• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembatalan Perjanjian Baku yang Melanggar Undang-Undang Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K Pdt.Sus-Bpsk 2013"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FAKTOR YANG MENYEBABKAN BENTUK PERJANJIAN BAKU YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG DIBATALKAN PADA PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG (Nomor 368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013)

A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kuhperdata. Pasal 1313

KUHPerdata tersebut berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Perjanjian

dipandang sebagai hubungan hukum antar dua pihak yang berjanji atau dianggap

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal dengan

memberikan kesempatan pada pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu.37 Dalam

praktek, istilah kontrak atau perjanjian terkadang dipahami secara rancu dan pelaku

bisnis mencampuradukkan istilah itu seolah-olah pengertian yang berbeda.38

Pengertian perjanjian pada Pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut para

sarjana dipandang kurang lengkap karena banyak mengandung kelemahan-kelemahan

dan terlalu luas pengertiannya, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup

juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud

adalah perbuatan melawan hukum.39

37

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Bale Bandung, 1986), hal. 19.

38Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dan Kontrak

Komersial),(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 13.

(2)

Abdulkadir Muhammad yang berpendapat bahwa “Rumusan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata masih ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan yang dimaksudkan, antara lain meliputi:

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal tersebut dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.

b. Dalam pengertian “suatu perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrectitmatighedaad) tidak mengandung suatu konsensus. Perbuatan yang dimaksud di atas adalah perbuatan yang timbul dari penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

c. Pengertian penjanjian terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan Hukum Keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).

d. Tanpa menyebut tujuan.40

Dalam rumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian,

sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.41Berkenaan dengan

pengertian perjanjian yang termuat dalam Pasal 1313 KUHPerdata belum terdapatnya

penjelasan secara detail, ada beberapa pendapat sarjana memberikan definisi tentang

perjanjian. Salah satunya yang dikemukakan oleh Rutten seperti dikutip Purwahid

Patrik. Rutten menyatakan bahwa perjanjian adalah “perbuatan yang terjadi sesuai

dengan formalitas-formalitas dan peraturan hukum yang ada tergantung dari

persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya

40

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 134.

(3)

akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban lain atau demi

kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik”.42

Wirjono Prodjodikoro berpendapat “Perjanjian adalah suatu perhubungan

hukum mengenai harta benda antar dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau

dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu

hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.43 Pendapat lain

mengenai perjanjian juga dikemukakan oleh Subekti yang menyatakan bahwa “Suatu

perjanjan adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau

dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.44Selanjutnya

Abdulkadir Muhammad memberikan pendapatnya mengenai pengertian perjanjian

sebagai “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri

untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.45

Hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak atau lebih didahului oleh

perbincangan-perbincangan diantara para pihak dan adakalanya mewujudkan suatu

perjanjian atau perikatan, tetapi adakalanya tidak mewujudkan perjanjian atau

perikatan.46

Perjanjian merupakan sendi yang penting dari Hukum Perdata, karena Hukum

Perdata banyak mengandung peraturan-peraturan hukum yang berdasarkan atas janji

42

Purwahid Patrik, Azas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang: FH UNDIP, 1982), hal. 1-3.

43R. Wiryono Prodjodikoro,Asas -asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2004),

hal. 4.

44R. Subekti,Hukum Perjanjian,(Jakarta: PT. Intermasa, 1985), hal. 1. 45Abdulkadir Muhammad,Op.cit.,hal. 78.

46Duma Barrung,Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Konsumen Pada Perjanjian

(4)

seseorang. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara para pihak yang

membuatnya. Dengan demikian hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian

adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan

di samping sumber lain, yaitu Undang-Undang. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1233

Kuhperdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena

persetujuan, baik karena Undang-Undang”.

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Berkenaan dengan syarat sahnya suatu perjanjian ada 4 unsur yang harus

dipenuhi, sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320 yang menyatakan

bahwa:

a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas yang esensial dari

Hukum Perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas konsensualisme yang menentukan

adanya perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320

KUHPerdata mengandung arti “kemauan” para pihak untuk saling mengikatkan diri.

Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Dengan

kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus

bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang

diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh

pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.47

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa para pihak

yang membuat perjanjian telah sepakat atau saling menyetujui kehendak

(5)

masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya paksaan, kekeliruan, dan

penipuan.48

Sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1321 KUHPerdata yaitu:

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena khilaf atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Sepakat yang dimaksud adalah sepakat yang harus diberikan secara bebas tanpa paksaan pihak mana pun kepada para pihak.

Dalam hal ini kata sepakat dapat dimaknakan sebagai pernyataan kehendak.

Suatu perjanjian hanya akan terjadi apabila terdapat dua pihak atau lebih yang saling

menyatakan kehendak untuk berbuat sesuatu. Inilah yang menjadi perbedaan pokok

antara perjanjian dengan perbuatan hukum sepihak. Pada perbuatan hukum sepihak

pernyataan kehendak hanya berasal dari satu pihak.49

Menurut Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance), bahwa

pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran

(offer) dari salah satu pihak dan dikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh

pihak lain dalam kontrak tersebut.50

Berkenaaan dengan penawaran dan penerimaan yang merupakan salah satu

syarat dalam melakukan perjanjian ada juga diatur di dalam An Act To Ordain And

Institue The Civil Code of The Philippines, Republik Act386,diatur dalam Pasal 1318

sampai dengan Pasal 1324 yang berbunyi sebagai berikut:

Article1319:

48Ridhuan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,

1992), hal. 214.

49Herlin Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

kenotariatan,(Bandung: Citra aditya, 2010), hal. 5-7.

50Kontrak, diakses dari : http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum

(6)

Consent is manifested by the meeting of the offer and the acceptence upon the thing and the cause which are to constitute the contract. The offer must be certain and the acceptence absolute. A qualified acceptence constitutes a counter-offer.

Accptence made by letter or telegram does not bind the offerer execpt from the time in came to the knowledge. The contract, in such as case, is presummed to have been entered in to the place where the offer was made.51 Terjemahan penulis:

Pasal 1319

Persetujuan diwujudkan oleh pertemuan dari penawaran dan permintaan atas masalah dan penyebabnya yang mana akan membentuk kontrak. Penawaran haruslah yakin dan mutlak diterima. Penawaran yang berkualitas membentuk penawaran balik.

Persetujuan yang dilakukan melalui surat atau telegram tidak mengikat penawaran kecuali dari waktu diketahuinya kontrak, dalam kasus seperti itu, dianggap telah masuk kedalam tempat dimana penawaran itu telah dibuat.

Article1320:

An acceptance may be express or implied.52 Terjemahan penulis:

Pasal 1320

Sebuah penerimaan dapat dinyatakan secara tersurat maupun tersirat.

Article1321:

The person making the offer may fix the time, place, and manner of acceptance, all of which must be complied with.53

Terjemahan penulis: Pasal 1321

Orang yang membuat penawaran dapat mengatur tempat, waktu, dan cara penerimaan, yang semuanya harus dipatuhi.

Article1322

An offer mede throuht an agent is accepted from the time acceptance is communicated to him.54

Terjemahan penulis: Pasal 1322

51Arellano V Busto, An Act To Ordain And Institue The Civil Code of The Philippines,

Republik Act386, Edition 2003, (Manila: A.V.B. Printing Press, 2011), hal. 225.

(7)

Suatu penawaran yang dibuat melalui sesorang perantara adalah diterima sejak waktu penerima telah disampaikan kepadanya.

Article1323

An offer becomes ineffective upon the death, cilvil interdiction, insanitv.or insolvency of either party before acceptance is conpeyed.55

Terjemahan penulis: Pasal 1323

Sebuah penawaran menjadi tidak efektif setelah kematian, larangan sipil, kegilaan, atau kebangkrutan dari salah satu pihak sebelum penerimaan disampaikan.

Article1324

When the offerer has allowed the offeree a certain period to accept, the offer may be withdrawn at any time before acceptance by communicating such withdrawal, exept when the option is founded upon a consideration, as something paid or promised.56

Pasal 1324

Saat penawaran telah mengizinkan tawaran jangka waktu tertentu untuk menerima, penawaran dapat ditarik kembali kapan saja sebelum diterima dengan mengkomunikasikan penarikan tersebut, kecuali jika opsi tersebut didasarkan atas pertimbangan sebagai sesuatu yang dibayar atau dijanjikan.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua

subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata

mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain . Mereka

menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.57

b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang

dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban,

baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika

55Ibid. 56Ibid.

(8)

yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus

memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Suatu badan, perkumpulan, atau

badan usaha dapat berstatus sebagai badan hukum bila telah memenuhi beberapa

syarat, yaitu:58

1. Syarat materiil (menurut doktrin)

a) Harta kekayaan yang terpisah, dipisahkan dari kekayaan anggotanya.

b) Tujuan tertentu (bisa idiil/komersial)

c) Punya hak/kewajiban sendiri, dapat menuntut/dituntut

d) Punya organisasi yang teratur, tercermin dari Anggaran Dasar/ Anggaran

Rumah Tangga.

2. Syarat Formal

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk

mendapatkan status sebagai badan hukum biasanya diatur dalam peraturan

yang mengatur tentang badan hukum yang bersangkutan. Misalnya

pengesahan Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan hukum diatur dalam

Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan

pengesahan Yayasan sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang

Nomor 16 tahun 2001 Jo Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 tentang

Yayasan, dimana agar Perseroan Terbatas dan Yayasan dapat berstatus

sebagai badan hukum yang sah, akta pendirian Perseroan Terbatas dan

Yayasan yang telah dibuat oleh Notaris harus mendapat pengesahan dari

Menteri.

(9)

Cakap berarti mampu, dan cakap melakukan perbuatan hukum berarti orang

yang dianggap mampu memikul seperangkat hak dan kewajiban, prinsipnya

undang-undang telah menganggap setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum, setiap

orang dapat membuat perjanjian.59

Pengecualian terhadap prinsip ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1330

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata):

Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah;

a) Anak yang belum dewasa;

Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut

memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum,

yaitu bahwa:60

1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia:

a. Telah berumur 21 tahun; atau

b. Telah menikah;

Hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang

sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia

genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

2. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum

diwakili oleh:

59Legal Akses, Orang Yang Tidak Cakap Melakukan Pebuatan Hukum, http:// www legal.

akses.com/orang-yang-tidak-cakap-melakukan-perbuatan-hukum/, Diakses tanggal 03 Maret 2016.

60Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:

(10)

(a) Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah

kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

(b) Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah

kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang

tuanya saja).

b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang

dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau

boros. Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan

tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap

bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada di

bawah pengampuan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang

tuanya atau pengampunya (Pasal 433 KUHPerdata).61

Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat

bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan

pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa.

Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya,

maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili

oleh pengampu atau kuratornya.62

61Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian - Perjanjian dalam Hubungan Industrial,

(Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 16.

(11)

c) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang

dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk

membuat persetujuan tertentu.

Berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah

Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi

digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan

hukum tanpa bantuan atau izin suaminya, kecuali ada hak suami yang berkaitan

dengan perbuatan hukum yang akan dilakukan seperti menjual rumah yang didapat

setelah perkawinan, dan lainlain. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang

tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).63

Berkenaaan dengan Yang tak cakap untuk membuat persetujuan dalam

melakukan perjanjian ada juga diatur di dalam An Act To Ordain And Institue The

Civil Code of The Philippines, Republik Act386,diatur dalam Pasal 1327, Pasal 1328

dan Pasal 1330 yang berbunyi sebagai berikut:

Article1327

The following cannot give consent to a contract: (1) Unemancipated minors;

(2) Insane or demented persons, and deaf-mutes who do not know how to write.64

Terjemahan penulis :

Hal-hal berikut ini tidak dapat memberikan persetujuan pada sebuah kontrak:

(1) Anak yang dibawah umur

(2) Orang-orang sakit mental atau gila dan tuli-bisu, siapa yang tidak dapat menulis.

63 SieInfokum-Ditama Binbangkum, Perjanjian, diakses dari http://www.jdih.bpk.go.id/in

formasihukum/Perjanjian.pdf, diakses pada tanggal 04 Februari 2016.

(12)

Mengenai yang tidak dapat menulis disini dapat dijelaskan di dalam Pasal

1332 yang berbunyi:

Article 1332.

When one of the parties is unable to read, or if the contract is in a language not understood by him, and mistake or fraud is alleged, the person enforcing the contract must show that the terms thereof have been fully explained to the former.65

Terjemahan Penulis: Pasal 1332

Salah satu pihak tidak dapat membaca, atau kontrak itu berada dalam bahasa yang tidak dapat ia mengerti, dan kesalahan atau penipuan diduga, orang tersebut menegakkan kontrak harus menunjukkan bahwa ketentuan tersebut telah dijelaskan kepada yang terdahulu.

Article1328

Contract entered into during a lucid interval are valid. Contracts agreed to in a state of drunkenness or during a hypnotic spell are voidable.66 Terjemahan penulis :

Pasal 1328

Kontrak yang dimasukkan selama jeda waktu yang jelas adalah sah. Kontrak yang disepakati dalam kondisi keadaan mabuk atau selama masa mantra hipnotis adalah tidak sah.

Article1330

A contract where consent is given through mistake, violence, intimidation, undue influence, or fraud is voidable.67

Terjemahan penulis : Pasal 1330

Suatu kontrak dimana persetujuan diberikan melalui kesalahan, kekerasan, intimidasi, pengaruh yang tidak semestinya, atau penipuan adalah tidak sah.

c. Adanya Obyek.

Berkenaan dengan Adanya objek dalam suatu perjanjian sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 1332: “Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang

dapat menjadi pokok persetujuan”. Kemudian Pasal 1333 ayat (1) “Suatu persetujuan

65Ibid.,hal. 226. 66Ibid.

(13)

harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan

jenisnya”. Dan Pasal 1333 ayat (2) mengatakan bahwa “Jumlah barang itu tidak perlu

pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Setiap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang

menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya.

Setidak-tidaknya dari keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan apa

yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing.68

d. Adanya kausa yang halal.

Sebab adalah sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian. Di dalam Pasal 1335

KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat

karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

Selanjutnya pada Pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan: “Jika tidak dinyatakan semua

sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak dilarang, atau jika ada sebab lain yang

tidak dilarang selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah”. Penjanjian

itu dibuat harus didasarkan oleh sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, baik

mengenali hak yang melekat pada objek perjanjian maupun tentang perjanjian itu

sendiri.69

Menurut Undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh

Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan pada

68C. S. T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 1992), hal. 194.

69

(14)

Pasal 1337 Kuhperdata. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causa yang

tidak halal, misalnya jual beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum.70

Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat

tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum. Sedangkan syarat ketiga dan syarat

keempat disebut syarat obyektif, karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek

perjanjian.71

Tidak terpenuhinya syarat Subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian

menjadi dapat dibatalkan. Maksudnya ialah perjanjian tersebut menjadi batal apabila

ada yang memohon pembatalan. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif akan

mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya sejak semula

dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu

perikatan.72

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para

pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.

Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan

obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati

untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan

menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut

menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan

kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap

70Abdulkadir Muhammad,Op.cit.,hal. 95. 71

Komariah,Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hal. 175-177.

(15)

unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur

obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak

dapat dipaksakan pelaksanaannya.73

Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan

artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap

mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan

pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang

memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan batal demi hukum artinya

adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak

pernah ada suatu perikatan.74

3. Unsur-unsur Perjanjian

Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat

dibuat secara lisan dan secara tertulis. Dalam hal dibuat secara tertulis, maka

perjanjian ini bersiftat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Menurut

Mariam Daruz Badrulzaman untuk beberapa perjanjian, undang-undang telah

menentukan dengan bentuk tertentu, apabila bentuk tersebut tidak dipenuhi maka

perjanjian itu menjadi tidak sah.75

Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:

73

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Op.cit.,hal. 93.

74Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari:

http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl4141 /pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, diakses pada tanggal 04 Februari 2016.

75Marial Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 137.

(16)

a. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakuka hubungan hukum.

Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi;76

b. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka;

c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum; d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian

mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;

e. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada;

f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.77

Menurut J. Satrio yang menyatakan suatu perjanjian apabila diamati dan

diuraikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, maka dapat dikelompokkan sebagai

berikut :

a. UnsurEsentialia

Hal ini berkaitan dengan unsur perjanjian yang selalu harus ada atau unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada. Contohnya, “Sebab yang halal” merupakan esensialia untuk adanya perjanjian. Dalam perjanjian jual beli harga barang yang disepakati kedua

76Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, http://hermansh. blogspot.com/

2012/02/syarat-sahnya-suatu-perjanjian.html, diakses pada tanggal 04 Februari 2016

77Mohd. Syaufii Syamsuddin,Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, (Jakarta:

(17)

belah pihak harus ada. Pada perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formal. Sama halnya dengan perjanjian sewa menyewa, unsur-unsur perjanjian tersebut adalah:

1. Memberikan kenikmatan dari sesuatu barang; 2. Jangka waktu sewa;

3. Pembayaran uang sewa; 4. Bentuk tertulis.

Sedangkan unsur essensial dalam seuatu perjanjian sewa menyewa pada dasarnya meliputi 4 hal, yakni:

1. Sepakat dari para pihak; 2. Objek Sewa;

3. Jangka Waktu; 4. Uang sewa; b. UnsurNaturalia

UnsurNaturaliaadalah bagian perjanjian yang berdasar sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian dari perjanjian ini bersifat mengatur termuat di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan untuk masing-masing perjanjian bernama. Disini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend recht). Contohnya : kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan dan untuk menjamin (vriwaren) yang dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. Ketentuan yang bersifat mengatur yang merupakan unsur Naturalia dalam perjanjian sewa menyewa adalah:

1. Jika barang yang disewakan musnah sebagaian, penyewa dapat memilih meminta pengurangan harga sewa atau pembatalan. Namun, untuk kedua hal tersebut tidak berhak menuntut ganti rugi.

2. Penyewa dilarang mengubah bentuk bangunan rumah tanpa izin tertulis pemilik.

3. Penyewa tidak berhak mengoperkan hak sewa/memindahkan hak penghunian atau mengulang sewakan/menyewakan kembali tanpa izin dari pemilik.

4. Perjanjian sewa-menyewa tidak berakhir dengan meninggalnya atau dibubarkannya salah satu pihak.

5. Perjanjian sewa-menyewa tidak putus dengan dijualnya objek sewa, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Jika ada perjanjian demikian, penyewa berhak menuntu ganti rugi apabila tidak diperjanjikan dengan tegas.

c. UnsurAccidentalia

(18)

rumah para pihak dapat sepakat untuk tidak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman rumah.78

Herlien Budiono dalam kaitan di atas mengemukakan bahwa untuk dapat

mengetahui lebih dalam mengenai suatu perjanjian atau bukan perjanjian, sangatlah

diperlukan mengetahui unsur-unsur dari suatu perjanjian tersebut. Unsur-unsur yang

dimaksudkan adalah sebagai berikut :

a. Kata Sepakat dari dua pihak atau lebih;

Unsur atau ciri pertama dari perjanjian adalah adanya kata sepakat, yaitu pernyataan kehendak beberapa orang. Artinya, perjanjian hanya dapat timbul dengan kerjasama dari dua orang atau lebih atau perjanjian dibangun oleh perbuatan beberapa orang. Karenanya, perjanjian digolongkan sebagai perbuatan hukum berganda. Unsur Pihak disini adalah subyek perjanjian dimana sedikitnya dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian harus dibedakan dengan perbuatan hukum sepihak. Perbuatan hukum sepihak adalah pernyataan kehendak dari cukup satu orang saja dan pernyataan ini menimbulkan akibat hukum. Tindakan hukum sepihak mencakup perbuatan-perbuatan seperti penerimaan suatu warisan, membuat wasiat, pengakuan anak diluar kawin.

b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak;

Kata sepakat tercapai pihak satu menyetujui apa yang ditawarkan oleh pihak lainnya. Kehendak para pihak tersebut tidaklah menimbulkan akibat hukum apabila kehendak tersebut tidak dinyatakan. Perjanjian terjadi apabila para pihak saling menyatakan kehendaknya dan adanya kesepakatan diantara para pihak.

c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;

Tidak semua janji dalam kehidupan sehari-hari membawa akibat hukum. Walaupun janji yang dibuat seseorang dapat memunculkan suatu kewajiban sosial atau kesusilaan, akan tetapi hal itu muncul bukanlah sebagai akibat hukum. Ada kemungkinan para pihak tidak sadar bahwa janji yang dibuatnya berakibat hukum. Kesemuanya tergantung pada keadaan dan kebiasaan di dalam masyarakat. Faktor itulah yang perlu dipertimbangkan terkait suatu pernyataan kehendak yang muncul sebagai janji yang akan memunculkan akibat hukum atau sekedar kewajiban sosial dan kemasyarakatan semata. d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain

atau timbal balik;

(19)

Suatu keinginan para pihak tidak selalu memunculkan akibat hukum. Untuk terbentuknya suatu perjanjian maka diperlukan adanya unsur akibat hukum tersebut untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain. Mengenai akibat hukum suatu perjanjian hanya mengikat para pihak dan tidak dapat mengikat pihak ketiga, lagi pula tidak dapat membawa kerugian bagi pihak ketiga.

e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan

Format perjanjian pada umumnya bebas ditentukan oleh para pihak. Namun demikian undang-undang menetapkan bahwa beberapa perjanjian diharuskan dalam format tertentu. Penetapan oleh undang-undang mengenai bentuk perjanjian yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta menjadi syarat mutlak untuk terjadinya perbuatan hukum tersebut.79

4. Macam-Macam Perjanjian

Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

perjanjian obligator.80 Perjanjian obligator adalah perjanjian yang mewajibkan

seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.81 Sedangkan perjanjian non

obligator adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan

atau membayar sesuatu.82

Perjanjian obligator terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Perjajian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik.

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada

satu pihak. Misalnya perjanjian hibah. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah

perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah pihak. Misalnya jual

beli.83

79Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariaan,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), hal. 9.

80

Komariah,Hukum Perdata,(Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hal. 169

81 Ibid. 82

Ibid.,hal.171.

83

(20)

b. Perjanjian Cuma-cuma dan Perjanjian Atas Beban.

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan

suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi

dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam meminjam tanpa bunga dan

penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian

yang mewajibkan pihak yang satu melakukan prestasi berkaitan langsung dengan

prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain, contoh perjajian atas beban adalah

jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam dengan bunga.84

c. Perjanjian konsensuil, Perjanjian Riil dan Formil.

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan

dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian jual beli dan perjanjian sewa

menyewa.85 Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya

mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penyerahan obyek

perjanjian atau bendanya. Misalnya perjanjian penitipan barang dan perjanjian

pinjam pakai.86 Perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata

sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu. Sesuai dengan apa yang telah

ditentukan oleh undang-undang. Contohnya jaminan fidusia.87

d. Perjanjian Bernama, Perjanjian Tak Bernama dan Perjanjian Campuran.

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dalam

undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus

84Ibid.,hal. 59.

(21)

di dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, franchising dan factoring.

Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi

dari dua atau lebih perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost)

yang merupakan campuran dari perjanjian sewa menyewa dan perjanjian untuk

melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju dan membersihkan

kamar).88

Perjanjian non obligator terbagi menjadi:

a. Zakelijk overeenkomstadalah perjajian yang menetapkan suatu hak dari seseorang

kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah.89

b. Bevist overeenkomstadalah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain

dari suatu kewajiban.90

c. Liberatior overeenkomst adalah perjanjian dimana seorang membebaskan pihak

lain dari suatu kewajiban91

d. Vaststelling overeenkomst adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan

mengenai isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.92

Berdasarkan pemaparan macam-macam perjanjian yang telah disebutkan di

atas, dikaitakan dengan perjanjian baku, maka akan timbul pertanyaan apakah

perjanjian baku (adhesi) ini dapat dikatakan sebagai “perjanjian” sebagaimana yang

ditentukan oleh KUHPerdata.93

88

Ibid.,hal. 35-36

89

KomariahOp.cit.,hal. 171.

90Ibid.

91Ibid.,hal. 172. 92Ibid.

93Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Baku (standard), Perkembangannya Di Indonesia

(22)

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan ada empat syarat sahnya

perjanjian yaitu:

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu pokok persoalan tertentu;

4. suatu sebab yang tidak terlarang.

“Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah azas esensial dari Hukum

Perjanjian. Azas ini dinamakan juga Azas “konsensualisme” yang menentukan

“ada”nya (rasion d’etre, het bestaanwaarde) perjanjian. Azas “konsensualisme” yang

terdapat di dalam Pasal 1320 Kuhperdata mengandung arti “kemauan” (wil) para

pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan

ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi. Azas

kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Manusia terhormat

akan memenuhi janjianya, kata Eggens.94

Azas konsensualisme ini mempunyai hubungan erat dengan azas kebebasan

berkontrak (contractvrijheid) dan azas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam

Pasal 1338 al. 1 Kuhperdata. Ketentuan ini berbunyi “semua perstujuan yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. “semua”

mengandung arti meliputi seluruh perjanjian baik yang namanya dikenal maupun

tidak dikenal oleh Undang-undang. Azas kebebasan berkontrak (contractvrijheid)

berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan

(23)

“siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320

jo Pasal 1338 al. 1 KHU Perdata.95

Meninjau masalah “ada” dan “kekuatan mengikat” perjanjian baku, maka

secara teoritis jurudis, perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang

dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 al. 1 Kuhperdata. Perbedaan posisi para pihak ketika

perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk

mengadakan “real bargaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak

mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam

menentukan isi perjanjian. Karena perjanjian baku ini tidak memenuhi

elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 al. 1 Kuhperdata dan akibat hukumnya

tidak ada.96

Beberapa ahli hukum tidak memberikan dukungan terhadap perjanjian baku

ini. Sluijter mengatakan perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan

pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk Undang-undang swasta

(legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam

perjanjian itu adalah undang-undang dan bukan perjanjian. Pitlo mengatakannya

sebagai perjanjian paksa (dwang contract).97

Berkenaan dengan perjanjian paksa disini dapat diartikan sebagai berikut: Duress is illegilimate pressure exerted by one party to force another party to consent to a contract against that latter party's will. The presence of duress allows the oppressed party to rescind the contract. There are three kinds of duress:

a. Duress to the person;

95Ibid.,hal. 13. 96

Ibid.,hal. 13-14.

97

(24)

b. Duress of goods; c. Economic duress terjemahan penulis:

Paksaan adalah tekanan tidak sah yang diberikan oleh salah satu pihak untuk memaksa pihak lain untuk menyetujui kontrak terhadap kehendak pihak tersebut. Kehadiran paksaan memungkinkan pihak yang tertindas untuk membatalkan kontrak. Ada 3 jenis dari paksaan:

a. Paksaan kepada orang b. Paksaan dari barang c. Paksaan ekonomi.98

Adapun penjelasan dari ketiga jenis paksaan tersebut sebagai berikut:

1. Duress to the person

Duress to the person involves actual or threatened violence to or actual or threatened confinement of the person coerced or an associate.

In Barton v Armstrong (1973) 47 ALJR 781, Barton entered into a contact to sell shares to Armstrong. Barton established, in proceedings to have the sele set aside, that he entered into the contract because Armstrong had threatened to kill him. Armstrong argued that this was not the only reason that Barton sold; he had pressing financial needs.

The court held that once the coerced party proves that there was duress, there is a right to rescind even if the duress was not the only motivation for the contract. It need not be the only reason; it is sufficient if it is one of the reasons for the contract.

As with other voidable contracts, the right to rescind can be lost through affir-mation or delay. There may also be a right to damages.

2. Duress of goods

Where one party unlawfully seizes or detains, damages or destroys the goods of another or threatens to do so, there is a duress of goods. There have been difficulties in this area and the courts have distinguished between duress of goods and duress of the person. It seems that this distinction is becoming less important.

3. Economic duress

In recent years the courts have recognised the principle of economic duress which is conduct aimed at the contractual, proprietary or other rights of a party, whether actual or by threat, in order to obtain some

98

(25)

benefit to which the person is not entitled. The difficulty in this area is the fine line between ligitimate and illegitimate commercial pressure.99 Terjemahan penulis:

1. Paksaan kepada Orang

Paksaan kepada orang melibatkan kekerasan yang sesungguhnya ataupun hanya ancaman maupun ancaman kurungan, dari orang yang dipaksa ataupun terkait.

Dalam Barton v Amstrong (1973) 47 ALJR 781, Barton membuat suatu kontrak penjualan saham kepada Amstrong. Barton tidak bisa memungkiri, bahwa dalam proses untuk memiliki sisa penjualan, bahwa ia membuat kontrak tersebut karena Amstrong telah mengancam untuk membunuhnya. Amstrong membantah bahwa ini bukanlah satu-satunya alasan penjualan Barton; dia telah menekan kebutuhan keuangannya. Pengadilan menyatakan bahwa setelah pihak dipaksa membuktikan bahwa ada paksaan, maka ada hak untuk membatalkan bahkan jika paksaan itu bukanlah satu-satunya motivasi dibuatnya kontrak. Hal tersebut tidak harus menjadi satu-satunya alasan; itu sudah cukup untuk menjadi salah satu alasan dibuatnya kontraknya.

Seperti dengan kontrak tidak sah lainnya, hak untuk membatalkan dapat hilang melalui penegasan atau keterlambatan. Dan terdapat juga hak untuk ganti rugi.

2. Paksaan dari Barang

Dimana satu pihak yang tidak sah merebut atau menahan, merusak atau menghancurkan barang-barang orang lain atau mengancam untuk melakukannya, maka itu termasuk suatu paksaan dari barang. Ada kesulitan-kesulitan dalam area ini dan pengadilan telah membedakan antara paksaan dari barang dengan paksaan dari orang. Kelihatannya bahwa perbedaan ini telah dianggap menjadi kurang penting.

3. Paksaan dari Ekonomi

Dalam beberapa tahun terakhir pengadilan telah mengakui prinsip-prinsip dari paksaan ekonomi yang mana merupakan perilaku yang ditujukan pada kontrak, hak milik atau hak-hak lainnya dari suatu pihak, apakah dengan sebenarnya atau dengan ancaman, untuk mendapatkan beberapa keuntungan dimana orang tersebut tidak berhak mendapatkannya. Kesulitan dalam area ini adalah adanya garis tipis antara tekanan komersial yang sah dan tidak sah.

Walaupun secara teoritis juridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan

undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya,

(26)

kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan

hukum.100

Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat

bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya

kemauan dan kepercayaan (fictie van wi en vertrouwen) yang membangkitkan

kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur

menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian

tersebut.101

Asser Rutten mengatakan pula bahwa: “setiap orang yang menanda tangani

perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditanda tanganinya. Jika ada

orang yang membubuhkan tanda tangan pada suatu formulir perjanjian baku, tanda

tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan

menghendaki isi formulir yang ditanda tangani. Tidak mungkin seseorang menanda

tangani apa yang tidak diketahui isinya”.102

Para pakar tidak menyetujui perjanjian baku, sebab:

a. Kedudukan pengusaha didalam perjanjian baku sama seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgevers), karenanya perjanjian baku bukan merupakan perjanjian;

b. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangkontract);

c. Negara-negara Common Law System menerapkan doktrin

unconscionability. Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada perjanjian demi menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian baku dianggap meniadakan keadilan.103

100Mariam Darus Badrulzaman - II,Op.cit.,hal. 14-15. 101Ibid.,hal. 15.

102Ibid.

103Rachmadi Usman, Aspek - Aspek Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Gramedia

(27)

Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku

sebagai suatu perjanjian, karena:

a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van vertouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu; b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi

dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatanganinya.

c. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiaasaan (gebruik) yang berlaku di masyarakat dan lalu lintas perdagangan.104

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian baku

kedudukan kreditur dan debitur tidak seimbang. Posisi monopoli pihak kreditur

membuka peluang luas baginya untuk menyalah gunakan kedudukannya. Pengusaha

hanya mengatur hak-haknya saja dan tidak kewajibannya. Dari segi lain, perjanjian

baku hanya memuat sejumlah kewajiban-kewajiban yang harus dipikul debitur.105

Ketidak seimbangan dari para pihak dalam membuat perjanjian dapat memunculkan

adanya klausul eksonerasi atau klausul pembebasan (dari tanggung jawab) yang

tertera di dalam perjanjian baku tersebut.106

Bagi Indonesia, ketentuan yang membatasi wewenang pembuatan klausula

eksonerasi ini belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Ketentuan

satu-satunya baru ditemukan dalam UU Perlindungan Konsumen, walaupun di situ

104Ibid.,hal. 256.

105Mariam Darus Badrulzaman- II.Op.cit.,hal. 23.

106Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan

(28)

digunakan istilah “klausula eksonerasi” Dalam berbagai negara pertumbuhan dan

perkembangan perjanjian baku ini didukung oleh yurisprudensi.107

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ternyata apa yang dimaksud dengan perjanjian baku tidak didifinisikan,

karena Undang-Undang tersebut hanya memberikan perumusan tentang klusula baku.

Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa: “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan

dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

sepihak oleh pelaku usaha, yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, setidak-tidaknya dapat ditemukan 2 (dua) larangan yang diberlakukan

bagi pelaku usaha (bank) yang membuat perjanjian baku. Pasal 18 ayat (1)

menentukan bahwa:

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian di mana klausula baku tersebut akan mengakibatkan:

a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa`pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

107Made Suryana dan Rina Suwasti,Perlindungan Konsumen Ditinjau Dari Perjanjian Baku,

(29)

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lan jutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memnafaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) dinyatakan sebagai berikut: “Pelaku

usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat,

atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”.

Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa larangan pencantuman klausula baku

yang isinya merugikan konsumen dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan

konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Sebagai konsekuensi yuridis atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18

ayat (1) dan ayat (2) di atas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 klausula baku tersebut dinyatakan batal demi hukum.

Di samping itu pelanggaran terhadap ketentuan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal

62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dipidana penjara paling lama 5

(30)

Kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting dalam

Hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran

hak azasi manusia. Oleh karena itu setiap orang yang membuat perjanjian (termasuk

perjanjian standard) dengan isi dan bentuk apapun sah, sejauh perjanjian tersebut

tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik dan ketertiban

umum.108

5. Akibat Suatu Perjanjian

Suatu perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi syarat sahnya

perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Undang-undang menentukan

bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain

kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang

dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan

itikad baik (sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata).109

a. Berlaku sebagai undang-undang

Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu bahwa “semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya”. Artinya adalah bahwa para pihak harus menaati

perjanjiannya itu sama dengan ia mentaati undang-undang. Hal ini mengakibatkan

108Ibid.

(31)

apabila terdapat salah satu pihak yang melanggar perjanjian yang telah mereka

buat tersebut, maka ia dianggap telah melanggar undang-undang yang

mempunyai akibat pihak yang melanggar tersebut dikenai suatu sanksi hukum

yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang bersangkutan ataupun telah

ditentukan dalam undang-undang. Menurut Undang-undang pihak yang

melanggar perjanjian tersebut harus membayar ganti rugi (Pasal 1243

KUHPerdata), perjanjiannya dapat diputuskan (Pasal 1266 KUHPerdata),

menanggung risiko (Pasal 1327 KUHPerdata), membayar biaya perkara jika

perkara sampai di muka pengadilan (Pasal 181 ayat (1) HIR).110

b. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak

Suatu perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak yang

membuat perjanjian itu untuk melaksanakan isi dari perjanjian tersebut, sehingga

perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan oleh salah satu pihak

saja.

c. Perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik

Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata disebutkan bahwa:

“Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”, yaitu harus mengindahkan

norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Selain itu dalam Pasal 1339 KUHPerdata

menyebutkan bahwa: “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal

yang dengan tegasnya dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu

yang menuntut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau

(32)

undang-undang”. Secara jelas Pasal tersebut juga mengatur bahwa perjanjian

tidak hanya mengindahkan norma-norma kesusilaan dan kepatutan saja, tetapi

juga kebiasaan dengan tanpa mengesampingkan undang-undang.

6. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah perjanjian

yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang sesuatu hal.

Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan

debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.111

Dalam buku III KUHPerdata telah diatur tentang berakhirnya perikatan.

Berakhirnya perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Berakhirnya perikatan

karena perjanjian dibagi menjadi tujuh macam, yaitu112:

1) pembayaran;

2) novasi(pembaruan utang);

3) kompensasi;

4) konfusio(percampuran utang);

5) pembebasan utang;

6) kebatalan; dan

7) berlaku syarat batal.

Menurut R Setiawan, hapusnya suatu perjanjian harus dibedakan dari

hapusnya suatu perikatan, karena dengan hapusnya perikatan belum tentu menghapus

111Salim H. S., Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011,) hal. 163.

(33)

adanya suatu perjanjian. Adanya kemungkinan perikatan telah hapus sedangkan

perjanjian yang menjadi sumbernya masih tetap ada.113

Pada umumnya perjanjian akan hapus bila tujuan perjanjian telah tercapai, dan masing-masing pihak telah saling menunaikan kewajibannya atau prestasinya sebagaimana yang dikehendaki mereka bersama. Perjanjian dapat hapus karena:

a. tujuan dari perjanjian telah tercapai dan masing-masing pihak telah memenuhi kewajibannya atau prestasinya.

b. perjanjian hapus karena adanya putusan oleh hakim.

c. salah satu pihak mengakhirinya dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan setempat terutama dalam hal jangka waktu pengakhiran.

d. para pihak sepakat untuk mengakhiri perjanjian yang sedang berlangsung, misalnya dalam peristiwa tertentu perjanjian akan hapus seperti yang disebutkan dalam Pasal 1603 ayat j KUHPerdata yang menyebutkan dengan meninggalnya salah satu pihak perjanjian akan hapus.

e. perjanjian akan hapus apabila telah lewat waktu yang telah ditentukan bersama.

f. perjanjian akan berakhir menurut batas waktu yang ditentukan undang-undang.114

B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Baku

1. Pengertian Perjanjian Baku

Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut

standard contract, standard agreement, di Perancis digunakan Contract d’adhesion.

Perjanjian baku diartikan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda standard

contract atau standard voorwaarden. Kepustakaan Jerman mempergunakan istilah

Allgemeine Geschafts Bedingun atau standart vertrag. Hukum inggris menyebutkan

Standard contract, sedangkan Mariam Darus Badrulzaman menterjemahkannya

dengan istilah perjanjian baku.115

113R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1987), hal. 69. 114Ibid., hal. 70.

115Salim H. S., “Perkembangan Hukum Kontrak di Luar Kuhperdata”, (Jakarta: Raja

(34)

Menurut Hasanuddin Rahman pengertian perjanjian baku adalah: “Perjanjian-perjanjian yang telah dibuat secara baku (standart form), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis dan jumlah barang yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang telah disepakati untuk dituangkan dalam perjanjian itu”.116

Abdul Kadir Muhammad mengatakan dalam kontrak baku konsumen harus

menerima segala akibat yang timbul dari perjanjian tersebut, walaupun akibat hukum

itu merugikan konsumen tanpa kesalahannya. Di sini konsumen dihadapkan pada

suatu pilihan yaitu menerima dengan besar hati.117

Menurut Celina Tri S. K bahwa: “Pengertian perjanjian baku adalah

perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan

pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau

meminta perubahan.”118

Rahman Hasanudin mengatakan bahwa: “Pengertian dari perjanjian baku

lebih cenderung secara substansi hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak yang

ada pada pihak yang berkedudukan lebih kuat sedangkan pihak lainnya terpaksa

menerima keadaan itu karenanya posisinya yang lemah”.119

Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa: “Perjanjian baku adalah suatu

perjanjian yang hampir seluruh klausal-klausalnya sudah dibakukan oleh pemakainya

dan pihak yang lain, pada dasarnya tidak mempunyai peluang kepada calon

116Hasanuddin Rahman, Aspek - Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT.

Citra Aditya Bhakti, 1998), hal. 159.

117

Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 4.

118

Celina Tri. S.K,Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 139.

119

(35)

nasabah/debitur untuk merundingkan atau meminta perubahan. Klausul-klausul baku

yang lazim terjadi dalam masyarakat, adalah klausul baku yang berkaitan dengan

jenis harga, jumlah, tempat, waktu dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang

diperjanjikan”.120

Perjanjian baku yang diperlukan di Indonesia, khususnya di dunia bisnis

sudah menjadi model perjanjian. Namun sah atau tidaknya perjanjian baku, para

sarjana hukum masing-masing mempunyai pendapat berbeda-beda. Beberapa sarjana

hukum Belanda mengemukakan antara lain Sluijter dalam Sutan Remy Sjahdeini,

bahwa Perjanjian baku ini bukan perjanjian sebab kedudukan pengusaha (yang

berhadapan dengan konsumen) di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk

undang-undang swasta(Legio Particuliere wetgever).121

Perjanjian dalam bentuk kontrak baku, biasanya menggunakan formulir yang

didalamnya memuat sejumlah klausul-klausul baku yang telah disusun sebelumnya

secara sepihak dan calon nasabah tinggal membubuhkan tanda tangannya saja bila

bersedia menerima isi klausul baku yang dibuat calon kreditur. Setiap nasabah hanya

diberi dua pilihan yaitu “take it or leave it” (ambil atau tinggalkan). Calon nasabah

tidak diberi kesempatan untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausul-klausul

baku yang diajukan, sehingga tampak adanya kedudukan calon nasabah sangat lemah.

Akibatnya, calon debitur menerima saja syarat-syarat yang disodorkan demi

mendapatkan apa yang diharapkannya.122

120Munir Fuady,Hukum Bisnis teori dan praktek,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 46. 121Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 66.

(36)

Pitlo dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, menggolongkan perjanjian

baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoretis

yuridis, perjanjian baku tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa

ahli hukum ditolak, namun kenyataan masyarakat membutuhkan sarana hukum sesuai

dengan kebutuhan.123

2. Ciri-ciri Perjanjian Baku

Beberapa para ahli telah mengemukakan pendapatnya mengenai ciri-ciri atau

karakteristik perjanjian baku. Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik perjanjian

baku sebagai berikut:

1. perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari

konsumen;

2. konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian;

3. dibuat dalam bentuk tertulis dan massal;

4. konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.124

Ciri-ciri klausula baku adalah sebagai berikut:

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari

debitur;

b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut;

c. Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;

d. Bentuknya tertulis;

123Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005), hal. 117.

124

(37)

e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.125

Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku.

Ciri-ciri perjanjian baku itu sebagai berikut :

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomi)nya kuat.

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian.

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuk tertentu (tertulis).

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.126

Penggunaan perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Bentuk Perjanjian Tertulis

Kata-kata atau kalimat dalam perjanjian baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta dibawah tangan.

2) Format Perjanjian Dibakukan

Format perjanjian sudah dibakukan, ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak.

3) Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha

Syarat-syarat perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pengusaha dan cenderung menguntungkan pengusaha daripada konsumen, hal ini dapat dilihat adanya pencantuman klausul eksonerasi.

4) Konsmen Hanya Menerima atau Menolak

Konsumen tidak dapat menawar isi perjanjian, hanya ada pilihan menerima atau menolak perjanjian kerjasama.

5) Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan

Perjanjian baku mencantumkan syarat mengenai penyelesaian sengketa. 6) Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha

Perjanjian baku lebih cenderung menguntungkan pengusaha, berupa: a) Efisiensi biaya, waktu dan tenaga;

b) Praktis, berupa blanko yang siap diisi dan ditandatangani; c) Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui atau

menolaknya.

d) homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.127

125Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,Op.cit., hal. 52. 126

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (standard), Perkembangannya Di Indonesia

(38)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku juga memiliki ciri-ciri

sebagai berikut:

1) Perjanjian dibuat dalam bentuk tertentu berupa formulir yang sudah tercetak

2) Formulir itu dipersiapkan terlebih dahulu dan diperuntukkan kepada setiap orang tanpa perbedaan

3) Isi perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki kekuatan posisi ekonomi

4) Pihak yang mengikatkan diri terhadap formulir itu tidak mempunyai kebebasan mengubah kehendak pihak yang lain

5) Adanya suatu kepentingan yang sangat dibutuhkan oleh pihak yang posisi ekonominya lemah

6) Pengaturan hak dan kewajiban yang tidak seimbang.128

3. Macam-macam Perjanjian Baku

Klausula baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu :129

a. Perjanjian Baku Sepihak. Merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh

pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini

adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai kedudukan ekonomi kuat

dibandingkan pihak debitur. Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam

organisasi, misalnya pada perjanjian kerja kolektif.

b. Perjanjian Baku yang Ditetapkan oleh Pemerintah. Merupakan perjanjian

yang mempunyai objek berupa hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria,

misalnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan

127Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 6-8.

128Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia

Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 95. Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman - III.

(39)

Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak

Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.

c. Perjanjian Baku yang Ditentukan di Lingkungan Notaris atau Advokat.

Merupakan perjanjian yang sudah sejak semula disediakan untuk memenuhi

permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau

Advokat yang bersangkutan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman berdasarkan segi terjadinya maupun

berlakunya perjanjian-perjanjian standard dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Perjanjian baku (standard) umum

Perjanjian standard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur (seperti perjanjian kredit bank) kemudian diberikan pada debitur. Dari segi formal debitur menyetujuinya, akan tetapi dari segi materil debitur “terpaksa” menerimanya. Adanya persesuaian kehendak adalah fiktif.

b. Perjanjian baku (standard) khusus

Perjanjian standard khusus dinamakan terhadap perjanjian standard yang ditetapkan Pemerintah, baik adanya dan berlakunya perjanjian tersebut untuk para pihak ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah dilihat dari bentuknya sebagai perjanjian, maka seakan-akan terdapat unsur konsesualisme, akan tetapi sebenarnya tidak ada.130

Menurut Mariam Daruz Badrulzaman, perjanjian baku dapat dikelompokkan

menjadi empat jenis, yaitu :

1. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.

2. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur).

130Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

(40)

Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kollektip.

3. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, lihatlah misalnya formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, berupa antara lain akta jual beli, model 1156727, akta hipotik model 1045055 dan lain sebagainya. 4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokat

adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebutkan Contact model.131

Berdasarkan macam-macam perjanjian baku yang telah dikemukakan di atas

maka perjanjian baku yang dilakukan oleh pengusaha dan konsumen didalam

perjanjian kerja sama disini merupakan jenis perjanjian baku sepihak, karna isi dari

perjanjian tersebut telah ditentukan oleh pengusaha dan di dalam perjanjian tersebut

terdapat ketidakseimbangan dari para pihak dalam membuat perjanjian tersebut

sehingga memunculkan adanya klausul eksonerasi atau klausul pembebasan

(tanggung jawab) dari pada pelaku usaha yang tertera di dalam perjanjian baku

tersebut.

C. Faktor Yang Menyebabkan Bentuk Perjanjian Baku Yang Melanggar Undang-Undang Dibatalkan Pada Putusan Mahkamah Agung (Nomor 368 K/Pdt.Sus-BPSK/2013)

1. Bentuk Perjanjian Baku Yang Melanggar Undang-Undang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pembatasan atau larangan penggunaan klausula eksonerasi ini dapat kita

temui dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 Undang-Undang

131

Referensi

Dokumen terkait

“Dalam proses pembelajaran metode itu berpengaruh dalam berhasil tidaknya suatu pendidikan, maka dari itu penggunaan metode yang tepat adalah penting, dan di sekolah

Program PATEN yang dilaksanakan di kecamatan ini akan merubah sistem pelayanan dari sistem konvensional menjadi sistem Paten dengan harapan dapat mengoptimalkan

Pie chart IV.21 Tingkat Pengetahuan Penonton pada indikator persepsi dalam pembawa acara………..82 Pie chart IV.22 Penonton memahami bahwa Tri Rismaharini menjadi

a Neraca 2016 Ka PPID Utama Tahun 2017 Hard & Soft selama berlaku http://ppid.jatengprov.go.id/catatan- pegawai dilingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.. Adalah

Puji syukur atas karunia yang Allah SWT berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis

Dalam interaksi ini dosen berperan sebagai penggerak atau pembimbing, sedangkan mahasiswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing. Proses interaksi ini akan berjalan dengan

Penelitian ini mengatakan bahwa semakin tinggi presentase kepemilikan oleh dewan direksi, maka tingkat dividen tunai juga semakin tinggi Hal ini menunjukkan bahwa

Tugas Akhir ini merupakan suatu kesempatan bagi mahasiswa untuk dapat menerapkan ilmu-ilmu yang sudah didapat dalam perkuliahan dan sebagai sarana untuk mengetahui dunia kerja