• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5.4. Berdasarkan Banyaknya Permukaan Gig

Berdasarkan banyaknya permukaan gigi yang terkena karies, karies terbagi sebagai berikut:

1. Simpel karies

Karies yang dijumpai pada satu permukaan saja. Misalnya labial, bukal, lingual, mesial, distal, oklusal.

2. Kompleks Karies

Karies yang sudah luas dan mengenai lebih dari satu bidang permukaan gigi. Misalnya : mesio incisal, disto incisal, mesio oklusal.

2.6. Pengukuran Keaktifan Karies

Dalam mempelajari setiap penyakit, ahli epidemiologi akan melihat prevalensi maupun insidensnya. Prevalensi adalah bagian dari suatu kelompok masyarakat yang terkena suatu penyakit atau suatu keadaan pada kurun waktu tertentu. Insidens merupakan pengukuran tingkat kemajuan suatu penyakit. Oleh karena itu, untuk mengukur suatu insidens diperlukan dua pemeriksaan, satu pada permulaan dan satu pada akhir kurun waktu tertentu. Dengan demikian insidens adalah peningkatan atau penurunan jumlah kasus baru yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu.

Sebelum insidens dan prevalensi dapat diukur, diperlukan pengukuran kuantitatif lebih dahulu yang akan mencerminkan besarnya penyebaran penyakit pada suatu populasi. Pada karies pengukuran penyakit dapat dilihat dari indeks penyebaran yang kumulatif (Kidd, 1991).

Indeks adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu golongan/kelompok terhadap suatu penyakit gigi tertentu. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan dari suatu penyakit mulai dari yang ringan sampai berat. Untuk mendapatkan data tentang status karies seseorang digunakan indeks karies agar penilaian yang diberikan pemeriksa sama atau seragam.

Indeks yang biasa dipakai adalah indeks DMF-T dari WHO. ∑ DMF-T = D + M + F

DMF-T rata-rata = ∑DMF-T / N Keterangan:

D = Decayed (gigi berlubang)

M = Missing (gigi telah dicabut karna karies) F = Filling (gigi dengan tumpatan baik) T = Tooth (gigi tetap)

Dibawah ini tabel klasifikasi angka keparahan gigi menurut WHO, Tabel 2.1 Klasifikasi Angka Karies Gigi Menurut WHO

Tingkat Keparahan DMF-T Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 0,8 – 1,1 1,2 – 2,6 2,7 – 4,4 4,5 – 6,5 6,6 keatas Sumber. Departemen Kesehatan RI, 2004

Pengukuran lain yang dibutuhkan dalam survei karies gigi adalah 1) prevalensi karies yaitu persentase dari orang-orang dengan kerusakan gigi (DMF) akibat karies, 2) PTI (Performance Treatment Indeks), yaitu persentase yang melakukan penambalan (F) dari orang- orang dengan pengalaman karies (DMF). (DepKes RI, 2000)

2.7. Hubungan Makanan Kariogenik dengan Karies Gigi

Budaya makan saat ini sudah mengalami perubahan, makanan siap saji menjadi sangat popular bagi orang-orang dari semua usia terutama anak-anak. Anak- anak mudah terpengaruh dengan tayangan komersial di televisi yang mempertontonkan berbagai produk makanan.

Bukti tentang adanya hubungan antara pola makan dengan karies telah banyak dicatat baik sebelum maupun sesudah peningkatan ketersediaan gula sebagai contoh adalah penduduk di pulau terpencil di Atlantik Selatan. Pada tahun tiga puluhan kondisi gigi mereka sangat baik sekali, pada saat itu makanan mereka hanya terdiri dari daging, ikan, kentang dan sayuran lainnya. Sejak tahun 1940 terjadi

peningkatan makanan impor bergula diikuti dengan kenaikan serupa pada keadaan kariesnya (Kidd, 1991).

Bukti lain mengenai hubungan pola makan dan karies berkaitan dengan penyakit herediter yang jarang, yaitu suatu intoleransi terhadap fruktosa, yang disebabkan oleh kesalahan metabolisme bawaan. Pasien yang menderita penyakit ini kekurangan enzim hati sehingga makanan yang mengandung fruktosa akan mengakibatkan rasa mual yang hebat. Oleh karena itu, mereka akan menghindari makanan yang manis-manis. Ternyata kekerapan karies mereka menjadi sangat rendah (Kidd, 1991).

Makanan manis akan dinetralisir setelah 20 menit, maka apabila setiap 20 menit sekali memakan makanan manis akan mengakibatkan gigi lebih cepat rusak. Makanan manis lebih baik dimakan pada saat jam makan utama seperti sarapan, makan siang, makan malam, karena pada waktu jam makan utama biasanya air ludah yang dihasilkan cukup banyak sehingga dapat membantu membersihkan gula dan bakteri yang menempel di gigi (Rahmadhan, 2010).

Penelitian Barus (2008) yang dilaksanakan pada anak SD 060935 di Jalan Pintu Air II Simpang Gudang Kota Medan tahun 2008 menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan jajanan dengan karies gigi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan anak-anak yang frekuensi makanan jajanannya tinggi memiliki tingkat keparahan karies gigi yang berat (74,2%).

Senada dengan itu, penelitian Hidayanti (2005) yang dilaksanakan pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya tahun 2005 menunjukkan ada hubungan kebiasaan konsumsi makanan kariogenik, makanan pencegah karies

dan skor konsumsi makan dengan keparahan karies gigi. Rata-rata konsumsi makanan kariogenik sebesar 12,6 ± 4,5 dan rata-rata indeks def-t sebesar 5,93 ± 3,13. Terdapat hubungan kesukaan anak terhadap makanan kariogenik dengan kebiasaan konsumsi makanan kariogenik. Ada hubungan kebiasaan konsumsi makanan kariogenik, makanan pencegah karies gigi, dan delta konsumsi makan dengan keparahan karies gigi.

Hadnyanawati (2002), melalui penelitiannya pada siswa sekolah dasar di Kabupaten Jember, juga menunjukkan adanya pengaruh pola jajan di sekolah terhadap karies gigi (p<0,01). Siswa yang mengkonsumsi biskuit memeliki DMF-T sebesar 2,5, yang mengkonsumsi permen coklat memiliki DMF-T sebesar 2,9 dan yang mengkonsumsi es krim memiliki DMF-T sebesar 5,0 serta yang mengkonsumsi sirup memiliki DMF-T sebesar 3,8. Keadaan ini menunjukkan bahwa makanan yang bersifat kariogenik terutama karbohidrat jesis sukrosa sangat berpengaruh terhadap karies gigi.

Penelitian Karunianingtyas (2008) yang dilakukan pada anak usia prasekolah di Taman Kanak-kanak Pondok Beringin juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan menggosok gigi dan konsumsi makanan jajanan kariogenik dengan kejadian karies gigi. Faktor yang paling berpengaruh adalah konsumsi makanan jajanan kariogenik. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kebiasaan menggosok gigi berkategori kurang baik 40%, konsumsi makanan jajanan kariogenik berkategori tinggi 88,3%. Terdapat 85% anak usia pra-sekolah menderita karies gigi.

2.8.Kerangka Konsep

Hubungan antara konsumsi makanan kariogenik, jenis kelamin dan perilaku kesehatan gigi individu dengan karies gigi dapat dilihat pada bagan dibawah ini :

Gambar. 2.2. Kerangka konsep kaitan antara makanan kariogenik, jenis kelamin dan pemeliharaan kesehatan gigi dengan karies gigi

Dari skema terlihat bahwa makanan kariogenik merupakan variabel independen dan karies gigi merupakan variabel dependen. Makanan kariogenik mempengaruhi timbulnya karies gigi. Jenis Kelamin dan pemeliharaan kesehatan gigi merupakan variabel antara. Variabel antara juga dapat mempengaruhi timbulnya karies gigi.

2.9. Hipotesis

Ho : Tidak ada hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan karies gigi pada anak SD Swasta Muhammadiyah 08 Medan tahun 2011.

Ha : Ada hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan karies gigi pada anak SD Swasta Muhammadiyah 08 Medan tahun 2011.

Makanan kariogenik - Jenis - Frekuensi - Cara Mengonsumsi - Jenis kelamin

- pemeliharaan kesehatan gigi

Dokumen terkait