• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERASOSIASI DENGAN UBI JALAR ( Ipomoea batatas L.) DI PROVINSI PAPUA BARAT

Pendahuluan

Nematoda parasit merupakan salah satu organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang menginfeksi berbagai jenis tanaman utama baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan di Indonesia. Kerusakan tanaman yang disebabkan nematoda parasit kurang disadari baik oleh para petani maupun petugas yang bekerja di bidang pertanian. Hal ini karena gejala yang disebabkan oleh nematoda berjalan sangat lambat, tidak spesifik, mirip dengan gejala kekurangan hara dan air. Infeksi nematoda parasit tanaman merupakan serangkaian proses yang dapat menyebabkan perubahan seluruh fisiologi tanaman inang. Nematoda secara individual hanya mempunyai efek yang kecil, tetapi hasil akumulasi dari sejumlah besar nematoda menyebabkan kerusakan pada tanaman inang (Dropkin 1991).

Nematoda parasit penting yang menyebabkan kerusakan dan kehilangan hasil yang nyata pada tanaman ubi jalar adalah nematoda puru akar Meloidogyne spp. dan R. reniformis. Infeksi Meloidogyne spp. menimbulkan gejala yang khas pada akar (Mitkowski dan Abawi 2003). Aktivitas makan Meloidogyne menyebabkan terbentuknya puru pada seluruh jaringan akar yang terinfeksi. Jumlah puru atau tingkat keparahan puru pada akar tergantung pada beberapa faktor yaitu kepadatan populasi nematoda, spesies dan ras Meloidogyne serta spesies tanaman inang. Puru yang terbentuk pada akar terinfeksi menyebabkan gangguan dalam penyerapan dan translokasi nutrisi dan air sehingga tanaman mudah layu terutama dalam keadaan kering (Luc et al. 2005).

Tanaman ubi jalar yang terinfeksi Meloidogyne spp. menimbulkan gejala di atas tanah maupun di bawah permukaan tanah. Menurut Ames et al. (1997), gejala di atas permukaan tanah tanaman ubi jalar yang terinfeksi Meloidogyne spp. mula-mula daun menjadi kuning, tanaman mudah layu, produksi bunga tidak normal dan tanaman menjadi kerdil. Selain itu, pertumbuhan tunas lebih sedikit dibandingkan tanaman yang tidak terinfeksi (Mitkowski dan Abawi 2003). Gejala kerusakan di bawah tanah ditunjukkan dengan adanya pecah atau retakan pada ubi (Mitkowski dan Abawi 2003), permukaan ubi menjadi seperti cacar (blister) yaitu timbul tonjolan melalui epidermis (Ames et al. 1997).

Hasil survei distribusi nematoda pada tanaman ubi jalar (85 sampel tanah) dan talas (22 sampel tanah) di bagian tengah dan selatan Pulau Kyushu Jepang, menunjukkan sebanyak 96% pertanaman ubi jalar terinfeksi nematoda M. incognita dan sisanya diidentifikasi sebagai M. arenaria dan M. javanica. Sampel tanah dari pertanaman talas terdeteksi 59% terinfeksi M. incognita, M. arenaria dan M. javanica. Spesies Meloidogyne yang menginfeksi ubi jalar sangat beragam dengan gejala yang sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu, deteksi dan identifikasi nematoda puru akar sangat penting sebagai dasar dalam upaya pengendalian yang lebih efektif. Terdapat beberapa teknik identifikasi nematoda puru akar antara lain identifikasi morfologi berdasarkan pola perineal nematoda betina dewasa, morfologi juvenil, scanning menggunakan mikroskop electron, diagnosis karakter dan identifikasi secara molekuler.

Identifikasi spesies nematoda puru akar berdasarkan karakter morfologi membutuhkan banyak ketrampilan dan hasil yang diperoleh seringkali memerlukan dikonfirmasi dengan metode identifikasi lainnya untuk menentukan spesies. Hal ini karena spesies Meloidogyne memiliki morfologi yang sangat mirip. Salah satu cara yang akurat untuk mendukung hasil identifikasi morfologi adalah analisis DNA secara molekuler.

Di Indonesia survei dan identifikasi nematoda yang berasosiasi dengan ubi jalar belum pernah dilakukan, terutama Papua Barat. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui spesies nematoda yang berasosiasi dengan ubi jalar sehingga memudahkan dalam menentukan metode pengendalian.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi nematoda parasit yang berasosiasi dengan ubi jalar di Provinsi Papua Barat berdasarkan karakter morfologi dan secara molekuler.

Metode Tempat dan waktu

Penelitian ini di bagi dalam tiga tahap yaitu, tahap eksplorasi nematoda dilaksanakan di Kabupaten Manokwari dan Sorong, tahap ekstraksi dan identifikasi morfologi nematoda dilaksanakan di Laboratorium Nematologi Departemen Proteksi Institut Pertanian Bogor, identifikasi morfometrik dan molekular dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian di Bekasi. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai November 2014.

Survei Teknik Budidaya Ubi jalar

Survei dilakukan di Kabupaten Sorong dan Manokwari yang merupakan kawasan pengembangan pertanian di Provinsi Papua Barat. Metode pengambilan sampel secara purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi langsung di lahan petani. Teknik wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (kuisioner) (Soeratno dan Arsyad 1999). Data primer yang dikumpulkan meliputi ketinggian tempat, sejarah lahan, pH tanah, teknik budidaya, varietas yang ditanam, tipe kerusakan ubi. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait meliputi data iklim, dan luas tanam ubi jalar serta penyebaran di tiap kabupaten.

Sampling Tanah, Akar dan Ubi Bergejala.

Metode pengambilan sampel untuk mendiagnosis masalah di lapangan yang dicurigai disebabkan oleh nematoda dilakukan dengan metode sampling sistematik menurut Coyne et al. (2009). Sampel tanah diambil dari lahan pertanaman yang menunjukkan kerusakan di atas permukaan tanah, dari margin daerah yang terkena dan dari daerah pertanaman yang sehat sebagai perbandingan. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada saat kelembapan tanah yang cocok (tidak terlalu kering dan tidak berair), diambil dari seluruh daerah

perakaran dengan kedalaman 5 sampai 20 cm, jumlah sampel tanah berdasarkan luas lahan, yaitu 1 hektar maksimal 50 titik sampel tanah.

Akar dan ubi diambil dari tanaman yang dicurigai terinfeksi nematoda. Penentuan tanaman sampel dilakukan secara acak dengan jumlah sampel 285 dari Kabupaten Sorong dan 100 tanaman dari Kabupaten Manokwari diambil sebagai sampel untuk deteksi di laboratorium. Pengamatan meliputi gejala khas pada akar dan ubi, ukuran dan jumlah ubi per rumpun. Sampel dibungkus dengan koran yang telah dilembapkan, disimpan dalam cool box dan suhunya dipertahankan tetap sejuk selama dalam perjalanan .

Ekstraksi Nematoda

Ekstrasi sampel tanah dilakukan berdasarkan metode flotasi sentrifugasi (Coyne et al. 2009). Sebanyak 100 ml sampel tanah dimasukkan dalam ember kapasitas 6 l, ditambahkan air 4 l dan dibiarkan beberapa detik agar ikatan partike- partikel tanah terlepas satu sama lain. Larutan selanjutnya dituangkan ke dalam ember lainnya (ember ke dua) melalui saringan 20 mesh. Hasil saringan ke dua ditambahkan air, dibiarkan beberapa detik kemudian disaring dengan menggunakan saringan berukuran 400 mesh. Saringan dibilas dengan air mengalir (posisi miring 30 ) dan air yang tertinggal ditampung dalam tabung sentrifugasi. Suspensi nematoda di dalam tabung selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit, diambil supernatannya dan ditambahkan larutan gula 40%. Larutan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 1500 rpm selama 1 menit. Hasil sentrifugasi disaring dengan menggunakan saringan 500 mesh, dibilas perlahan dengan menggunakan botol semprot. Nematoda yang terperangkap di dasar saringan dikumpulkan dan ditampung dalam cawan untuk dihitung populasinya dan diidentifikasi. Parameter pengamatan meliputi rata-rata populasi nematoda tiap sampel tanah.

Ekstraksi nematoda dari jaringan akar dilakukan dengan metode pengabutan (mistchamber) ( Coyne et al. 2009). Jaringan tanaman yang telah dipotong- potong (panjang 10 mm) dimasukkan ke dalam corong yang dipasang tabung kaca atau gelas pada bagian bawahnya, berfungsi menampung tumpahan air rendaman yang mengandung nematoda. Wadah dan tabung penampung dimasukkan ke dalam mist chamber atau alat pengkabut. Pengkabutan dilakukan selama 7 hari, dan nematoda di dalam tabung penampungan dapat dikumpulkan atau dipanen setiap hari.

Menghitung Populasi Nematoda

Penghitungan populasi dilakukan dengan cara mengambil 1 ml suspensi dan dituangkan pada cawan sirakus, dihitung langsung di bawah mikroskop stereoskopik dengan perbesaran 40 kali. Nematoda yang dihitung adalah nematoda parasit yang ditandai dengan adanya stilet dan gerakan yang lebih lambat. Penghitungan diulangi tiga kali dari tiap sampel yang diamati, selanjutnya dihitung jumlah rata-ratanya dan dikonversi ke jumlah total nematoda dalam 100 ml tanah. Penghitungan rata-rata jumlah nematoda per sampel digunakan rumus berikut :

X = x1 + x2 + x3 3 Dimana ;

X adalah rata-rata jumlah nematoda tiap sampel

x1, x2, dan x3 adalah jumlah nematoda pada ulangan 1, 2 dan 3. Frekuensi (F) dihitung dengan menggunakan rumus F= e/n x 100 dimana e adalah total jumlah sampel yang mengandung nematoda tertentu dan n adalah total jumlah sampel pada lokasi tertentu. Kelimpahan (A) spesies nematoda adalah rata-rata kepadatan per sampel dimana nematoda tersebut ditemukan dan dihitung dengan menggunakan rumus A=ƩX/c ; (X adalah jumlah nematoda per l tanah atau akar dan c adalah jumlah sampel yang mengandung nematoda tertentu) (Haougui et al. 2011).

Pewarnaan Nematoda Dalam Jaringan Akar dan Ubi

Pewarnaan nematoda dalam akar dan ubi dilakukan berdasarkan metode menurut Bybd et al. (1983) yang dimodifikasi. Akar bergejala yang telah dicuci bersih dipotong ukuran 1 cm dimasukkan dalam beaker glass. Akar direndam selama 45 menit dalam 100 ml campuran air dan natrium hipoklorit (NaOCl) dengan perbandingan 60:40. Selanjutnya akar dicuci dengan air mengalir selama 45 detik hingga bau chlorox hilang dan direndam dalam air steril selama 15 menit. Air rendaman dibuang, ditambahkan larutan asam fuchsin hingga seluruh akar terendam kemudian dipanaskan hingga mendidih. Akar dalam asam fuchsin diinkubasi pada suhu ruang hingga dingin. Asam fuchsin dibuang dan akar dibilas hingga air bilasan tidak berwarna. Akar direndam dalam larutan gliserin yang telah ditambah dengan 3 tetes 5N HCL, dan dipanaskan hingga warna merah pada akar luntur.

Fuchsin B digunakan untuk pewarnaan ubi bergejala retak dan cacar. Ubi diiris tipis dan direndam dalam fluksin B selama 15 sampai 20 menit, kemudian dibilas dengan air bersih dan ditiriskan. Pengamatan dilakukan untuk mendeteksi adanya nematoda parasit dalam jaringan ubi.

Identifikasi Nematoda

Identifikasi Berdasarkan Morfologi Pola Perenial Nematoda Betina Dewasa. Nematoda hasil pembedahan dalam akar digunakan sebagai sampel untuk identifikasi morfologi. Bagian anterior dipotong menggunakan pisau skapel, bagian posterior ditekan agar keluar kandungan di dalamnya. Bagian posterior dipotong dan diletakkan di atas kaca obyek yang telah ditetesi dengan laktofenol dingin yang mengandung 0.03% cotton blue. Pola perenial diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali, dicocokkan dengan kunci identifikasi (Eisenback et al. 1981).

Identifikasi Molekuler Berdasarkan Sekuen ITS r-DNA. Ekstraksi DNA nematoda dilakukan dengan menggunakan FastDNA Spin Kit Lysing Matrix A (MPBio) dengan alat ekstraksi Super FastPrep-1 (MPBio). Reaksi PCR dilakukan menggunakan Phusion High-Fidelity PCR Master Mix (Thermo) pada mesin

Verity 96-well (Applied Biosystem).

Reaksi PCR menggunakan spesifik M. incognita yaitu MI-F (primer forward) dengan susunan sekuen 5‟-GTG AGG ATT CAG TCT CCCAG-γ‟ dan MI-R (primer reverse) dengan susunan sekuen 5‟-ACG AGG AAC ATA CTT CTC CGT CC-γ‟(Adam et al. (2007). M. javanica menggunakan primer spesifik Fjav (primer forward) 5‟-GGT GCG CGA TTG AAC TGA GC-γ‟dan Rjav (primer reverse) 5‟-CAG GCC CTT CAG TGG AAC TAT AC-γ‟(Zijlstra et al. 2000). Reaksi PCR menggunakan Dream TaqTm Green PCR Master Mix (2x) (Thermo Scientific), dengan proses amplifikasi DNA meliputi denaturasi awal pada suhu 94 C selama 4 menit, dilanjutkan dengan 45 siklus untuk M. incognita dan 35 siklus untuk M. javanica. Tahap penempelan primer M. incognita pada suhu 62 C selama 30 detik dan M. javanica pada suhu 55 C selama 45 detik. Proses extension pada suhu 72 C selama 1 menit, dengan jumlah siklus 45 untuk M. incognita dan 35 untuk M. javanica. dilanjutkan dengan final extension pada suhu 72 C selama 7 menit. Dan. DNA hasil amplifikasi diseparasi pada gel agaros 1.2% dilarutkan dalam TAE 1x dan ditambahkan PeqGreen sebanyak 4

μl/100 ml agarosa. Pengukuran fragmen DNA menggunakan penanda 1 kb DNA ladder (Fermentas, United States of America). Elektroforesis dilakukan pada tegangan 70 volt selama 50 menit dan divisualisasikan menggunakan UV transilluminator.

Perunutan DNA dilakukan menggunakan pasangan primer spesifik M. incognita dan M. javanica di 1st BASE Genetika Science. Hasil sekuensing dianalisis menggunakan program basic lokal aligment search tool (BLAST) dengan program optimasi untuk memperoleh urutan basa DNA dalam situs NCBI. Pensejajaran sampel dilakukan dengan menggunakan software ClustalW (Bioedit) dan analisis filogenetik menggunakan sofware MEGA5.

Hasil

Kabupaten Manokwari terletak pada ketinggian 50 meter di atas permukaan laut (mdpl) sampai 1600 mdpl dan Kabupaten Sorong Distrik Salawati terletak pada ketinggian 50 mdpl (Lampiran 2). Curah hujan rata-rata 2 836.4 mm/ tahun dengan jumlah hari hujan 185 di Kabupaten Sorong dan 3 419.1 mm/ tahun dengan hari hujan 251 di Kabupaten Manokwari. Suhu udara rata-rata di Kabupaten Manokwari berkisar antara 26.9 sampai 27.9 C dan 25.9 sampai 30.9

C di Kabupaten Sorong (BMKG 2014).

Berdasarkan hasil pengumpulan data primer menunjukkan lahan pertanaman ubi jalar di Kabupaten Manokwari telah ditanami ubi jalar berturut-turut selama lebih dari 5 tahun dan di Kabupaten Sorong lebih dari 4 tahun. Luas pertanaman ubi jalar di Kabupaten Manokwari 306 ha dan di Kabupaten Sorong 408 ha. Luas lahan ubi jalar setiap petani berkisar antara 0.25 ha sampai 1 ha dengan produksi berkisar 10.12 ton/ ha di Kabupaten Sorong dan 10.11 ton/ha di Kabupaten Manokwari (Data Dinas Pertanian Provinsi Papua Barat, tidak dipublikasikan). Teknik budidaya ubi jalar di Kabupaten Sorong adalah teknik budidaya konvensional dan di Manokwari sebagian besar menerapkan teknik budidaya tradisional (Gambar 3.1). Petani di Kabupaten Sorong menggunakan pupuk kimia sintetik secara intensif, pertanaman monokultur tanpa rotasi, penyiangan intensif

serta pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida sintetik pestisida sebar maupun semprot (Tabel 3.1).

Petani ubi jalar di Kabupaten Manokwari sebagian besar menerapkan teknik budidaya tradisional. Sebagian besar petani ubi jalar menerapkan teknik budidaya ubi jalar tanpa olah tanah, tanpa rotasi tanam, tanpa pemupukan, tanpa insektisida sintetik dan tanpa penyiangan. Tipe kerusakan ubi di Kabupaten Manokwari terutama adalah retak, cacar pada permukaan kulit, retak dan busuk,serta busuk tanpa terdapat retak. Pengendalian yang dilakukan petani di Manokwari adalah secara manual dengan membuang ubi rusak.

Tabel 3.1 Persentase penerapan teknik budidaya ubi jalar di Kabupaten Sorong dan Manokwari

Teknik Budidaya Responden (%)

Manokwari Sorong

Pengolahan Tanah Olah tanah + bedeng 19.04 41.17

Olah tanah tanpa bedeng 14.28 47.05

Tanpa olah tanah (TOT) 66.66 11.76

Rotasi Tanam Tanpa rotasi 66.66 58.82

Tumpang sari 9.52 11.76

Rotasi dengan tanaman sayuran 14.28 0.00

Rotasi dengan tanaman pangan 9.52 29.41

Pemupukan Tanpa pemupukan 66.66 11.76

Pupuk anorganik 19.04 88.24

Pupuk organik 14.28 0.00

Penyiangan Tanpa penyiangan 66.66 11.76

Penyiangan intensif 19.04 58.82

Intensif herbisida 4.76 5.88

Penyiangan awal tanam 9.52 23.53

Pengendalian Insektisida sebar 23.81 0.00

Tanpa insektisida 66.66 0.00

Insektisida sebar dan semprot 9.52 100.00

Hasil ekstraksi tanah sekitar perakaran tanaman ubi jalar di Kabupaten Manokwari ditemukan 7 jenis nematoda parasit yaitu Helicotylenchus spp., Criconemella sp., R. reniformis, Tylenchorinchus sp., Meloidogyne spp., Pratylenchus sp., dan Hoplolaimus sp. (Tabel 3.2). Analisis rata-rata jumlah nematoda dan frekuensi masing-masing genus nematoda menunjukkan Helicotylenchus spp. dan nematoda non parasit memiliki daerah sebar paling tinggi yaitu mencakup semua lahan petani dengan frekuensi 100%, Criconemella sp., R. reniformis dan T. annulatus memiliki daerah sebaran yang sama. Hal ini menunjukkan semua lahan sampel pertanaman ubi jalar di Manokwari terdapat Helicotylenchus spp. Helicotylenchus spp dan Criconemella sp. merupakan nematoda ektoparasit yang tersebar luas hampir di seluruh lahan pertanian. Meloidogyne spp. memiliki daerah sebar lebih rendah yaitu 25% dari jumlah lahan yang sampling. Juvenil Meloidogyne spp. terdeteksi dari sampel tanah yang

berasal dari lahan pertanaman di Distrik Warmare yang terletak pada ketinggian 245 mdpl dan Distrik Minyambow pada ketinggian tempat 1500 sampai 1600 mdpl.

Nematoda parasit pada pertanaman ubi jalar di Kabupaten Sorong diperoleh 9 jenis yaitu Helicotylenchus spp., Criconemella sp., R. reniformis, Tylenchulus sp., T. annulatus, Meloidogyne spp., Pratylenchus sp., Psilenchus sp., dan Hoplolaimus sp (Tabel 3.2)

Tabel 3.2 Rerata juvenil dari sampel tanah dan frekuensi penyebaran nematoda parasit di Kabupaten Manokwari dan Sorong

No Genus/Spesies Manokwari Sorong Rata-rata/100 ml tanah Frekuensi (%) Rata-rata/100 ml tanah Frekuensi (%) 1 Helicotylenchus spp. 3306.18 100.00 183.77 75.00 2 Criconemella spp 2929.00 87.50 236.76 66.60 3 R. reniformis 217.68 87.50 554.02 75.00 4 Tylenchulus sp. 0.00 0.00 86.09 45.83 5 Tylenchorinchus sp. 143.43 87.50 51.14 45.83 6 Meloidogyne spp. 51.31 25.00 31.25 25.00 7 Haplolaimus sp 40.06 43.75 17.11 25.00 8 Pratylenchus sp 8.93 18.75 3.70 12.50 9 Psilenchus 0.00 0.00 6.47 12.50 10 Non parasit 276.25 100.00 283.96 100.00 11 Unidentified 0.00 0.00 46.00 58.30

Hasil pengamatan terhadap 285 tanaman sampel diketahui terdapat 253 tanaman bergejala dan 32 tanaman tidak bergejala. Gejala yang diamati menunjukkan perbedaan antara gejala pada ubi jalar berkulit putih dan merah. Gejala pada ubi jalar putih adalah perkembangan ubi yang abnormal, yakni ubi tidak berkembang dan berubah menjadi akar yang keras, permukaan ubi ditumbuhi akar , dan ukuran ubi lebih kecil. Ukuran panjang ubi sakit adalah 3 sampai 8 cm, dibandingkan dengan ukuran ubi sehat 15 sampai 18 cm. Jumlah ubi pada setiap rumpun mengalami penurunan . Jumlah ubi yang dihasilkan tanaman sakit umumnya hanya 1, sedangkan tanaman sehat membentuk rata-rata 3 sampai 4 ubi per rumpun (Gambar 3.2).

Hasil ekstraksi akar diketahui terdapat 6 jenis nematoda parasit yaitu Meloidogyne spp., R. reniformis, Tylenchus sp., Tylenchorinchus sp., H. multicintus, Pratylenchus sp dan pada ubi teridentifikasi 4 spesies nematoda yaitu Meloidogyne spp., Tylenchorinchus sp., H. multicintus, dan Pratylenchus sp. Meloidogyne spp. memiliki rata-rata populasi tertinggi pada akar dengan frekuensi 100 %.

Gambar 3.1 Perbedaan teknik budidaya ubi jalar di Kabupaten Sorong dan Manokwari, (a) ubi jalar 1 mst, (b) monokultur di Sorong, (c) sistem terasering di Sorong, (d) tumpang sari dengan jagung, (e) tumpangsari dengan ubi kayu di Manokwari, (f) tanpa olah tanah, tumpang sari dengan talas di Manokwari, (g) tanpa terasering di Manokwari, (h) monokultur tanpa pemeliharaan di Manokwari.

Hasil ekstraksi ubi jalar bergejala dari Kabupaten Sorong, rata-rata populasi R. reniformis paling rendah yaitu 0.16/10 g akar. Craig et al. (2007) melaporkan R. reniformis menjadi patogen penting pada ubi jalar pada populasi rata-rata 2 255/500 cm3 tanah. Kelima jenis nematoda tersebut tidak terdeteksi pada pewarnaan jaringan. Diduga nematoda terbawa pada tanah yang masih melekat pada akar dan ubi ketika ekstraksi dalam mischamber.

Hasil pengamatan nematoda dengan metode pewarnaan dan pembedahan akar ubi jalar bergejala dijumpai kelompok telur dan betina dewasa (Gambar 3.3), tetapi tidak ditemukan pada ubi bergejala. Akar bergejala dengan panjang 10 cm ditemukan 60 betina dewasa.

Tabel 3.3 Rerata, frekuensi dan kelimpahan nematoda parasit dari akar dan ubi ubi jalar di Kabupaten Sorong

Genus/spesies

Rata-rata

populasi/10g Frekuensi (%) Kelimpahan Akar Umbi Akar Umbi Akar Umbi Meloidogyne spp. 32.58 1.61 100.00 38.46 32.58 4.20 H. multicintus 1.08 7.84 25.00 53.84 4.33 14.57 Pratylenchus sp. 0.75 0.46 33.33 7.69 2.25 6.00 Tylenchorinchus sp. 0.33 0.07 8.33 7.69 4.00 1.00 R. reniformis 0.16 0.00 8.33 0.00 2.00 0.00 Tylenchus sp. 0.33 0.00 16.66 0.00 2.00 0.00

Karakter yang paling sering digunakan untuk identifikasi spesies Meloidogyne adalah morfologi pola perineal yang terletak pada bagian posterior nematoda betina dewasa. Area ini terdiri atas area vulva sampai anus (perineum), ekor, phasmid, garis lateral dan striae sekitar kutikula (Hant dan Handoo 2009). Berdasarkan pengamatan pada ciri-ciri khusus pola perineal, nematoda puru akar betina (Eisenback et al. 1981), diketahui terdapat 2 spesies yaitu M. incognita dan M. javanica (gambar 3.4).

Hasil PCR sampel DNA Meloidogyne spp. pada ubi jalar dari Kabupaten Sorong dengan menggunakan primer spesifik M. incognita menghasilkan fragment DNA dengan ukuran 999 pb (Gambar 3.5) baik dari betina dewasa, kelompok telur maupun puru akar sedangkan M. javanica menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran 720 bp dari 10 kelompok telur (Gambar 3.6). Hasil perunutan DNA yang dianalisis menggunakan program BLAST menunjukkan Meloidogyne spp. asal Papua Barat memiliki kemiripan yang tinggi ( homologi 95%) dengan spesies M. incognita isolat Gnq asal Cina, isolat OPT5 asal India, isolat Malino dan isolat JIK2 asal Malaysia dan M. javanica (homologi 92%) isolat mj4 asal India, isolat GNs asal Cina dan isolat JJT23 asal Malaysia. Hasil perunutan nukleotida M. incognita dan M. javanica dapat dilihat pada gambar 3.7 dan 3.8. Analisis filogenesis M. incognita asal Papua Barat menjadi satu kelompok dengan isolat M. incognita asal Malaysia dan Cina demikian pula M. javanica menjadi satu kelompok dengan isolat asal Cina dan Malaysia.

Gambar 3.2 Gejala nematoda puru akar pada ubi jalar, (a) tanaman sehat, (b) tanaman terinfeksi, (c dan d) ubi dari tanaman sehat, (e,f,g) ubi terinfeksi, (h) infeksi nematoda pada ubi jalar merah, (i) kerusakan ubi dari Kabupaten Manokwari, (j) infeksi nemtoda pada akar ubi jalar.

Gambar 3.4 Morfologi nematoda puru akar. (a) pewarnaan nematoda betina dewasa pada akar, (b) nematoda betina dalam jaringan akar, (c) pola perineal M. javanica, (d) M. incognita.

Gambar 3.3 Akar ubi jalar terinfeksi Meloidogyne spp., (a) posterior nematoda betina dewasa pada permukaan akar, (b) massa telur Meloidogyne spp. pada akar ubi jalar.

Gambar 3.5 Hasil amplifikasi DNA Meloidogyne spp. (a) M. incognita PCR menggunakan primer spesifik MiF/MiR, M=Marker 1 kb ladder, K= kontrol, 1=20 betina dewasa, 2= 2 kelompok telur (b) PCR menggunakan primer spesifik M. javanica Fjav/Rjav, M= marker 1 kb ladder, K= kontrol, 1=10 kelompok telur.

Gambar 3.6 Pohon filogenetik spesies M. incognita dan M. javanica berdasarkan UPGMA (bootstrap 1000 kali ulangan)

Perunutan DNA hasil sekuensing dan analisis kesamaan dengan sekuen yang tersedia di GeneBank menunjukkan terdapat bagian sekuen gen M. incognita dan M. javanica asal Kabupaten Sorong yang mempunyai kesamaan dengan sekuen gen M. incognita dan M. javanica dari Malaysia, India, China dan Malino (Indonesia) (Lampiran 14 dan 15).

Pembahasan

Ubi jalar menjadi tanaman pokok sumber karbohidrat untuk konsumsi keluarga dan hanya sebagian kecil sebagai tambahan pendapatan petani di Manokwari. Budidaya ubi jalar oleh petani di Distrik Salawati Kabupaten Sorong menjadi salah satu sumber pendapatan petani dan seluruh hasil panen ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar. Perbedaan orientasi budidaya ubi jalar, pengetahuan, pengalaman petani, dan penguasaan teknologi oleh petani diduga menjadi penyebab perbedaan dalam teknik budidaya ubi jalar. Menurut Soplanit dan Limbongan (2007), bahwa kendala pengembangan ubi jalar di kawasan timur Indonesia terutama Papua dan Papua Barat diantaranya adalah rendahnya penguasaan teknologi oleh petani akibat terbatasnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta belum terbentuknya kelembagaan petani yang permanen. Petani ubi jalar di Kabupaten Manokwari umumnya adalah petani lokal dengan pengetahuan, pengalaman dan penguasaan teknologi yang rendah dibandingkan petani di Kabupaten Sorong yang terdiri atas petani pendatang.

Perbedaan teknik budidaya berkaitan erat dengan perbedaan komposisi mikroorganisme tanah termasuk patogen tanah antara lain nematoda parasit tanaman. Teknik budidaya tanpa pengolahan tanah menyebabkan populasi nematoda lebih tinggi dibandingkan teknik budidaya konvensional. Thomas (1978) melaporkan kerapatan populasi nematoda parasit pada plot pertanaman jagung tanpa olah tanah lebih tinggi dibandingkan konvensional. Hal yang sama dilaporkan oleh Fortnum dan Karlen (1985), bahwa populasi nematoda parasit pada pertanaman jagung dengan 4 sistem pengolahan tanah menunjukkan perlakuan tanpa pengolahan tanah populasi nematoda parasit lebih tinggi dibandingkan konvensional. Populasi nematoda parasit dan non parasit di Kabupaten Manokwari lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Sorong. Petani di Kabupaten Manokwari menerapkan teknik budidaya tradisional tanpa pengolahan

Dokumen terkait