• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Baku 1.Pengertian Perjanjian Baku

Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut standard contract, standard agreement, di Perancis digunakan Contract d’adhesion. Perjanjian baku diartikan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda standard contract atau standard voorwaarden. Kepustakaan Jerman mempergunakan istilah Allgemeine Geschafts Bedingun atau standart vertrag. Hukum inggris menyebutkan Standard contract, sedangkan Mariam Darus Badrulzaman menterjemahkannya dengan istilah perjanjian baku.115

113R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1987), hal. 69.

114Ibid., hal. 70.

115Salim H. S., “Perkembangan Hukum Kontrak di Luar Kuhperdata”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, tt), hal. 145.

Menurut Hasanuddin Rahman pengertian perjanjian baku adalah: “Perjanjian-perjanjian yang telah dibuat secara baku (standart form), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis dan jumlah barang yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang telah disepakati untuk dituangkan dalam perjanjian itu”.116

Abdul Kadir Muhammad mengatakan dalam kontrak baku konsumen harus menerima segala akibat yang timbul dari perjanjian tersebut, walaupun akibat hukum itu merugikan konsumen tanpa kesalahannya. Di sini konsumen dihadapkan pada suatu pilihan yaitu menerima dengan besar hati.117

Menurut Celina Tri S. K bahwa: “Pengertian perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.”118

Rahman Hasanudin mengatakan bahwa: “Pengertian dari perjanjian baku lebih cenderung secara substansi hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak yang ada pada pihak yang berkedudukan lebih kuat sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karenanya posisinya yang lemah”.119

Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa: “Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang hampir seluruh klausal-klausalnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain, pada dasarnya tidak mempunyai peluang kepada calon

116Hasanuddin Rahman, Aspek - Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1998), hal. 159.

117

Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 4.

118

Celina Tri. S.K,Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 139.

119

nasabah/debitur untuk merundingkan atau meminta perubahan. Klausul-klausul baku yang lazim terjadi dalam masyarakat, adalah klausul baku yang berkaitan dengan jenis harga, jumlah, tempat, waktu dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan”.120

Perjanjian baku yang diperlukan di Indonesia, khususnya di dunia bisnis sudah menjadi model perjanjian. Namun sah atau tidaknya perjanjian baku, para sarjana hukum masing-masing mempunyai pendapat berbeda-beda. Beberapa sarjana hukum Belanda mengemukakan antara lain Sluijter dalam Sutan Remy Sjahdeini, bahwa Perjanjian baku ini bukan perjanjian sebab kedudukan pengusaha (yang berhadapan dengan konsumen) di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta(Legio Particuliere wetgever).121

Perjanjian dalam bentuk kontrak baku, biasanya menggunakan formulir yang didalamnya memuat sejumlah klausul-klausul baku yang telah disusun sebelumnya secara sepihak dan calon nasabah tinggal membubuhkan tanda tangannya saja bila bersedia menerima isi klausul baku yang dibuat calon kreditur. Setiap nasabah hanya diberi dua pilihan yaitu “take it or leave it” (ambil atau tinggalkan). Calon nasabah tidak diberi kesempatan untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausul-klausul baku yang diajukan, sehingga tampak adanya kedudukan calon nasabah sangat lemah. Akibatnya, calon debitur menerima saja syarat-syarat yang disodorkan demi mendapatkan apa yang diharapkannya.122

120Munir Fuady,Hukum Bisnis teori dan praktek,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 46.

121Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 66.

Pitlo dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoretis yuridis, perjanjian baku tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataan masyarakat membutuhkan sarana hukum sesuai dengan kebutuhan.123

2. Ciri-ciri Perjanjian Baku

Beberapa para ahli telah mengemukakan pendapatnya mengenai ciri-ciri atau karakteristik perjanjian baku. Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik perjanjian baku sebagai berikut:

1. perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen;

2. konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian; 3. dibuat dalam bentuk tertulis dan massal;

4. konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.124 Ciri-ciri klausula baku adalah sebagai berikut:

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur;

b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian tersebut;

c. Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut; d. Bentuknya tertulis;

123Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 117.

124

e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.125

Mariam Darus Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku. Ciri-ciri perjanjian baku itu sebagai berikut :

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomi)nya kuat.

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian.

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuk tertentu (tertulis).

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.126

Penggunaan perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Bentuk Perjanjian Tertulis

Kata-kata atau kalimat dalam perjanjian baku dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta dibawah tangan.

2) Format Perjanjian Dibakukan

Format perjanjian sudah dibakukan, ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak.

3) Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha

Syarat-syarat perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pengusaha dan cenderung menguntungkan pengusaha daripada konsumen, hal ini dapat dilihat adanya pencantuman klausul eksonerasi.

4) Konsmen Hanya Menerima atau Menolak

Konsumen tidak dapat menawar isi perjanjian, hanya ada pilihan menerima atau menolak perjanjian kerjasama.

5) Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan

Perjanjian baku mencantumkan syarat mengenai penyelesaian sengketa. 6) Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha

Perjanjian baku lebih cenderung menguntungkan pengusaha, berupa: a) Efisiensi biaya, waktu dan tenaga;

b) Praktis, berupa blanko yang siap diisi dan ditandatangani; c) Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui atau

menolaknya.

d) homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.127

125Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,Op.cit., hal. 52.

126

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (standard), Perkembangannya Di Indonesia

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku juga memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Perjanjian dibuat dalam bentuk tertentu berupa formulir yang sudah tercetak

2) Formulir itu dipersiapkan terlebih dahulu dan diperuntukkan kepada setiap orang tanpa perbedaan

3) Isi perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki kekuatan posisi ekonomi

4) Pihak yang mengikatkan diri terhadap formulir itu tidak mempunyai kebebasan mengubah kehendak pihak yang lain

5) Adanya suatu kepentingan yang sangat dibutuhkan oleh pihak yang posisi ekonominya lemah

6) Pengaturan hak dan kewajiban yang tidak seimbang.128

3. Macam-macam Perjanjian Baku

Klausula baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu :129

a. Perjanjian Baku Sepihak. Merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai kedudukan ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian kerja kolektif.

b. Perjanjian Baku yang Ditetapkan oleh Pemerintah. Merupakan perjanjian yang mempunyai objek berupa hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan

127Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 6-8.

128Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 95. Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman - III.

Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.

c. Perjanjian Baku yang Ditentukan di Lingkungan Notaris atau Advokat. Merupakan perjanjian yang sudah sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat yang bersangkutan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman berdasarkan segi terjadinya maupun berlakunya perjanjian-perjanjian standard dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Perjanjian baku (standard) umum

Perjanjian standard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur (seperti perjanjian kredit bank) kemudian diberikan pada debitur. Dari segi formal debitur menyetujuinya, akan tetapi dari segi materil debitur “terpaksa” menerimanya. Adanya persesuaian kehendak adalah fiktif.

b. Perjanjian baku (standard) khusus

Perjanjian standard khusus dinamakan terhadap perjanjian standard yang ditetapkan Pemerintah, baik adanya dan berlakunya perjanjian tersebut untuk para pihak ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah dilihat dari bentuknya sebagai perjanjian, maka seakan-akan terdapat unsur konsesualisme, akan tetapi sebenarnya tidak ada.130

Menurut Mariam Daruz Badrulzaman, perjanjian baku dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu :

1. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.

2. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur).

130Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 1. Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman - IV.

Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kollektip.

3. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, lihatlah misalnya formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, berupa antara lain akta jual beli, model 1156727, akta hipotik model 1045055 dan lain sebagainya. 4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokat

adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebutkan Contact model.131 Berdasarkan macam-macam perjanjian baku yang telah dikemukakan di atas maka perjanjian baku yang dilakukan oleh pengusaha dan konsumen didalam perjanjian kerja sama disini merupakan jenis perjanjian baku sepihak, karna isi dari perjanjian tersebut telah ditentukan oleh pengusaha dan di dalam perjanjian tersebut terdapat ketidakseimbangan dari para pihak dalam membuat perjanjian tersebut sehingga memunculkan adanya klausul eksonerasi atau klausul pembebasan (tanggung jawab) dari pada pelaku usaha yang tertera di dalam perjanjian baku tersebut.

C. Faktor Yang Menyebabkan Bentuk Perjanjian Baku Yang Melanggar

Dokumen terkait