanpa ijin pasangannya atau dengan kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya pasangan mereka tidak mengetahui apa yang akan dilakukan pasangannya pada saat itu. Peristiwa ini biasanya di bawah tekanan, ancaman, bujukan, memperdaya korban.

b. Sentuhan yang tidak diinginkan

Sentuhan pada bagian-bagian tubuh yang dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, sentuhan ini kerap kali terjadi di bagian dada, bokong, dan yang lainnya.

3. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik dalam berpacaran adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya (Murray, 2009). Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini terhadap pasangan prianya, akan tetapi konsekuensi fisik

yang terjadi tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria terhadap wanita.

Murray (dalam Siagian:2009) mengidentifikasi kekerasan fisik dalam pacaran terdiri dari:

a. Memukul, mendorong, membenturkan

Mumukul, mendorong dan membenturkan merupakan tipe abuse yang dapat dilihat dan diidentifikasi. Perilaku ini diantaranya adalah memukul, meninju, menendang, menampar, menggigit, mendorong ke dinding dan mencakar baik dengan menggunakan tangan maupun dengan menggunakan alat. Hal ini menghasilkan memar, patah kaki, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan sebagai hukuman kepada pasangannya.

b. Mengendalikan, menahan

Perilaku ini dilakukan pada saat menahan pasangan mereka untuk tidak pergi meninggalkan mereka, misalnya meremas, menggengam tangan atau lengannya terlalu kuat.

c. Permainan kasar

Menjadikan pukulan sebagai permainan dalam hubungan, padahal sebenarnya pihak tersebut menjadikan pukulan-pukulan ini

sebagai taktik untuk menahan pasangannya pergi darinya. Ini menandakan dominasi dari pihak yang melayangkan pukulan tersebut.

4. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran yang Umum Terjadi

Menurut Subhan (2004), bentuk- bentuk kekerasan yang sering dilakukan meliputi :

a. Kekerasan Fisik, merupakan pelecehan seksual, seperti: rabaan, colekan yag tidak diinginkan, pemukulan, penganiayaan, serta pemerkosaan.

b. Kekerasan Nonfisik, merupakan pelecehan seksual, seperti: sapaan, siulan, atau bentuk perhatian yang tIdak diinginkan, direndahkan, dianggap selalu tidak mampu, memaki, dll.

Jombang women’s crisis center (2013) mengidentifikasi bentuk kekerasan dalam pacaran yang terjadi di kalangan remaja adalah:

a. Kekerasan fisik, misalnya memukul, menendang, menjambak rambut, mendorong sekuat tenaga, menampar, menonjok, mencekik, membakar bagian tubuh/menyundut dengan rokok, pemaksaan berhubungan seks, menggunakan alat, atau dengan sengaja mengajak seseorang ke tempat yang membahayakan keselamatan.

b. Kekerasan seksual, bentuknya bisa berupa pemaksaaan hubungan seksual (rabaan, ciuman, sentuhan) yang tidak kita kehendaki, dipaksa aborsi, dll.

c. Kekerasan psikis, bentuknya berupa cacimakiaan, umpatan, hinaan, pemberian julukan yang mengandung olok-olok ; membuat seseorang menjadi bahan tertawaan ; mengancam, cemburu yang berlebihan, membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, pemerasan, mengisolasi, larangan berteman.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku dating violence terdiri dari tiga bentuk yakni kekerasan Verbal dan Emosional yang terdiri dari mengatakan pacarnya gendut, menuduh, mempermalukan di depan umum, membatasi kebebasan, ancaman, melanggar privasi. Kekerasan fisik, berupa memukul, meninju, menendang, menjambak rambut, mendorong sekuat tenaga, menampar, menonjok, mencekik. Bentuk kekerasan dapat berupa seksual pemaksaan hubungan seksual, perkosaan, rabaan yang tidak di inginkan.

5. Faktor-Faktor Kekerasan dalam Pacaran

Murray (dalam Siagian 2012:16) menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang berkontribusi dalam Kekerasan dalam Pacaran, yaitu:

a.Penerimaan teman sebaya

Remaja cenderung ingin mendapatkan penerimaan dari teman sebaya mereka, misalnya remaja pria dituntut oleh teman sebayanya untuk melakukan kekerasan sebagai tanda kemaskulinan mereka.

b. Harapan peran gender

Pria diharapkan untuk lebih mendominasi sedangkan wanita diharapkan untuk lebih pasif. Pria yang menganut peran gender yang mendominasi akan lebih cenderung mengesahkan perbuatan dating violence kepada pasangannya, sedangkan wanita yang menganut peran gender yang pasif, akan lebih menerima dating violence dari pasangannya.

c. Pengalaman yang sedikit

Secara umum, remaja memiliki sedikit pengalaman dalam berpacaran dan menjalin hubungan dibandingkan dengan orang dewasa. Remaja tidak mengerti seperti apa pacaran yang benar, apakah setiap hal yang mereka lakukan saat pacaran adalah baik. Contohnya: cemburu dan posesif dari abuser dilihat sebagai tanda cinta dan sesuatu yang dipersembahkan dari abuser. Karena kurangnya pengalaman, mereka menjadi kurang objektif dalam menilai hubungan mereka.

d. Jarang berhubungan dengan pihak yang lebih tua

Remaja selalu merasa bahwa orang dewasa tidak akan menanggapi mereka dengan serius, dan mereka menganggap bahwa intervensi dari orang dewasa akan membuat kepercayaan diri dan kemandirian diri mereka hilang. Inilah yang membuat mereka menutupi dating violence yang terjadi pada diri mereka.

e. Sedikit akses ke layanan masyarakat

Remaja di bawah usia 18 tahun mempunyai akses yang sedikit ke pengobatan medis, dan meminta perlindungan ke tempat penampungan orang-orang yang menjadi korban kekerasan. Mereka membutuhkan panduan orangtua, tetapi mereka takut menyampaikannya. Hal ini akan menghambat remaja untuk terlepas dari kekerasan dalam pacaran.

f. Legalitas

Kesempatan legal berbeda antara orang dewasa dan remaja, remaja kurang memiliki kesempatan legal. Remaja sering kali memiliki akses yang sedikit ke pengadilan, polisi dan bantuan. Ini merupakan rintangan bagi remaja untuk melawan dating violence.

g. Penggunaan obat-obatan

Obat-obatan tidak merupakan penyebab dating violence, tetapi ini dapat meningkatkan peluang terjadinya dating violence dan meningkatkan keberbahayaannya. Obat-obatan menurunkan kemampuan untuk menunjukkan kontrol diri dan kemampuan membuat keputusan yang baik dihadapan wanita ataupun prianya.

World Report On Violence And Health (dalam Siagian 2012:17) mengindikasikan enam faktor yang menyebabkan dating violence diantaranya:

a. Faktor individual

Faktor demografi yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kekerasan kepada pasangannya adalah usia yang muda dan memiliki status ekonomi yang rendah. The Health and Development Study in Dunedin, New Zealand (2002)– Dalam satu penelitian longitudinalnya menunjukkan bahwa seseorang yang berasal dari keluarga yang melakukan kekerasan- berasal dari keluarga yang umumnya berada pada level ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah atau pendidikan yang rendah, maka mereka akan melakukan dating violence.

b. Sejarah kekerasan dalam keluarga

Studi yang dilakukan di Brazil, Afrika, dan Indonesia (2002) menunjukkan bahwa dating violence cenderung dilakukan oleh laki-laki yang sering mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

c. Penggunaan Alkohol

Penelitian Black, dkk (2002) yang diadakan di Brazil, Cambodia, Canada, Chile, Colombia, Costa Rica, El Salvador, India, Indonesia, Nicaragua, Afrika Selatan, Spanyol, dan Venezuela

menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peminum minuman keras dengan menjadi pelaku dating violence. Hal ini bisa terjadi karena alkohol dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan individu dalam menginterpretasikan sesuatu (World Report on Violence and Health, 2002) . Lebih lanjut Borsary & Carey (dalam Roudsary, Leahy & Walters, 2009) menggunakan pengukuran penggunan alkohol satu kali seminggu dalam memprediksikan pelaku dating violence.

d. Gangguan kepribadian

Penelitian di Canada (2002) menunjukkan bahwa laki-laki yang menyerang pasangannya cenderung mengalami emotionally dependent,

insecure dan rendahnya self-esteem sehingga sulit mengontrol

dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka. Mereka juga memiliki skor yang tinggi pada skala personality disorder termasuk diantaranya antisocial, aggressive and borderline personality disorders.

e. Faktor dalam Hubungan

O’Kefee (2005) mengatakan bahwa, kurangnya kepuasan dalam hubungan, semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan meningkatkan terjadinya dating violence. Hasil penelitian Lewis & Fremouw, Ray & Gold, Billingham (dalam Luthra dan Gidycs, 2006) mengatakan bahwa semakin lama durasi suatu hubungan, maka dating violence dalam hubungan tersebut semakin meningkat.

Follingstad, Rutledge, Polek, & McNeill-Hawkins (dalam Luthra & Gidycs, 2006) menyebutkan bahwa dengan pertambahan setiap 6 bulan durasi pacaran, korban dari kekerasan berulang-ulang akan lebih bisa bertahan dalam hubungan yang dijalaninya, daripada korban yang mengalami sekali kekerasan atau dengan kata lain semakin sering dilakukan suatu kekerasan kepada pasangannya maka sang pelaku akan semakin merasa bahwa si korban menerima perilaku kekerasan tersebut.

f. Faktor komunitas

Pada Tingkat ekonomi yang tinggi, orang-orang lebih mampu untuk melakukan perlindungan ataupun pembelaan terhadap kekerasan yang dialaminnya. Meskipun tidak selalu benar bahwa kemiskinan meningkatkan kekerasan, namun tinggal dalam kemiskinan dapat menyebabkan hopelessness. Untuk beberapa pria, tinggal dalam kemiskinan bisa mengakibatkan stress, frustrasi, dan perasaan tidak mampu untuk memenuhi harapan sosial, atau hidup sesuai dengan harapan sosial. Peran gender tradisional, ada tidaknya sanksi dalam komunitas itu, atau daerah tempat tinggal pelaku dan korban merupakan bekas daerah perang sehingga tersedia peralatan perang, juga turut berperan Sebagai pemicu dating violence. Kekerasan yang terjadi di komunitas berhubungan dengan faktor penyebab menjadi pelaku dating violence dikedua gender (Malik dalam O`Kefee, 2005). Frekuensi kekerasan yang terjadi di komunitas akan meningkatkan kekerasan yang

terjadi, mungkin ini disebabkan oleh penerimaan seseorang mengenai violence tersebut. (O’Keefe, 2005).

6. Karakteristik Orang yang melakukan Dating Violence

Beberapa ciri orang yang melakukan dating violence adalah:

a. Rendahnya self esteem atau self image yang buruk

Self esteem adalah keseluruhan sikap kepada diri, apakah positif atau negatif (Rosenberg, dalam Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Orang-orang dengan self esteem dan self image yang rendah ingin meningkatkan self esteem dan self image mereka dengan menunjukkan kekuatan mereka atas pasangan mereka.

b. Toleransi yang sedikit kepada frustrasi

Frustrasi didefinisikan sebagai perasaan yang timbul ketika terdapat situasi yang merintangi goal (Dollard, Doob, Miller, Mower; & Sears dalam Baron et al., 2006). Roseinzweig (dalam Kellen, 2009) mengatakan bahwa reaksi seseorang kepada situasi frustrasi bisa favorable atau tidak favorable berdasarkan toleransi frustrasi seseorang. Kellen (2009) mengatakan bahwa memiliki toleransi frustasi yang rendah seringkali merupakan faktor yang dapat menciptakan kemarahan dan kekerasan.

c. Suasana hati yang sering berubah-ubah

Orang dengan tipe ini biasanya kelihatan tenang dalam beberapa menit, dan tiba-tiba berperilaku agresif kemudian.

d. Mudah marah

Pelaku dating violence cenderung mengekspresikan ketakutan atau kecemasan sebagai kemarahan, atau menolak untuk mendiskusikan perasaan mereka, dan kemudian menunj ukkan kemarahan mereka yang meledak–ledak.

e. Kecemburuan yang berlebihan

Pada pelaku dating violence kecemburuan terjadi dengan pihak ketiga dalam hubungan, dimana pihak yang cemburu merasa bahwa pasangan mereka membina hubungan dengan oranglain. Seseorang yang pencemburu menunjukkan ekspresi cemburu mereka, seperti kemarahan maupun kekerasan fisik (Peppermint, 2006).

f. Terlalu posesif

Di kalangan pelaku dating violence posesif merupakan perasaan takut akan kehilangan seseorang, takut ditinggalkan kekasihnya sendiri (Hendrick & Hendrick dalam Baron, Byrne & Branscombe 2006). Perasaan ini membuat pasangan mereka ingin mengontrol segala

sesuatu mengenai pasangannya, dan tidak jarang kontrol yang dilakukan terlalu berlebihan dan mengekang pasangannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa delapan faktor yang mempengaruhi dating violence pada remaja adalah (1) faktor individual, (2) sejarah kekerasan dalam keluarga, (3) penerimaan teman sebaya, (4) harapan peran gender, (5) penggunaan obat-obatan, (6) gangguan kepribadian, (7) faktor dalam hubungan, dan (8) faktor komunitas. Faktor individual yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kekerasan terhadap pasangannya adalah usia muda, berada pada level ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah, serta seseorang yang sering mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, mengalami emotionally dependent, insecure dan rendahnya self esteem. Semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan meningkatkan terjadinya dating violence. Dating violence sering dialami remaja baik yang baru saja berpacaran atau sudah lama.

Dokumen terkait