• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Perjanjian Baku Yang Melanggar Undang-Undang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

C. Faktor Yang Menyebabkan Bentuk Perjanjian Baku Yang Melanggar Undang-Undang Dibatalkan Pada Putusan Mahkamah Agung (Nomor 368

1. Bentuk Perjanjian Baku Yang Melanggar Undang-Undang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pembatasan atau larangan penggunaan klausula eksonerasi ini dapat kita temui dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 Undang-Undang

131

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam UUPK ini klausula eksonerasi merupakan salah satu bentuk “klausula baku” yang dilarang oleh Undang-undang tersebut.132

Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Karena pada dasarnya, hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam hal ini setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).133

Berkenaan dengan Perjanjian Baku Yang Melanggar Undang-Undang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

132

Klausula Eksonerasi, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausu la-eksonerasi, diakses tanggal 20 April 2016

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdi obyek jual beli jasa;

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan

dengan Undang-undang ini.

2. Faktor Yang Menyebabkan Bentuk Perjanjian Baku Yang Melanggar Undang-Undang Dibatalkan Pada Putusan Mahkamah Agung (Nomor 368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013)

Di dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006) dan T.05 (in casu Surat Pemutusan atau Pembatalan Perjanjian Kerjasama Operasi) khususnya terhadap, Klausula/perjanjian (Kerja Sama Operasi) pada Pasal 6 (enam), adalah sangat bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) butir “d” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen yang berbunyi “Pelaku Usaha

dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian. Apabila (butir “d”) menyatakan “pemberian kuasa dari konsumen kepada Pelaku Usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh Konsumen secara langsung”, maka Pasal tersebut di atas adalah termasuk kepada 8 (delapan) daftar negative Klausula Baku yang dilarang Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Perlindungan Konsumen) Nomor 8 Tahun 1999 dan menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut perjanjian Klausula Baku tersebut adalah batal demi hukum.

Menurut Pasal 1 butir 10 Jo. Pasal 52 butir C Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 (maksudnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) disebutkan bahwa “salah satu tugas dan wewenang BPSK adalah melakukan pengawasan terhadap, pencantuman Klausula Baku”, maka Majelis berpendapat bahwa Pasal-Pasal dalam Surat Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 (khususnya Pasal 6.1 sampai dengan 6.7) adalah Klausula Baku/ Perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Perlindungan Konsumen) Nomor 8 Tahun 1999, sehingga Perjanjian Kerjasama Operasi tersebut batal demi hukum;

Menurut Mariam Darus Badrulzaman Perjanjian Baku adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi134 dan dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya.135 Klausul eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian.136 Klausul eksonerasi memuat suatu pernyataan yang membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya menjadi kewajiban pelaku usaha. Isi, aturan atau ketentuan yang diatur mengandung syarat yang secara khusus membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab akibat dari sesuatu yang merugikan dari perjanjian. Berada pada posisi tawar yang lemah maka nasabah dihadapkan pada dua pilihan yaitu menyetujui perjanjian (take it)atau menolak dan meninggalkan perjanjian (leave it).137Mengenai pembatasan tanggung jawab ini memiliki akibat hukum yaitu:

A contract induced through undue influence is voidable and the innocent party can rescind the contract.

Undue influence takes place where one party the dominant varty, influences the will of the other party, the subservient party, to obtain that party's consent to a contract. The principle of undue influence is general and applies equally to gifts as well as contracs. The law recognises two distinct categories of such contracts, presumed undue influence and actual undue influence.138 Terjemahan penulis:

Sebuah kontrak yang disebabkan oleh pengaruh yang tidak semestinya adalah tidak sah dan pihak yang tidak bersalah dapat membatalkan kontrak.

Pengaruh yang tidak semestinya mengambil tempat dimana satu pihak, yakni pihak dominan, mempengaruhi kehendak dari pihak lain, yakni pihak yang

134Pembatasan pertanggung jawab” dari kreditur. Dalam perpustakaan asing, hal ini dinamakan “exoneratie klausule” (Belanda) atau “exemption clause” (Inggeries). Mariam Darus Badrulzaman - II,Op.cit.,hal. 19.

135Mariam Darus Badrulzaman - I,Op.cit.,hal. 47.

136Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 20.

137Muhammad Syaifuddin, Pengayaan Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 229.

tunduk, untuk memperoleh persetujuan pihak tersebut terhadap sebuah kontrak. Prinsip-prinsip dari pengaruh yang tidak semestinya adalah umum dan berlaku secara sama di dalam kontrak. Hukum mengakui dua kategori yang berbeda dari kontrak seperti ini: diduga pengaruh yang tidak semestinya dan pengaruh yang benar-benar tidak semestinya.

Pengaruh yang tidak semestinya disini dapat menimbulkan akibat hukum yaitu:

Undue Influence makes the contract voidable Contract.

Obtained under undue influence is voidable. The innocent party can rescind the contract but the normal limits on the right to rescission apply.139

Terjemahan Penulis:

Pengaruh Yang Tidak Semestinya Membuat Kontrak Menjadi Tidak Sah. Suatu kontrak yang diperoleh berdasarkan pengaruh yang tidak semestinya adalah tidak sah. Pihak yang tidak bersalah dapat membatalkan kontrak tetapi batas-batas normal dalam hak pembatalan adalah berlaku.

Faktor yang menyebabkan bentuk perjanjian baku yang melanggar undang-undang dibatalkan pada putusan Mahkamah Agung (Nomor 368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013) berdasarkan pemaparan di atas terdapatnya isi perjanjian baku dalam perjanjian kerjasama antara pelaku usaha dan konsumen, terkait dengan isi perjanjian kerjasama tersebut mengandung unsur yang terdapat di dalam perjanjian baku yang dilarang menurut Undang-undang perlindungan konsumen yang diatur di dalam Pasal 18 ayat (1) butir “d” menyatakan “pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran”.

Berdasarkan isi Pasal 18 ayat (1) butir “d” Undang-undang perlindungan konsumen tersebut dikaitkan dengan isi perjanjian baku yang terdapat pada perjanjian

kerjasama antara pelaku usaha dan konsumen yang merupakan perjanjian baku yang dilarang menurut Undang-undang perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:

1. Pengemudi Wajib membayar denda apabila terlambat mengembalikan unit Taksi sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 (lima) dan 4 (empat) di atas, sebagai berikut:

a) keterlambatan 1 (satu) jam atau bagian dari 1 (satu) jam sebesar Rp8.000.-(delapan ribu rupiah);

b) keterlambatan lebih dari 1 (satu) jam sampai dengan 2 (dua) jam sebesar Rp16.000.- (enam belas ribu rupiah);

c) keterlambatan lebih dari 2 (dua) jam sampai dengan 3 (tiga) jam sebesar Rp24.000.- (dua puluh empat ribu rupiah);

PT. EXPRESS LIMO NUSANTARA (ELN) berhak mengenakan

sanksi/pembatalan Perjanjian ini secara sepihak apabila keterlambatan tersebut melebihi 3 (tiga) jam dan dalam 1 (satu) bulan terjadi 3 (tiga) kali keterlambatan;

2. Apabila Pengemudi tidak melakukan setoran secara penuh sebagaimana diatur dalam Pasal 1.3. Perjanjian ini, maka ELN berhak melarang Pengemudi untuk mengoperasikan kenderaan (Stop Operasi) dan Pengemudi diberikan kesempatan melunasi tunggakan setoran dalam waktu 3 (tiga) hari sejak tanggal Stop Operasi tersebut. Selama Stop Operasi, uang setoran tetap harus dibayar dan diperhitungkan, dan apabila unit Taksi dapat dioperasikan oleh Sopir Pengganti, maka uang setoran dari Sopir Pengganti merupakan Hak Pengemudi dan diperhitungkan sebagai Setoran Pengemudi;

Apabila Pengemudi tidak menyetor penuh kewajibannya dalam waktu 3 (tiga) hari di atas, maka ELN berhak membatalkan Perjanjian ini secara sepihak; 3. Dengan tidak mengurangi Ketentuan lain dalam Perjanjian ini, atas setiap

jumlah uang setoran yang terlambat dibayar kepada ELN, Pengemudi wajib membayar benda sebesar 2 % per hari dari jumlah yang terlambat dibayar; 4. Apabila Pengemudi kurang setor melebihi Rp100.000.- (seratus ribu rupiah)

maka apabila dalam waktu 14 (empat betas) hari Pengemudi tidak melunasi kurang setor tersebut seluruhnya, ELN berhak membatalkan Perjanjian ini secara sepihak. Setiap kurang setor dalam jumlah berapapun wajib dilunasi pada setiap akhir bulan;

5. ELN berhak membatalkan Perjanjian ini secara sepihak, apabila:

a. Pengemudi melakukan unjuk rasa atau menghasut Pengemudi atau karyawan Taksi PT. Express Limo Nusantara lainnya untuk melakukan unjuk rasa terhadap, ELN;

b. Pengemudi menyerahkan pengoperasian unit Taksi kepada orang lain tanpa izin ELN;

c. Pengemudi tersangkut urusan criminal; d. Pengemudi merubah Argo Meter dan atau;

e. Pengemudi melanggar Ketentuan lain dalam Perjanjian ini, seperti tindak pelanggaran tata tertib dan tindak pelanggaran berat sebagaimana yang tercantum di dalam Surat Perjanjian Pengemudi lainnya (Charlie);

6. Mengenai Pembatalan Perjanjian ini, kedua belah pihak mengesampingkan

Pasal 1266 Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai

disyaratkannya Putusan Pengadilan untuk pengakhiran suatu Perjanjian; 7. Pengemudi dengan ini memberikan Kuasa yang, tidak dapat ditarik kembali

kepada ELN guna mengambil dan menguasai unit Taksi dimanapun dan dari tangan siapapun dalam hal Perjanjian ini dibatalkan;

Berdasarkan isi perjanjian yang terdapat pada Pasal 1 sampai dengan Pasal 7 tersebut di atas dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (1) butir “d” Undang-undang perlindungan konsumen yang menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada Pelaku Usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak140yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh Konsumen secara langsung, maka Pasal-Pasal yang terdapat di dalam perjanjian kerjasama pelaku usaha dan konsumen tersebut di atas adalah termasuk kepada 8 (delapan) daftar negative Klausula Baku yang dilarang Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, kemudian di dalam perjanjian kerjasama tersebut terdapat ketentuan mengenai larangan penggunaan klausula eksonerasi yaitu syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Sehingga di dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perjanjian Klausula Baku tersebut adalah batal demi hukum.

140Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur. Mariam Darus Badrulzaman - II, Op.cit.,hal. 8.

Dokumen terkait