• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP UPAYA

2.1. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Pelaku usaha yang melakukan melakukan penipuan menggunakan undian dengan promo berhadiah dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH). Pasal 1365 KUHPerdata yakni :

‘Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu; mengganti kerugian tersebut’.

Dalam Pasal 1365 KUHPerdata untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

  a Ada perbuatan melanggar hukum.

Khusus untuk perbuatan melawan hukum diatur dalam bab III , buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang. “Perikatan yang lahir demi undang-undang”, dari pasal 1365 sampai dengan 1380. Menurut ketentuan Pasal 1353 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perbuatan melawan hukum melahirkan perikatan antara pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum dan pihak terhadap siapa perbuatan yang melawan hukum tersebut dilakukan. Jadi, perikatan lahir disaat perbuatan yang melawan hukum tersebut dilakukan.14

b Ada kerugian

Untuk menentukan besarnya ganti rugi yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegangan pada asas bahwa ganti kerugian harus dibayar sedapat mungkin harus membuat pihak yang rugi harus dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andaikata perjanjian dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terkait langsung dengan kerugian itu, seperti kemampuan/kekayaan pihak yang bersangkutan.15

      

14

Gunawan Widjaja, “Hukum Tentang Perlindungan Konsumen”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2001 hal 63

15

Ahmadi Miru,”Hukum Perlindungan Konsumen”, Raja Grafindo Persada,Jakarta2004 hal, 134

 

c Ada hubungan kausalitas (sebab akibat) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian

Bahwa adanya hubungan kausalitas atau sebab akibat merupakan akibat yang disebabkan oleh adanya faktor yang secara yuridis relevan yakni yang dapat menimbulkan akibat hukum.16

d Ada kesalahan.

Berdasarkan pasal 1365 BW , salah satu syarat untuk membebani tergugat dengan tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum adalah adanya kesalahan. Kesalahan ini memiliki 3 unsur, yaitu17 :

1) Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan 2) Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya

a) Dalam arti objektif : sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya.

b) Dalam arti subjektif : sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya.

3) Dapat dipertanggung jawabkan ( pelaku usaha cakap )

Dari uraian diatas yang dimaksud dengan kesalahan yang disesalkan merupakan suatu perbuatan yang dimana seharusnya perbuatan tersebut tidak terjadi karena perbutan tersebut semata-mata tidak ada niatan atau keinginan dari pelaku, bisa dikatakan perbuatan ini merupakan sebuah kelalaian dari pelaku.

      

16

Ibid hlm, 140 17

 

Perbuatan yang dapat diduga akibatnya merupakan perbuatan yang akibatanya dapat langsung ditebak atau diduga karena perbuatan tersebut berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari bahkan orang normal pun langsung dapat menduganya serta ada perbuatan yang hanya bisa diduga oleh para ahli saja karena mereka lebih menguasai dibidang tersebut, misalnya perbuatan yang berakibatkan pada kehatan manusia yang bisa menduga adalah hanya ahli kesehatan saja.

Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan yang dapat dipertanggung jawabkan adalah perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan pelaku mengerti akan akibat hukum dari perbuatan tersebut yakni sebuah hukuman atau sanksi. Hukuman atau sanksi diatur dalam Pasal 60- 63 UUPK yaitu berupa :

a. Sanksi Administratif b. Sanksi Pidana

Dalam Pasal 60 ayat (2) Sanksi Admistratif berupa ganti rugi paling bnyak sebesar Rp 200.000.000,00. Sanksi Administratif ini dikenakan karena adanya kerugian yang ditimbulkan pelaku usaha. Sedangkan Sanksi Pidana ditujukan pada perbuatan pelaku usaha. Sanksi ini dapat dikenakan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya, menurut Pasal 62 UUPK sanksi pidana dapat berupa penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak dua milyar rupiah

Dari uraian diatas sanksi atau hukuman yang dapat dipakai sebagai alternatif pertama untuk pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen yang menggunakan undian dengan promo berhadiah adalah sanksi

 

admistrasi, karena isi dari sanksi ini lebih menjamin untuk mengembalikan keadaan konsumen yang telah dirugikan oleh pelaku usaha. Serta sanksi ini dinilai cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa konsumen khususnya sengketa tentang penipuan dengan menggunakan promo berhadiah.

Oleh karena itu pelaku usaha yang melakukan penipuan dengan menggunakan promo berhadiah dikenakan tanggung jawab seperti yang diatur dalam Pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 08 Tahun 1999. Sebagai konsekuensi hukum dari pelarangan yang diberikan oleh UUPK, dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka demi hukum, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dididerita oleh konsumen tersebut.

Tanggung Jawab Pelaku Usaha diatur dalam pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 UUPK yaitu :

1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

 

Memperhatikan substansi pasal 19 ayat 1 dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

a. Tanggung jawab ganti rugi atas kerusakan b. Tanggung jawab ganti rugi atas pencemaran

c. Tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen

Dalam hal ini pelaku usaha dapat dibebani tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen. Dasar yang dapat dipakai untuk membuat pelaku usaha diwajibkan memberikan bentuk tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen dikarenakan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dijelaskan tentang hak-hak konsumen dalam Pasal 4 UUPK yang berupa : Hak atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa; Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak-hak ini lah yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh pelaku usaha sehingga tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu apabila pelaku usaha yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara penipuan yang berkedok adanya undian dengan promo berhadiah wajib melakukan suatu tanggung jawab terhadap konsumen karena hal ini jelas-jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

 

Berdasarkan uraian diatas, maka adanya produk barang dan atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggung jawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.18 Memperhatikan substansi ketentuan pasal 19 ayat 2 tersebut sesungguhnya memiliki kelemahan yang sifatnya merugikan konsumen, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit. Melalui pasal tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan.

Pada Pasal 19 UUPK sebenarnya mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha pabrik dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk Pengambilan uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.

      

18

 

Jika kita kembali kepada asas umum dalam hukum perdata, dapat dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang di alami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah di sebutkan, yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum.19

a. Tuntutan berdasarkan wanprestasi

Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang di dasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang di dasarkan pada perbuatan melanggar hukum. Apabila tuntutan kerugian di dasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang di rugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.

Pada tindakan yang ini sudah terdapat hubungan hukum antara pihak, dimana salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan pihak lain, dengan cara tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang harus ia lakukan       

19

 

berdasarkan kesepakatan yang telah mereka capai. Tindakan yang merugikan ini memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk meminta pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat, beserta penggantian atas segala biaya, bunga, dan kerugian yang telah dideritanya.20

Dalam tanggung gugat berdasarkan adanya wanprestasi, kewajiban untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara sukarela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar ganti kerugian atau berapa besar ganti kerugian yang harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan tersebut, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Disamping ketentuan yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, ketentuan tentang ganti kerugian yang bersumber dari hukum pelengkap juga harus mendapat perhatian, seperti ketentuan tentang wan prestasi dan cacat tersembunyi serta ketentuan lainnya. Ketentuan-ketentuan ini melengkapi ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan ketentuan ini hanya dapat dikesampingkan jika para pihak menjanjikan lain.

      

20

Gunawan Widjaja, “Hukum Tentang Perlindungan Konsumen”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2001 hal 63

 

b. Tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum

Berbeda dengan ganti kerugian yang di dasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi), tuntutan ganti kerugian yang di dasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu di dahului dengan perjanjian antra produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat di lakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.21

Dokumen terkait