• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK

DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DAN/ATAU

BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh

A. Pengertian Jual Beli Tanah dan Bangunan

Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah itu berpindah kepada yang menerima penyerahan).44

UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual beli tanah, tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agraria kita sekarang ini memakai sistem dan azas-azas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual, yaitu menurut pengertian hukum adat.45

Di dalam Pasal 1457 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan dan juga dalam Pasal 1458 KUHPerdata disebutkan “Jual Beli dianggap

44

Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Pandang Praktisi

Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hal. 1.

45

telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.46

Buku III KUHPerdata berjudul perihal perikatan (Verbintenis), ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

Perjanjian atau perikatan secara hukum masuk ke wilayah hukum keperdataan karena mengatur kepentingan-kepentingan perorangan, dan mendapat pengaturannya dalam Buku III KUHPerdata.

47

Sebenarnya istilah perikatan dalam KUHPerdata sendiri mempunyai arti lebih luas dari sekedar perjanjian, karena dalam Buku III KUHPerdata, selain diatur mengenai perikatan-perikatan yang timbul karena adanya persetujuan/perjanjian, juga diatur mengenai perikatan-perikatan yang timbul karena Undang-Undang. Perikatan yang timbul karena Undang-Undang, misalnya perikatan yang timbul karena adanya perbuatan yang melanggar hukum (Onrechtmatige daad) dan perikatan yang timbul karena perbuatan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan

(Zaakwaarneming). Sebagian besar Buku III KUHPerdata ditujukan untuk

perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian.48

46

R. Subekti, AnekaPerjanjian, Alumni, Bandung, 1977, hal. 1-2.

47

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Jakarta Intermasa, 2003, hal. 122.

48

Ibid. Subekti memberikan penjelasan bahwa perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.

Mengenai Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, ada dikenal dengan Perjanjian Bernama. Perjanjian Bernama yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. Selain dikenal dengan adanya perjanjian bernama ada juga perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu, dan ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi masing-masing pihak.49 Lebih dari itu, tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus Buku III KUHPerdata, tetapi pada umumnya juga dibolehkan menyampingkan peraturan yang termuat dalam Buku III KUHPerdata itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Buku III KUHPerdata itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri.50

Dengan adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maka hal itu telah menimbulkan hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang telah disepakati. Jadi Undang-Undang tidak mensyaratkan adanya bukti tertulis untuk sahnya suatu perikatan. Dengan tercapainya kata sepakat diantara para pihak saja, telah cukup bagi

Jadi Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap (Aanvullend recht), bukan hukum yang memaksa (Dwingend recht).

49

R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10.

50

perjanjian tersebut untuk mengikat dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi para pihak yang membuatnya.

Namun demikian perjanjian ini akan sangat lemah sifatnya, karena akan sangat tergantung dari itikad baik masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak yang berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi tidak memenuhi kewajibannya (prestasinya) kepada pihak lainnya dan menyangkal telah membuat perjanjian itu, atau menyatakan mengakui membuat perjanjian tetapi tidak sesuai seperti yang dituntut oleh lawannya, maka pihak yang menuntut pemenuhan prestasilah yang berkewajiban untuk membuktikkan tentang adanya janji tersebut.

Pengaturan pembuktian tentang adanya janji dalam pemenuhan prestasi diatur dalam Buku IV KUHPerdata ini kurang disetujui oleh Prof. Subekti, karena seharusnya pembuktian masuk dalam wilayah hukum acara, sedangkan KUHPerdata pada umumnya mengatur mengenai hukum materiil. Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa hukum acara sendiri dapat dibagi menjadi hukum acara formil dan hukum acara materiil, sedangkan peraturan mengenai alat-alat pembuktian termasuk dalam hukum acara materiil. Rupanya pembentuk Undang-Undang pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dilahirkan menganut pendapat ini. Sedangkan di Indonesia peraturan mengenai pembuktian telah dimasukkan dalam H.I.R. yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.51

51

Karena Undang-Undang menentukan pihak yang menuntutlah yang berkewajiban untuk membuktikkan haknya, sehingga karena itu untuk menjamin kepastian dipenuhinya prestasi dari masing-masing pihak yang membuat perjanjian diperlukanlah adanya suatu alat bukti dalam setiap perjanjian. Alat bukti tersebut menurut ketentuan Pasal 1866 bisa berupa: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan (surat) dapat dibedakan menjadi surat-surat akta dan surat-surat lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani. Sedangkan surat yang berbentuk akta masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

Akta otentik (akta resmi) ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut Undang-Undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut, sedangkan akta dibawah tangan (onderhand) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum.52

52

Ibid, hal. 179.

Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan akta resmi. Tetapi apabila tandatangan tersebut disangkal, maka sesuai ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata, pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akta tersebut. Sebaliknya dalam akta otentik, pihak yang

menyangkal tandatangannya pada suatu akta resmi diwajibkan untuk membuktikan bahwa tandatangan itu palsu, dengan kata lain pejabat umum yang membuat akta tersebut telah melakukan pemalsuan surat.

Kesaksian haruslah mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata kepala sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi, dan tidak diperbolehkan seorang saksi memberikan keterangan dengan cara menarik kesimpulan dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena yang berhak menarik kesimpulan adalah hakim. Pembuktian yang berupa kesaksian tidaklah sekuat pembuktian yang berupa tulisan, hal ini dapat kita simpulkan dengan adanya ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam praktek, seperti misalnya:

1. Seorang hakim tidaklah terikat untuk menerima dan mengambil sebagai bahan pertimbangan atas keterangan saksi dalam memutuskan suatu perkara, jadi hakim berhak untuk menerima atau tidak atas keterangan seorang saksi.

2. Pihak lawan berhak menolak seorang saksi yang diketahuinya mempunyai hubungan kekeluargaan yang sangat erat dengan pihak yang berperkara.

3. Seseorang berhak untuk menolak menjadi saksi.

4. Selanjutnya Undang-Undang menetapkan bahwa keterangan satu orang saksi tidaklah cukup.

Persangkaan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang nyata ini dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga sudah terjadi. Dalam hukum

pembuktian terdapat dua persangkaan, yaitu persangkaan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan persangkaan oleh hakim.

Sedangkan mengenai pengakuan, menyatakan suatu pengakuan yang dilakukan di depan hakim merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui, sehingga harus diterima oleh seorang hakim sesuai seperti apa yang ternyata dalam pengakuan ini. Menurut penilaian Prof. Subekti, pendapat Undang-Undang ini tidaklah sesuai dengan uraian mengenai pembuktian yang berupa kesaksian. Dalam pembuktian yang berupa pengakuan di depan hakim, seorang hakim haruslah menerima, atau dengan kata lain terpaksa untuk menerima dan menganggap suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi. Sedangkan dalam kesaksian hakim bebas untuk menerima atau tidak menerima atas keterangan seorang saksi.

Alat pembuktian yang terakhir menurut Undang-Undang adalah sumpah, dimana sumpah ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumpah yang menentukan (Decissoire eed) dan sumpah tambahan (Supletoir eed). Istilah tersebut juga dikenal dengan sumpah Promissoir yaitu sumpah untuk berjanji menentukan sesuatu dan sumpah Assertoir yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu benar demikian atau tidak.53

53

Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, hal. 179.

Sumpah yang menentukan adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada

pihak lawannya dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Apabila pihak yang diperintahkan bersedia mengangkat sumpah dengan perumusan sumpah yang disusun oleh pihak lawannya, maka ia akan dimenangkan oleh hakim. Tetapi bila ia menolak untuk mengangkat sumpah yang diperintahkan oleh lawannya dan mengembalikan kepada pihak lawannya untuk melakukan sumpah, ia dikalahkan oleh hakim. Sumpah tambahan adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang berperkara, apabila hakim itu berpendapat bahwa di dalam suatu perkara sudah terdapat permulaan pembuktian, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Jadi perbedaan prinsip antara sumpah yang menentukan (Decissoire eed) dan sumpah tambahan

(Supletoir eed) adalah sumpah yang menentukan (Decissoire eed) diperintahkan oleh

pihak lawan dan yang diperintahkan mempunyai hak untuk mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak lawan, sedangkan sumpah tambahan (Supletoir eed) diperintahkan oleh hakim dan yang diperintahkan tidak mempunyai hak mengembalikan sumpah54

Dari ke lima macam alat pembuktian yang telah diuraikan tersebut, pembuktian dengan suatu akta memang suatu cara pembuktian yang paling utama, maka dapatlah dimengerti mengapa pembuktian dengan tulisan ini oleh Undang disebutkan sebagai cara pembuktian nomor satu dan demikian itu Undang-Undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat penting,

.

54

mengharuskan pembuktian suatu akta.55

Suatu akta otentik merupakan alat pembuktian berupa suatu surat berbentuk akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut Undang-Undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut, sedangkan akta di bawah tangan (onderhand) ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Pegawai umum yang dimaksud dapat berupa: PPAT, hakim, jurusita, pegawai catatan sipil dan lain sebagainya.

Ketentuan Pasal 617 KUHPerdata, yang mengharuskan penjualan, penghibahan, pembagian, pembebanan atau pemindahtanganan benda tidak bergerak dibuat dalam bentuk akta otentik atas ancaman kebatalan. Sedemikian pentingnya pembuktian berupa akta otentik pada terjadinya pengalihan benda tidak bergerak tersebut, hingga oleh Undang-Undang diberikan ancaman batal bagi pihak-pihak yang tidak mengindahkannya. Apabila suatu perbuatan dilaksanakan dengan pembuatan akta otentik, maka menurut Pasal 1870 KUHPerdata telah memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.

55

Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.

Jadi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu akta otentik adalah: 56 1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu. 2. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang.

3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta itu ditempat di mana akta itu dibuatnya.

Suatu akta otentik haruslah mempunyai bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang. Namun apabila syarat ini tidak terpenuhi, akta yang bersangkutan tidaklah menjadi batal, akan tetapi akan kehilangan sifat otentiknya, karenanya akan berlaku sebagai akta di bawah tangan. Apabila hal itu sampai terjadi pada jual beli atas benda tidak bergerak Pasal 617 KUHPerdata memberikan ancaman kebatalan.

Pejabat umum yang membuat suatu akta otentik haruslah mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu:57

1. Kewenangan sepanjang menyangkut jenis akta yang dibuatnya. Tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan Undang-Undang.

2. Kewenangan sepanjang menyangkut orang-orangnya, untuk siapa akta tersebut dibuat. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, memberikan larangan bagi Notaris untuk membuat akta-akta yang memberikan suatu hak dan atau keuntungan bagi:

a. Notaris, isteri atau suami Notaris. b. Saksi, isteri atau suami Notaris.

c. Orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi baik hubungan darah dalam garis lurus keatas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.

56

Lumban, Tobing, G.H.S, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, cet. Ke 3, Erlangga, Jakarta, 1983, hal. 48.

57

3. Kewenangan sepanjang menyangkut tempat dimana akta tersebut dibuat. Notaris hanya berwenang untuk membuat akta di dalam wilayah jabatannya.

4. Kewenangan sepanjang mengenai waktu pembuatannya. Notaris hanya berwenang membuat akta selama memangku jabatannya, selama diangkat, selama cuti dan setelah pensiun atau dipecat dari jabatannya tidak berwenang lagi membuat akta.

Dalam hal pelaksanaan untuk melakukan jual beli, maka para pihak seperti penjual dan pembeli harus memenuhi syarat-syarat untuk terjadinya suatu perjanjian jual beli. Adapun syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

a. Kesepakatan para pihak

Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihak (overeenstemende Wilsverklaring), dan persetujuan kehendak itu sendiri adalah kesepakatan. Sepakat berarti telah terjadinya kesepakatan antara para pihak terlebih dahulu terhadap hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan antara para pihak tersebut. Kesepakatan tersebut terjadi secara timbal balik di mana pihak yang satu menyetujui dan mengetahui isi dari maksud perjanjian tersebut begitu sebaliknya.

b. Kecakapan untuk berbuat sesuatu

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata.

Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap”.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, hal ini mempunyai arti bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sistem Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia menghendaki kepada para Notaris untuk memperhatikan bahwa ada beberapa subjek-subjek hukum yang karena Undang-Undang dibatasi penggunaan haknya dalam lalu lintas hukum. Oleh karena itu tidak semua subjek hukum yang datang menghadap ke kantor Notaris adalah cakap dan dapat dilayani untuk pembuatan akta-akta Notaris.

Orang-orang yang menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:58

1. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros.

3. Orang-orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.

58

Lihat Pasal 1330 KUHPerdata jo Pasal 433 KUHPerdata jo Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa, dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu Undang-Undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, berupa prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian. Sebagai syarat yang ketiga ini untuk sahnya suatu perjanjian adalah perjanjian itu harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan.

Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perselisihan itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi hukum.59

59

d. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk sahnya perjanjian sering juga disebut dengan oorzaak (bahasa belanda) dan cause (bahasa latin).

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.60

Dua syarat yang pertama disebut syarat-syarat subjektif karena mengenai pihak-pihak atau subjek yang terdapat dalam suatu perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek hukum yang dilakukan.61

Perlu untuk dijelaskan bahwa yang dimaksud sebab yang halal disini adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab tersebut merupakan sebab yang halal mempunyai arti bahwa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku di samping tidak menyimpang dari norma-norma ketertiban dan kesusilaan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Dalam jual beli pada umumnya, yang menjadi sebab perjanjian adalah

60

Ibid.

61

di satu pihak (pembeli) ingin mendapatkan barangnya dan di pihak lain (penjual) berkeinginan untuk mendapatkan uangnya.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi dalam pasal ini terkandung 3 (tiga) macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, dan asas pacta sun

servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas

kepribadian.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini megandung pengertian bahwa semua orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun juga, bebas menentukan isi dan syarat-syarat dari perjanjian tersebut, bebas menentukan bentuk perjanjian, dan bebas juga menentukan pada hukum mana perjanjian yang dibuat itu akan ditundukkan

b. Asas Konsensualisme

Asas ini merupakan suatu persetujuan yang dibuat secara sah dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pasal ini erat hubungannya dengan Pasal 1370 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian yang pertama yaitu sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya.

c. Asas Pacta Sun Servanda

Asas ini berlaku dengan adanya akibat dari perjanjian yang dibuat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya

d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang hendak dilakukan harus dilaksanakan dengan rasa itikad baik.

Menurut Subekti, pengertian Itikad Baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subjektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata (pengertian objektif).62

e. Asas Kepribadian

Dalam Hukum Benda, itikad Baik artinya kejujuran atau bersih, sedangkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata pengertian Itikad Baik adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

Asas ini terkandung dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 KUHPerdata disebutkan bahwa pada

Dokumen terkait