• Tidak ada hasil yang ditemukan

Label Halal Sebagai Wujud Perlindungan Konsumen

KETENTUAN PRODUK MAKANAN HALAL DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

C. Label Halal Sebagai Wujud Perlindungan Konsumen

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pada dasarnya merupakan piranti hukum yang melindungi konsumen, dan dapat mendorong iklim berusaha yang sehat untuk mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas. Selanjutnya juga merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

Sebagai dasar hukum penegakan hak-hak konsumen, maka Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 bertujuan menciptakan sistem perlindungan konsumen atas dasar keterbukaan informasi dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha betapa pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat menjamin kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Bagaimanapun juga konsumen mempunyai satu kekuatan dan kekuatan ini di Indonesia adalah konsumen muslim sebagai pemeluk agama mayoritas. Pelaku usaha atau produsen sangat berkepentingan sekali terhadap konsumen muslim ini, sehingga mereka harus senantiasa mempertimbangkan produknya dari segala sesuatu yang bertentangan dengan agama Islam, termasuk soal halal dan haram. Produsen akan merasa ketakutan atau

36

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Op.Cit. hal. 8.

kelabakan bila produknya diboikot oleh konsumen muslim, karena dinyatakan tidak halal atau haram.

“Karena itu perlu penyadaran terhadap konsumen muslim dalam menggunakan

haknya sebagai muslim terhadap produk yang diperolehnya di Pasar”.37

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi dirinya sendiri,

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disyahkan pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku sejak tanggal diundangkan tersebut. Oleh Undang-Undang ini yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 ayat (1)). Adapun tujuan perlindungan konsumen ini adalah:

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen,

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab

37

Abdul Hamid Mahmud Thihmaz, Hidangan Halal Haram Keluarga Muslim, Cendekia Sentra Muslim, Jakarta, 2001, hal. 33.

dalam berusaha,

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Meskipun Undang-Undang perlindungan konsumen lebih banyak memberikan perhatian atau kepedulian kepada kepentingan konsumen, namun tidak berarti mengabaikan kepentingan pelaku usaha. Paling tidak hal ini tergambar dari adanya aturan tentang hak-hak pelaku usaha serta asas-asas perlindungan konsumen. Harus pula diakui kepentingan antara konsumen dengan pelaku usaha adalah berbeda, baik terhadap penggunaan barang atau jasa maupun pelaksanaan kegiatannya.

Kepentingan konsumen yang menonjol adalah perlindungan bagi keamanan jiwa, kesehatan tubuh yang tidak membahayakan diri, keluarga atau rumah tangganya dan harta benda. Semantara bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu berkaitan dengan kepentingan komersial mereka dalam menjalankan usaha, seperti mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong. Termasuk juga cara memperoduksi, mengangkut dan memasarkannya serta menghadapi persaingan usaha.

Dari kaca pandang hukum perlindungan konsumen berkaitan erat dengan perlindungan hukum, sehingga materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Dalam konteks ini Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 telah mengatur secara eksplisit mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Hak dan kewajiban ini merupakan antinoni dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha pada dasarnya menjadi hak konsumen. Hak-hak konsumen diatur lebih banyak dari hak pelaku usaha, sedang kewajiban pelaku usaha lebih banyak daripada kewajiban konsumen. Hak dan kewajiban kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 – 5 semantara hak dan kewajiban pelaku usaha terdapat dalam Pasal 6 – 7.

Bila diperhatikan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa menjadi hak yang paling utama dalam perlindungan konsumen. Dalam melaksanakan hak ini, konsumen bebas untuk memilih barang atau jasa yang diinginkan berdasarkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang-barang atau jasa yang digunakan, dan bila merasa dirugikan, konsumen berhak mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut, bahkan sampai pada konpensasi dan ganti rugi.

Sementara itu kewajiban pelaku usaha yang dapat dilihat sebagai manifestasi konsumen menekankan tuntutan terhadap itikad baik pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya. Itikad baik ini dikaitkan dengan kewajiban lainnya berupa penjaminan mutu, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji dan memberi jaminan atas barang yang dibuat atau diperdagangkan, serta kewajiban memberi kompensasi dan ganti rugi kepada

konsumen.

Selain itu dalam rangka perlindungan konsumen, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 telah menetapkan secara detail beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan pelaku usaha dalam kegiatan usahanya. Diantaranya adalah larangan memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualannya. Juga larangan tidak memberi informasi secara lengkap dan benar yang berkaitan dengan produksi yang diperdagangkan, seperti barang rusak, cacat dan tercemar atau barang bekas. Bahkan memberi informasi yang benar, jelas dan jujur ini merupakan kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen.

Larangan juga dilakukan bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Larangan ini berarti, adanya label halal merupakan kewajiban yang harus dicantumkan bila pelaku usaha menyatakan produk yang dihasilkannya adalah halal dikonsumsi bagi Umat Islam. Karena itu, pelaku usaha harus memenuhi segala ketentuan berproduksi secara halal. Karena itu pelaksanaan pensertifikatan atas suatu produk untuk dinyatakan halal merupakan suatu keharusan sebelum suatu produksi sampai ke tangan konsumen. Karena hal tersebut merupakan suatu dasar diterapkan hak-hak konsumen khususnya konsumen yang beragama Islam.

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSUMEN DALAM