• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)

A. Peran PPAT Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris

Setiap Transaksi Jual Beli Tanah dan Bangunan

Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menjelaskan kewenangan seorang Notaris dan menyatakan bahwa:

“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, tentang Jabatan Notaris pada tanggal 6 Oktober 2004, ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai Notaris yang berlaku sebelumnya, yaitu:

1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stb. 1860: 3) sebagaimana

telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101. 2. Ordonansi 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris.

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700).

4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Berita Negara Nomor 4379).

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/janji Jabatan Notaris.

Secara tegas dinyatakan tidak berlaku lagi.83

Bagian umum penjelasan tersebut juga diuraikan bahwa akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan Menurut Penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa: Negara Indonesia adalah Negara hukum, yang menjamin adanya kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Dalam hukum nasional alat bukti yang terutama adalah alat bukti tertulis, dan untuk menjamin adanya kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan alat bukti tertulis yang berupa akta otentik agar dapat menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat.

83

Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU Nomor 30 Tahun 2004, Ketentuan Penutup.

dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik semakin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, dapat diciptakan kepastian dan sekaligus pula diharapkan dapat dihindari terjadinya sengketa atau kalaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, maka dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan Perundang- undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh Peraturan Perundang-undangan, tetapi juga karena dikhendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.84

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 38 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dimaksud dengan Akta Notaris adalah Akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara

84

yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu setiap Akta Notaris terdiri atas: Awal Akta, Badan Akta dan Akhir Akta.

Akta yang dibuat oleh Notaris harus dibacakan dihadapan para penghadap, para saksi sebelum ditandatangani oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris.

Peraturan tentang jabatan PPAT di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1998, Pasal 1 angka (1) (Diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746) Tentang PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta- akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

PPAT pada umumnya adalah Notaris. Berkaitan dengan fungsi Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dalam bidang hukum, namun demikian berdasarkan kebutuhan maka pemerintah menunjuk beberapa pejabat lain sebagai PPAT khusus. Hal ini diatur di dalam Pasal (1) angka (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1998 tentang PPAT.

Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Menurut A.P. Parlindungan, PPAT Sementara ini adalah Camat atau Kepala Desa tertentu untuk melaksanakan tugas PPAT, karena di daerah tersebut belum cukup PPAT.85

85

A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, CV. Mandar Madju, Bandung, 1999, hal. 177.

PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta untuk perjanjian- perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. Yang dapat diangkat menjadi PPAT ialah:86

a. Notaris.

b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Direktorat Jenderal Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Peraturan-peraturan Pendaftaran Tanah dan Peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah. c. Para pegawai pamong praja yang pernah melakukan tugas seorang PPAT. d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh

Direktorat Jenderal Agraria.

Dasar hukum dari kewenangan Notaris selaku PPAT dalam melakukan Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut sebelum dilakukan transaksi atas tanah tersebut antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

86

Efendi Perangin, SH., Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi Hukum, Ed.1 Cet. 4, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 3-4.

Peran PPAT dalam melindungi para pihak terhadap pelaksanaan jual beli tanah dan/atau bangunan adalah dengan melakukan pemeriksaan sertifikat (cek bersih) sebelum ditandatanganinya akta oleh para pihak. Secara Materiil kewenangan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut terletak pada Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat, sedangkan PPAT hanya secara formil saja yakni melakukan pemeriksaan sertifikat ke Kantor Badan Pertanahan Nasional. Jadi pada intinya pemeriksaan sertifikat tersebut telah bersih atau tidak, bukan merupakan hak dari PPAT tetapi merupakan hak dari BPN yang menentukan apakah sertifikat tersebut bersih dengan arti tidak terdapat silang sengketa maupun terikat suatu hak tanggungan pada bank. Pentingnya pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan suatu hal yang diharuskan, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan para pihak-pihak maupun pihak ketiga. Hal ini dilakukan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum terhadap keadaan dari tanah yang akan diperjanjikan tersebut. Hal tersebut sangat penting untuk menghindari agar pihak yang akan mendapatkan hak berupa tanah dari obyek jual beli tanah tersebut tidak mendapatkan masalah atau kerugian dari tanah yang dimilikinya tersebut.

Sementara itu, berkenaan dengan tata cara pembuatan akta jual beli tanah dan/atau bangunan dikaitkan dengan ketentuan perpajakan, seorang PPAT tunduk kepada ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB di mana akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani apabila telah melunasi SSB, diserahkan kepada PPAT bersangkutan, serta menyerahkan satu lembar fotocopy dari SSB tersebut. Apabila pembeli sebagai

wajib pajak tidak membayar BPHTB maka secara otomatis akta jual beli secara PPAT tidak dapat dilaksanakan.

Dalam hal peran PPAT terhadap pembayaran pajak adalah memberitahukan kepada wajib pajak agar segera melakukan pembayaran pajak supaya akta jual belinya dapat dilakukan, dan sebagai seorang PPAT kita juga dapat membantu para klien untuk membayar pajaknya apabila para klien tidak mengetahui tata cara pembayaran pajak tersebut atau awam mengenai perpajakan.87 Pembayaran Pajak tersebut sebenarnya memang kewajiban dari masing-masing wajib pajak tapi pada kenyataannya para PPAT yang membantu melakukan pembayaran pajak seperti yang dikemukakan oleh seorang PPAT, bahwa itu adalah merupakan fee tanpa ada pungutan lain dalam hal membantu pembayaran pajak itu, tetapi ada juga yang para wajib pajak yang hanya tidak bisa mengisi formulir pembayaran pajak tersebut, dan PPAT hanya membantu melakukan pengisian formulir tetapi pembayaran dilakukan oleh wajib pajak tersebut.88

Disinilah peranan PPAT muncul untuk memberikan informasi sekaligus sebagai “First Gate” (Gerbang Pertama) dalam pengamanan penerimaan BPHTB

Keterkaitan PPAT dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB, telah dijelaskan sebagai pejabat umum yang mengesahkan terjadinya transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan di mana disyaratkan agar sebelum menandatangani akta dipenuhi segala syarat-syarat termasuk di dalamnya pembayaran pajak-pajak.

87

Tjong Deddy Iskandar, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008.

88

sebelum melakukan Akta Jual Beli. Pada tahap ini PPAT harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang bentuk-bentuk pajak yang akan dikenakan kepada para pihak pada setiap transaksi peralihan hak atas tanah, pihak penjual dan pihak pembeli masing-masing mempunyai kewajiban dalam hal pembayaran pajak. Untuk Pihak penjual menanggung PPh yaitu sebagai konsekwensi dari penghasilan yang ia peroleh atas dasar pemindahan haknya sedangkan bagi pihak pembeli diwajibkan membayar BPHTB dari hak yang ia peroleh.

Seorang PPAT mempunyai tanggung jawab yang besar selain memastikan para pihak untuk melakukan pembayaran pajak sebelum akta jual beli tersebut dilakukan, maka seorang PPAT harus juga melakukan pengecekan/pemeriksaan terhadap sertifikat hak atas tanah. Dasar hukum dari kewenangan PPAT dalam melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang PPAT dalam melaksanakan tugasnya apabila adanya pengalihan hak atas tanah sebelum diadakan atau dilaksanakannya pengalihan hak atas tanah tersebut dibuat dalam akta otentik maka harus dilakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 3 Tahun 1997.

Kewenangan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah pada Kantor Pertanahan setempat adalah didasarkan kepada kewenangan PPAT tersebut dalam pembuatan akta. Pentingnya pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan suatu hal

yang diharuskan, hal ini guna mengetahui bahwa objek tanah tersebut bebas dari silang sengketa maupun tidak terikat hak tanggungan pada suatu bank.

Sementara itu, dasar hukum sebelum dipergunakan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas untuk kewenangan PPAT dalam melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah adalah hanya bersifat umum yang secara tersirat dapat dikatakan merupakan tanggung jawab moril dari seorang pejabat umum dalam membuat suatu akta otentik seperti:

1. Berdasarkan KUHPerdata yaitu dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang akta otentik.

2. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 No. 3 jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bahwa jika tahapan pembuatan akta tidak dapat dilakukan sebelum pemeriksaan sertifikat hak atas tanah tersebut dilakukan. Ketentuan yang demikian terlihat jelas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 3 Tahun 1997 yang menyebutkan: 1. Sebelum Melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan

hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, Notaris/PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertifikat asli.

2. Pemeriksaan sertifikat hak atas tanah yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap pembuatan akta oleh Notaris/PPAT dengan ketentuan bahwa untuk pembuatan akta pemindahan hak atau pembebanan hak atas bagian-bagian tanah hak induk dalam rangka pemasaran hasil dan pengembangan oleh perusahaan real estat, kawasan industri dan pengembangan sejenis, cukup dilakukan pemeriksaan

sertifikat induk 1 (satu) kali, kecuali apabila Notaris/PPAT yang bersangkutan menganggap perlu dilakukan pemeriksaan sertifikat ulang.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas mengenai Pasal 97 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) tersebut, maka terlihat dengan jelas bahwa hal tersebut telah memberikan kewenangan kepada PPAT untuk melakukan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah jika PPAT tersebut melakukan pembuatan akta Jual Beli.

B. Prosedur dan Syarat-Syarat Pembayaran PPh dan BPHTB

Pembayaran PPh dilakukan oleh Wajib Pajak ke Kas Negara dengan menggunakan SSP melalui Bank Persepsi atau Bank yang melayani pembayaran Pajak Penghasilan tersebut sebelum akta pengalihan hak atas tanah dan bangunan ditandatangani oleh dan dihadapan PPAT. Demikian halnya dengan pembayaran pajak atas BPHTB dilakukan oleh wajib pajak ke kas negara dengan menggunakan SSB.

Suatu Perolehan hak atas tanah dan bangunan pada dasarnya hasil dari proses peralihan hak. Hal ini dapat terjadi karena dua hal yaitu beralih dan dialihkan. Yang dimaksud dengan dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemilik asalnya dan menjadi milik pihak lain. Dengan kata lain terjadinya karena adanya suatu perbuatan hukum tertentu, seperti wasiat, hibah, jual beli, tukar menukar dan hibah wasiat.89

89

Subjek dalam peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah orang pribadi (nature person) atau badan (legal person). Orang pribadi atau badan yang dimaksud di sini bisa berkedudukan sebagai pembeli atau penjual. Bagi pembeli dikenakan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterimanya yaitu BPHTB sedangkan bagi penjual dikenakan PPh atas penjualan tanah.

Sedangkan objek pajak pembeli adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB Bagi pihak penjual maka yang menjadi objek adalah penghasilan yang diperoleh penjual atas tambahan ekonomi yang diterimanya dalam hal terjadinya peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

PPh atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 (diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa atas penghasilan-penghasilan tertentu penanganan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Atas Penghasilan berupa penghasilan dari pengalihan berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.

Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dibedakan: 1. Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan oleh pribadi.

2. Pengalihan Hak oleh wajib pajak badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (wajib pajak real estat). 3. Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang dilakukan oleh wajib

pajak badan diluar usaha pokoknya.

Untuk melakukan pembayaran PPh, terlebih dahulu harus mengisi formulir SSP dengan mencantumkan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari wajib pajak yang mengalihkan hak serta mencantumkan lokasi tanah dan/atau bangunan serta nama pembeli. Bagi Wajib Pajak yang belum mempunyai NPWP, maka dalam SSP dicantumkan NPWP sebagai berikut: Bagi Wajib Pajak Badan diisi 01.000.000.0.XXX.000, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi diisi 04.000.000.0.XXX.000 dimana XXX adalah kode kantor pelayanan pajak tempat pihak yang mengalihkan berdomisili.

Tata cara pembayaran PPh dalam hal Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dilakukan dengan cara:

1. Mengisi SSP yang biasanya sudah tersedia di kantor PPAT dan biasanya dalam pengisian dibantu oleh para pegawai PPAT. Formulir SSP ini terdiri dari 5 (lima) rangkap, yaitu:

a. Lembar pertama : untuk arsip wajib pajak

b. Lembar kedua : untuk kantor pelayanan pajak (KPP) melalui KPKN c. Lembar ketiga : untuk dilaporkan oleh wajib pajak ke KPP

d. Lembar keempat : untuk Bank Persepsi/kantor pos dan giro. e. Lembar kelima : untuk arsip wajib pungut atau pihak lain

2. Setelah SSP diisi oleh wajib pajak, maka wajib pajak membayar sendiri atau biasanya dalam melakukan pembayaran PPh tersebut dapat juga dibantu oleh petugas PPAT ke tempat pembayaran yang ditunjuk. Hal ini disebabkan para klien biasanya ingin penyelesaiannya sekaligus dengan pembuatan akta. Mengenai tempat pembayaran biasanya dilakukan di: a. Bank Persepsi, yaitu Bank Pemerintah dan Bank Swasta devisa yang

ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran pajak dari wajib pajak.

b. Kantor Pos dan Giro.

c. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

Dalam pengenaan PPh berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000 dan peraturan pelaksanaannya, dasar pengenaan pajak dalam peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, bagi pihak penjual adalah jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Besarnya PPh sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 adalah sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah/atau bangunan. Sedangkan mengenai besarnya tarif PPh yang dikenakan terhadap pihak penjual yang melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 sebesar 5 % (lima persen) dari nilai bruto pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Cara menghitung PPh:

PPh = Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) X Tarif = Nilai Jual Bruto X 5 %

Cara menghitung BPHTB:

BPHTB = (Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) X tarif

= (NPOP – NPOPTKP) X 5 %

Tarif pajak BPHTB yang dikenakan terhadap orang pribadi/badan yang mengalihkan tanah dan bangunan adalah 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dikurangkan terlebih dahulu dengan NPOPTKP.90

(KPPBB) melalui Bank/Kantor Pos Operasional V. Tata cara pembayaran pajak atas BPHTB dalam hal Peralihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan dilakukan dengan cara:

1. Mengisi SSB yang biasanya sudah tersedia di kantor PPAT dan biasanya dalam pengisian dibantu oleh para pegawai PPAT. Formulir SSB ini terdiri dari 6 (enam) rangkap, yaitu:

a. Lembar pertama : untuk wajib pajak sebagai bukti pembayaran. b. Lembar kedua : untuk kantor pelayanan pajak Bumi dan Bangunan

90

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

c. Lembar ketiga : untuk KPPBB disampaikan oleh wajib pajak.

d. Lembar keempat : untuk kantor penerimaan pembayaran (Bank/Kantor Pos Persepsi).

e. Lembar kelima : untuk PPAT/Notaris, Kepala Kantor Lelang/Pejabat Lelang, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. f. Lembar keenam : untuk Dipenda Kota Medan.

2. Setelah Surat Setoran BPHTB diisi oleh wajib pajak, maka wajib pajak membayar sendiri atau biasanya dalam melakukan pembayaran pajak BPHTB tersebut dapat juga dibantu oleh petugas PPAT ke tempat pembayaran yang ditunjuk. Hal ini disebabkan para klien biasanya ingin penyelesaiannya sekaligus dengan pembuatan akta. Mengenai tempat pembayaran biasanya dilakukan di Bank Persepsi, yaitu Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran pajak dari wajib pajak

Mengenai besarnya tarif PPh yang dikenakan terhadap pihak penjual yang melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 sebesar 5 % (lima persen) dari Nilai Bruto Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Sedangkan untuk BPHTB berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah NJOP.

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditentukan sebesar: i. Harga transaksi, dalam hal jual beli.

ii. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), apabila besarnya NJOP sebagaimana dimaksud tidak diketahui atau NJOP lebih rendah daripada NJOP PBB.

Jadi pada dasarnya PPh dan Pajak BPHTB saling berkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam hal peralihan hak atas tanah dan bangunan karena sebelum melakukan perbuatan hukum dalam Akta Jual Beli dihadapan PPAT, kedua pajak tersebut harus telah lunas dibayar oleh wajib pajak, sehingga wajib pajak dapat memperlihatkan fotocopi pembayaran pajak tersebut sebagai bukti bahwa telah dilakukan pembayaran atas kedua pajak tersebut.

Dokumen terkait