• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1.3 Pengertian Sosialisasi Politik

2.1.3.2 Bentuk Sosialisasi Politik

Ramlan Surbakti mengemukakan bahwa dari segi penyampaian pesannya sosialisasi politik dibagi dua, yaitu:

1. Pendidikan politik, merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan, melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik, seperti sekolah pemerintah dan partai politik.

2. Indoktrinasi politik, proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa, sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum pengarahan yang penuh paksaan psikologis dan latihan yang penuh disiplin.

(Surbakti, 1992:117-118).

Berdasarkan pendapat di atas salah satu dari agen sosialisasi politik terdapat kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai tujuan untuk memobilisasi massa dengan cara memberikan pendidikan tentang politik mengenai nilai-nilai dan norma-norma politik. Harapan dari kelompok kepentingan adalah timbal balik dari masyarakat hasil yang telah mendapatkan pendidikan politik untuk dapat berpartisipasi dalam mendukung pergerakan politik dan tujuan utama dari

kelompok kepentingan yaitu memperoleh kekuasaan secara legitimasi dari masyarakat.

Miriam Budiardjo juga menyampaikan pelaksanaan dan fungsi sosialisasi politik, sebagai berikut:

“Pelaksanaan proses sosialisasinya dilakukan dengan berbagai cara yaitu

media massa, ceramah-ceramah, penerangan (pendidikan), kursus kader, penataran dan sebagainya. Sisi lain fungsi sosialisasi politik adalah upaya menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum”.

(Budiardjo, 2008:407).

Berdasarkan pendapat di atas maka proses dan fungsi sosialisasi penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilu karena itu partai harus memperoleh dukungan sebanyak mungkin dan partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya yaitu dengan mendidik masyarakat melalui pendidikan politik yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan bersama atas kepentingan nasional. Pendidikan politik yang diberikan secara continue sebagai wujud arahan-arahan pengetahuan baru masyarakat tentang politik dan pelaksanaannya baik dari pengalaman-pengalaman politik, sejarah politik dan lain sebagainya.

2.1.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sosialisasi Politik

Michael Rush dan Phillip Althoff berpendapat bahwa setiap keberhasilan suatu proses sosialisasi politik ditentukan oleh faktor lingkungan (kultural, politik dan sosial) dan keterkaitan unsur-unsur yang mempengaruhinya adalah sebagai berikut:

“Proses keberhasilan sosialisasi politik ditentukan oleh :

1. Agen sosialisasi politik, yang terdiri dari keluarga, pendidikan, media massa, kelompok sebaya, kelompok kerja, kelompok agama. Selain itu keberadaan kelompok kepentingan dan organisasi kemasyarakatan memberi pengaruh sebagai agen sosialisasi politik terhadap partisipasi masyarakat.

2. Materi sosialisasi politik, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap politik yang hidup di masyarakat.

3. Mekanisme sosialisasi politik, di bagi menjadi tiga yaitu imitasi, instruksi dan motivasi.

4. Pola sosialisasi politik proses yang terus berkesinambungan, untuk mengetahui proses sosialisasi, yang terdiri dari badan atau instansi yang melakukan proses sosialisasi, hubungan antara badan atau instansi tersebut dalam melakukan proses sosialisasi”.

(Rush & Althoff, 2013:35-40).

Berdasarkan pendapat di atas maka proses keberhasilan sosialisasi politik yaitu pertama, agen sosialisasi politik merupakan pihak yang melaksanakan sosialisasi politik. Agen sosialisasi merupakan pemeran utama dalam keberhasilan proses sosialisasi politik untuk menyebarkan atau menanamkan nilai-nilai dan norma norma yang terdapat dalam materi sosialisasi politik. Keberhasilan tersebut ditentukan oleh mekanisme yang terencana dan digambarkan dalam pola proses sosialisasi yang baik apabila proses-proses tersebut dapat tersusun, maka penyebaran informasi mengenai materi sosialisasi politik dapat dengan tepat disampaikan ke sasaran sosialisasi. Agen sosialisasi politik adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Agen sosialisasi politik tersebut antara lain:

a. Keluarga adalah agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan saudara kandung. (Sunarto, 2004:24). Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, adik, paman, bibi dan saudara lainnya merupakan agen pertama

dalam sosialiasi politik. Pernyataan tersebut diperinci oleh Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut:

“Melalui lingkungan itulah seseorang mengalami proses sosialisasi awal. Orang tua, saudara, maupun kerabat terdekat lazimnya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik supaya memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin dan kebebasan serta penyerasiannya”. (Soekanto, 2012:386).

Berdasarkan hal tersebut, maka keluarga memiliki peran utama dalam hal perhatian untuk menerapkan pendidikan moral dalam hidup dalam masyarakat sebagai unit terkecil.

b. Kelompok pendidikan adalah agen sosialisasi yang berada pada sistem pendidikan formal. Mempersiapkan untuk menguasaan peran-peran baru dikemudian hari, dikala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tuanya. (Sunarto, 2004:25). Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa pendidikan formal akan membentuk pengetahuan dan pengalaman baru seseorang. Pernyataan tersebut diperinci oleh Soerjono Soekanto, sebagai berikut:

“Pada taraf pendidikan formal tersebut, guru mempunyai peranan yang cenderung mutlak di dalam bentuk dan mengubah pola perilaku anak didik. Dengan demikian, hasil kegiatan guru tersebut akan tampak nyata pada kadar motivasi dan keberhasilan studi pada taraf itu, yang mempunyai berpengaruh yang sangat besar pada tahap-tahap pendidikan selanjutnya”. (Soekanto, 2012:391).

Berdasarkan hal tersebut, pendidikan formal akan mengubah perilaku seseorang dengan bentuk motivasi dan keberhasilan dalam pendidikan lainnya. c. Media massa adalah sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap

perilaku khalayaknya. Sunarto secara rinci menjelaskan tentang agen media massa sebagai berikut:

KEMUNGKINAN MEMPEROLEH DARI

MEDIA

PERHATIAN PENGGUNAAN MEDIA

(Susanto, 1992:163)

INFORMASI PARTISIPASI

POLITISASI KELUARGA

“Agen media massa ini merupakan bentuk peningkatan teknologi yang

memungkinkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerapan masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk

berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting”. (Sunarto,

2004:26).

Pemahaman tentang agen sosialisasi media massa oleh Light, Keller and

Calhoun dalam Sunarto diperinci kembali sebagai berikut, “Media massa yang terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, televisi, film, internet) merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau

sejumlah besar orang”. (Sunarto, 2004:26). Berdasarkan hal tersebut, maka media massa seperti koran, majalah, siaran televisi, internet dan lain sebagainya merupakan bentuk informasi yang kuat dalam masyarakat mengingat tampilan tiga dimensi dalam media massa dapat memberikan kesan adanya kualitas yang dapat meyakinkan masyarakat dalam hal sosialisasi.

Gambar 2.1

Peranan Media Dalam Proses Sosialisasi Politik

Berdasarkan bagan di atas pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi politik berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain, contohnya apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan dapat bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi yang lain misalnya partai politik dan

organisasi masyarakat tetapi yang menerima pesan dapat dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya, media massa, kelompok kerja bahkan kelompok agama.

d. Kelompok sebaya adalah seseorang belajar berinteraksi dengan orang yang sebaya dan sederajat. (Sunarto, 2004:25). Pada tahap ini seseorang memasuki tahap mempelajari aturan yang mengatur peran seseorang yang kedudukannya sederajat dalam kelompok ini seseorang mulai belajar nilai-nilai keadilan. e. Kelompok kerja adalah kelompok yang melakukan pekerjaan sejenis.

Kelompok kerja dapat dikategorikan sebagai kelompok okupasional. Soerjono Soekanto secara rinci menjelaskan tentang kelompok okupasional sebagai berikut:

“Kelompok okupasional merupakan kelompok yang terdiri dari orang -orang yang melakukan pekerjaan sejenis. Kelompok-kelompok semacam ini kemudian sangat besar peranannya di dalam mengarahkan kepribadian

seseorang (terutama yang menjadi anggotanya)”. (Soekanto, 2012: 126-127).

Berdasarkan hal tersebut, maka kelompok kerja merupakan kumpulan orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, dimana seseorang-orang dengan mudah untuk diarahkan kepada suatu keadaan yang diharapkan.

f. Kelompok agama adalah kelompok yang tumbuh berdasarkan rasa solidaritas pada sanak saudara, kerabat, agama, wilayah kelompok etnis dan pekerjaan. g. Kelompok kepentingan adalah agen sosialisasi dalam kelompok asosiasional

seperti Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), kelompok nonasosiasional seperti paguyuban pasundan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti organisasi masyarakat.

Kedua, materi sosialisasi politik merupakan isi yang akan disampaikan kepada sasaran sosialisasi. Pada dasarnya, materi sosialisasi harus mengandung pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap politik yang hidup di masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan adalah bila seseorang memiliki pengertian (understanding) atau sikap (attitude) tertentu, yang diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman sendiri. (Syafiie, 2005:2). Pengetahuan merupakan bagian dari suatu ilmu dan ilmu dapat dimiliki dari pendidikan yang didapat baik formal maupun informal dan pengalaman yang pernah terjadi.

2. Nilai-nilai politik adalah nilai-nilai yang mempedominani manusia untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran memberi pengalaman kepada manusia tentang kehidupan manusia. (Soemarno, 2004:55). Nilai-nilai yang bermanfaat mendorong masyarakat untuk berupaya mempertahankan dan sekaligus untuk melestarikannya. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut:

1. Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya.

2. Prestasi; ketekunan, pencapaian atau perolehan, ganjaran-ganjaran material, mobilitas sosial.

3. Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati

4. Penyesuaian diri; bergaul dengan baik, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan kententraman.

5. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.

6. Politik; sikap-sikap dan kepercayaan berkaitan dengan pemerintahan. (Syarbaini, 2004:71).

Nilai-nilai politik berprinsip pada etika yang dipegang dengan kuat oleh partai politik sehingga mengikatnya dan sangat berpengaruh pada prilakunya misalnya prestasi, pribadi dan intelektual, sedangkan norma yaitu aturan-aturan baku tentang perilaku politik yang harus dipatuhi oleh setiap partai politik

misalnya tradisi, penyesuaian diri, serta sikap-sikap dan kepercayaan lainnya sehingga siap untuk menerima penilaian baik dan buruk dalam partai politik tersebut.

3. Sikap-sikap politik adalah seperti suatu transparansi dari das wollenyaitu lebih dari satu keinginan yang ingin berbagi kebahagiaan terhadap generasi seterusnya. (Soemarno, 2004:55). Michael Rush dan Phipil Althoff secara rinci menjelaskan tentang sikap-sikap politik sebagai berikut:

“Sikap-sikap politik adalah berkaitan dengan nilai-nilai dalam kepercayaan-kepercayaan individu dapat memainkan peranan yang penting dalam penentuan reaksi terhadap rangsangan khusus dan terhadap pembentukan sikap-sikap ataupun pendapat-pendapat khusus akan tetapi sikap-sikap dapat mendahului nilai-nilai khususnya yang berlangsung pada

dasar imitatif (dengan jalan menirukan)”. (Rush & Althoff, 2013:36-37). Berdasarkan hal tersebut, maka sikap-sikap politik merupakan nilai dan kepercayaan politik misalnya pada partai politik dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk dapat menarik perhatian masyarakat. Sikap politik akan memunculkan pengalaman sebagai gambaran masyarakat untuk menilai baik atau buruk yang akan mempengaruhi terhadap informasi yang didapatkan.

Ketiga, mekanisme sosialisasi politik adalah cara mentransmisikan elemen-elemen dari sosialisasi melalui beberapa cara:

1. Imitasi, merupakan peniruan terhadap tingkah laku individu-individu,dan merupakan hal yang penting dalam sosialisasi pada masa kanak-kanak. 2. Intruksi, merupakan peristiwa penjelasan diri, akan tetapi para ahli

mengatakan hal tersebut tidak terlalu diperlukan karena terbatas pada proses belajar formal.

3. Motivasi, lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman. Motivasi adalah merupakan bentuk tingkah laku yang tepat yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal, individu yang bersangkutan secara langsung belajar dari pengalaman mengenai tindakan-tindakan sama cocok dengan sikap-sikap dan pendapat-pendapat sendiri.

Berdasarkan pendapat di atas mekanisme sosialisasi politik berupa cara imitasi lebih cocok diterapkan dalam sosialisasi untuk masa kanak-kanak atau pada masa awal. Intruksi lebih banyak dilakukan pada proses belajar formal. Imitasi dan intruksi merupakan tipe-tipe khusus dari pengalaman akan tetapi motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman. Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi diantara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman yang relevan untuk mempermudah hasil proses sosialisasi politik dibentuklah pola sosialisasi yang diilustrasikan dalam sebuah gambar. Pembuatan pola tersebut dilakukan setelah proses sosialisasi berjalan yang akan berkaitan dengan unsur-unsur sebelumnya.

Keempat, pola sosialisasi politik adalah proses yang terus berkesinambungan untuk mengetahui proses sosialisasi, yang terdiri dari organisasi dan hubungan organisasi tersebut dalam melakukan proses sosialisasi misalnya pemerintah dan partai politik kepada yang diberikan sosialisasi misalnya aparatur pemerintah, anggota partai dan masyarakat. Menurut Jaeger dalam Sunarto, pola sosialisasi politik terdiri atas sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris adalah sebagai berikut:

1. Sosialisasi repsresif adalah menekankan pada pengunaan hukuman terhadap kesalahan. Sosialisasi represif pun mempunyai ciri lain seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan masyarakat pada agen sosialisasi, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada agen sosialisasi dan pada keinginan agen sosialisasi, dan peran masyarakat sebagaisignificant other.

2. Sosialisasi partisipatoris adalah pola yang di dalamnya diberi imbalan manakala berperilaku baik, penekanan diletakan pada interaksi,

komunikasi bersifat lisan, masyarakat menjadi pusat sosialisasi, keperluan masyarakat dianggap penting dan masyarakat menjadigeneralized other. (Sunarto, 2004:31).

Berdasarkan pendapat di atas pola sosialisasi ada yang bersifat memaksa dan ada pula yang bersifat mengarahkan. Pola sosialisasi yang bersifat memaksa bersifat indoktrinasi artinya komunikasi satu arah dan menekankan pada tujuan tertentu secara mengikat dan tunduk terhadap perintah untuk mengikuti keinginannya. Pola sosialisasi yang bersifat komunikatif dan partisipatif mengarah kepada memberikan pengajaran dan contoh perilaku yang baik, komunikatif dan tidak berpihak pada keinginan tertentu secara memaksa.

2.1.4 Partai Politik

Partai politik sebagai lembaga politik bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Partai politik mempunyai sejarah yang cukup panjang, sehingga partai politik dewasa ini sudah sangat dipahami oleh masyarakat. Partai politik merupakan organisasi baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara dan baru ada di negara modern. Partai politik pada dasarnya terbentuk adalah sebagai sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Meluasnya rakyat bahwa merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah dipihak lain. Partai politik dalam praktisnya hanya mengutamakan kemenangan dalam pemilihan umum. Partai politik mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan dan simpatisan.

2.1.4.1 Definisi Partai Politik

Partai politik merupakan kegiatan politik yang berkembang untuk mengatur pendukung dari berbagai golongan masyarakat dan kelompok-kelompok untuk mengembangkan organisasi yang berkembang menjadi penghubung antara rakyat dan para penguasa atau pemerintah, maka dari sini peneliti akan menguraikan definisi partai politik yang menurut Miriam Budiardjo sebagai berikut:

“Partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota -anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk

melaksanakan programnya”. (Budiardjo, 2008:402-403).

Berdasarkan pendapat di atas maka partai politik merupakan sarana atau wadah yang dapat menyatukan warga negara yang mempunyai pikiran berupa paham dan ideologi yang sama sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan sehingga dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan. Pendapat di atas pun mengarah kepada beberapa konsep pokok politik yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan umum, pembagian dan alokasi nilai-nilai di dalam masyarakat.

Sigmund Neumann mengemukakan pendapatnya tentang partai politik, sebagai berikut:

A political party is the articulate organization of society’s active political

agents; those who are concerned with the control of government polity power, and who complete for popular support with other groups holding divergent views”. (Neumann,1963:352).

Berdasarkan pendapat di atas maka partai politik merupakan organisasi atau wadah dari bentuk kegiatan aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai

kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

Carl J. Friedrich mengemukakan pendapatnya tentang partai politik, sebagai berikut:

A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leadhers the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages”.

(Friedrich, 1967:419).

Berdasarkan pendapat di atas maka partai politik merupakan sekelompok manusia atau kumpulan manusia atau masyarakat yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat materiil dan ideal. Partai politik juga merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.

Pendapat lain mengenai partai politik dikemukakan oleh Giovanni Sartori,

A party is any political group that present at eections, and is capable of placing through elections candidates for public office”. (Sartori, 1976:63). Berdasarkan

pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa partai politik merupakan kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Jabatan-jabatan publik tersebut adalah Jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.

Nurul Aini dan Ng. Philipus mengemukakan bahwa, “Partai politik

merupakan lembaga untuk mengemukakan kepentingan secara sosial maupun

ekonomi dan moril maupun materiil”. (Aini, 2004:121). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa partai politik merupakan sarana atau cara mengemukakan keinginan rakyat melalui organisasi politik di mana hal tersebut mengandung penegrtian adanya demokrasi. Partai politik hanya dapat ada sesungguhnya jika ada sekurang-kurangnya satu kelompok lain yang menyainginya.

J. H. Aldrich mengemukakan pendapatnya tentang partai politik, sebagai berikut:

The major political party is the creature of the politicians, the ambitious office seeker and officeholder. They have created and maindtained, used or abused, reformed or ignored the political party when doing so ... the

political party is thus an ‘endogenous’ institution-an institution shaped by these political actor”. (Aldrich, 1995:4).

Berdasarkan pendapat di atas maka partai politik merupakan organisasi yang didirikan oleh politisi untuk mencapai tujuan politik, namun ketika telah dibentuk sesungguhnya partai politik perlu menjadi dirinya sendiri. Organisasi partai politik memiliki visi, misi, tujuan jangka panjang dan strategi. Partai politik dilengkapi pula dengan segenap peraturan dan ketentuan yang dapat menjamin tumbuhnya perilaku-perilaku politik tertentu pada diri para politis yang tergabung di dalamnya. Partai politik juga sekaligus menjamin dinamika kepentingan para politikus yang menjadi anggotanya.

Firmanzah, “Partai politik merupakan organisasi yang didirikan untuk

(Firmanzah, 2011:58). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa partai politik merupakan sarana masyarakat atau lebih tepatnya para pemimpin yang mewakili berbagai golongan dalam masyarakat untuk menduduki kewenangan kekuasaan sebagai otoritas dan legitimasi dari masyarakat yang tersusun dari beragam kelompok dan kepentingan untuk menentukan kebijakan publik.

Dokumen terkait