PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSUMEN
DALAM MEMPEROLEH PRODUK MAKANAN
HALAL
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
Ridha Arlina Sari
NIM : 090200472
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSUMEN
DALAM MEMPEROLEH PRODUK MAKANAN
HALAL
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
Ridha Arlina Sari
NIM : 090200472
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Pembimbing I
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001
Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai
tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat
beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini berjudul : “Perlindungan Hukum Atas Hak
Konsumen Dalam Memperoleh Produk Makanan Halal”
Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami
kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari
dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing,
dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu
Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syarifuddin
Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara serta Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum
2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta Ibu
Rabiatul Syariah, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Edi Ikhsan, SH.MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
membantu penulis dalam memberikan masukan arahan-arahan serta
bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.
4. Ibu Yefrizawaty, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak membantu penulis dalam memberikan masukan arahan-arahan serta
bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.
5. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
6. Kepada ayahanda dan ibunda serta seluruh keluarga besar pulungan dan
matondang atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya
hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.
7. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009
8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan
kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Medan, Oktober 2012
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 6
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penulisan ... 7
E. Metode Penelitian... 7
F. Keaslian Penulisan ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI... 12
A. Pengertian Konsinyasi ... 12
B. Dasar Hukum Konsinyasi... 16
C. Jenis-Jenis Konsinyasi... 23
D. Syarat Sahnya Konsinyasi... 24
E. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Konsinyasi... 32
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DISTRIBUTOR OUTLET (DISTRO FASHION DAN SUPPLIER) ... 34
A. Pengertian Outlet dan Distro Fashion ... 34
C. Fungsi Outlet dan Distro ... 40
D. Peranan Distributor Dalam Pemasaran ... 41
BAB IV PELAKSANAAN KONTRAK KERJASAMA KONSINYASI ANTARA SUPPLIER DENGAN DISTRO ... 49
A. Bentuk Kontrak Kerjasama Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distro ... 49
B. Proses Pembuatan Terjadinya Kontrak Kerjasama Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distro ... 56
C. Akibat Hukum Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Kerjasama Konsinyasi Antara SupplierDengan Distro ... 64
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 73
ABSTRAK
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. Suatu hal yang berhubungan dengan konsumen di Indonesia adalah perihal kehalalan suatu produk. Perihal halal dan haramnya suatu produk amat sangat esensial bagi konsumen yang beragama Islam, khususnya di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Islam sangat esensial sekali mengatur perihal halal dan haram, dan dengan sebab itu apabila di pasaran terdapat suatu produk yang disamarkan halal tetapi diproduksi dari berbagai jenis produk yang haram maka keadaan tersebut amat sangat merugikan konsumen yang beragama Islam.
Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh produk makanan halal, bagaimana bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat terhadap produk makanan halal dan bagaimana fungsi dan tugas LP POM MUI dalam melakukan pengawasan penggunaan sertifikat halal.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun
berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi
konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang
universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada
konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang aman.1
Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan
perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya
kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan
produsen yang lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan
konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.2
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun
formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi
produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya
dalam rangka mencapai sasaran usaha.
1
Sri Redjeki Hartono, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Perdagangan Bebas,Bandung,dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000,hal. 33.
2
Berkaitan dengan kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak
langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan
dampaknya.3
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti
yang sangat penting. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang
ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang
kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau
cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku
cadang, tersedianya pelayanan jasa purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang
memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting
dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian
kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di
Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata
yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran
dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar
dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua
cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai
dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif
bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim
terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang
tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.
3
dengan itu.
Konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang
lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat
lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli
konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar
di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini
model-model produk lebih cepat berubah karena transportasi dan komunikasi lebih
mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen
atau penjual.4
4
Erman Raja Guguk, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta,2003, hal. 2.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan pasal 2
menyatakan, “pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata
berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan
masyarakat”. Sementara pasal 3 menegaskan bahwa tujuan pengaturan,
pembinaan dan pengawasan pangan adalah :
1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi
bagi kepentingan kesehatan manusia;
2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan
3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan
Ketentuan di atas, diperkuat lagi dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang tujuannya adalah :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan
dan keselamatan konsumen.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa antara pangan dan konsumen
terdapat hubungan yang saling terkait. Pangan perlu jelas status kehalalannya,
sehingga bermanfaat bagi konsumen, dan konsumen dilindungi hak-haknya,
sehingga siapapun yang memproduksi barang atau jasa, dapat memenuhi
perundang-undangan.
Suatu hal yang berhubungan dengan konsumen di Indonesia adalah
perihal kehalalan suatu produk. Perihal halal dan haramnya suatu produk amat
sangat esensial bagi konsumen yang beragama Islam, khususnya di Indonesia
yang sebagian besar penduduknya beragama Islam.5
Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2012, jumlah penduduk
Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237.556.363 orang, yang
terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan, dengan tingkat
laju pertumbuhan rata-rata sebesar 1,4% per tahun. Sementara distribusi
menurut agamanya, di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari penduduk Indonesia
adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4%
Buddha.
Islam sangat esensial
sekali mengatur perihal halal dan haram, dan dengan sebab itu apabila di
pasaran terdapat suatu produk yang disamarkan halal tetapi diproduksi dari
berbagai jenis produk yang haram maka keadaan tersebut amat sangat
merugikan konsumen yang beragama Islam.
6
Apabila diteliti lebih lanjut, keberadaan peraturan perundang-undangan
di atas, juga merupakan penjabaran dari rambu-rambu agama, baik yang
berkaitan dengan soal makanan maupun barang-barang produksi lainnya yang
5
Syahruddin, “Potensi Kemajuan Umat Melalui Produk Halal”, tanggal 18 Maret 2013.
6
digunakan manusia, yang dalam bahasa agama disebut dengan ketentuan halal,
baik barangnya, proses maupun pengolahannya.
Qur’an mengatur masalah halal dan haram ini pada Surah
Al-Maidah ayat 3 yang artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 7
Kasus pengoplosan daging sapi dengan daging babi ini ditemukan di
tempat penggilingan daging di Pasar Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Berdasarkan surah Al-Maidah ayat 3 di atas maka Islam jelas mengatur
tentang makanan halal dan haram. Tetapi dalam prakteknya masih banyak
perbuatan-perbuatan produsen maupun pedagang yang melakukan berbagai
cara untuk menjual suatu produk yang memiliki unsur haram pada suatu
produk halal. Misalnya pedagang menjual daging sapi yang dicampur dengan
daging babi. Bahkan terkadang penjual bakso yang menjual baksonya dengan
mencampur daging babi.
7
kasusnya sudah dilimpahkan ke Polres Metro Jakarta Selatan.8 Selain ini
mahalnya daging sapi di pasaran disinyalir menjadi penyebab 7 pedagang
bakso di Samarinda dan Kutai Kartanegara menggunakan bahan daging babi.
Bandingkan saja, harga daging babi Rp 40.000 per kilogram. Kalau daging
sapi hampir mencapai Rp 100.000 per kilogram, maka dengan mahalnya
produk tersebut pedagang mencampurnya dengan daging babi.9
B. Perumusan Masalah
Kondisi dari keadaan di atas tentunya sangat berbenturan dengan
ketentuan perundang-undangan seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan.
Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena
dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan
penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.
1. Bagaimana pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh
produk makanan halal?
2. Bagaimana bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat
terhadap produk makanan halal?
8
Tribun News.com “Pemerintah Diminta Rajin Sidak Bakso Daging Babi”,
Diakses tanggal 12 Maret 2013.
9
Detik News, “Penjual Bakso di Samarinda Gunakan Daging Babi Karena Daging Sapi Mahal”,
3. Bagaimana fungsi dan tugas LP POM MUI dalam melakukan pengawasan
penggunaan sertifikat halal?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam
memperoleh produk makanan halal.
2. Untuk mengetahui bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh
masyarakat terhadap produk makanan halal.
3. Untuk mengetahui fungsi dan tugas LP POM MUI dalam melakukan
pengawasan penggunaan sertifikat halal.
D. Manfaat Penulisan
Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:
a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum
perdata dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen dalam
memperoleh produk makanan halal.
b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil
manfaatnya terutama dalam hal mengetahui perlindungan konsumen dalam
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat/materi penelitian
Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi
ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis
normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada
peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.10
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data primer dan
sekunder. Data primer didapatkan melalui studi lapangan yang dilakukan di LP
POM MUI Provinsi Sumatera Utara Medan, dan Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia di Medan serta Lembaga Advokasi dan perlindungan Konsumen.
Data sekunder didapatkan melalui:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni
seperti KUH Perdata, serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum
dan sebagainya.
10
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:
1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan
terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang
hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
3. Alat pengumpul data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan serta
wawancara yang dilakukan di di LP POM MUI Provinsi Sumatera Utara
Medan, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Medan.
4. Analisis data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,
studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini dianalisa
secara kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan
tentang unsur-unsur yang ditemukan dan seterusnya dikonstruksikan ke dalam
kategori-kategori terkait yang didapatkan dalam penelitian skripsi ini.
F. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum atas
luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama
dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli
serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam
bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini
dibuat dalam bentuk uraian:
Bab I : Merupakan pendahuluan.Dalam bab ini akan diuraikan tentang
Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat
Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, serta
Sistematika Penulisan.
Bab II: Membahas tentang Tinjauan Umum Pelindungan Konsumen
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian
Perlindungan Konsumen, Bentuk-Bentuk Perlindungan
Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen serta Akibat Hukum
Dari Pelanggaran Hak Konsumen.
Bab III: Ketentuan Produk Makanan Halal Dalam Kaitannya Dengan
Perlindungan Konsumen
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian
Makanan Halal, Kriteria Makanan Halal serta Label Halal Sebagai
Bab IV: Perlindungan Hukum Atas Hak Konsumen Dalam Memperoleh
Produk Makanan Halal
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan terhadap: pengaturan
hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh produk
makanan halal, bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh
masyarakat terhadap produk makanan halal, serta fungsi dan
tugas LP POM MUI dalam melakukan pengawasan penggunaan
sertifikat halal.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir
BAB II
TINJAUAN UMUM PELINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Perlindungan Konsumen
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara
harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang.11Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia yang
memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.12 Kamus Umum
Bahasa Indonesia mendefenisikan konsumen sebagai lawan produsen, yakni
pemakai barang-barang hasil industri,bahan makanan,dan sebagainya.13
Sedangkan dalam Text-book on Consumer Law, konsumen adalah one who
purchases goods or service. Defenisi tersebut menghendaki bahwa konsumen
adalah setiap orang atau individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki
kapasitas dan bertindak sebagai produsen ,pelaku usaha dan atau pembisnis.14
Sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah
konsumen.Dengan demikian,hukum positif Indonesia berusaha untuk
menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen
tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen,namun belum memiliki
Perlindungan hukum terhadap konsumen adalah sebuah penegakan
hukum yang membutuhkan pengaturan-pengaturan berupa ancaman terhadap
si pelanggar. Hal ini tercermin di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
yang merupakan suatu perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan
ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1961 tentang Barang,dalam
pertimbangannya menyebutkan :kesehatan dan keselamatan rakyat,mutu dan
susunan (komposisi) barang”.Penjelasan undang-undang ini menyebutkan
variasi barang dagangan baik atau tidak baik dapat membahayakan dan
merugikan kesehatan rakyat.Maka perlu adanya pengaturan tentang mutu
maupun susunan bahan serta pembungkusan barang-barang dagangan.
Yusuf Shofie mengatakan :
“ segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen”.
Sudaryatmo mengatakan konsumen ialah :
15
Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) :
“ Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen “.
Dalam ayat (2) pasal yang sama dinyatakan :
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan “.
“setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan”.11
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen”. Gunawan Widjaja mengatakan :
12
11
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 17
12
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 5.
Perihal terbitnya istilah perlindungan konsumen ini adalah disebabkan
adanya aktivitas-aktivitas perekonomian. Kesenjangan ekonomi
merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi. Masyarakat
Indonesialah yang tidak lain sebagai konsumen yang paling dirugikan.
Hendaknya diluruskan anggapan keliru yang menyatakan bahwa para pelaku
ekonomi hanyalah terdiri dari pemerintah, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), koperasi, dan swasta/konglomerat. Konsumen juga pelaku ekonomi.
Tak satupun literatur ekonomi yang meniadakan peran konsumen. Namun
demikian harus diakui bahwa kosa kata konsumen dirasakan cukup miskin
dalam tata hukum Indonesia.
Keberpihakan kepada konsumen sebenarnya merupakan wujud nyata
ekonomi kerakyatan. Dalam praktek perdagangan yang merugikan konsumen,
di antaranya penentuan harga barang, dan penggunaan klausula eksonerasi
secara tidak patut, pemerintah harus secara konsisten berpihak kepada
konsumen yang pada umumnya orang kebanyakan.
pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.13
1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa sehala
upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Sedangkan yang dimaksud dengan pelaku usaha menurut Pasal 1 ayat
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi.
Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa:
“perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai suatu usaha bersama berdasarkan 5 asas
yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu” :
2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
13
pemerintah dalam arti materiil dan sprituil.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang dkonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsume, serta negara menjamin kepastian hukum.14
Di dalam era reformasi dewasa ini, Indonesia harus siap menghadapi
era globalisasi ekonomi, dimana perdagangan bebas masih merupakan tanda
tanya, apakah merupakan peluang bagi Indonesia atau justru sebaliknya.
Indonesia termasuk negara yang cukup cepat melangkah dengan telah
diratifikasinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization
/WTO) sebelum Desember 1994.
Mulai 1 Januari 1995, WTO telah resmi menggantikan dan
melanjutkan GATT (General Agreement of Tariff and Trade / Persetujuan
Umum Tentang Tarif dan Perdagangan). Perlu dipahami disini bahwa WTO
merupakan organisasi antar pemerintah/dunia yang mengawasi perdagangan di
dunia, baik perdagangan barang maupun jasa. Segala sesuatu yang berbau
proteksi/perlindungan dianggap anti WTO atau anti liberalisasi perdagangan.15
Bagi konsumen Indonesia, lahirnya WTO masih merupakan
pertanyaan/permasalahan besar, apakah WTO akan membawa perbaikan nasib
konsumen Indonesia. Selama lebih lima puluh tahun kita merdeka,
14
Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 161-162.
15
perlindungan (hukum) terhadap konsumen tidak banyak memperoleh perhatian
dari para pengambil keputusan, apalagi prioritas dalam pembangunan nasional.
Salah satu instrumen perlindungan hukum terhadap konsumen yang
diundangkan Pemerintah dengan persetujuan DPR-GR pada tahun 1961, yaitu
Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Barang (Perpu No. 1 Tahun
1961), hampir hanya menjadi huruf mati tidak bermakna. Perintah
undang-undang tersebut untuk membentuk Panitia Barang tidak dilaksanakan.
Disinyalir ketentuan undang-undang ini sudah banyak dilupakan.
Sebagai salah satu instrumen hukum administrasi negara, praktis
ketentuan tersebut ibarat macan ompong sehingga perlindungan terhadap
konsumen dirasakan tidak efektif dan efisien. Apalagi instrumen-instrumen
hukum lainnya, belum dapat memberikan perlindungan hukum yang memadai
kepada konsumen. Masih segar dalam pikiran kita tentang “kasus biskuit
beracun “ beberapa tahun yang lalu, yang terulang lagi dengan “kasus mie
instant” (1994). Para korban/keluarganya tidak mendapatkan ganti rugi,
kecuali sebatas santunan atas inisiatif mantan Menko Polkam Sudomo pada
waktu itu.16
Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi bahwa semua barang
dan jasa yang berasal dari negara lain harus dapat masuk ke Indonesia bila kita
tidak ingin distigma anti WTO. Masuknya barang dan jasa impor tersebut
bukannya tanpa permasalahan. Lewat perdagangan internasional, penyakit sapi
16
gila (mad cow) (bivine spongiform encephalapanthy/BSE) yang diderita
sejumlah besar sapi, dapat membahayakan konsumen Indonesia. Belum lama
ini Irlandia menawarkan daging itu dengan harga murah. Penyakit ini timbul
karena disana, makanan dari tepung daging daging ternak memamah biak
(ruminasia) digunakan untuk makanan sapi. Kasusnya mirip dioksin yang
dialami ternak unggas di Belgia. Penyakit yang bisa menimbulkan gejala
kegilaan pada manusia ini menyerang ternak sapai dengan masa inkubasi 9 –
10 tahun. Hanya saja penyakit ini tidak menular pada hewan lain, seperti
halnya penyakit mulut dan kuku (PMK). Adapun gejala kegilaan pada manusia
bisa berupa insomania, limbung, depresi serta berubahnya perilaku dan
kepribadian. Belum lagi masalah dioksin di Belgia yang diduga mencemari
makanan/minuman yang diekspor negara itu.
Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan ini tampil ke permukaan
dalam bentuk pengaduan/komplain dari konsumen atas barang atau jasa yang
dikonsumsinya. Dari sudut hukum belum jelas mekanisme penyelesaiannya.
Tak hanya itu, secara yuridis muncul pula permasalahan apabila peraturan
perundang-undangan Indonesia bertentangan atau berbeda dengan peraturan
perundang-undangan negara lain, ketentuan/kesepakatan regional, bahkan
ketentuan/kesepakatan WTO atau sebaliknya sehingga diperlukan harmonisasi
ketentuan-ketentuan nasional Indonesia terhadap ketentuan/kesepakatan
regional dan WTO. Pada pokoknya, hakim (pengadilan) negara manakah yang
serta hukum mana yang digunakan. Kasus-kasus sengketa franchice (waralaba)
yang berdimensi internasional, dimana yang bertindak sebagai franchisor
(pemberi waralaba) pelaku usaha asing, sedangkan yang bertindak sebagai
franchiee (penerima waralaba) pelaku usaha Indonesia atau sebaliknya,
merupakan contoh prediksi ini. Dari segi perlindungan konsumen sengketa ini
bisa membawa kerugian bagi konsumen, misalnya tidal lagi tersedianya
produk franchise bersangkutan, harga produk menjadi lebih mahal, atau
bahkan menyangkut tidak tersedianya fasilitas purna jual bagi konsumen.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
dalam konsiderannya dinyatakan bahwa untuk menciptakan tertib usaha
dengan cara waralaba serta perlindungan terhadap konsumen, dipandang perlu
menetapkan ketentuan waralaba dengan peraturan pemerintah. Dalam
ketentuan ini, perlindungan konsumen yang dimaksud belum konkret, ibarat
antara niat dengan perbuatan tidak seia dan sekata.
Secara teoritis, dapat saja sengketa-sengketa seperti itu diselesaikan,
tetapi pada praktek dan kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai
sebab yang bersifat juridis–politis– sosiologis.
Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas
putusan-putusannya. Sering terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam
kasus-kasus yang serupa. Dalam kasus-kasus yang berskala nasional saja,
pengadilan belum mampu bersikap konsisten, bagaimana dengan kasus-kaus
Kedua, sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke
Pengadilan, padahal telah (sangat) dirugikan oleh pengusaha. Keengganan ini
bukanlah karena mereka tidak sadar hukum. Bahkan mereka lebih sadar
hukum ketimbang sebagian dari para penegak hukumnya sendiri. Keengganan
mereka sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999, lebih didasarkan pada :
1. Tidak jelasnya norma-norma perlindungan konsumen,
2. Praktek peradilan kita tidak lagi sederhana, cepat dan biaya ringan,
3. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen
dilanggar pengusaha.17
Ketiga, tarik menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku
ekonomi yang bukan konsumen, yang memiliki akses kuat di berbagai bidang,
termasuk akses di luar jangkauan hukum. Kalaupun hukum mampu
menjangkaunya, itupun hanya sebatas pada mereka yang menjadi tumbal
(space – goat) tarik menarik kepentingan tersebut.
Menghadapi perdagangan bebas, Indonesia memerlukan sejumlah
undang-undang penting, seperti undang-undang intellectual proprety rights,
Undang-Undang Antimonopoli, Undang-Undang Perlindungan pengusaha
Kecil dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kejelasan asas dan tujuan
perlindungan konsumen, hak-hak konsumen, norma-norma
17
perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa konsumen, yang tertuang
dalam undang-undang perlindungan konsumen kita, masih harus dibuktikan
dalam praktek segenap instrumen hukum di Indonesia.
B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen
Agar konsumen tidak terjebak oleh cara-cara yang ditawarkan
produsen/pengusaha, konsumen dituntut bersikap kritis dan waspada dalam
menentukan pilihannya. Untuk bersikap kritis dan waspada konsumen dituntut
memiliki kesadaran dan kepedulian baik perorangan maupun kelompok
sehingga terhindar dari perbuatan yang tidak etis/merugikan dari
pengusaha/produsen dalam hal ini disebut sebagai kegiatan perlindungan
konsumen.
Agar kegiatan perlindungan konsumen ini efektif diperlukan
keterlibatan dari berbagai pihak yakni pemerintah, pengusaha, dan konsumen
sendiri. Cara yang efektif untuk menumbuh kembangkan potensi masyarakat
dalam upaya perlindungan konsumen, adalah :
1. Memberikan bimbingan perlindungan bagi konsumen yang rentan (lemah)
baik pendidikan, pengetahuan dan pendapatan.
2. Mendorong konsumen yang mapan atau yang mempunyai kemampuan
baik pendidikan, pengetahuan dan pendapatan untuk melakukan upaya
perlindungan konsumen antara lain melalui pembentukan lembaga sosial /
Dalam menghadapi kondisi tersebut di atas, bentuk upaya perlindungan
konsumen yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Bentuk perlindungan konsumen yang dilakukan pemerintah adalah dengan:
a. Membuat berbagai aturan, perangkat hukum yang memberikan
kepastian hukum bagi konsumen.
b. Pengendalian impor antara lain melalui penerapan syarat teknis bagi
importir barang-barang konsumsi luar negeri yang tidak bertentangan
dengan perjanjian organisasi perdagangan dunia (WTO). Sehingga
konsumen dalam negeri cukup terlindungi.
c. Melakukan pengawasan barang sebelum dipasarkan serta penandaan
ML untuk produk impor, proses produksi dalam negeri melalui
penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), penandaan tanggal
kadaluwarsa.
d. Pembinaan dan penyuluhan terhadap konsumen dan pengusaha /
produsen.
2. Bentuk perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pelaku
usaha/produsen sebagai berikut :
a. Menerapkan standart mutu (ISO 9000, ISO 14000 serta Standar
Nasional Indonesia(SNI))
b. Memberikan informasi yang jelas, jujur terhadap produknya.
swadaya masyarakat antara lain :
a. Memberikan penjelasan atas pengaduan atau komplain dari konsumen
serta menindaklanjuti sesuai dengan peraturan.
b. Memberdayakan konsumen agar menjadi lebih aktif dan peduli akan
perlindungan konsumen.
C. Hak dan Kewajiban Konsumen
Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang
perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi
barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi
kiranya memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa.
Akibatnya barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar
negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi seperti ini di satu pihak
mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau
jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar, karena
adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.18
Tetapi di sisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang
lemah, yang menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
18
sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan,
serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Berkenaan dengan
pertimbangan tersebut, maka perlu juga diketengahkan apa yang menjadi hak
dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menerangkan tentang
Hak dan Kewajiban Konsumen.
Hak konsumen adalah :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan kosumen ,
g. Hak untuk di perlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif,
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan “Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya”.
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen
sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F.
1. Hak memperoleh keamanan,
2. Hak memilih,
3. Hak mendapat informasi,
4. Hak untuk didengar.19
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari deklarasi Hak-Hak Asasi
Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948,
masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh organisasi Konsumen
Sedunia (International Organization of Consumers Union-IOCU),
ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu :
1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.
2. Hak untuk memperoleh ganti rugi,
3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen,
4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.20
Di samping Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap
atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :
1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (Recht op besherming van zijn
gezendheid en veiligheid).
2. Hak perlindungan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische
belangen).
3. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding)
19
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut
Perjanjian Baku, dimuat dalam Hasil Simposiun Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan
4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vprming)
5. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord)21
Memperhatikan hak-hak yang disebutkan di atas, maka secara
keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu sebagai
berikut :
1. Hak atas keamanan dan keselamatan,
2. Hak untuk memperoleh informasi,
3. Hak untuk memilih
4. Hak untuk didengar
5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup,
6. Hak untuk memperoleh ganti rugi
7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat,
9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya
10.Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. 22
Selanjutnya masing-masing hak tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Hak atas keamanan dan keselamatan.
20
C. Tantri D dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, Jakarta, 1995, hal. 19-21.
21
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 61.
22
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa
yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik
maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.
2. Hak untuk memperoleh informasi
Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya
informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah
satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat
karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan
benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar
tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat
memilih produk yang diinginkan/sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar
dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.
Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut di antaranya adalah
mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas penggunaan produk,
tanggal kadaluarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi
tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang
dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan
produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik
melalui media cetak maupun media elektonik.
Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk
meningkatkan keyakinan terjamin atau tidaknya terhadap produk tertentu,
sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi
kebutuhannya. Dengan demikian pemenuhan hak ini akan menguntungkan
baik konsumen maupun produsen.
3. Hak untuk memilih
Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya,
tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini
konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu
produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun
kuantitas jenis produk yang dipilihnya.
Hak memilih yang dimiliki konsumen ini hanya ada jika ada alternatif
pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara
monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain
(baik barang maupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih tidak
akan berfungsi.
Berdasarkan hal tersebut, maka ketentuan yang dapat membantu
penegakan hak tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik
dalam Pasal 19 maupun Pasal 25 ayat (1). Pasal 19 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 menentukan bahwa :
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan, atau
b. Meghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu, atau,
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada
pasar yang bersangkutan, atau,
d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Sementara Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
menentukan bahwa :
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk.
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk
mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, atau,
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau,
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing
untuk memasuki pasar bersangkutan.
4. Hak untuk didengar
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak
ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk
tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian
yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa
pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan
perorangan maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung
maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu misalnya YLKI.
5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak
untuk hidup. Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk
memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan
hidupnya (secara layak). Hak-hak ini terutama yang berupa hak atas pangan,
sandang, papan, serta hak-hak lainnya yang berupa hak untuk memperoleh
pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
6. Hak untuk memperoleh ganti kerugian
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan
yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang
atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait
dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik yang berupa
kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan
kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui
prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai di luar maupun yang
diselesaikan melalui pengadilan.
7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar
agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan
pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan
teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.
8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar
konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan
agar terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan
pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan
teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.
9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya
Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat
permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen
dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada
kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya.
Penegakan hak konsumen ini didukung pula oleh ketentuan dalam Pasal 5 ayat
(1) dan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketentuan di dalam Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha tidak sehat menentukan bahwa :
untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada dasar-dasar bersangkutan yang sama.”
Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan jasa atau jasa yang sama.”
10.Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut
Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen
yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.
Sepuluh hak konsumen, yang merupakan himpunan dari berbagai
pendapat tersebut di atas hampir semuanya sama dengan hak-hak konsumen
yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
sebagaimana dikutip sebelumnya.
Hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut, terdapat satu hak yang tidak terdapat pada
10 hak konsumen yang diuraikan sebelumnya, yaitu hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, namun sebaliknya
Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan secara
khusus tentang hak untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hak memperoleh
lingkungan hidup yang bersih dan sehat, tetapi hak tersebut dapat dimasukkan
Perlindungan Konsumen tersebut, yaitu hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan hak-hak lainnya hanya
perumusannya yang lebih rinci, tetapi pada dasarnya sama dengan hak-hak
yang telah disebutkan sebelumnya.
Bagaimanapun banyaknya rumusan hak-hak konsumen yang telah
dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang
menjadi prinsip dasar, yaitu :
1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.
2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar, dan
3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan
yang dihadapi.23
Oleh karena ketiga hak/prinsip dasar tersebut merupakan himpunan
beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen,
sehingga dapat dijadikan/merupakan prinsip perlindungan hukum bagi
konsumen di Indonesia.
Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang
disebutkan di atas harus dipenuhi baik oleh pemerintah maupun oleh produsen,
karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian
konsumen dari berbagai aspek.
23
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kewajiban
konsumen adalah :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan,
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa,
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati,
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa
demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat
pengaturan.
Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah
menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun
konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya.
Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha
tidak bertanggung jawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita
kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut. Misalnya untuk penggunaan
obat-obatan dari dokter atau berdasar etiket produk tersebut telah diberikan
instruksi bahwa pemakaiannya hanya dalam dosis tertentu, namun konsumen
penggunaan produk, juga banyak terjadi pada penggunaan obat bebas (obat
tanpa resep). Walaupun obat bebas tersebut adalah obat yang dinyatakan oleh
para ahli aman dan manjur apabila digunakan sesuai petunjuk yang tertera
pada label beserta peringatannya, namun konsumen harus menyadari bahwa
mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat bebas sesungguhnya
bukanlah hal yang mudah, sederhana dan selalu menguntungkan. Tanpa
dibekali dengan pengetahuan yang memadai, tindakan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya ketidaktepatan penggunaan obat, yang bukannya
menyembuhkan tetapi justeru memperparah penyakit, memperburuk kondisi
tubuh atau menutupi gejala yang sesungguhnya menjadi ciri utama penyakit
yang lebih serius dan berbahaya.
Masalah pemenuhan kewajiban konsumen dapat terlihat jika peringatan
yang disampaikan pelaku usaha tidak jelas atau tidak mengundang perhatian
konsumen untuk membacanya, seperti kasus ER. Squib & Sons Inc. V Cox,
pengadilan berpendapat bahwa konsumen tidak dapat menuntut jika
peringatannya sudah diberikan secara jelas dan tegas. Namun jika produsen
tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan
peringatan itu, yang menyebabkan konsumen tidak membacanya, maka hal itu
tidak menghalangi pemberian ganti kerugian pada konsumen yang telah
dirugikan.
Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada
bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada
saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati dengan pelaku usaha, adalah hak yang sudah biasa dan sudah
semestinya demikian.
Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah
kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru,
sebab sebelum diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam
perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih
banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.
Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab
kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini
akan menjadi lebih mudah diperoleh jka konsumen mengikuti upaya
penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini tidak
cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari
D. Akibat Hukum Dari Pelanggaran Hak Konsumen
Bentuk sanksi yang bisa dikenakan terhadap pelanggar Undang-undang
Perlindungan Konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 hanya ada dua
macam yaitu sanksi administratif (Pasal 60) dan sanksi pidana (Pasal 61-62)
ditambah hukuman tambahan (pasal 63). Hanya saja pengaturan tentang
kewenangan sanksi administratif dalam UU Perlindungan Konsumen hanya
bisa diberikan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hal yang
berbeda diberlakukan pada pengaturan sanksi pidana dalam UU No. 8 Tahun
1999 ternyata dapat dikenakan langsung pada pelaku usaha yang melanggar
beberapa ketentuan hukum perlindungan konsumen.
Kebijakan pengenaan sanksi pada pelanggaran hak konsumen
seharusnya didasarkan atas pemahaman hubungan hukum yang akan
dikenakan sanksi. Bentuk sanksi seharusnya mengikuti hubungan hukum yang
diatur. Secara khusus pada pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 terdapat hubungan
hukum perdata berupa perjanjian jual-beli makanan dengan sistem pesanan
maka bentuk sanksi yang seharusnya dikenakan adalah sanksi keperdataan
berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian atau pemenuhan prestasi pada
perjanjian.
Pemahaman ini sangat penting mengingat sanksi pidana seringkali
digunakan sebagai ‘alat pengancam’ bagi pelanggar hukum suatu ketentuan
hukum. Hal ini sangat tidak tepat jika dikaitkan dengan hakekat sanksi pidana
BAB III
KETENTUAN PRODUK MAKANAN HALAL DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Makanan Halal
Dalam ensiklopedi hukum Islam makanan yaitu :
“segala sesuatu yang dimakan oleh manusia, sesuatu yang menghilangkan
lapar. Halal berasal dari bahasa arab yang artinya membebaskan, memecahkan,
membubarkan dan membolehkan. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam
yaitu:segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika
menggunakannya, atau sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara’ “.24
Secara etimologi makanan adalah memasukkan sesuatu melalui
mulut.25 Dalam bahasa arab makanan berasal dari kata at-ta’am dan jamaknya
al-atimah yang artinya makan-makanan.26
Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu segala sesuatu yang
dimakan oleh manusia, sesuatu yang menghilangkan lapar. Halal berasal dari
bahasa arab yang artinya membebaskan, memecahkan, membubarkan dan
membolehkan. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu:segala
sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya,
24
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal,
Departemen Agana RI, Jakarta, 2003. hal. 3.
25
atau sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara’.27
“ makanan adalah: barang yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum
oleh manusia, serta bahan yang digunakan dalam produksi makanan dan
minuman. Sedangkan halal adalah sesuatu yang boleh menurut ajaran Islam”. Sedangkan menurut buku petunjuk teknis sistem produksi halal yang
diterbitkan oleh Departemen Agama ( Depag ) menyebutkan bahwa :
28
Dan para ulama telah ijma’ tentang halalnya binatang-binatang ternak
seperti unta, sapi, dan kambing serta diharamkannya segala sesuatu yang bisa
menimbulkan bahaya baik dalam bentuk keracunan, timbulnya penyakit atau
adanya efek sampingan (side-effect). Dengan demikian sebagian ulama’
Jadi pada intinya makanan halal adalah makanan yang baik yang
dibolehkan memakannya menurut ajaran Islam, yaitu sesuai dalam Al-Qur’an
dan hadits. Sedangkan pengertian makanan yang baik yaitu segala makanan
yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan nafsu makan
dan tidak ada larangan dalam Al-Qur’an maupun hadits. Tetapi dalam hal yang
lain diperlukan keterangan yang lebih jelas berdasarkan ijma’dan qiyas
(ra’yi/ijtihad) terhadap sesuatu nash yang sifatnya umum yang harus digali
oleh ulama agar kemudian tidak menimbulkan hukum yang syub-had
(menimbulkan keraguan).
26
Adib Bisri dan munawwir AF; kamus Indonesia Arab, Pustaka Progressif, Surabaya, 1999. Hal. 201
27
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal,
Departemen Agana RI, Jakarta, 2003. hal. 3.
memberikan keterangan tentang hukum-hukum makanan dan minuman.29
Prinsip pertama yang ditetapkan Islam, pada asalnya adalah segala
sesuatu yang diciptakan Allah itu halal,tidak ada yang haram, kecuali jika ada
nash (dalil) yang shahih (tidak cacat periwayatannya) dan sharih (jelas
maknanya) yang mengharamkannya.30
Pada asalnya, segala sesuatu itu mubah (boleh) sebelum ada dalil yang
mengharamkannya.”
Sebagaimana dalam sebuah kaidah
fikih yang artinya :
31
Dari sinilah maka wilayah keharaman dalam syariat Islam
sesungguhnya sangatlah sempit, sebaliknya wilayah kehalalan terbentang
sangat luas, jadi selama segala sesuatu belum ada nash yang mengharamkan
atau menghalalkannya, akan kembali pada hukum asalnya, yaitu boleh yang
berada di wilayah kemaafan Tuhan. Dalam hal makanan, ada yang berasal dari
binatang dan ada pula yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Ada binatang darat
dan ada pula binatang laut. Ada binatang suci yang boleh dimakan dan ada Para ulama, dalam menetapkan prinsip bahwa segala sesuatu asal
hukumnya boleh, merujuk pada beberapa ayat dalam al Qur’an antara lain
surat Al-Baqarah : 29 yang artinya berbunyi :
Dialah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu di bumi. (Al-Baqarah:
29).
29
Hussein Bahresy, Pedoman Fiqh Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981, hal. 303.
30
Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, Solo, Era Intermedia, 2003, hal. 36.
31
pula binatang najis dan keji yang terlarang memakannya. Kepedulian Allah
SWT sangat besar terhadap soal makanan dan aktifitas makan untuk
makhluknya. Hal ini tercermin dari firmannya dalam al Qur’an mengenai kata
tha’am yang berarti ”makanan” yang terulang sebanyak 48 kali dalam berbagai
bentuknya. Ditambah pula dengan kata akala yang berarti ”makan”sebagai
kata kerja yang tertulis sebanyak 109 kali dalam berbagai derivasinya,
termasuk perintah ”makanlah” sebanyak 27 kali. Sedangkan kegiatan yang
berhubungan dengan makan yaitu ”minum” yang dalam bahasa Al-Qur’an
disebut syariba terulang sebanyak 39 kali.32
Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan adalah halal kecuali yang
beracun dan membahayakan nyawa manusia.
Betapa pentingnya makanan untuk kehidupan manusia, maka Allah Swt
mengatur bahwa aktifitas makan selalu diikuti dengan rasa nikmat dan puas,
sehingga manusia sering lupa bahwa makan itu bertujuan untuk kelangsungan
hidup dan bukan sebaliknya hidup untuk makan.
33
32
Tiench Tirta winata, Makanan Dalam Perspektif Al Qur’an Dan Ilmu Gizi” Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2006, hal. 1
33
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal, Op.Cit. hal. 7.
Dasar hukum Al- Qur’an
tentang makanan halal diantaranya yaitu :
Artinya ”dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kammu beriman
Juga dalam surat An- Nahl Artinya : Makanlah yang halal lagi baik
dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah,
jika kamu hanya kepadan-Nya menyembah. (QS. An-Nahl).
Ayat-ayat di atas bukan saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang
halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi menunjukkan
juga hal tersebut merupakan salah bentuk perwujudan dari rasa syukur dan
keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal
dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan.
Sebenarnya Dalam Al Qur’an makanan yang di haramkan pada
pokoknya hanya ada empat yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 173.
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya, tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Al-Baqoroh
{2} : 173).
Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan
diantaranya:
1. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan
tidak di sembelih ; termasuk di dalamnya hewan yang mati tercekik,
dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang
makan.
2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya
adalah darah yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir) sedangkan
darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah
dibersihkan dibolehkan. Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung
dan limpa.
3. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darahnya,
dagingnya, maupun tulangnya.
4. Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat produk pangan halal
menurut syariat Islam adalah :
a. Halal dzatnya
a. Halal cara memperolehnya
b. Halal dalam memprosesnya
c. Halal dalam penyimpanannya
d. Halal dalam pengangkutannya
e. Halal dalam penyajiannya.34
B. Kriteria Makanan Halal
Pengertian kehalalan makanan bisa di kategorikan menjadi dua yaitu
34