• Tidak ada hasil yang ditemukan

International Criminal Court Sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

PENGADILAN HAM SEBAGAI WADAH PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS NASIONAL DAN INTERNASIONAL

C. International Criminal Court Sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia

Pengadilan terhadap kejahatan kemanusiaan dalam sejarah ada dikenal 2 (dua) mahkamah yang mengadili Penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Tokoy dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang, sedangkan mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman. Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka.

40

39

Ibid, hal. 18. 40

David Cohen, Intended to Fail : The Trials Before the Ad Hoc Human Rights Court in

Jakarta. New York: International Center for Transitional Justice (ICTJ)., 2003, hal. 9.

1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace). 2. kejahatan perang (crimes war)

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Di samping memberikan penjelasan terminologi dari tiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg. Berdasarkan Pasal 6 Piagam Nuremberg ditegaskan bahwa tanggung jawab individual dari pelaku kejahatan- kejahatan yang dimaksud. Ini berarti pelaku kejahatan tersebut tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau karena perintah negara. Dengan demikian, setiap pelaku ketiga kejahatan tersebut di atas tidak dapat kemudian dengan menggunakan dalih tanggung jawab negara.

Mahkamah Penjahata Perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari mahkamah ini adalah International Military Tribunal for the Far

East. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun

oleh beberapa negara, Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.

Sama halnya dengan mahkamah Nuremberg, mahkamah Tokyo juga mempunyai yurisdiksi terhadap 3 (tiga) kejahatan, yaitu : 41

Di dalam Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggung jawab si pelaku, tetapi hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi 1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace).

2. kejahatan perang (crimes war)

3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).

41

Rumusan dan pengertian dari ketiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah Tokyo ini adalah sama dengan apa yang terdapat dalam mahkamah Nuremberg. Hanya saja mengenai

war crimes di Piagam Mahkamah Tokyo dirumuskan sebagai Conventional War Crimes yang diartikan

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat resmi.

Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (Statuta Roma) akan membantu penanganan masalah ini dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional yang permanen bagi para pelaku kejahatan untuk diadili dan membantu para korban, ketika negara tidak mampu atau tidak ingin melakukannnya. Keberhasilan ini akan bergantung pada meluasnya ratifikasi atas Statuta Roma.

Hasil terpenting dalam Konferensi Roma adalah kodifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7) dalam perjanjian multilateral yang pertama sejak Piagam Nuremberg. Mahkamah akan memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut, baik yang dilakukan oleh negara maupun aktor non-negara. Memang ada desakan dari beberapa negara untuk membatasi kewenangan Mahkamah atas kejahatan terhadap kejahatan yang terjadi saat berlangsungnya konflik bersenjata. Hukum kebiasaan internasional, kenyataannya tidak memandatkan hal ini, dan hanya membahas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di masa damai. Kesepakatan akhir memutuskan bahwa Mahkamah tetap memiliki kewenangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi di masa damai maupun di tengah konflik bersenjata.

Isu yang paling berkembang dalam debat wacana tentang kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah apakah yurisdiksi Mahkamah juga termasuk atas “serangan yang luas atau sistematik yang diarahkan pada suatu kelompok penduduk sipil.” Beberapa negara berargumen bahwa Mahkamah hanya boleh mempunyai kewenangan atas serangan yang sifatnya luas dan sistematik. Sementara kelompok

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

pembela HAM merespon bahwa hal itu bisa menimbulkan keterbatasan yang tak perlu bagi Mahkamah, yang hanya bisa menangani kasus dimana ditemukan bukti bahwa yang terjadi merupakan kebijakan yang direncanakan. Mereka lebih lanjut menegaskan bahwa rangkaian aksi yang meluas yang berupa pembunuhan dan pembasmian sudah cukup untuk mendukung yurisdiksi Mahkamah.

Kompromi yang dicapai adalah “luas atau sistematik”, namun ditegaskan dengan “Serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil” berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda sesuai dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut” (Pasal 7 ayat 2.a). Sayangnya, pernyataan bahwa serangan sebagai kelanjutan dari sebuah kebijakan secara efektif berarti bahwa tindak kejahatan tersebut haruslah sistematik. Statuta juga mensyaratkan adanya “aksi individual yang

berkaitan dengan serangan” menimbulkan sugesti bahwa pelaku individual haruslah mengerti tentang kebijakan yang bersangkutan, untuk bisa dinyatakan bersalah. Persyaratan ini sebetulnya merupakan kemunduran dilihat dari standar hukum internasional yang selama ini diakui dan dipakai, dan secara signifikan membatasi yurisdiksi Mahkamah atas jenis kejahatan ini. Hasil penting lain dari Konferensi Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah : perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara (Pasal 7 ayat 1.b) (Pasal 8 ayat 2.b.xxii) (Pasal 8 ayat 2.e.vi). Statuta tidak berbeda substansi dengan yang terkandung dalam hukum internasional

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

yang ada dalam hal ini. Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional.

Pada malam tanggal 17 Juli 1998, sebuah statuta untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma, yang telah berlangsung sejak 15 Juni 1998. Dengan hasil penghitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain, para peserta menyetujui statuta yang akan membentuk sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional : genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime

against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan war crime (kejahatan

perang)42

42

http://www.pikiran-rakyat.com. .

Sesuatu yang bersejarah baru saja hadir. Namun, bagi para aktivis hak asasi manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena satu langkah maju bagi upaya meniadakan impunity ini, sedikit ternoda karena negara mereka bersama- sama dengan China dan Irak justru menentang disahkannya Statuta itu. Statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan, setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatan-hambatan yurisdiksional akan membatasi efektivitasnya pada tahun-tahun awal.

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Walaupun demikian, Mahkamah ini paling tidak memberikan harapan untuk memutus rantai impunity bagi tindak kekejaman terhadap hak asasi manusia dan meningkatkan daya cegah terhadap kejahatan yang menakutkan itu. Menjelang akhir abad yang menjadi saksi terjadinya holocaust, ditambah dengan bayangan pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda yang masih segar dalam ingatan, arti penting harapan ini bagi nilai-nilai kemanusiaan sangatlah besar.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah :

1. Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut KUHP, adalah adanya beberapa tindak pidana yang tergolong dalam kejahatan berat menurut Konvensi Jenewa yang bisa dianalogikan diatur oleh KUHP, yaitu : a). Willful killing, merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang

ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP.

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni: "… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada sese-orang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul-kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…"

c). Willfully causing suffering or serious injury to body are health;

Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dst dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan.

d). Extensive destruction or appropriation of property

Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini.

e). Compelling a prisoner of war or protected person to serve in the armed force

of hostile power, yaitu Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

6). Willfully depriving a prisoner of war of protected person of the right to a fair

and regular trial, yaitu Dengan sengaja menghalang-halangi tawanan perang

untuk mempergunakan haknya untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat yang diurai di sini ini dapat diletakkan pada orang-orang yang :

1). memenuhi semua unsur tindak pidana,

2). memerintahkan dilakukannya tindakan tersebut, termasuk dalam bentuk percobaan,

3). gagal mencegah atau menindak perilaku kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, sedangkan si atasan mengetahui bahwa bawahannya tengah atau akan melakukan kejahatan tersebut,

4). dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut, baik secara langsung maupun secara substansial, termasuk menyediakan sarana untuk penyelesaian kejahatan tersebut,

5). langsung berpartisipasi dalam merencanakan atau menye-pakati keja-hatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan,

6). secara langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan tersebut, dan kejahatan itu dilakukan,

7). mencoba melakukan keja-hatan itu dengan memulai perbuatan, namun tidak selesai karena hal-hal yang ada di luar dirinya.

Berdasarkan uraian di atas, untuk Indonesia pasal 55 (tentang penyertaan tindak pidana), pasal 56 (tentang pembantuan tindak pidana), dan Pasal 53 (tentang

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

percobaan tindak pidana), sudah jelas akan menjadi acuan apabila kasus-kasus semacam ini diproses dalam peradilan di Indonesia.

2. Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut RUU KUHP, adalah : RUU KUHP telah memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian yang akan diatur dalam KUHP. Dimasukkannya jenis kejahatan ini merupakan hasrat besar dari penyusun RUU KUHP untuk memasukkan semua jenis tindakan yang masuk dalam kategorisasi pidana dan maksud atas upaya kodifikasi hukum pidana. Namun muncul kekhawatiran dimasukkannya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP akan melemahkan bobot kejahatan (gravity of

the crimes) dikarenakan jenis-jenis kejahatan tersebut telah dikenal sebagai

kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dan merupakan kejahatan

internasional. Kejahatan-kejahatan ini merupakan kejahatan yang mengejutkan hati nurani umat manusia (shocking conciousness of human kind). Sebagai konsekuensinya, terhadap kejahatan-kejahatan yang tergolong serius ini, asas dan doktrin hukum menunjukkan adanya pemberlakukan asas-asas umum yang berbeda untuk menjamin adanya penghukuman yang efektif. Dengan demikian, memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Rancangan KUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif karena adanya ketentuan dan asas-asas umum dalam hukum pidana yang justru tidak sejalan dengan karakteristik kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

3. Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, adalah : Selain berisi daftar tentang hak-hak asasi manusia dan mengatur mengenai Komnas HAM, UU No.39 Tahun 1999 juga memandatkan pembentukan sebuah pengadilan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak disahkannya undang- undang tersebut untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia (Pasal 104). Yang dimaksud dengan “pelanggaran berat hak asasi manusia oleh undang-undang ini meliputi pembunuhan masal (genocide), pembunuhan yang sewenang-wenang dan eksekusi di luar pengadilan (arbitrary

or extra-judicial killing), penyiksaan, penghilangan paksa, perbudakan, dan

diskriminasi yang sistematik (Lihat Penjelasan UU No.39 Tahun 1999 Pasal 104). Mandat tersebut di atas direalisasikan dengan dikeluarkannya UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh DPR pada tanggal 6 Nopember 2000, yang di

dalamnya mencantumkan ketentuan untuk penerapan hukum secara retrospektif. UU Pengadilan HAM menyediakan dasar teknis dalam mendirikan pengadilan HAM, sedangkan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM mengemukakan prinsip- prinsip dan bentuk HAM yang diakui oleh hukum Indonesia

UU No.26 Tahun 2000 ini memuat ketentuan tentang pembentukan pengadilan HAM khusus (ad hoc) untuk mengadili pelanggaran HAM di masa lalu yang terjadi sebelum undang-undang berlaku sedangkan pengadilan HAM permanen hanya menangani kejahatan yang terjadi terjadi setelah pengesahan UU tersebut. Namun, pengadilan ad hoc seperti itu hanya didirikan untuk mengadili kasus khusus dan dibentuk melalui prosedur yang khusus pula. Presiden hanya dapat mendirikan pengadilan ad hoc seperti ini jika ada rekomendasi eksplisit dari DPR

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

(ayat 43). Sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai teknis “pemberian rekomendasi” ini, yang menyebabkan proses pembentukan pengadilan menjadi sebuah proses politiuk ketimbang sebuah proses hukum.

4. Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut Konvensi Internasional, adalah : Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) menurut Konvensi Internasional, adalah : Dalam sejarah ada dikenal 2 (dua) mahkamah yang mengadili Penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang, sedangkan mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman. Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka.

Di samping memberikan penjelasan terminologi dari tiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg. Berdasarkan Pasal 6 Piagam Nuremberg ditegaskan bahwa tanggung jawab individual dari pelaku kejahatan- kejahatan yang dimaksud. Ini berarti pelaku kejahatan tersebut tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau karena perintah negara. Dengan demikian, setiap pelaku ketiga kejahatan tersebut di atas tidak dapat kemudian dengan menggunakan dalih tanggung jawab negara.

Mahkamah Penjahata Perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari mahkamah ini adalah International Military Tribunal for the Far East. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

beberapa negara, Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.

B. SARAN

Saran yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah :

1. Rumusan KUHP maupun RKUHP tentang Kejahatan Perang yang didalamnya terdapat kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) masih sangat lemah. Kelemahan utama adalah RKUHP hanya meletakkan kejahatan perang dalam lingkup pelanggaran berat (graves breaches) dan pelanggaran serius (serious breaches) sementara pelanggaran hukum Perang lainnya yang diatur di dalam seluruhan Konvensi Jenewa tidak tercakup. Oleh karena itu maka sudah seharusnya RKUHP juga mengatur pelanggaran lainnya (pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa yang tidak tergolong pada pelanggaran berat Konvensi Jenewa dan pelanggaran serius tentang kebiasaan perang) sementara pelanggaran beratnya diatur dalam pengaturan khusus mengingat kejahatan tersebut sangat luar biasa.

2. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tidak secara spesifik mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk memenuhi asas-asas dan menjamin terjadinya pengadilan yang adil (fair trial). Meskipun menjadi dasar dari pengadilan yang menangani perkara pidana luar biasa (extra ordinary crimes) namun UU ini tidak dilengkapi dengan aturan hukum acara pidana luar biasa. Sebaliknya, undang-undang ini secara eksplisit merujukkan hukum acaranya kepada hukum acara pidana biasa yang diatur melalui Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lebih

Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.

USU Repository © 2009

jauh lagi, Undang-undang ini menutup kemungkinan digunakannya hukum acara lain kecuali hukum acara pidana yang tercantum dalam KUHAP tersebut. Padahal idealnya, sebuah pengadilan ad hoc yang dibentuk melalui tata cara khusus, dan menangani kasus-kasus yang khusus, selayaknya menggunakan hukum acara yang khusus pula, termasuk pengadilan HAM adhoc sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 26 Tahun 2000.