• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM BERBAGAI PERATURAN

F. Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) Dalam Peraturan Nasional

2. Berdasarkan RUU KUHP

Perancang RUU KUHPidana membuat langkah yang penting dalam pembaruan atau reformasi hukum pidana, yakni dengan memasukkan ‘Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia’ dalam RUU KUHPidana yang tertuang dalam Bab IX.

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Kreasi atau langkah inovatif para perancang RUU boleh dikatakan langkah yang maju, yang sejalan dengan usaha menata kembali tatanan kehidupan kenegaraan kita yang demokratis di masa transisi saat ini. Kita menyebut seluruh usaha ini dengan istilah “reformasi”. Salah satunya yang saat ini dengan serius kita tata kembali adalah, jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. RUU ini, yang merancang kriminalisasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang serius, tampak memanifestasikan keinginan “reformasi” tersebut.

Pemikiran inovatif para perancang RUU KUHPidana tersebut haruslah kita apresiasi dengan positif. Maka, dengan semangat inilah saya ingin mengajukan beberapa catatan kritis terhadap RUU ini, khususnya terhadap Bab IX mengenai tindak pidana hak asasi manusia. Kalau ingin diajukan dalam bentuk pertanyaan, pemasalahan yang saya ajukan adalah, (i) apakah kriminalisasi terhadap kejahatan hak asasi manusia harus selalu dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?, dan (ii) bagaimana dengan status UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM? Apakah tidak sebaiknya tetap dipertahankan pola tindak pidana khusus di luar KUHP, sehingga UU No. 26 Tahun 2000 berstatus sebagai tindak pidana khusus sesuai dengan karakternya sebagai extra-ordinary crime?

Yang paling mengedepankan sumbangannya dalam usaha melakukan kriminalisasi terhadap hak asasi manusia adalah hukum pidana internasional. Tonggak terpentingnya adalah pengadilan Nuremberg setelah Perang Dunia II yang mengkriminalisasi kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan

(crime against humanity), dan genosida (crime against genocide), yang kemudian

diikuti oleh lahirnya konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia yang mewajibkan negara-negara untuk mengkriminalisasi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tertentu, seperti penyiksaan (torture), dan penghilangan paksa

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

(involuntary disappearance). Boleh dikatakan terjadi hubungan yang sangat dinamis

antara hukum pidana internasional dengan hak asasi manusia internasional dalam usaha untuk memelihara dan menjaga perdamaian dunia.

Menurut pakar hukum pidana internasional kenamaan, Prof. M. Cherif Bassiouni, kejahatan-kejahatan internasional tersebut seperti agresi, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan, perbudakan dan penyiksaan memiliki status sebagai kejahatan ‘jus cogens’, yang menimbulkan kewajiban ‘erga omnes’ bagi setiap negara. Sebagai kejahatan internasional yang memiliki status jus cogens, berarti menimbulkan pula kewajiban untuk mengadili atau mengekstradisi, tidak berlakunya statuta batasan untuk kejahatan demikian dan berlakunya yurisdiksi universal terhadap kejahatan tersebut dimanapun terjadinya, oleh siapa (termasuk kepala negara), apapun kategori korban dan tanpa memandang konteks terjadinya (damai atau perang). Sebagian karena alasan ini, saat ini banyak negara yang telah memasukkan kejahatankejahatan internasional tersebut ke dalam hukum pidana nasionalnya, antara lain seperti Belgia, Denmark, Kanada, dan seterusnya. Kita dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebenarnya telah melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan yang dalam hukum pidana internasional dikenal sebagai kejahatan ‘jus cogens’ itu yang sekaligus merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sekarang melalui RUU KUHPidana, kita mengukuhkan kembali kriminalisasi terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, yang dimasukkan ke dalam Bab IX tentang Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia.24

24

Zainal Abidin dan Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP,

diakses dari situs :

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap hak asasi manusia atau kejahatan internasional merupakan sesuatu yang niscaya; kita tidak bisa menolak kecenderungan universal ini. Tetapi masalahnya adalah, apakah harus dibuat dalam sebuah kitab kodifikasi (KUHPidana) atau diatur tersendiri sebagai tindak pidana khusus? Kita tidak ingin menjawabnya dengan ya atau tidak, tetapi dengan mengajukan beberapa problematiknya dengan mengacu pada pengalaman penerapan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu apa yang diatur dalam Bab IX KUHPidana itu. Secara ringkas, bab dengan judul Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia itu mengatur tentang kriminalisasi terhadap : (i) genosida; (ii) tindak pidana kemanusiaan; (iii) tindak pidana perang dan konflik bersenjata; dan (v) penyiksaan. Dibanding dengan UU No. 26 Tahun 2000, RUU ini jauh lebih lengkap karena memasukkan dua kejahatan hak asasi manusia atau kejahatan internasional lagi ke dalamnya. Tetapi bila ditinjau dari standard internasional, RUU ini masih kurang karena belum memasukkan ke dalamnya kejahatan penghilangan orang secara paksa, dan perbudakan. Padahal kedua kejahatan internasional tersebut juga merupakan kejahatan yang oleh Prof. Bassiouni dikategorikan ke dalam kejahatan ‘jus cogens’. Dari segi perumusan delik, selain dua kejahatan “baru” yang dimasukkan dalam RUU, tidak ada perbedaan substantif dengan UU No. 26 Tahun 2000. Baik itu menyangkut rumusan delik genosida maupun rumusan delik tindak pidana kemanusiaan, hanya ada penambahan kecil- kecilan saja dalam RUU KUHPidana. Perbedaan yang besar terjadi pada besarnya ganjaran hukuman. Kalau RUU mengatur ancaman hukumannya mulai dari 3 tahun hingga 15 tahun (paling lama), maka UU No. 26 Tahun 2000 mengancam hukuman mulai dari 10 tahun hingga (paling berat) hukuman mati. Melihat besarnya perbedaan ini, maka mana yang akan digunakan. Atau memang UU No. 26 Tahun 2000 akan

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

dicabut, apalagi kalau melihat RUU KUHPidana jauh lebih lengkap dalam memasukkan kejahatan hak asasi manusia. Berkaitan dengan rumusan delik tersebut, RUU ini bersama dengan UU No. 26 Tahun 2000 tidak memuat dengan gamblang berkaitan dengan unsur-unsur delik (element of crimes) dari kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap hak asasi manusia. Padahal inilah yang menjadi masalah dalam penerapan UU No. 26 Tahun 2000. Ia membuka ruang interpretasi, yang kalau tidak dilandasi penguasaan literatur dan jurisprudensi internasional yang memadai, akan berakibat fatal (sebagaimana yang ditujukkan oleh DPR dalam kasus Trisaksi dan Semanggi I-II, yang menyimpulkan tidak terjadi pelanggaran berat HAM di sana). Padahal unsu-unsur deliknya, yakni meluas

(widespread) atau sistematik (systematic) dan unsur diketahuinya (intention) tidak

dibahas dengan memadai di dalam kasus itu. Apa yang dimaksud dalam unsur-unsur itu, bila tidak diberikan pedoman yang jelas, akan menjadi celah yang menyulitkan penerapannya.

Aspek lain yang perlu juga kita perhatikan dalam konteks kriminalisasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius atau kejahatan internasional ini adalah, masalah pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Dalam sistem yang dianut RUU KUHPidana, masalah ini diatut dalam Buku I. Membaca ketentuan yang dirumuskan dalam Buku I tersebut kita tidak menemukan dengan gamblang aturan mengenai pertanggungjawaban komando (command responsibility) dan pertanggungjawaban atasan (superior order) sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000. Yang diatur dalam RUU adalah pertanggungjawaban pidana secara umum. Dalam konteks ini kita perlu mempertanyakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 31 RUU, yang menyatakan : “tidak dipidana, setiap orang yang melakukan

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang”. Apa arti pasal ini bila dikaitkan dengan perintah atasan?

Masalah pertanggungjawaban pidana sebagaimana dipaparkan di atas sangat penting, justru karena dikriminalisasinya dalam RUU ini tindak pidana perang dan konflik bersenjata. Buku I harus mencakup pula mengatur tentang aspek-aspek pertanggungjawaban pidana dalam konteks kejahatan tersebut. Makanya perlu pengaturan yang lebih jelas mengenai aspek-aspek ini, apalagi mengingat pengalaman selama ini dalam menerapkan UU No. 26 Tahun 2000 yang meskipun sudah mengatur soal ini, tetapi masih gamang dalam mengimplementasikannya. Mahkamah Pidana Internasional misalnya, dalam mengimplementasikan Roma Statute, mengeluarkan aturan mengenai elemen-elemen kejahatan (element of crimes) dan hukum acara serta pembuktiannya (rule of procedure and evidence).

RUU KUHP telah memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian yang akan diatur dalam KUHP. Dimasukkannya jenis kejahatan ini merupakan hasrat besar dari penyusun RUU KUHP untuk memasukkan semua jenis tindakan yang masuk dalam kategorisasi pidana dan maksud atas upaya kodifikasi hukum pidana. Namun muncul kekhawatiran dimasukkannya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP akan melemahkan bobot kejahatan (gravity of the crimes) dikarenakan jenis-jenis kejahatan tersebut telah dikenal sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dan merupakan kejahatan internasional. Kejahatan-kejahatan ini merupakan kejahatan yang mengejutkan hati nurani umat manusia (shocking conciousness of human kind). Sebagai konsekuensinya, terhadap kejahatan-kejahatan yang tergolong serius ini, asas dan doktrin hukum menunjukkan adanya pemberlakukan asas-asas umum yang berbeda untuk menjamin adanya penghukuman yang efektif. Dengan demikian,

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Rancangan KUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif karena adanya ketentuan dan asas-asas umum dalam hukum pidana yang justru tidak sejalan dengan karakteristik kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan gross

violation of human rights yang dikategorikan sebagai musuh seluruh umat manusia

(hostis humanis generis). Literatur hukum menyatakan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan jus cogens, yakni hukum yang memaksa dan berada dalam posisi hierarkis yang tertinggi dibandingkan dengan semua norma dan prinsip lainnya. Norma jus cogens dianggap mutlak (peremtory) dan tidak dapat diabaikan. Terhadap kejahatan ini, setiap umat manusia mempunyai tanggung jawab (obligatio erga omnes) untuk melakukan penghukuman secara adil. Dalam sejarahnya, penghukuman atas kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo pada tahun 1948 menjadi awal atas proses penghukuman bagi para pelaku gross violation of human

rights. Selanjutnya, pada tahun 1993 digelar Pengadilan Pidana Internasional ad hoc

untuk mengadili pelaku berbagai pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional di negara bekas Yugoslavia. Pada tahun 1994 juga dibentuk Pengadilan Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili kejahatan Genosida.

Pelanggaran Konvensi Jenewa dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. Berdasarkan statuta dalam dua pengadilan di atas, muncul juga perumusan dan pendefinisian tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada tahun 1998 dengan disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), yaitu Statuta Roma 1998,

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

menandai adanya perumusan tentang maksud kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma juga menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida adalah kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan. Statuta Roma 1998 menempatkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida sebagai kejahatan dengan karakteristik khusus, yang dalam hal-hal tertentu, prinsip-prinsip hukum pidana dan acaranya berbeda dengan kejahatan pidana biasa. Statuta ini juga dilengkapi dengan perumusan tentang unsur-unsur kejahatan dan prosedur beracara dan pembuktian tersendiri. Statuta Roma juga menegaskan bahwa alasan atas adanya perintah atasan atau komandan tidak membebaskan tanggung jawab pidananya karena ketidaktahuan bahwa perintah tersebut melanggar hukum atau tidak nyata-nyata melanggar hukum. Perintah untuk melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan jelas-jelas melanggar hukum. Sehingga dalih bahwa perbuatan itu dilakukan karena perintah jabatan atau ketidaktahuan bahwa tindakan yang dilakukan bukan merupakan pelanggaran hukum tidak melepaskan tanggung jawab pidana pelakunya.

Indonesia pada tahun 2000 telah mengeluarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam UU tersebut, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. UU ini secara tegas juga menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dan dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan kejahatan “biasa” lainnya, maka Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkah- langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Beberapa prinsip dalam hukum pidana diatur secara berbeda dalam UU No. 26 Tahun 2000, yakni adanya penegasan tentang dapat diberlakukan asas non-retroaktif dan tidak adanya masa daluarsa terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.25

Penempatan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP menurut beberap ahli mempunyai kelemahan mendasar yang akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan yang efektif terhadap kejahatan- kejahatan ini. Akibatnya adalah, kelemahan dalam memberikan usaha untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Setidaknya ada tiga alasan mengapa menempatkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kodifikasi RUU KUHP dianggap tidak tepat :26

Perumusan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP tidak mempunyai perbedaan dengan perumusan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Perbedaannya hanyalah pada nama tindak pidananya, yakni tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Perumusan ketentuan dalam 1. Perumusan yang tidak sesuai dengan hukum internasional dan implikasi atas

efektivitas penerapannya.

25

Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter

Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 35.

26

Aliansi Nasional Reformasi KUHP, USAID, Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan

Genoside, Tepatkah diatur di dalam KUHP, diakses dari situs :

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

RUU KUHP tentang tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan yang sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 inilah yang menimbulkan permasalah karena justru mengulangi kesalahan perumusan sebagaimana dalam UU No. 26 Tahun 2000. Para penyusun juga tidak melengkapi perumusan kedua tindak pidana dengan adanya element of crimes sebagai bagian yang sangat penting untuk memberikan kejelasan dalam menafsirkan maksud tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, rumusan yang tidak lengkap dan salah dari ketentuan aslinya sesuai dengan Statuta Roma 1998 telah melemahkan tingkat kejahatan-kejahatan tersebut. Padahal dalam hukum pidana, asas kardinal yang dianut adalah asas legalitas yang menuntut adanya pengaturan yang jelas dan rinci (lex certa). Dalam penerapannya, perumusan dalam undang-undang menjadi pijakan untuk menentukan tindak pidana yang dilakukan dan tingkat kesalahan pelakunya. Tidak dibenarkan adanya penafsiran yang meluas atas tindak pidana yang diatur. Akibatnya, jika rumusan tentang tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP ini dipertahankan dengan rumusan yang demikian, maka akan melemahkan efektivitas penuntutan terhadap kejahatan-kejahatan ini. Kondisi ini berbeda dengan pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Meskipun dengan perumusan yang tidak lengkap, tetapi ada klausul bahwa apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU tersebut sesuai dengan Statuta Roma 1998. Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa hakim masih mempunyai peluang untuk menafsirkan perumusan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai dengan maksud aslinya dalam Statuta Roma 1998.

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Tindak pidana genosida dan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan dengan tindak pidana umum (ordinary crimes), yang oleh karena itu asas-asasnya menyimpangi asas-asas umum hukum pidana. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida tidak mengenal asas “daluarsa” dan alasan penghapusan pidana karena perintah jabatan atau perintan tersebut melanggar hukum.

2. Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional yang berdasarkan hukum internasional, terhadap kejahatan ini dilarang untuk diberikan amnesti. Berdasarkan Basic Principles and Guidelines on

the Right to a Remedy and Reparation for Gross Violations of International

Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law;

General Comment 31, Update Set of Principles to Combat Impunity dalam Prinsip

1, 19, 22 dan 24, diatur bahwa ketika terjadi genosida dan kejahatan terhadap

kemanusiaan maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak memberikan amnesti kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut di depan pengadilan. Jadi, ada kewajiban negara untuk menghukum pelaku dan memberi kompensasi terhadap korban.

Rumusan dalam Buku I RUU KUHP kembali lagi menentukan adanya gugurnya kewenangan penuntutan karena adanya pemberian amnesty dari Presiden (Pasal 145 huruf g). Klausul ini memberikan peluang terhadap tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan tidak dilakukan penuntutan karena adanya amnesti. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum internasional yang mewajibkan setiap negara untuk melakukan penuntutan terhadap para pelaku kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki status yang sangat khusus dalam Hukum Internasional. Kejahatan ini adalah the most serious

crimes of international concern as a whole atau kejahatan paling berat bagi

masyarakat internasional secara keseluruhan. Kejahatan ini termasuk pelanggaran terhadap Jus cogens dan Erga Omnes, yakni norma tertinggi dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-norma lain (overriding norms) dan merupakan suatu kewajiban seluruh negara untuk melakukan penuntutan.27

27

Ibid, hal. 3.

Oleh karena itu, menempatkan jenis-jenis kejahatan tersebut dengan perumusan saat ini di RUU KUHP dan memaksakannya masuk dalam KUHP di masa depan akan menimbulkan kelemahan-kelemahan baik dari sisi perumusan kejahatan maupun ketidakcukupan asas-asas umum yang dianutnya. Bahkan, berpotensi menimbulkan pertentangan dengan asasasas umum hukum pidana dalam Buku I RUU KUHP. Oleh karena itu, jenis kejahatan ini sebaiknya tetap dikeluarkan dalam RUU KUHP. Sedangkan revisi menyeluruh tentang perumusan dan akomodasi asas-asas khusus yang akan mewadahi efektivitas penuntutan atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah dengan melakukan amandemen UU No. 26 Tahun 2000.

Yang juga akan menjadi masalah bila kejahatan ini diatur dalam satu kodifikasi adalah, masalah hukum acaranya. Berdasarkan UU No. 26/2000, penyelidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat berada dalam kewenangan Komnas HAM. Yang jadi pertanyaan dengan RUU KUHPidana ini adalah, apakah kewenangan ini masih berada di bawah Komnas HAM atau berada di bawah kepolisian?

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Seperti kita ketahui, UU No. 26/2000 mengatur secara sumir mengenai hukum acara ini. Hanya terbatas mengatur soal kewenangan Kejaksaan Agung, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Hakim. Jaksa Agung diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, dan juga diberi kewenangan untuk meneruskan atau tidak suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Selain diberikan kewenangan mengangkat penyidik ad hoc. Sedangkan kepada Komnas HAM diberikan kewenangan penyelidikan. Mengenai hakim, Undang-undang memberi kewenangan kepadanya untuk melakukan pemeriksaan dalam suatu majelis (terdiri dari lima hakim) dalam jangka waktu 180 hari sudah harus memutuskan perkara yang diajukan kepadanya (terhitung sejak perkara dilimpahkan). Tentang alat bukti dan cara bagaimana mendapatkannya dengan demikian aturannya mengacu kepada KUHAP. Itu artinya sangat tidak mungkin alat-alat bukti yang berupa rekaman video, kaset atau fotokopi dan pernyataan-pernyataan (statements) dipergunakan di dalam proses persidangan. Padahal dalam kasus persidangan Rwanda dan bekas- Yugoslavia, alat-alat bukti seperti itu dibenarkan. Termasuk mendengarkan kesaksian dari para saksi di hadapan televisi pengamat terbatas (closed circuit television). KUHAP masih sangat konvensional dalam mengatur tentang alat bukti dan pembuktian, yang karena itu sangat tidak memadai untuk diterapkan pada perkara-perakara yang diperiksa di pengadilan HAM yang memiliki kerumitan tersendiri.

Pembatasan waktu hanya dalam jangka 180 hari bagi pemeriksaan di pengadilan jelas sangat kaku. Begitu juga jangka waktu yang ditetapkan bagi proses penyelidikan dan penyidikan, yang sangat terbatas. Pembatasan waktu itu jelas perlu agar ada ancangan waktu, tetapi tidak bisa ditetapkan sebagai suatu kewajiban. Perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia bukan perkara yang sederhana, tetapi

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

seringkali merupakan perkara yang bersifat rumit dan peka. Dalam praktiknya, sebagaimana yang tampak pada kasus Rwanda dan bekas Yugoslavia, sidang pengadilan memakan waktu cukup lama (lebih dari satu tahun). Pemaparan di atas menunjukkan, bahwa RUU KUHPidana ini menuntut juga perubahan terhadap hukum acara pidananya (KUHAP). Perubahan terhadap KUHAP, tentu harus pula