• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metodologi Penelitian

badan dengan mengeluarkan ketetapan pajak, yang merupakan bukti timbulnya suatu utang pajak. Jadi, dalam sistem ini para wajib pajak bersifat Pasif dan menunggu ketetapan fiskus mengenai utang pajaknya.

2. Semi Self Assessment System

Semi Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana

wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang dari wajib pajak berada pada kedua belah pihak, yaitu wajib pajak dan fiskus.14

3. Withholding System

Mekanisme pelaksanaan dalam sistem ini berdasarkan suatu anggaran bahwa wajib pajak pada awal tahun menaksir sendiri besarnya utang pajak terutang yang sesungguhnya ditetapkan oleh fiskus.

Penerapan Semi Self Assessment System bersama-sama dengan Withholding

System, yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan tata cara Menghitung Pajak

sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang (MPO) dilaksanakan pada periode 1968-1983.

15

Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana pihak

ketiga memungut dan menyetorkan pajak ke kas negara atas nama wajib pajak, kewenangan tersebut diatur dalam peraturan pajak. Sehingga pada prinsipnya

14

Rimsky K. Judisseno, Perpajakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal 3.

15

Withholding System telah diatur dalam Undang-Undang Perpajakan dengan tarif yang

pasti besarnya dan pembayarannya dapat sebagai angsuran pajak atau bersifat final. 4. Self Assessment System16

a. Teori Asuransi

Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana wajib

pajak menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan. Penekanannya adalah wajib pajak harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus.

Sistem ini diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Dengan menyadari kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan sistem tersebut di atas, maka pada umumnya menggunakan Self

Assessment System.

Selain dikenal dengan adanya sistem pemungutan pajak, juga ada teori pemungutan pajak, yaitu:

Dimana teori ini menjelaskan bahwa Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.17

b. Teori Kepentingan

16

Mardiasmo, Op.Cit, hal 8.

17

Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Semakin besar kepentingan yang harus dilindungi, maka pajak yang dibayarnyapun lebih besar. Teori asuransi dan Teori Kepentingan banyak ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan sifat hukum pajak itu sendiri, yaitu tidak ada imbalan yang langsung dapat ditunjuk.

c. Teori Daya Pikul

Menurut Rimsky K. Judisseno, teori daya pikul merupakan pembebanan pajak itu harus sama beratnya untuk setiap orang sesuai dengan daya pikulnya masing-masing.18

d. Teori Asas Daya Beli

Bahwa pajak yang dipungut merupakan usaha untuk menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara, yang kemudian sebagai balasannya negara akan menyalurkannya kembali dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

“Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil daya beli masyarakat untuk rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara, dan kemudian menyalurkannya kembali

18

Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjuan tentang Kepastian Hukum

kepada masyarakat dengan maksud memelihara dan untuk membawanya kearah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu demikian pula bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. 19

e. Teori Bakti

Penekanan teori ini terletak pada negara yang mempunyai hak untuk memungut pajak dari warganya sebagai tindak lanjut teori kepentingan dalam hal penyediaan fasilitas umum yang diselenggarakan oleh Negara, maka dengan pajak inilah masyarakat dapat menunjukkan salah satu baktinya kepada Negara.20

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, tidak secara eksplisit mengatur secara tegas kewajiban PPAT untuk menjamin kepastian tanggal dari akta yang dibuat dihadapannya, tetapi apabila memperhatikan bagian menimbang, definisi, tugas dan kewenangan pejabat pembuat akta tanah pada peraturan pemerintah tersebut sebagaimana di bawah ini :21

19

R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Eresco Bandung, 1995, hal 35-36.

20

Op.Cit, hal. 10.

21

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat

a. Bagian menimbang huruf b :

Bahwa dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah telah ditetapkan jabatan PPAT yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran.

b. Bab I, ketentuan umum, Pasal 1 butir (1) :

Pejabat pembuat akta tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

c. Bab II, tugas pokok dan kewenangan PPAT, Pasal 2 ayat (1) :

PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Dalam ketiga ketentuan tersebut disebutkan PPAT diberikan kewenangan untuk membuat alat bukti yang berupa akta otentik. Mengenai istilah dari akta otentik sendiri dapat diperoleh dari Pasal 1870 KUHPerd, yang menjelaskan bahwa akta otentik memberikan diantara para pihak, beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.22

Pasal 1868 KUHPerd menjelaskan maksud dengan : 22

Soegondo, Notodisurjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Edisi 1, Cetakan 2 PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1993, hal. 8.

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya.”

Sejak 1961, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1961, Notaris tidak lagi berhak membuat perjanjian pemindahan hak atas tanah. Wewenang itu selanjutnya diberikan kepada PPAT yang khusus diangkat oleh dahulu Menteri Agraria, sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional (yang selanjutnya disingkat dengan BPN), dan para camat yang juga diberikan wewenang sebagai PPAT. Para Notaris pada umumnya juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.23

23

Ibid, hal. 9.

Apabila ini terjadi, akta jual beli yang dibuat oleh Notaris tersebut akan menjadi cacat hukum dalam pembuatannya, karena pemindahan hak atas tanah yang ada haknya adalah merupakan kewenangan dari PPAT. Dalam hal ini akta yang dibuat oleh Notaris tersebut akan kehilangan otentiknya dan dapat merugikan para pihak. Istilah akta jual beli PPAT yang dikenal dalam masyarakat luas, secara hukum mempunyai pengertian berupa alat bukti bahwa telah dibuat perikatan berdasarkan perjanjian jual beli atas tanah dan/atau bangunan oleh para pihak, pembuktian telah dibuatnya perikatan tersebut berupa akta yang dibuat oleh pejabat tertentu yang oleh peraturan perundangan diberi kewenangan untuk itu, yaitu PPAT.

Pasal 1320 KUHPerd, mengandung unsur-unsur dari perikatan yang timbul dari perjanjian, yaitu adanya: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Azas kebebasan untuk membuat perjanjian atau lazim kita kenal dengan azas kebebasan berkontrak ternyata dalam uraian Pasal 1338 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa setiap orang diberi hak untuk membuat perjanjian mengenai apapun dan dengan isi pengaturan yang bagaimanapun, asal saja tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu:24

1. Unsur Essentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan didalam suatu perjanjian.

2. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian, walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.

3. Unsur Accidentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa dengan memperhitungkan sah atau tidaknya suatu perjanjian tergantung dengan dipenuhinya Pasal yang termuat dalam 1320 KUHPerdata. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, Pasal 1338 KUHPerdata menetapkan bahwa:

24

a. Perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya, dalam arti sebagai lex Specialis, khusus bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

b. Pengakhiran suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan persetujuan para pihak atau karena Undang-Undang menyatakan telah berakhir.

c. Perjanjian harus ditaati oleh para pembuat perjanjian (pacta sun servada).

Dalam perjanjian yang berisi jual beli, Pasal 1457 KUHPerdata memberikan defenisinya, yaitu:

“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

R. Subekti25

Jual beli ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya

, perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak dinamakan menjual (verkoopt) sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli

(koopt). Itu adalah sesuai dengan istilah Belanda. istilah ini mencakup dua perbuatan

yang bertimbal balik.

Sesuai prinsip hukum Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat-syarat untuk terjadinya perjanjian jual beli, cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Khusus mengenai perjanjian yang bersifat jual beli ini, Pasal 1458 dan Pasal 1459 KUHPerdata mengatur bahwa:

25

belum dibayar. Namun hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut hukum. Jadi hak milik yang diperjual belikan baru dianggap beralih/berpindah kepada pembeli setelah dilakukan penyerahan atas barang tersebut dari penjual kepada pembeli.

Dengan demikian perjanjian jual beli harus diikuti oleh penyerahan barang agar terjadi peralihan kepemilikan atas barang yang diperjualbelikan. Pemilikan baru berganti setelah adanya pemindahan hak milik atas barang tersebut, yang ditandai oleh “penyerahan” barang tersebut.26

Perbedaan cara penyerahan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak, erat sekali kaitannya dengan kedudukan berkuasa (bezit) atas benda-benda tersebut. Menurut Pasal 1977 KUHPerd, Bezit ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda sebenarnya ada pada siapa. Bezit atas benda-benda bergerak berlaku sebagai titel yang sempurna, artinya barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Sedangkan

Bezit atas benda-benda tidak bergerak belum tentu adalah pemilik atas benda-benda

tersebut.27

Prof. Subekti menguraikan Pasal 1977 KUHPerdata secara lengkap, sebagai berikut:28

26

Sri Soedewi, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 67.

27

Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak yang Memberi Kenikmatan Jilid I, Cetakan Kedua, Ind. – Hil. Co, Jakarta, 2002, hal. 45.

28

“Bezit berlaku sebagai titel yang sempurna, dengan itu dimaksudkan bahwa siapa saja yang dengan jujur memperoleh suatu barang bergerak dari seorang

bezitter, seketika itu juga memperoleh hak milik atas barang itu.”

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep diartikan sebagai suatu konstruksi metal, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.29

Jual beli merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, sebagaimana itu dapat disimpulkan dari isi Pasal 1457 KUHPerd : Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam Jual beli senantiasa terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan. Dari sisi hukum kebendaan, jual beli menimbulkan hak bagi kedua belah pihak atas tagihan yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak, dan pembayaran harga jual pada pihak lainnya. Sedangkan dari sisi hukum perikatan, jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk

Dalam penelitian tesis ini, perlu kiranya didefenisikan beberapa pengertian tentang konsep-konsep dalam penelitian tesis ini.

Dalam pelaksanaan jual beli tanah dan/atau bangunan perlu kiranya terlebih dahulu memahami arti jual beli tersebut.

29

penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.30

30

Gunawan Widjaja; Kartini Muljadi, Jual Beli, Seri Hukum Perikatan, Ed.1, Cet. 2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 27.

Dalam pelaksanaan jual beli berarti telah terjadinya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang mengakibatkan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk melakukan pembayaran pajak. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari sisi penjual dan pembeli. Bagi pihak penjual dikenakan PPh yang diperoleh dari penjualan tanah dan/atau bangunan. Sementara itu bagi pihak pembeli dikenakan pajak yang berupa BPHTB. Dengan adanya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka dikenakan pajak atas pengalihan tersebut seperti dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000, dinyatakan bahwa atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam bidang perpajakan, menurut Pasal 1 ayat (2), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 tahun 1994, tanggal 27 Desember 1994, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1995, bahwa yang dimaksud pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:

a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.

b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.

c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.

Selain kewajiban pembayaran PPh yang dikenakan kepada pihak yang

memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pihak lawannya kepada siapa ia mengalihkan hak atas tanah dan bangunannya juga berkewajiban untuk membayar pajak yang berupa BPHTB. Kewajiban membayar pajak bagi penerima hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, yang diumumkan pada Lembaran Negara tahun 1997, Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688, diundangkan pada tanggal 29 Mei 1997. Semula Undang-Undang ini ditetapkan berlaku mulai 01 Januari 1998, tetapi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998, waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tersebut ditunda menjadi mulai berlaku 30 Juni 1998. Undang-Undang tersebut telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB yang mulai berlaku pada tanggal 01 Januari 2001.31

Pengertian PPh mengandung dua kata yang mempunyai pengertian disatukan satu sama lain. Yang pertama mengenai arti dari pajak adalah suatu kewajiban dari masyarakat untuk menyerahkan sebagian dana kepada negara dalam membiayai kepentingan umum serta keperluan negara lainnya, yang pelaksanaannya diatur oleh Undang-Undang. Kedua mengenai arti penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang-perorangan, badan atau bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan aktivitas ekonomi seperti mengkomsumsi dan/atau menimbun serta menambah kekayaan.

32

31

Muhammad Rusjdi, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, & Bea Materai, PT. Indeks, Jakarta, 2005, hal. 127.

32

Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis (Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum

dan Penerapan Akuntansi di Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal 9.

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tidak memberikan pengertian yang terperinci mengenai defenisi PPh, tetapi hanya memberikan pengertian dari objek PPh, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) (d) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yaitu:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk komsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dalam bentuk apapun, termasuk karena keuntungan, karena penjualan atau karena pengalihan harta…”

Jelas bahwa Undang-Undang ini menganut prinsip perpajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk komsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk membiayai kegiatan rutin, pembangunan dan kepentingan umum serta keperluan negara lainnya.

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan Perundang-undangan lainnya. Yang menjadi objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan yang meliputi jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah, pemberian hak baru karena pelepasan

hak, dan pemberian hak baru di luar pelepasan hak.33

1. Hak Milik

Hak atas tanah diatur dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 16 ayat (1) adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan Hak-hak lain yang tidak termasuk diatas akan ditetapkan dalam Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam Pasal 53. Yang menjadi objek BPHTB adalah: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Hak Pengelolaan.

Objek BPHTB yang disebutkan diatas merupakan pengenaan PPh dan BPHTB yang dapat dijabarkan lebih lanjut, yaitu:

Hak Milik adalah hak atas tanah yang sifatnya terpenuh, terkuat, turun temurun yang dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Hak Milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Hak Milik juga dapat dimiliki oleh badan-badan tertentu yang ditunjuk oleh Pemerintah, yang mempunyai fungsi sosial tanah. Penggunaan tanah Hak Milik oleh orang yang bukan pemiliknya dibatasi dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Hak Milik harus didaftarkan dan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (ikatan

33

Valentina Sri S., Aji Suryo, Perpajakan Indonesia, Seri Belajar untuk Mahasiswa Cet. I UPP MPP YKPN, Yogyakarta, 2003, hal. 2.

hipotik atau kredit verband). Semua warga negara Indonesia sama haknya untuk memiliki tanah Hak Milik tanpa memandang jenis kelamin dan ras.

2. Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak Guna Usaha hanya diberikan kepada orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan pertanian saja. Dalam hal peralihan HGU sebelum diperoleh hak atas tanah harus sudah dibayar BPHTB adalah sesuai dengan ketentuan UU BPHTB, akan tetapi sebaiknya pengenaan pajak BPHTB ini dikenakan setelah seseorang memperoleh hak atas tanah tersebut baru diwajibkan untuk membayar pajak BPHTB, karena dalam HGU belum terjadinya perolehan hak secara nyata yang dituabgkan dalam bentuk akta otentik, di mana seseorang masih sebatas mengunakan tanah dan belum adanya perolehan hak atas tanah tersebut. Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal

Dokumen terkait