• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Pengawasan Yang Bisa Dilakukan Oleh Masyarakat Terhadap Produk Makanan Halal

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH PRODUK MAKANAN HALAL

B. Bentuk Pengawasan Yang Bisa Dilakukan Oleh Masyarakat Terhadap Produk Makanan Halal

Bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap produk makanan halal adalah dengan cara melakukan pelaporan kepada badan yang berwenang apabila menemukan suatu makanan yang memiliki label atau sertifikat halal tetapi kenyataannya dalam produk tersebut terdapat unsur yang

tidak halal.

Hal ini mengkondisikan suatu hal bahwa bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut harus diikuti dengan pembuktian terhadap produk halal ternyata memiliki unsur yang tidak halal.

Soal halal haram memang sangat sensitif bagi umat Islam. Allah mengajurkan umatnya untuk mencari rezeki dan makanan yang halal melalui cara yang halal pula. Barang siapa meremehkan hal ini, maka ia akan keluar dari agama seperti anak panah yang melesat dari busurnya, sedang ia tidak merasakannya. Biasanya bila menyangkut kata haram, kerap kita dengar adalah babi, minuman keras (khamar), dan judi (maisir). Sesungguhnya makanan yang haram telah disebut Allah dalam berbagai firmannya, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah (Q.S. Al-Maidah : 3, An-Nahl : 115). Allah juga telah memperingatkan agar umat-Nya jangan sekali-kali mengharamkan yang telah dihalalkannya (Q.S. Al-Maidah : 87).

Meskipun dikatakan memakan babi telah jelas keharamannya, namun timbul perbedaan ketika babi tersebut diolah berdasarkan ilmu pengetahuan. Paling tidak perbedaan ini terlihat dalam kasus ajinomoto. Pertama, berpendapat haram, karena proses pengolahannya telah bercampur dan memanfaatkan bahan yang berasal dari pankreas babi. Kedua, berpendapay halal, karena produk akhir yang dikonsumsi bebas babi. Enzim porcine hanya sebagai katalisator dan tidak terbawa dalam produk akhir. Pendapat ketiga,

pilihan diserahkan pada keyakinan konsumen muslim untuk mau mengkonsumsi atau tidak.

Bagi umat Islam, persoalan utama adalah jaminan bahwa bahan makanan yang dikonsumsinya bebas dari barang haram. Kasus Ajinomoto membuktikan bahwa pemberian sertifikat dan label halal yang diberikan MUI dan instansi terkait belum memberikan jaminan tersebut. Karena itu, harus senantiasa diikuti dengan pengawasan secara priodik dan berkelanjutan, tidak saja ke perusahaan produk atau pabrik, tetapi juga ke tempat-tempat penjualan atau pemasaran produk yang secara langsung berhubungan dengan konsumen.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 hanya mengatur masalah halal ini pada bab perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, khususnya Pasal 8 huruf h. Dikatakan, pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Dikaitkan dengan hak konsumen, dijumpai ketentuan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa. Tentu saja masalah halal terkait dengan ketentuan ini, sehingga setiap produsen berkewajiban untuk memberikan informasi yang jelas, jujur atas kehalalan produknya.

Sebelumnya ketentuan mengenai pemasangan label halal dalam produk pangan telah diatur di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992. Ketentuannya masih kabur, karena hanya dicantolkan dalam penjelasan.

Dalam Pasal 21 ayat (2) dinyatakan setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi :

1. Bahan yang dipakai,

2. Komposisi setiap bahan,

3. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa,

4. Ketentuan lainnya.

Pada penjelasan pasal inilah, khususnya tentang ketentuan lainnya, penyebutan kata atau tanda halal ditemukan, yang menjamin makanan dan minuman dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan halal.

Tidak terlalu jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, kewajiban pemasangan sertifikat atas setiap produk pangan diatur juga dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996. Disebutkan setiap orang yang memproduksi dan memasukkan pangan kemasan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib mencantumkan sertifikat pada, di dalam atau di kemasan pangan. Setiap sertifikat memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai :

1. Nama produk,

2. Daftar bahan yang dipergunakan,

3. Berat bersih atau isi bersih,

wilayah Indonesia,

5. Keterangan tentang halal dan,

6. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.

Pemberian tanda sertifikat halal dan kemudian diikuti dengan label halal dalam setiap produk pangan kemasan dimaksudkan agar masyarakat konsumen mendapat informasi yang jelas dan benar serta tidak menyesatkan mengenai isi dan asal bahan yang digunakan dalam produk. Khusus terhadap keterangan halal, sesuai dengan penjelasan Pasal 30 ayat 2 huruf e, pencantuman sertifikatnya baru diwajibkan bila yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Keterangan ini dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Dengan pencantuman sertifikat halal pangan, dianggap telah terjadi pernyataan akan kehalalannya dan setiap yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenarannya.

Penjelasan itu memperlihatkan, kewajiban mencantumkan sertifikat halal dalam produk pangan timbul ketika pelaku usaha menyatakan pangan bersangkutan halal bagi konsumen muslim. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tidak ada menjelaskan lebih lanjut bagaimana bila pangan tersebut haram untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim. Suatu informasi diperoleh “bahwa ketentuan itu sebenarnya ada di peraturan Departemen Kesehatan. Semua produk haram, baik lokal atau impor harus menuliskan kata haram serta

mencantumkan kepada babi dalam kemasannya”.39

Terlepas dari pendapat-pendapat itu, peraturan perundang-undangan yang berlaku telah berjalan dengan penetapan sertifikasi halal bagi produk pangan yang akan dikonsumsi oleh konsumen muslim berdasarkan pernyataan produsen atau pemasok bahan. Ketentuan ini membawa manfaat yang besar bagi kepentingan konsumen, sehingga mereka dapat menikmati pangan tersebut dengan tenang dan aman, terlepas dari adanya unsur-unsur keharaman yang begitu sensitif bagi kalangan konsumen muslim. Sesuai dengan kaedah segala sesuatu pada asalnya adalah diperbolehkan, maka yang menjadi prinsip dalam menikmati kehidupan ini adalah prinsip halal. Pernyataan halal dalam produk yang diperdagangkan harus diiringi dengan tanggung jawab, sehingga produsen atau pemasok tidak menganggap persoalan ini hanya sebatas formalitas dalam pemasaran dengan mencantumkan label halal saja dalam produknya. Kebenaran pernyataan itu tidak hanya tercantum dalam label, Memang dalam tataran pemikiran ada yang berpendapat, sebenarnya yang perlu diberikan label itu adalah pangan yang haram, karena yang halal jauh lebih banyak daripada yang haram, dan tentu hal ini akan lebih mempermudah pekerjaan. Bahkan ada pendapat yang tidak setuju terhadap keduanya, yaitu pencantuman label halal atau label halal, karena Nabi hanya mengajak dan memberitahukan saja, tidak bisa memperbaiki orang. Dalam ajakan itu, Nabi selalu dengan kata-kata “ laksanakan semampumu “.

39

Tini Hadad, Kembalikan Masalah Halal Pada LP-POM MUI, 17 Tokoh Bicara Halal, Info Halal Multimedia, Jakarta, Tanpa Tahun, hal. 132.

tetapi termasuk dalam iklan produk.

Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996, setiap orang bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan yang dibuatnya dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu. Barang siapa yang memberikan pernyataan yang tidak benar, sesuai dengan ketentuan Pasal 58 butir j, yang bersangkutan diancam pidana paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 360 juta. Benar tidaknya pernyataan halal dalam label atau iklan pangan itu tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.

Pencantuman label halal ini memang pernah mengundang polemik. Satu pihak menginginkan agar label halal dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan rekomendasi dari MUI setelah diperiksa terlebih dahulu bukti kehalalannya. Pada pihak lain menginginkan pencantuman label halal diserahkan kepada masing-masing produsen secara sukarela tanpa memerlukan pemeriksaan lebih dahulu dengan konsekuensi jika dilanggar, produsen akan dikenakan sanksi hukum. Polemik ini dapat dituntaskan bila memberi rasa aman pada konsumen, ditempat pada prioritas utama. Artinya bila label dan iklan halal diserahkan sepenuhnya kepada produsen, tentu akan dipertanyakan sejauhmana konsumen muslim akan merasa aman dan yakin kebenaran isinya dan sejauhmana pula pemerintah mampu mencegah dan

menindak perbuatan produsen yang tidak bertanggung jawab.

Untuk hal yang demikian maka keberadaan MUI melalui lembaga teknisnya yaitu LP POM MUI, baik di pusat maupun di daerah. Secara strurktural lembaga ini pada prinsipnya bersifat otonom yang mempunyai tanggung jawab dan wewenang untuk mengatur diri sendiri. Segala yang berhubungan dengan penyelenggaraan teknis dalam tata cara audit halal menjadi hak dan tanggung jawab LP POM MUI, namun untuk memutuskan atau mengeluarkan fatwa halal bagi suatu produk tetap merupakan tanggung jawab dan wewenang Komisi Fatwa MUI.

C. Fungsi Dan Tugas LP Pom MUI Dalam Melakukan Pengawasan