• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM KUHP DAN LUAR KUHP

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

ISKANDAR MUDA HARAHAP

NIM :

030 – 200 - 236

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(2)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM KUHP DAN DI LUAR KUHP

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

ISKANDAR MUDA HARAHAP

NIM :

030 – 200 - 236

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Abul Khair, SH.M.Hum NIP. 131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum Nurmalawaty, SH.M.Hum

NIP. 130 809 557 NIP. 131 803 347

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini berjudul :”TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM KUHP DAN LUAR KUHP”, Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Syafaruddin, SH.MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

4. Bapak M. Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

(4)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.

7. Ibu Nurmalawaty, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi. 8. Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU

dimana penulis menimba ilmu selama ini.

9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.

Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, Desember 2008 Penulis,

(5)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ABSTRAK

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

……… 1 B. Rumusan

Masalah……… 7

C. Tujuan dan Manfaat

Penulisan……… 8

D. Keaslian Penulisan……….. 9

E. Tinjauan Kepustakaan

i. Pengertian Kejahatan HAM Berat……… 9

ii. Jenis-jenis Kejahatan Kemanusiaan………. 11

iii. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan………. 14

F. Metode

Penelitian……… 20

(6)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

BAB II TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN

(CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM BERBAGAI PERATURAN

A. Kejahatan Kemanusiaan (CrimesAgaints Humanity) Peraturan Naional

1. Menurut

KUHP………. 42

2. Menurut RUU

KUHP……… 50

3. Menurut UU No.26 Tahun 2000 Tentang Peradilan HAM……... 62

B. Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)

Dalam Konvensi

Internasional……… 71

BAB III PENGADILAN HAM SEBAGAI WADAH PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS NASIONAL DAN INTERNASIONAL

A. Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional……. 25

B. Pengadilan HAM Indonesia (UU No. 26 Tahun 2000) sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia……….

32

(7)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Asasi

Manusia……… 36

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….

76

B. Saran………

… 81

DAFTAR PUSTAKA

(8)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam keadaan perang atau situasi darurat umum (istilah yang juga dikenal dalam berbagai konvensi international), dimungkinkan adanya pembatasan penikmatan HAM. Kondisi yang dimaksudkan adalah "in time of public emergency

with threatens the life of a nation, to the extent strictly required by the exigencies of

the situation…." Konflik bersenjata, di manapun di dunia ini, selalu membawa

korban; mulai dari tingkat individu, komunitas, sampai ke tingkat nasional. Sebut saja beberapa peristiwa, misal ; konflik bersenjata di Aceh, perselisihan antar warga di Ambon, di Poso, dan konflik bersenjata pasca tragedi Gedung WTC (World Trade

Centre) dan Pentagon. Ironisnya, dari berbagai peristiwa tersebut, selain

mengorbankan jutaan jiwa, korbannya bukan hanya militer/pasukan atau angkatan bersenjata yang terlibat langsung dalam konflik. Akan tetapi, rakyat atau masyarakat sipil yang tidak berdosa yang justru menerima akibat lebih tragis. Berdasarkan pengalaman yang dialami banyak negara di berbagai kurun waktu dan belahan dunia. Maka, tercetuslah dasar-dasar hukum humaniter yang bertujuan melindungi dan membatasi akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa tersebut. 1

Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat hukum lainnya, hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup

1

Harkristuti Harkrisnowo, Pemidanaan Kejahatan Berat, diakses dari situs :

(9)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

panjang namun sangat signifikan. Tujuan Hukum Humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut :2

Kelahiran hukum humaniter dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya, "Un Souvenir de Solferino", Dunant menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga 1. untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu

permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan orang-orang sipil;

2. untuk membatasi akibat kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut.

Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan. Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang.

2

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan

(10)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih diperhatikan.3

Tidak dapat diingkari bahwasanya konvensi ini menjadi simbol peletakkan batu pertama dari Hukum Humaniter Internasional, dengan mengutamakan prinsip-prinsip universalitas dan toleransi dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang Saudara di Spanyol (1936-1939) dan Perang Dunia Kedua (1939-1945), menggugah Liga Bangsa-Bangsa untuk melanjutkan penetapan sejumlah konvensi berikutnya. Konvensi Kedua, berkenaan dengan anggota tentara yang terluka, sakit, terdampar di lautan; Konvensi Ketiga tentang Tawanan Perang, dan Konvensi Keempat, tentang korban-korban masyarakat sipil. Kesemua konvensi ini mempunyai kesamaan, yakni adanya penetapan mengenai aturan minimum yang harus dipatuhi pada saat terjadinya konflik bersenjata secara internal.

Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi dengan mendirikan Inter-national Committee for Aid to the Wounded - yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross. Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi oleh 16 Negara Eropa pada tahun 1864, dan Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the

Wounded in Armies in the Field.

4

3

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12.

4

(11)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Dari uraian di atas, nampak bahwasanya konflik bersenjata yang dimaksudkan dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all

circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race,

color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria…" padahal

sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer. Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup tiga

golongan besar, yakni :5

Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal (bukan inter-national). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya (menurut data tahun 1977). Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik tersebut, di bawah pengawasan ICRC.

1. Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC, di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama:

2. Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan;

3. Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya

5

(12)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah konflik bersenjata internal yang sampai detik ini masih terjadi. Situasi konflik internal yang tengah terjadi di Aceh yang sering disebut sebagai perang saudara ini lebih kompleks sifatnya, dan memerlukan penanganan yang arif.

Dengan demikian unsur-unsur yang terdapat dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977 berkaitan dengan kasus Aceh, yang harus diperhatikan dalam situasi seperti di atas, adalah :6

4). Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang.

a). Intensitas dan lamanya konflik

b). Perilaku dengan kekerasan yang terjadi c). Dilakukan secara spontan ataukah terorganisir d). Kekuatan kepolisian yang besar

e). Kekuatan angkatan bersenjata.

Dalam Geneva Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat (1) dicantumkan bahwa:

"…Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be treated

humanely without any adverse distinctions….."

Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut:

1). Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa 2). Menyandera orang

3). Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan merendahkan orang

6

(13)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa: “All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities

whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their

persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely

without any adverse distinction.

Perilaku yang dilarang terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut mencakup : 7

Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang a). Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental

maupun jasmani orang Collective Punishment b). Menyandera orang

c). Melakukan terorisme

d). Melecehkan harkat dan martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan dan menghina, perkosaan, pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan terhadap kesusilaan.

e). Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya f). Melakukan penjarahan

g). Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas.

Bentuk-Bentuk Kejahatan Berat Tindak-tindak pidana yang termasuk dalam pelanggaran berat atau grave breaches dalam Konvensi Jenewa mencakup:

1. Willful killing, merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP.

2. Torture or in human treatment, including biological experiment;

7

(14)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni : "… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada sese-orang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau me-maksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul-kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…" 3. Willfully causing suffering or serious injury to body are health;

Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dst dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan.

4. Extensive destruction or appropriation of property

Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini, dan sebagainya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis merasa sangat tertarik untuk membahas bagaimana pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan dengan Tinjauan Yuridis Mengenai Tanggung Jawab Pidana Terhadap Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan RUU KUHP Indonesia”

(15)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana Kajian Hukum Terhadap Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 2000 dan Konvensi

Internasional.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana Eksistensi Pengadilan HAM sebagai wadah

Penegakan HAM menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.

Selanjutnya pembahasan skripsi ini diharapkan juga dapat bermanfaat :

1. Manfaat secara teoretis.

Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan Kajian Hukum Terhadap Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang

Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional.

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang penerapan pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang

(16)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

D. Keaslian Penelitian

Pembahasan skripsi ini dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM KUHP DAN DI LUAR KUHP”, adalah masalah yang sebenarnya sudah sering kita dengar. Namun yang dibahas dalam skripsi ini adalah khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional.

Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Pidana. Apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

a. Pengertian Kejahatan HAM Berat

(17)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (Non Derogable Rights) meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak diatuntut atas dasar hukum yang berlaku.

Menurut Theo Van Boven kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran” yaitu menunjukkan betapa parahnya akibat pelanggaran yang dilakukan. Kata “berat” juga berhubungan dengan jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Pelanggaran HAM yang berat yang merupakan yurisdiksi dari Pengadilan HAM, adalah : 8

a. Kejahatan Genosida (Pembunuhan Massal)

Genosida didefinisikan sebagai tindakan-tindakan berikut yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, secara menyeluruh atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama seperti dengan melakukan 9

a. Membunuh anggota kelompok

:

b. Menyebabkan luka parah baik mental maupun fisik kepada anggota kelompok c. Secara sengaja menciptakan kondisi hidup kelompok yang diperhitungkan akan

mengakibatkan kehancuran fisik baik secara menyeluruh maupun sebagian d. Memaksakan tindakan yang menghambat kelahiran dalam kelompok e. Secara paksa memindah anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.

8

Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter

Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 30.

9

(18)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Jadi secara umum genocide (genosida), adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan. pada 11 Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan suara bulat mengeluarkan resolusi yang mengatakan bahwa ‘Genosida adalah penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara keseluruhan… yang menggoncang nurani manusia.

b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity)

Istilah kejahatan terhadap kemanusian (Crime Against Humanity) pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka (Amerika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum adalah, salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan pada penduduk sipil, yaitu berupa :

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;

d Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

(19)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid.

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara, atau pelaku non negara. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan beberapa perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik (systematic) dan meluas

(widespread) menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime

Againts Humanity on International Criminal Law; sistematik mensyaratkan adanya

kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak. Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender10

c. Kejahatan Perang .

Pasal 8 Statuta Roma terdiri dari suatu definisi yang panjang tentang kejahatan perang. Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan

10

(20)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

internasional, terhada maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang, contoh Saddam Husein, mantan Presiden Irak, diadili karena kejahatan perang.11

Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah

mengibarka

sebagai semena-mena terhada sebagai kejahatan perang. sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada pada awal

oleh12

11

Geoffrey Robertson QC, Op.cit, hal. 409. 12

Ibid.

(21)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Satu jenis kejahatan lainnya yang termasuk kejahatan internasional, adalah kejahatan agresi, yaitu Kejahatan terhadap perdamaian dalam bentuk perencanaan, persiapan, memulai atau melaksanakan perang, disebut juga kejahatan agresi. Pada mulanya konsep kejahatan agresi sebagai kejahatan internasional berkait erat dengan perbedaan antara " Perang adil " dan " Perang tidak adil " (just and injust

war). Metode-metode perang tidak adil pada dasarnya merupakan perang agresi

yaitu perang yang melanggar keagunan (jaminan) dari fakta untuk tidak saling menyerang ( not to attack ).

b. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan

Istilah kejahatan terhadap kemanusian (Crime Against Humanity) pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka (Amerika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum adalah, salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan pada penduduk sipil, yaitu berupa :

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;

(22)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid.

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara, atau pelaku non negara. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan beberapa perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik (systematic) dan meluas

(widespread) menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime

Againts Humanity on International Criminal Law; sistematik mensyaratkan adanya

(23)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender13

Sementara, definisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri adalah "tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan yang luas dan sistematik yang terjadi secara langsung terhadap populasi sipil". Terdapat 11 bentuk kejahatan yang dikualifikasi sebagai crimes against humanity, antara lain; (1) pembunuhan, (2) penghancuran yang sengaja terhadap sarana-sarana vital bagi kelangsungan hidup, misalnya yang bisa mengakibatkan kelaparan dan bahaya penyakit, (3) pemaksaan terhadap masyarakat sipil untuk berpindah dari area yang mereka diami secara sah, (4) penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisikal maupun mental, (5) penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, (6) kekerasan seksual dan (7) penghilangan paksa (diakibatkan penculikan atau penahanan sewenang-wenang)

.

Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanit) adalah satu dari empat "kejahatan-kejahatan internasional" (international crimes), di samping The

Crime of Genocide, War Crimes dan The Crime of Aggression. International Crimes

sendiri didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yuridiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi bisa digunakan untuk mencegah proses peradilan oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain,

international crimes ini menganut asas universal juridiction.

14

Pembahasan lebih lanjut mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes

against humanit) yang dimuat di dalam Pasal 7 Statuta Roma adalah menyatakan

.

13

M. Cherif Bassiouni, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998, hal 499.508. 14

(24)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang menimbulkan penderitaan besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecahan seksual, perbudakan, penyiksaan dan pengasingan. Yang menjijikkan adalah bahwa kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yang melibatkan banyak pihak) dan ditujukan pada setiap penduduk mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu15

Namun sejauh mana entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus “terorganisir” sehingga anggota-anggotanya dapat menjadi subyek penahanan. Tidak ada persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga

.

Definisi ini dianggap terlalu sempit oleh LSM, yang lebih menyukai arti yang lebih luas sebagaimana disarankan oleh Komisi Hukum Internasional, yaitu ‘setiap aksi yang tak berprikemanusiaan, yang dihasut atau dipimpin oleh pemerintah atau organisasi atau kelompok’. Para delegasi di Roma bertindak benar ketika menentang definisi semacam itu. Sebab, definisi itu akan mendorong pengadilan internasional juga mengadili para antek dan prajurit. Definisi itu setidaknya menjamin bahwa ICC harus membatasi diri hanya pada kejahatan-kejahatan yang paling berbahaya, yang dilakukan secara sistematis keteimbang yang dilakukan secara spontan, serta mengikuti kebijakan yang disusun baik oleh aparat negara (seperti kepolisian atau tentara) maupun oleh suatu entitas organisasi untuk membedakan dirinya dari kelompok kriminal biasa. Definisi di dalam Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal (salah satu atau lebih dri beberapa perbuatan) sepanjang diketahui oleh terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil.

15

(25)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

sebuah kekuatan oposisi dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dapat memenuhi kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam skala seperti yang dipimpin oleh Osama Bin Laden, yang melatih ribuan pengikutnya dan bertanggung jawab atas pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania serta gedung WTC tahun 2001 yang lalu. Pemboman itu merenggut nyawa ribuan warga sipil. Berbagai aksi terhadap pembunuhan ini merupakan bagian dari serangan sistematis terhadap populasi warga sipil, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa sehari-hari hal ini disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against

humanity).

Seperti yang diketahui, bahwa konferensi Roma menolak yurisdiksi atas beberapa tindak kejahatan, seperti kejahatan terorisme tertentu. Namun nampaknya tak ada alasan legal mengapa para jaksa menuntut tak dapat menyelidiki kelompok-kelompok teroris yang sering melakukan kekejaman yang menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil. Atau, suatu organisasi criminal dengan agenda politik seperti Kartel Obat terlarang ketika organisasi ini secara sistematis membunuh para hakim, wartawan dan politisi serta menghancurkan jalur penerbangan. Ketentuan-ketentuan tambahan mengizinkan negara-negara untuk memilih melakukan yurisdiksi atas warga yang ditahan. Walaupun pengalamanan Columbia di masa lalu (ketika, pada suatu waktu tertentu, keadilan tak dapat diterapkan terhadap Pablo Escobar dan pemimpin Kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat) telah memberikan contoh kasus yang tepat untuk dipindahkan ke pengadilan internasional16

16

Ibid.

(26)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Termasuk diantara aksi-aksi di bawah ini, jika dilaksanakan secara sistematis dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘penghilangan orang secara paksa’, didefinisikan sebagai penahanan atau penculikan orang-orang oleh/atau dengan persetujuan negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk menyatakan pengetahuan tentang keberadaan atau nasib korban. Tindakan ini disetujui dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang lama. Rumusan yang janggal ini (kebanyakan tindakan ini telah menghilangkan orang-orang untuk selamanya, melalui eksekusi secara rahasia) ditujukan untuk menggambarkan tingkah laku dari sejumah pemerintah di Amerika Selatan yang telah mengizinkan ‘pasukan kematian’ beroperasi bersama dengan militer, dan tidak berusaha untuk melacak jejak para korbannya. Definisi ersebut akan memberatkan mereka yang termasuk dalam pasukan tersebut, atau departemen-departemen dan kantor-kantor pemerintah yang menutup-nutupi aktifitas tersebut. Apartheid dikategorikan kembali sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, definisinya lebih hati-hati dibandingkan dengan yang tercantum dalam Konvensi Apartheid. Selanjutnya, kejahatan ini membutuhkan tindakan kejahatan yang tidak berprikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara hegemoni dari rejim melalui penindasan rasional secara sistematik.

(27)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

untuk melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan) adalah untuk melanggar hukum internasional.

Kejahatan “penindasan” didefinisikan sebagai pencabutan hak-hak dasar dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras atau budaya. Kejahatan ini bisa didakwakan bagi para pemimpin yang melakukan ‘pembersihan etnis’ yang tidak jauh berbeda dengan genoside. Ini juga berlaku bagi mereka yang membantu tindakan tersebut. Para supir Ford Falcons yang digunakan oleh “pasukan kematian” di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur penyiksaan atas tindakan “subversif” di pusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet, hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas

corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan

kepadanya mempunyai hubungan suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan (seperti genoside atau penyiksaan atau kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya) merupakan unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Setelah mengetahui hal itu, tak akan ada maaf bagi para algojo yang menyalahgunakan profesinya dan memberikan bantuan dalam bentuk kekerasan.

Bagaimanapun kejahatan penindasan (yang definisinya membingungkan karena tumpang tindih antara Pasal 7 (1) (h) dan Pasal 7 (2) (g) akan menjadi sebuah senjata bagi para jaksa penuntut untuk melawan para pengacara, banker, tukang propaganda, orang-orang yang menggunakan ijazah professional mereka untuk membersihkan tangan mereka dari darah yang tumpah di rejim klien-kliennya

(28)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan analisa hukum pidana khususnya terhadap Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan

HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. .Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.

Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan masalah Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan

HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. 2. D a t a

Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Sumber data kepustakaan diperoleh dari : 1. Bahan Huku m Primer, terdiri dari :

a. Norma atau kaedah dasar ; b. Peraturan dasar ;

(29)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional.

2. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. 17

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan

(Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku,

majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

Selanjutnya Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data

17

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu

(30)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

4. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperolah dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang dengan pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. Kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klassifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara indukt if kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

(31)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Kepustakaan dan diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN

(CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM BERBAGAI

PERATURAN

Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian dan Jenis-jenis Kejahatan Kemanusiaan (CrimesAgainstHumanity),Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Aginst Humanity) Dalam Peraturan Nasional dan Kejahatan Kemausiaan (Crimes Against humanity) dalam Konvensi Internasional

(32)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan

BAB II

TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIME AGAINST HUMANITY) DALAM BERBAGAI PERATURAN

F. Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) Dalam Peraturan Nasional

(33)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Pada dasarnya konflik bersenjata dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus "in all circumstances be treated

humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith,

sex, birth, or wealth, or other similar criteria…" padahal sebelum tahun 1949,

perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer.18

Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal (bukan international). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya (menurut data tahun 1977). Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup tiga golongan besar, yakni :

1. Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC, di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama:

2. Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan;

3. Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya

18

(34)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik

tersebut, di bawah pengawasan ICRC.

Dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah konflik bersenjata internal yang sampai detik ini masih terjadi. Situasi konflik internal yang tengah terjadi di Aceh misalnya yang sering disebut sebagai perang saudara ini lebih kompleks sifatnya, dan memerlukan penanganan yang arif Internal disturbances dirumuskan sebagai berikut: "…..situations, in which there is no

international armed conflict as such, but there exists a confrontation within the

country, characterized by a certain seriousness or duration, and which involves acts

of violence from the spontaneous generation of acts of revolt to the struggle between

more or less organized groups the authorities in power call upon extensive police

force or even armed forces to restore internal order the high number of victims had

made necessary the applications of minimum of humanitarian rules…"

Dengan demikian unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam situasi seperti di atas adalah :19

19

Harkristuti Harkrisnowo, Kejahatan Berat dan Hukum Humaniter, diakses dari situs : http:www.komisihukum.go.id, tanggal 12 Oktober 2008, hal. 2-3.

a). Intensitas dan lamanya konflik

b). Perilaku dengan kekerasan yang terjadi c). Dilakukan secara spontan ataukah terorganisir d). Kekuatan kepolisian yang besar

e). Kekuatan angkatan bersenjata.

Dalam Geneva Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat (1) dicantumkan bahwa: "…Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be

(35)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut:

1). Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa. 2). Menyandera orang

3). Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan merendahkan orang

4). Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang.

Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa: All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities

whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their

persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely

without any adverse distinction.

Perilaku yang dilarang terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut mencakup:20

f). Melakukan penjarahan

a). Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental maupun jasmani orang Collective Punishment.

b). Menyandera orang c). Melakukan terorisme

d). Melecehkan harkat dan martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan dan menghina, perkosaan, pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan terhadap kesusilaan.

e). Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya

20

(36)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

g). Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas.

Tindak-tindak pidana yang termasuk dalam pelanggaran berat atau grave breaches dalam Konvensi Jenewa mencakup :21

2). Torture or in human treatment, including biological experiment; 1). Willful killing;

Willful Killing merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen

dengan pasal 340 dan 338 KUHP.

22

21

Ibid.

Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni: "… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul-kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…"

3). Willfully causing suffering or serious injury to body are health;

22

(37)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dan seterusnya dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan.

4). Extensive destruction or appropriation of property

Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini.

5). Compelling a prisoner of war or protected person to serve in the armed force of

hostile power,

Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang melindungi (oleh hukum) untuk bekerja bagi angkatan bersenjata pihak musuh

6). Willfully depriving a prisoner of war of protected person of the right to a fair and

regular trial.

Dengan sengaja menghalang-halangi tawanan perang untuk mempergunakan haknya untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat yang diurai di sini ini dapat diletakkan pada orang-orang yang :23

23

Ibid, hal. 4.

1. memenuhi semua unsur tindak pidana,

2. memerintahkan dilakukannya tindakan tersebut, termasuk dalam bentuk percobaan,

(38)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

4. dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut, baik secara langsung maupun secara substansial, termasuk menye-diakan sarana untuk penyele-saian kejahatan tersebut,

5. langsung berpartisipasi dalam merencanakan atau menye-pakati keja-hatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan,

6. secara langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan terse-but, dan kejahatan itu dilakukan,

7. mencoba melakukan kejahatan itu dengan memulai perbuatan, namun tidak selesai karena hal-hal yang ada di luar dirinya.

Melihat uraian di atas, untuk Indonesia Pasal 55 (tentang penyertaan tindak pidana), Pasal 56 (tentang pembantuan tindak pidana), dan Pasal 53 (tentang percobaan tindak pidana), sudah jelas akan menjadi acuan apabila kasus-kasus semacam ini diproses dalam peradilan di Indonesia.

Dasar-dasar pemidanaan yang berlaku secara umum juga berlaku dalam hukum humaniter. Satu hal yang sangat penting adalah penegasan asas legalitas, bahwasanya seseorang tidak dapat dihukum atas sesuatu perbuatan yang belum dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam Undang-Undang Negara yang bersang-kutan. Hukum Acara Pidana yang dipergunakan dalam proses peradilan bagi kasus-kasus se-macam ini tentu saja mendapat perhatian yang sangat besar.

(39)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

1). Prosedur yang diterapkan harus memberikan hak pada terdakwa untuk diberitahu dengan segera mengenai tindak pidana yang dituduhkan padanya, beserta sejumlah hak dan sarana untuk melakukan pembelaan, baik sebelum maupun selama persidangan.

2). Tak seorangpun dapat dijatuhi pidana atas tindak pida-na yang dilakukannya kecuali berdasarkan pertanggungjawaban pidana secara pribadi.

3). Tak seorangpun dapat di-nyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang pada saat dilakukannya perbuatan tersebut tidak dirumuskan oleh hukum sebagai suatu tindak pidana; tidak dibenarkan menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada sanksi pidana yang dirumuskan dalam hukum yang ada pada saat dilakukannya perbuatan ter-sebut; apabila setelah terjadinya perbuatan dilakukan perubahan perundang-undangan yang menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Maka, terdakwa harus dijatuhi pidana yang lebih ringan tersebut;

4). Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahan-nya menurut hukum,

5). Setiap orang yang diadili berhak untuk menghadiri persidangannya,

6). Tak seorangpun dapat dipaksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri atau untuk mengakui kesalahannya.

Bagian selanjutnya dari pasal ini menetukan sejumlah ketentuan lain yakni: 1). Bahwa setiap orang yang dijatuhi pidana harus diberitahukan mengenai

upaya-upaya hukum yang dapat dilakukannya,

2). Pidana mati tidak boleh dijatuhkan pada orang-orang yang berusia di bawah 18 tahun, wanita hamil, dan perempuan yang mempunyai anak kecil

(40)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

atau orang-orang yang ditahan/dipenjara berdasarkan alasan-alasan yang berkenaan dengan konflik bersenjata.

Kewajiban untuk melakukan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan suatu ketentuan internasional yang telah dirumuskan dalam berbagai konvensi internasional. Hak-hak yang wajib diberikan pada seorang tersangka/terdakwa telah jelas dalam ketentuan Internasional Covenant on Civil and

Political Rights, terutama pasal 9 sampai dengan Pasal 15, yang pada dasarnya

berisikan asas-asas antara lain:

1). Praduga tak bersalah (pre-sumption of innocence) 2). Persamaan di muka hukum (equality before the law) 3). Asas legalitas (principle of legality)

4). Ne bis in idem (double jeopardy)

5). Asas tidak berlaku surut (non retroactivity), kecuali apabila ada perubahan UU yang meringankannya.

Apabila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara. Maka, yang harus diperhatikan adalah Basic Principles for the Treatment of Prisoners, beserta pula

Body of Principles for the Protection of all Persons under any form of Detention or

Imprisonment.

2. Berdasarkan RUU KUHP

(41)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Kreasi atau langkah inovatif para perancang RUU boleh dikatakan langkah yang maju, yang sejalan dengan usaha menata kembali tatanan kehidupan kenegaraan kita yang demokratis di masa transisi saat ini. Kita menyebut seluruh usaha ini dengan istilah “reformasi”. Salah satunya yang saat ini dengan serius kita tata kembali adalah, jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. RUU ini, yang merancang kriminalisasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang serius, tampak memanifestasikan keinginan “reformasi” tersebut.

Pemikiran inovatif para perancang RUU KUHPidana tersebut haruslah kita apresiasi dengan positif. Maka, dengan semangat inilah saya ingin mengajukan beberapa catatan kritis terhadap RUU ini, khususnya terhadap Bab IX mengenai tindak pidana hak asasi manusia. Kalau ingin diajukan dalam bentuk pertanyaan, pemasalahan yang saya ajukan adalah, (i) apakah kriminalisasi terhadap kejahatan hak asasi manusia harus selalu dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?, dan (ii) bagaimana dengan status UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM? Apakah tidak sebaiknya tetap dipertahankan pola tindak pidana khusus di luar KUHP, sehingga UU No. 26 Tahun 2000 berstatus sebagai tindak pidana khusus sesuai dengan karakternya sebagai extra-ordinary crime?

Yang paling mengedepankan sumbangannya dalam usaha melakukan kriminalisasi terhadap hak asasi manusia adalah hukum pidana internasional. Tonggak terpentingnya adalah pengadilan Nuremberg setelah Perang Dunia II yang mengkriminalisasi kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan

(crime against humanity), dan genosida (crime against genocide), yang kemudian

(42)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

(involuntary disappearance). Boleh dikatakan terjadi hubungan yang sangat dinamis

antara hukum pidana internasional dengan hak asasi manusia internasional dalam usaha untuk memelihara dan menjaga perdamaian dunia.

Menurut pakar hukum pidana internasional kenamaan, Prof. M. Cherif Bassiouni, kejahatan-kejahatan internasional tersebut seperti agresi, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan, perbudakan dan penyiksaan memiliki status sebagai kejahatan ‘jus cogens’, yang menimbulkan kewajiban ‘erga omnes’ bagi setiap negara. Sebagai kejahatan internasional yang memiliki status jus cogens, berarti menimbulkan pula kewajiban untuk mengadili atau mengekstradisi, tidak berlakunya statuta batasan untuk kejahatan demikian dan berlakunya yurisdiksi universal terhadap kejahatan tersebut dimanapun terjadinya, oleh siapa (termasuk kepala negara), apapun kategori korban dan tanpa memandang konteks terjadinya (damai atau perang). Sebagian karena alasan ini, saat ini banyak negara yang telah memasukkan kejahatankejahatan internasional tersebut ke dalam hukum pidana nasionalnya, antara lain seperti Belgia, Denmark, Kanada, dan seterusnya. Kita dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebenarnya telah melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan yang dalam hukum pidana internasional dikenal sebagai kejahatan ‘jus cogens’ itu yang sekaligus merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sekarang melalui RUU KUHPidana, kita mengukuhkan kembali kriminalisasi terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, yang dimasukkan ke dalam Bab IX tentang Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia.24

24

Zainal Abidin dan Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP,

diakses dari situs :

(43)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

(44)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

dicabut, apalagi kalau melihat RUU KUHPidana jauh lebih lengkap dalam memasukkan kejahatan hak asasi manusia. Berkaitan dengan rumusan delik tersebut, RUU ini bersama dengan UU No. 26 Tahun 2000 tidak memuat dengan gamblang berkaitan dengan unsur-unsur delik (element of crimes) dari kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap hak asasi manusia. Padahal inilah yang menjadi masalah dalam penerapan UU No. 26 Tahun 2000. Ia membuka ruang interpretasi, yang kalau tidak dilandasi penguasaan literatur dan jurisprudensi internasional yang memadai, akan berakibat fatal (sebagaimana yang ditujukkan oleh DPR dalam kasus Trisaksi dan Semanggi I-II, yang menyimpulkan tidak terjadi pelanggaran berat HAM di sana). Padahal unsu-unsur deliknya, yakni meluas

(widespread) atau sistematik (systematic) dan unsur diketahuinya (intention) tidak

dibahas dengan memadai di dalam kasus itu. Apa yang dimaksud dalam unsur-unsur itu, bila tidak diberikan pedoman yang jelas, akan menjadi celah yang menyulitkan penerapannya.

(45)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang”. Apa arti pasal ini bila dikaitkan dengan perintah atasan?

Masalah pertanggungjawaban pidana sebagaimana dipaparkan di atas sangat penting, justru karena dikriminalisasinya dalam RUU ini tindak pidana perang dan konflik bersenjata. Buku I harus mencakup pula mengatur tentang aspek-aspek pertanggungjawaban pidana dalam konteks kejahatan tersebut. Makanya perlu pengaturan yang lebih jelas mengenai aspek-aspek ini, apalagi mengingat pengalaman selama ini dalam menerapkan UU No. 26 Tahun 2000 yang meskipun sudah mengatur soal ini, tetapi masih gamang dalam mengimplementasikannya. Mahkamah Pidana Internasional misalnya, dalam mengimplementasikan Roma Statute, mengeluarkan aturan mengenai elemen-elemen kejahatan (element of crimes) dan hukum acara serta pembuktiannya (rule of procedure and evidence).

(46)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Rancangan KUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif karena adanya ketentuan dan asas-asas umum dalam hukum pidana yang justru tidak sejalan dengan karakteristik kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan gross

violation of human rights yang dikategorikan sebagai musuh seluruh umat manusia

(hostis humanis generis). Literatur hukum menyatakan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan jus cogens, yakni hukum yang memaksa dan berada dalam posisi hierarkis yang tertinggi dibandingkan dengan semua norma dan prinsip lainnya. Norma jus cogens dianggap mutlak (peremtory) dan tidak dapat diabaikan. Terhadap kejahatan ini, setiap umat manusia mempunyai tanggung jawab (obligatio erga omnes) untuk melakukan penghukuman secara adil. Dalam sejarahnya, penghukuman atas kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo pada tahun 1948 menjadi awal atas proses penghukuman bagi para pelaku gross violation of human

rights. Selanjutnya, pada tahun 1993 digelar Pengadilan Pidana Internasional ad hoc

untuk mengadili pelaku berbagai pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional di negara bekas Yugoslavia. Pada tahun 1994 juga dibentuk Pengadilan Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili kejahatan Genosida.

(47)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

menandai adanya perumusan tentang maksud kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma juga menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida adalah kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan. Statuta Roma 1998 menempatkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida sebagai kejahatan dengan karakteristik khusus, yang dalam hal-hal tertentu, prinsip-prinsip hukum pidana dan acaranya berbeda dengan kejahatan pidana biasa. Statuta ini juga dilengkapi dengan perumusan tentang unsur-unsur kejahatan dan prosedur beracara dan pembuktian tersendiri. Statuta Roma juga menegaskan bahwa alasan atas adanya perintah atasan atau komandan tidak membebaskan tanggung jawab pidananya karena ketidaktahuan bahwa perintah tersebut melanggar hukum atau tidak nyata-nyata melanggar hukum. Perintah untuk melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan jelas-jelas melanggar hukum. Sehingga dalih bahwa perbuatan itu dilakukan karena perintah jabatan atau ketidaktahuan bahwa tindakan yang dilakukan bukan merupakan pelanggaran hukum tidak melepaskan tanggung jawab pidana pelakunya.

(48)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan kejahatan “biasa” lainnya, maka Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Beberapa prinsip dalam hukum pidana diatur secara berbeda dalam UU No. 26 Tahun 2000, yakni adanya penegasan tentang dapat diberlakukan asas non-retroaktif dan tidak adanya masa daluarsa terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.25

Penempatan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP menurut beberap ahli mempunyai kelemahan mendasar yang akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan yang efektif terhadap kejahatan-kejahatan ini. Akibatnya adalah, kelemahan dalam memberikan usaha untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Setidaknya ada tiga alasan mengapa menempatkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kodifikasi RUU KUHP dianggap tidak tepat :26

Perumusan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP tidak mempunyai perbedaan dengan perumusan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Perbedaannya hanyalah pada nama tindak pidananya, yakni tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Perumusan ketentuan dalam 1. Perumusan yang tidak sesuai dengan hukum internasional dan implikasi atas

efektivitas penerapannya.

25

Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter

Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 35.

26

Aliansi Nasional Reformasi KUHP, USAID, Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan

Genoside, Tepatkah diatur di dalam KUHP, diakses dari situs :

(49)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Referensi

Dokumen terkait

Table 2 shows that the stress ratio of the column, diagonal bracing, and first floor beam (highlighted) which fail in fixed base, survive if Coulomb friction is used. It

Keseluruhan hasil analisa PCA menunjukkan adanya keterkaitan setiap parameter fisika dan kimia peraian dengan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup terumbu karang

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Swt, atas segala llimpahan berkah, rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Penelitian ini bertujuan untuk membuat media pembelajaran berupa papan permainan “Jeopardy Fisika” yang dapat menumbuhkan minat belajar siswa dan sebagai alat bantu guru

desain dengan menggunakan bahasa pemrograman ke dalam bentuk aplikasi atau biasa disebut coding / implementation. Tahap terakhir adalah pengujian sistem dengan menggunakan

Berdasarkan kriteria green building yang menetapkan perencanaan kondisi termal ruangan secara umum pada suhu 25 o C dan kelembaban relatif 60%, dan disesuaikan dengan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi dan Dalam penelitian ini didapatkan hasil untuk polimorfisme distribusi polimorfisme gen CYP1A1 ( 3801TC dan Ile462Val )

Hasil penelitian pada siklus I menunjukan skor rata – ratasikap tanggung jawab siswa keseluruhan yaitu 48 dengan kriteria sikap tanggung jawab tinggi dan rata-rata prestasi