• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Pada Akad Muzara’ah Pertanian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Bentuk Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Pada Akad Muzara’ah Pertanian

Penggarap Ditinjau dari Ekonomi Islam Di Desa Tonasa Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa

Menurut hasil penelitian di lapangan Desa Tonasa merupakan salah satu daerah holtikultura di Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa, yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai Petani. Karena didukung oleh keadaan alam yang sangat cocok untuk di tanami berbagai jenis tanaman, salah satunya sayuran.

No

Informan Status Usia

(tahun)

Inisial Peran

1. Nasrun Pemilik Lahan 38 tahun N Informan 2. Sudirman Pemilik Lahan 38 tahun S Informan 3. Sangkala Baco’ Pemilik Lahan 69 tahun SB Informan 4. Mustakim

Salimuri Pemilik Lahan 51 tahun MS Informan 5. Muhammad Petani Penggarap 53 tahun Muh. Informan 6. Nangari Baco Petani Penggarap 69 tahun NB Informan 7. Mansur Petani Penggarap 40 tahun M Informan 8. Jamaluddin Petani penggarap 46 tahun J Informan 9. Syamsia Petani Penggarap 40 tahun Sy Informan 10. Mansyur

Turung Petani Penggarap 49 tahun MT Informan 11. Usman B. Petani Penggarap 49 tahun UB Informan

maka menyebabkan banyak petani di desa tersebut ingin bercocok tanam, namun ternyata tidak semua petani mempunyai lahan sendiri untuk dikelola. Karena hal demikian, maka dibuatlah sebuah solusi yang dimana dibentuklah suatu bentuk kerjasama yaitu perjanjian bagi hasil. Perjanjian bagi hasil di Desa Tonasa ini, mulai diterapkan sekitar pada tahun 1970-an. Perjanjian pada saat itu mulai diterapkan oleh

salah seorang pedagang yang bernama DG. Budu’, yang dimana

beliau sedang merintis usahanya yang masih merupakan usaha kecil-kecilan.

Kerjasama bagi hasil dalam bidang pertanian ini dilakukan oleh dua orang yakni pemilik lahan dengan petani penggarap. Pemilik lahan disini sebagai pihak penyedia lahan sekaligus modal dan petani penggarap sebagai pihak pengelola lahan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan, maka dapat diperoleh data sebagai berikut:

a) Bentuk Perjanjian

Perjanjian bagi hasil adalah suatu kesepakatan kerjasama antara pemilik lahan dengan petani penggarap yang hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan dari modal yang dikelola. Perjanjian bagi hasil di Desa Tonasa umumnya dilakukan sesuai dengan kebiasaan adat setempat yakni secara lisan dan tidak pernah menghadirkan saksi, alasannya karena adanya rasa saling percaya

antara satu sama lain dan kebiasaan yang pada umumnya terjadi di desa tersebut.

Hasil wawancara dengan inisial MS selaku salah satu pemilik lahan di Desa Tonasa:

“Petani Desa Tonasa secara umum tidak ada perjanjian tertulis, hanya karena sudah menjadi kebiasaan itu dikenal di kampung kita ini bagi hasil dari tesang, kalau mengenai bentuknya itu pemilik lahan merangkum semua biaya produksi, kemudian hasil produksinya langsung dibagi dua dengan pekerja atau penggarap.”

Adapun bentuk perjanjian dalam perjanjian bagi hasil pada akad muzara’ah pertanian di Desa Tonasa adalah pada umumnya dilakukan dengan sistem langsung bagi dua dan bagi dua dengan potongan persen setelah masa panen itu tiba.

Hasil wawancara dengan inisial J selaku salah satu petani penggarap di Desa Tonasa :

“Perjanjian bagi hasil yang dilakukan pemilik lahan dan petani penggarap khususnya di Desa Tonasa ini adalah bentuknya itu sifatnya tidak tertulis artinya dari hasil kesepakatan saja antara pemilik lahan dengan petani penggarap bagaimana sistem bagi hasil yang akan dilaksanakan karena bermacam-macam sistem bagi hasil yang ada disini, contoh kecil ada perjanjiannya lansung bagi dua dan ada juga bagi dua dengan potongan persen.”

Berbicara mengenai bentuk kerjasama bagi hasil antara pemilik lahan dengan petani penggarap dalam hal ini adalah petani sayur. Maka berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan, di Desa Tonasa Kec. Tombolo Pao Kabupaten Gowa sebagai lokasi penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaanya itu masih sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat dan sistem bagi hasil yang dilakukan bersifat turun temurun. Adat istiadat itu dijadikan sebagai sumber hukum yang dapat dipatuhi oleh masyarakat setempat meskipun bersifat tidak tertulis. Dan sebelum melakukan perjanjian kerjasama, biasanya kedua belah pihak (pemilik lahan dan penggarap) melakukan suatu pertemuan yang dimana pertemuan itu hanya bersifat non formal yang biasanya dilakukan saat mereka bertemu baik di kebun atau di suatu tempat-tempat tertentu.

Bagi hasil di Desa Tonasa dilakukan secara lisan atau tidak

tertulis, dan tanpa saksi. Dan adapun istilah tesang di Desa Tonasa

itu sendiri adalah mengerjakan lahan pertanian milik pemilik lahan dan mendapatkan bagian dari hasil lahan yang dibagi.

Berikut bentuk perjanjian dalam kerjasama bagi hasil dari tersebut, yaitu:

Langsung dibagi dua seperti, Pemilik lahan yang menanggung

penyediaan lahan, modal dan bahan-bahan yang akan dikelola dan petani penggarap melalui tenaga dan waktu dalam

pengelolaan lahan mulai proses penanaman hingga panen, itu kemudian hasilnya lansung dibagi dua tanpa ada potongan lagi dari si pemilik lahan itu sendiri.

 Potongan persen seperti, hasil dari penjualan terdapat

Rp.2.000.000,00,- dan dalam perjanjian tersebut berlaku 20% maka dari Rp2.000.000,- tersebut dipotong untuk diambil alih oleh si pemilik lahan Rp200.000,- kemudian sisanya baru dibagi dua.

Berikut tabel bentuk perjanjian bagi hasil antara pemilik lahan dengan petani penggarap:

Tabel 4.7

Bentuk Perjanjian Petani Desa Tonasa

No. Hasil Dan Pembagian Ket.

Pemilik Lahan Petani Penggarap

1. 1 2 bagian 1 2 bagian Bagi tanaman tomat, cabai, kol, sawi, dll. 2. 1 3 bagian 2 3 bagian Bagi tanaman kentang saja.

Dalam perjanjian bagi hasil tersebut, meskipun dilaksanakan secara lisan tanpa ada unsur-unsur hukum yang mendukung, tak membuat petani di Desa Tonasa saling merugikan satu sama lain. Akan tetapi saling menjaga kepercayaan untuk kesejahteraan bersama. Dalam hukum Islam, rukun kerjasama dalam pertanian menurut jumhur ulama adalah adanya pemilik lahan, petani

terdapat penjelasan yang menyatakan kerja sama dalam pertanian harus dilakukan secara tertulis. Adanya syarat ijab dan qabul dapat dipenuhi dengan kata sepakat antara pemilik lahan dan petani penggarap secara lisan dengan dasar atas saling percaya. Dalam hal ini, pelaksanaan perjanjian bagi hasil pada pertanian (sayuran) tersebut di Desa Tonasa Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa dapat dikatakan telah memenuhi rukun pada akad muzara’ah, tetapi tidak sepenuhnya terpenuhi dalam tinjauan hukum Islam.

b) Tanggungan Modal dalam Perjanjian Bagi Hasil

Modal adalah sekumpulan dana baik itu dalam bentuk uang atau barang yang digunakan sebagai dasar untuk menjalankan suatu usaha. Seperti halnya modal dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara pemilik lahan dengan petani penggarap di Desa Tonasa digunakan sebagai dasar untuk pengelolaan usaha pertanian.

Modal tersebut ditanggung oleh pemilik lahan untuk menyediakan hal-hal yang dibutuhkan dalam pengelolaan lahan pertanian dan hasilnya dibagi dengan petani penggarap sesuai kesepakatan yang telah ditentukan di awal.

Hasil wawancara dengan inisial MS selaku salah satu pemilik lahan di Desa Tonasa:

“Ditanggung sama pemilik lahan sepenuhnya. Persentasenya

tergantung dari hasil produksi jadi kalau dari segi

persentasenya tidak dipersentasekan karena kita lihat saja berapa hasil penjualan secara total.”

Hasil wawancara lain yaitu dengan inisial SB selaku pemilik lahan di Desa Tonasa:

“Modalna, injo toa rie’ injo to’modal mange ri pekerjayya punna berhasil ii ribage rua minne anunna modalna.”

Artinya:

“Modalnya, itu ada yang kasih modal ke para pekerja jika berhasil dibagi dualah modalnya”

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa modal dalam pengelolaan lahan pertanian di Desa Tonasa tersebut adalah 100% di tanggung oleh pemilik lahan. Modal yang digunakan ada yang menggunakan modal sendiri, ada juga yang meminjam di lembaga keuangan terdekat dari Desa Tonasa itu sendiri. Kemudian persentase dari hasil panen itu sendiri adalah tergantung dari hasil produksi.

c) Alasan Terjadinya Perjanjian Bagi Hasil

Adapun unsur pokok dalam perjanjian bagi hasil pertanian ini yaitu Pemilik lahan, petani penggarap dan lahan garapan. Pemilik lahan adalah orang yang mempunyai lahan pertanian dan modal yang cukup, yang mana karena keadaan tertentu menyerahkan hak

pengerjaan lahannya kepada orang lain yang disebut petani penggarap. Penggarap sawah yaitu orang yang mengorbankan tenaga dan wakunya untuk mengerjakan lahan pertanian milik pemilik lahan dan mendapatkan bagian dari hasil lahan yang dibagi sesuai kesepakatan yang dibuat.

Hasil wawancara dengan inisial J selaku petani penggarap di Desa Tonasa, yaitu:

“Yang mendorong pemilik lahan dan petani penggarap

melakukan perjanjian bagi hasil di Desa Tonasa ini adalah itulah dengan faktor yang banyak terjadi disini karena banyak juga petani penggarap tidak punya modal, tidak punya lahan sehingga terjadilah perjanjian tersebut”.

Perjanjian kerjasama bagi hasil di Desa Tonasa sendiri biasanya dilakukan karena adanya salah satu pihak menawarkan diri, baik dari penggarap yang menawarkan jasa, waktu dan tenaganya untuk bersedia mengerjakan suatu pekerjaan pertanian dan pemilik lahan yang menawarkan lahannya untuk digarap dengan hasil imbalan tertentu setelah panen. Dan hasil penelitian yang penulis dapatkan di lapangan, penawaran lebih sering datang dari petani penggarap dikarenakan petani penggarap yang lebih membutuhkan dana dan pekerjaan untuk keberlangsungan hidup mereka. Dan pembagian hasil dari kerjasama tersebut dilakukan dengan lansung bagi dua dan potongan persen.

Hasil wawancara dengan inisial SB selaku pemilik lahan di Desa Tonasa:

“Alasangku ka to paccei, nakke nia’ modalakkue jari ku sareangmi jama’ang na nguppai nguppatonga.”

Artinya:

(“Alasan saya karena mereka orang tidak punya, saya ada modal jadi saya kasih pekerjaan. Kalau dapat saya juga pasti dapat.”)

Hasil wawancara lain dengan inisial Muh. Selaku petani penggarap di Desa Tonasa:

“Alasangku ero’ a’ tesang ka nakke ka tena anungku, tena lokasiku ia minjo anunna boskia ri jama.”

Artinya:

(“Alasan saya ingin bagi hasil karena saya kan tidak ada anuku, tidak ada lokasiku itulah punya bos yang dikerja.”)

Dan hasil wawancara dengan inisial M selaku pemilik lahan di Desa Tonasa:

“Alasangku tesang ka nakke tena modalakku.” Artinya:

(“Alasan saya bagi hasil karena saya tidak punya modal.”) Dari hasil wawancara tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa yang mendorong pemilik lahan dengan petani penggarap ingin melakukan perjanjian bagi hasil akad muzara’ah adalah:

 Pemilik Lahan

 Kurangnya modal yang dimiliki

 Tidak mampu mengolah lahan sendiri

 Membantu mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan

dan modal, serta pekerjaan tetap  Petani Penggarap

 Tidak punya modal

 Tidak punya lahan untuk digarap

 Membantu meringankan pekerjaan pemilik lahan

 Karena pekerjaan yang tidak tetap

Dari beberapa alasan di atas petani penggarap sangat bergantung pada petani pemilik lahan. Disamping banyak faktor yang menjadi penghambat petani penggarap dalam melakukan penanaman yang bukan hanya dari segi permodalan tapi juga pembelian alat dan bahan-bahan tanaman, sehingga penawaran kepada pemilik lahan yang berupa bentuk kerjasama sangat diperlukan. Selain daripada itu, pemilik lahan juga sangat membutuhkan petani penggarap karena dilatarbelakangi oleh beberapa alasan di atas.

Allah berfirman dalam Qs. Al-Maidah ayat 2.

ىَلَع اوُن َواَعَت َلا َو ۖ َٰى َوْقَّتلا َو ِِّرِبْلا ىَلَع اوُن َواَعَت َو

َّنِإ ۖ َ َّاللُ اوُقَّتا َو ۚ ِنا َوْدُعْلا َو ِمْث ِْلْا

ِباَقِعْلا ُديِدَش َ َّاللُ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Ayat ini menegaskan bahwa Allah memerintahkan

ditegakkannya rasa tolong-menolong dalam kehidupan manusia yaitu dalam kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam hal keburukan.

d) Jangka Waktu Pelaksanaan Perjanjian Bagi hasil

Kegiatan bertani petani sayur di Desa Tonasa dilakukan pada lahan yang luas dan tanaman yang bervariasi. Luas lahan dan tanaman yang bervariasi ini memiliki pengaruh terhadap waktu pengelolaan dalam perjanjian bagi hasil ini. Jangka waktu perjanjian bagi hasil yang ada di Desa Tonasa itu sendiri adalah rata-rata 1 (satu) tahun dengan 3 (tiga) kali masa tanam, yaitu Desember-Maret, April-Juli, Agustus-November.

Hasil wawancara dengan inisial MT selaku pemilik lahan / pemodal di Desa Tonasa, mengatakan:

“Waktu pengelolaan lahan itu sangat tergantung dari jenis tanamannya. Misalnya, tomat itu kan 4 sampai 5 bulan. Yang jadi kebiasaan juga di kita di petani di Desa Tonasa ini tidak mengadakan perjanjian tapi kerja semampu kita, apakah itu pemiliki lahan mampu untuk bermodal kemudian pekerja itu

mampu juga bekerja. Jadi terkadang tidak diadakan perjanjian sampai waktu ke berapa, yang penting kerja saja.”

Hasil wawancara lainnya dengan inisial UB selaku salah satu petani penggarap di Desa Tonasa, mengatakan:

“kalau pengelolaan lahan itu tergantung ya, kalau per musim itu 4 bulan, tergantung dari tanaman yang ditanam.”

Berdasarkan hasil wawancara di atas, pada umumnya jangka waktu pelaksanaan bagi hasil di Desa Tonasa tergantung dari jenis tanaman yang dikelola (seperti: tomat, cabai, kol, kembang kol, wortel, dll), yang dimana sekitar 4-5 bulan. Adapun

e) Resiko Kerugian

Apabila terjadi kerugian dalam pengelolaan pertanian itu menjadi resiko yang ditanggung oleh pemilik lahan sebagai pihak yang mengeluarkan modal pada pengelolaan tersebut.

Seperti hasil wawancara dengan inisial MS selaku pemilik lahan di Desa Tonasa:

“Jika terjadi kerugian sebenarnya ditanggung oleh pemilik lahan jadi yang rugi itu pemilik lahan, kalau dari pekerja atau penggarap itu tidak merasakan rugi karena semua modal-modal yang dibutuhkan di tanaman itu ditanggung 100% oleh pemilik lahan, itupun kalau rugi, ruginya itu pada waktu dan tenaga yang dikeluarkan karena tidak sesuai dengan pemasukan yang diterima.”

Hasil wawancara lain dengan inisial UB selaku salah satu petani penggarap di Desa Tonasa:

“Jika terjadi resiko kerugian, pemilik lahan dengan penggarap sama-sama rugi kalau sistim bagi hasil, sama-sama bermodal, satu pengelola satu pemilik modal saja, kapan rugi itu sama-sama ditanggung. Beda kalau satu bermodal satu Cuma mengolah, nah…kalau yang satu cuma mengolah yang menanggung resiko kerugian cuma itu yang pemilik modal.” Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa jika terjadi resiko kerugian dalam kerjasama bagi hasil tersebut maka pemilik lahan dan penggarap sama-sama rugi. Kerugian pemilik lahan karena adanya modal yang dikeluarkan pada pengelolaan lahan tersebut, sedangkan penggarap pada waktu dan tenaga.

D. Tingkat Kesejahteraan Petani Sayur Sebelum dan Di Masa

Dokumen terkait