• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan Teori Mobilisasi Sumber Daya

BAB III GERAKAN DI/TII SEBAGAI GERAKAN POLITIK

C. DI/TII Sebagai Instrumen Gerakan Politik Kartosoewirjo

3. Berdasarkan Teori Mobilisasi Sumber Daya

Dalam konteks gerakan politik tentu saja diperlukan sumber daya – sumber daya yang merupakan komponen yang sangat berpengaruh dalam proses pelaksanaan gerakan tersebut dan juga hasil yang akan dicapai dari proses tersebut.

Teori mobilisasi sumber daya lebih menekankan pada permasalahan teknis, bukan pada sebab mengapa gerakan itu muncul. Para penganut teori mobilisasi sumber daya ini memandang bahwa kepemimpinan, organisasi dan teknik sebagai faktor yang menentukan sukses tidaknya sebuah gerakan.

Berdasarkan itu, analisis terhadap konsep dan bentuk kepemimpinan yang diterapkan oleh Kartosoewirjo dalam mengatur organisasinya demi menjalankan gerakan politiknya dan teknis – teknis yang diterapkan oleh Kartosoewirjo dalam mengarahkan massanya untuk mewujudkan Darul Islam merupakan salah satu hal yang dapat dijadikan tolak ukur apakah gerakan yang dilakukan oleh Kartosoewirjo secara empiris adalah merupakan gerakan politik.

Dalam teori gerakan mobilisasi sumber daya ini pula, dikatakan bahwa gerakan sosial muncul karena tersedianya faktor – faktor pendukungnya, seperti adanya sumber – sumber pendukung, tersedianya kelompok koalisi dan adanya dukungan

dana, adanya tekanan dan upaya pengorganisasian yang efektif serta sumber daya yang penting berupa ideologi.43

Sehingga tentu sangat penting untuk melihat bagaimana sumber daya – sumber daya yang dibutuhkan oleh Kartosoewirjo dalam menggalang gerakan politiknya dan juga memanfaatkan potensi yang ada untuk bisa mencapai tujuannya. Dalam penjabaran itu tentu saja diharapkan mampu dilihat apakah gerakan politik yang dijalankan oleh Kartosoewirjo tepat secara empiris.

Dari pemaparan yang ditulis di Bab II tentang profil Kartosoewirjo, dapat dilihat bahwa Kartosoewirjo adalah orang yang sangat teguh pendirian dan juga termasuk orang dengan kepribadian dan karakter yang keras.

Hal itu dapat dilihat ketika dia menjabat sebagai sekretaris umum di Sjarikat Islam, dimana ketika SI ditawarkan untuk berunding dengan pihak Belanda, Kartosoewirjo dengan tegas menolak itu, bahkan ketika akhirnya SI memutuskan untuk berkompromi dengan pihak Belanda langsung kemudian menolak kebijakan organisasi dan memilih untuk meninggalkan organisasinya pada waktu itu.

Dalam kesempatan selama menjabat di kepengurusan Sjarikat Islam, Kartosoewirjo dan beberapa temannya kemudian mendirikan lembaga pendidikan di Malang, Jawa Barat. Lembaga pendidikan ini awalnya didirikan untuk dijadikan sebagai wadah pengembangan pendidikan bagi bangsa Indonesia. Agar pendidikan bagi kaum pribumu tidak lagi bergantung pada Belanda.

Pada 1936, dalam Kongres PSII di Batavia, Kartosoewirjo terpilih sebagai wakil ketua partai. Kongres ke-22 PSII itu menjadi momentum penting dalam karier politik Kartosoewirjo. Pada 1938, dalam kongres partai yang ke-24, diputuskan akan didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama

      

43Mansoer Fakih, Tiada Transformasi tanpa Gerakan Sosial, dalam Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum

Terpinggir : Studi Tentang Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan, Yogyakarta : Insist Press, 2002

Suffah PSII. Rencananya, lembaga yang bertujuan menjadi sarana pendidikan politik bagi kaum muslim ini akan dibuka pada 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai Wakil Ketua PSII.

Namun rencana itu tak berjalan mulus. Pada 1939 terjadi perpecahan dalam tubuh PSII. Puncaknya, dalam kongres partai ke-25 di Palembang, Januari 1940, Kartosoewirjo yang berseberangan dengan para petinggi partai akhirnya dipecat melalui keputusan Dewan Eksekutif PSII. Ia juga dituduh telah menyalahgunakan dana partai.

Bersama Kiai Yusuf Tauziri, ia kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran (KPK) PSII, yang menurut dia merupakan kelanjutan yang sebenarnya dari PSII.

Pada 24 Maret 1940, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah yang sempat tertunda. Nama itu diambil dari bahasa Arab, suffah, yang berarti "menyucikan diri". Menempati area perbukitan sekitar empat hektare milik Ardiwisastra, lembaga pendidikan ini berada di sekitar jalan raya Malangbong-Blubur Limbangan. Tempatnya terpencil dari keramaian kota, di tengah-tengah kebun kelapa, dan masuk beberapa meter dari jalan raya.

Lembaga itu mirip pesantren. Siswanya menetap di sana. Selain mendapat pengajaran ilmu pengetahuan umum dan pendidikan agama, para siswa dididik ilmu politik. Kartosoewirjo sendiri mengajar bahasa Belanda, ilmu falak (astronomi), dan ilmu tauhid kepada siswanya yang berasal dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Dalam masa pendudukan Jepang, KPK-PSII-nya Kartosoewirjo di Malangbong dibubarkan Jepang. Meski begitu, Kartosoewirjo tetap memfungsikan Institut Suffah. Tapi dengan fokus pendidikan kemiliteran, karena saat itu Jepang getol memberi pelatihan militer. Siswa yang dilatih kemiliteran di Suffah lalu menjadi

laskar Islam, Hizbullah dan Sabilillah, yang kelak menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.

Pada 1949, di saat Kartosoewirjo ingin memproklamasikan DI/TII, Jawa Barat sedang berada dalam kekuasaan Belanda, akibat dari perjanjian Renville, sedangkan Tentara Nasional Indonesia pada waktu itu juga ditarik mundur dari wilayah Jawa Barat menuju Jogjakarta.

Otomatis ketika Kartosoewirjo memproklamasikan DI/TII di Malangbong Jawa Barat waktu itu, maka Kartosoewirjo harus berhadapan dengan pasukan tentara Belanda yang saat itu sedang gencar – gencar nya untuk kembali menguasai Indonesia.

Pendidikan agama dan politik yang diajarkan oleh Kartosoewirjo di lembaga suffah itu ternyata cukup efektif membangun semangat dan kerangka pola fikir dari semua muridnya. Hal ini dapat dilihat dari Tentara Islam Indonesia sangat yakin dan antusias dalam menghadapi pasukan Belanda dan sediktipun tidak gentar.

Juga pendidikan militer yang diajarkan pada saat masa pemerintahan Jepang. Pasukan Hizbullah dan juga Sabilillah yang dilahirkan dari lembaga pendidikan Suffah ini bahkan mampu beberapa kali memukul mundur pasukan Belanda dan menguasai hampir seluruh Jawa Barat.

Dalam konteks gerakan Darul Islam yang dilakukan oleh Kartosoewirjo, tentu saja target yang ingin dicapai adalah perubahan sistem politik Indonesia yang menganut ideologi Pancasila menuju Negara yang berideologi Islam.

Tentu saja dalam hal ini, massa merupakan hal yang juga menjadi sumber daya yang penting. Dan memang Kartosoewirjo juga memang sudah siap untuk kondisi seperti itu dimana untuk mewujudkan tujuannya, diperlukan dukungan dari banyak orang.

Lembaga pendidikan suffah merupakan salah satu sumber dari basis massa yang digunakan oleh Kartosoewirjo dalam menjalankan DI/TII. Bahkan lembaga ini memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk Tentara Islam Indonesia yang tangguh dan gerilya.

Sumber daya lain yang diperlukan adalah wilayah kekuasaan atau territorial. Kartosoewirjo memiliki istri yang berasal dari Malangbong, dan mertuanya merupakan tokoh yang sangat disegani di wilayah ini. Wilayah Malangbong kemudian menjadi tempat dimana Kartosoewirjo membangun gerakannya dan juga tempat didirikannya lembaga pendidikan Suffah.

Bahkan, Malangbong yang berada di Jawa Barat merupakan wilayah yang berdasarkan perjanjian Renville adalah termasuk wilayah kekuasaan Belanda, bukan pemerintahan Indonesia yang baru merdeka.

Kesepakatan perjanjian Renville selain sebagai pemicu kekecewaan terhadap pemerintah saat itu sehingga ingin mendirikan Darul Islam, juga sekaligus termasuk sumber daya yang menyebabkan Kartosoewirjo dan kelompoknya bebas memproklamirkan DI/TII di Malangbong.

Sehingga dalam pandangan dan pemikiran Kartosoewirjo dan juga pengikutnya, deklarasi DI/TII pada tahun 1949 bukanlah sebuah bentuk gerakan makar atau terorisme terhadap pemerintahan Indonesia, karena mereka memproklamasikan DI/TII yang secara ketetapan hukum yang sah adalah bukan wilayah Indonesia, melainkan wilayah jajahan Belanda.

Untuk kelancaran operasional dan gerakan dari DI/TII ini, tentu dana merupakan sumber daya yang sangat dibutuhkan. Untuk mengatasi kebutuhan ekonomi tersebut, Kartosoewirjo merampas harta – harta yang didapat dari tentara Belanda yang dikalahkan oleh Tentara Islam Indonesia.

Kartosoewirjo juga menyebarkan gerakan DI/TII ini dari desa ke desa dimulai dari sekitar Jawa Barat, penduduk desa yang saat itu tidak mendapat perlindungan dari pemerintahan Indonesia, tentu saja menerima perlindungan yang ditawarkan oleh Kartosoewirjo.

Bahkan tak sedikit masyarakat yang turut bergabung dalam gerakan DI/TII. Tentu saja jumlah anggota DI/TII bertambah banyak setiap waktu, dan berdasarkan ajaran Islam Kartosoewirjo menetapkan hukum tentang pengelolaan uang di Darul Islam dan juga menetapkan bentuk iuran kepada masyarkatnya untuk pelaksanaan kegiatan DI/TII. Semacam konsep pajak saat sekarang ini. Dalam masa perjuangan gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia, Kartosoewirjo berhasil memobilisasi semua sumber daya yang dia butuhkan secara maksimal. Dari segi kebutuhan militer, lembaga pendidikan Suffah berhasil melahirkan bibit unggul yang dapat dijadikan sebagai pasukan bersenjata yang tangguh.

Dari segi pendanaan, dia berhasil merancang konsep pendanaan yang sesuai dengan ajaran Islam, sehingga jelas sumber produksinya, baik sistem distribusinya dan juga dikonsumsi secara tepat untuk kepentingan seluruh jamaah Darul Islam Tentara Islam Indonesia.

Mengenai dukungan politik, perlindungan yang diberikan kepada mereka oleh masyarakat yang berada di Jawa Barat, mendapatkan timbal balik berupa kepercayaan dan juga dukungan dari masyarakat di sekitar wilayah Jawa Barat. Bahkan gerakan DI/TII ini terus menyebar ke beberapa wilayah di luar Jawa Barat. Di Aceh, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, dan juga Sulawesi Selatan. Di setiap daerah ini kemudian terjadi perlawanan terhadap pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa mereka juga bagian dari Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia.

Sedemikian kuat karakter kepemimpinan Kartosoewirjo tentu saja merupakan sebuah faktor dari perkembangan gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia. Bahkan sampai juga ke wilayah – wilayah di luar Jawa Barat.

Hal ini juga tentu tidak lepas dari selain kepemimpinan yang kuat, tentu juga kemampuan melakukan loby dan bargaining politik kepada teman – temannya sehingga semua sepakat untuk melakukan gerakan yang bertujuan untuk menjadikan Islam sebagai landasan Negara Indonesia.

Kartosoewirjo juga jeli dalam melihat kondisi politik yang terjadi di Indonesia, sehingga ketika 1945 usaha untuk memproklamasikan DI/TII sempat gagal karena Soekarno lebih dulu memproklamasikan kemerdekaan RI, namun di 1949 dengan melihat aktivitas Belanda yang semakin jelas ingin menjajah kembali, Kartosoewirjo juga berhasil memanfaatkan peluang politik dimana disepakatinya perjanjian Renville.

Sikap keras dan tegas Kartosoewirjo, yang tidak mengenal kompromi bahkan berhasil memukul mundur pasukan Belanda dan juga merepotkan Tentara Nasional Indonesia dalam meredam DI/TII, alih – alih meredam, gerakan ini malah semakin meluas.

Dokumen terkait