• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan dan analisa yang dijelaskan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain :

1. Yang menjadi tujuan dari Kartosoewirjo adalah mendirikan sebuah Negara Islam Indonesia. Dimana Negara itu berlandaskan pada ajaran Islam, dan Kartosoewirjo menjadi imam dan pemimpin di Negara tersebut. Hal ini didasari karena latar belakang pendidikan Islam yang didapat oleh Kartosoewrijo sangat kuat dari guru agamanya, Notonihardjo dan juga pengalamannya bersama Tjokromaninoto sewaktu di Sjarikat Islam.

Untuk mencapai tujuannya tersebut, Kartosoewirjo lalu memproklamasikan DI/TII pada 7 Agustus 1949.

2. Bahwa gerakan politik tidak hanya seputar tentang pemenangan seseorang atau sekelompok orang dalam sebuah pemilu saja, tapi gerakan politik juga mencakup gerakan yang menuntut perubahan nilai atau kebijakan yang berlaku saat itu.

Gerakan politik juga merupakan bagian dari kerangka gerakan sosial, karena juga mencakup kegiatan kolektif dan tujuan bersama atau dapat dikatakan kepentingan bersama. Sehingga dapat lah melakukan analisa secara empiris terhadap gerakan politik dengan menggunakan teori – teori gerakan sosial.

3. DI/TII diproklamasikan di Malangbong, Jawa Barat pada tahun 1949, dimana pada waktu itu berdasarkan hasil perjanjian Renville, Jawa Barat bukanlah merupakan wilayah kedaulatan Indonesia, pusat pemerintahan RI juga waktu itu dipindahkan ke Jogjakarta.

DI/TII merupakan sebuah instrument gerakan politik yang dilakukan oleh Kartosoewirjo, gerakan ini termasuk kedalam gerakan politik setelah dilihat secara empiris, karena merupakan gerakan yang bertujuan untuk merubah keadaan politik yang berjalan dan dalam kegiatannya menimbulkan pertentangan dengan pemerintah Indonesia pada waktu itu.

BAB II

PROFIL S.M. KARTOSOEWIRJO

Pada bab ini, akan dipaparkan profil tentang Kartosoewirjo. Kita tentu perlu tahu bagaimana latar belakang Kartosoewirjo mulai dari keluarga, lingkungan, pendidikan dan kondisi sosial yang menyelimuti Kartosoewirjo sehingga kita bisa melihat apa – apa yang mendasari gerakan sosial yang dilakukan oleh Kartosoewirjo. Selain itu latar belakang kehidupan Kartosoewirjo juga tentunya mempengaruhi dalam pembentukan karakter pribadinya.

A. Masa Kecil Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, lahir di Cepu pada tanggal 7 Januari 1905.27 Cepu merupakan sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah.

Untuk bisa lebih memahami karakter Kartosoewirjo, akan lebih mudah bila kita memahami bagaimana kondisi sosial politik yang terjadi di Indonesia pada waktu itu yang tentu saja kondisi itu akan mempengaruhi perkembangan karakter Kartosoewirjo itu sendiri. Dalam hal ini, saya akan menggunakan pendekatan sejarah alternatif (alternative history) untuk melihat kondisi di Indonesia pada waktu itu.

Pada 1901, pemerintahan Belanda yang pada waktu itu menguasai Indonesia, menerapkan kebijakan politik etis di Indonesia.28 Dan Kartosoewirjo lahir pada saat kebijakan politik etis tersebut sedang dijalankan. Kebijakan politik etis ini

      

27 Damien Dematra, Kartosoewirjo Pahlawan atau Teroris, Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2011 hal. 10    

mengizinkan anak – anak pribumi yang orangtuanya bekerja untuk pemerintahan Belanda berhak untuk mendapatkan pendidikan modern di sekolah – sekolah Belanda pada waktu itu.

Kedudukan orang tua Kartosoewirjo waktu itu yang merupakan mantri candu di pemerintahan Belanda menyebabkan Kartosoewirjo berhak memasuki sekolah – sekolah Belanda.

Hal ini tentu saja memberikan perbedaan tersendiri antara Kartosoewirjo dengan anak – anak pribumui seusianya pada waktu itu. Dimana banyak anak pribumi yang sejak kecil harus ikut membantu orang tuanya bekerja dan tidak memiliki kesempatan untuk mendapat pendidikan di sekolah modern, Kartosoewirjo dapat dikatakan beruntung dapat mengenyam pendidikan di sekolah – sekolah modern pada waktu itu. Dia juga tidak perlu banyak membantu pekerjaan orang tuanya, karena posisi ayahnya sebagai seorang mantri candu untuk pemerintahan Belanda waktu itu tidak memerlukan tenaga yang besar seperti bila bekerja sebagai petani. Hal ini memberi pengaruh kepada Kartosoewirjo ketika dia mulai menyadari bahwa anak – anak pribumi lain yang seusianya menjaga jarak dengan Kartosoewirjo hanya karena Karto merupakan anak dari seorang pribumi yang bekerja kepada Belanda. Kartosoewirjo mulai merasakan ada keanehan dengan latar belakang kondisi sosialnya, kenapa ia bisa sekolah sedangkan anak – anak lain seusianya tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama, hal tersebut mulai menjadi sebuah keresahan tersendiri pada Kartosoewirjo sampai dia besar nanti.

B. Masa Pendidikan S.M. Kartosoewirjo

Pada tahun 1901, Belanda menetapkan sistem politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena

ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sejak kecil sudah mengenyam pendidikan di sekolah – sekolah Belanda. Dia pun termasuk anak yang pintar di sekolahnya. Namun begitu, lingkungan dia tinggal sangat kental dengan nuansa Islam. Sehingga walaupun mendapat pendidikan di sekolah Belanda, nilai – nilai ajaran Islam juga masih melekat kental dalam diri Kartosoewirjo.

Pada usia 6 tahun, 1911, Kartosoewirjo mulai masuk sekolah di Inlandsche

School der Tweede Klasse.29 Sekolah kelas dua yang khusus untuk anak – anak kaum pribumi. Dia termasuk murid yang pintar di kelas nya dan dapat mengikuti pelajaran – pelajaran dengan baik di sekolah. Dia memiliki banyak teman namun tidak teman dekat. Ia pun tumbuh menjadi anak yang ulet dan cerdas.

Pada tahun 1917, ayah Kartosoewirjo kemudian melanjutkan sekolah Kartosewirjo ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Di sini, Kartosoewirjo segera mendapat teman – teman baru yang juga anak – anak pribumi dan bekerja untuk pemerintahan Belanda, keturunan ningrat dan juga anak anak peranakan keturunan Belanda. Sama seperti di sekolah sebelumnya, Kartosoewirjo juga merupakan seorang murid yang pintar di kelas, dan menonjol di tiap – tiap pelajaran.

Pada tahun 1920, ayah Kartosoewirjo mendapat kenaikan pangkat dan dipindah tugaskan ke Bojonegoro.30 Sehingga keluarganya pun dibawa ikut pindah ke Bojonegoro. Hal ini juga memberikan efek langsung kepada sekolah Kartosoewirjo yang juga harus pindah sekolah ke Bojonegoro.

Di sana, Kartosoewirjo disekolahkan di Europeesche Lagere School. Ini merupakan salah satu sekolah elite yang menggunakan sistem pendidikan Eropa

      

dan dirancang untuk anak – anak kulit putih dan juga anak – anak peranakan Indo-Eropa di sana.

Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal Ustadz Notodihardjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam. Bersama ustadz Notodihardjo inilah Kartosoewirjo mulai belajar tentang Islam secara mendalam.

Pada usia 18 tahun, yaitu tahun 1923, Kartosoewirjo berhasil menyelesaikan pendidikannya dari Europeesche Lagere School. Dalam pertimbangan ayah Kartosoewirjo, karena diuntungkan oleh kebijakan politik etis yang sedang diterapkan Belanda, maka tentu anaknya bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan anaknya juga harus mendapat pekerjaan yang layak dan diakui di masyarakat, yaitu antara insinyur atau dokter. Oleh karena itu ayah Kartosoewirjo memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Kartosoewirjo ke Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya.31 Di NIAS inilah sebenarnya Kartosoewirjo mulai aktif dalam perjuangan melawan Belanda.

Dia tinggal di salah satu rumah kos di sekitar wilayah kampusnya. Ketika baru tiba di kos, dia pun kemudian berjalan keluar untuk melihat pemandangan kampus. Sesampainya di kampus, Kartosoewirjo melihat sebuah perkumpulan pemuda yang menamai diri mereka Jong Java. Ia pun bergabung dengan Jong Java dan mulai aktif terlibat dalam kegiatan – kegiatan di Jong Java.

Sedangkan kuliahnya di NIAS harus menjalani masa kuliah umum selama 3 tahun,barulah di tahun ke-empat mulai memasuki kuliah inti. Selama 3 tahun ini Kartosoewirjo pun aktif mengikuti kegiatan perjuangan pemuda di Surabaya,

       31 Ibid, hal. 65  

bersama Jong Java, dia pun aktif melakukan aksi – aksi melawan pemerintahan Belanda.

Dia juga banyak membaca buku – buku dari berbagai bidang ilmu lain selain buku – buku kedokteran, dan dia juga dipinjamkan buku – buku tentang komunisme oleh pamannya, Marko Kartodikromo, seorang sastrawan dan wartawan yang cukup terkenal pada masa itu.

Tentu saja pergerakan Kartosoewirjo diamati oleh pemerintahan Belanda yang tak ingin menyekolahkan seseorang hanya untuk kemudian berani melawan dan mengancam pemerintahan Belanda. Hingga suatu hari kamar kos Kartosoewirjo pun digeledah secara paksa oleh prajurit Belanda dan mereka menemukan buku – buku komunis yang dipinjamkan oleh pamannya tadi di kamar Kartosoewirjo. Komunis pada waktu itu merupakan ancaman bagi pihak Belanda, tentu saja mereka tidak suka bila warga pribumi mempelajari tentang komunisme, oleh karena itu, pada tahun ketiga tepat dimana Kartosoewirjo harus mulai melanjutkan ke perkuliahan inti, saat itu pula ia dikeluarkan dari NIAS oleh pemerintah Belanda dengan alasan terlibat dalam gerakan komunis. Dan sampai saat itu pula riwayat pendidikan formal Kartosoewirjo berakhir. Tapi bukan berarti semangat dan perjuangan Kartosoewirjo pun berakhir juga.

Ketika bersekolah di NIAS, Kartosoewirjo mulai aktif dalam pergerakan perjuangan Indonesia. Begitu sampai di Surabaya Kartosoewirjo bergabung dalam gerakan Jong Java.

Pada masa itu, 1920-an, Surabaya merupakan salah satu kota basis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan juga pada masa itu, perjuangan yang dilakukan oleh para pemuda sudah tidak lagi dengan mengandalkan perang fisik menggunakan bambu runcing, melainkan dengan cara perjuangan melalui organisasi.

Sjarikat Islam merupakan salah satu organisasi pelopor perjuangan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Tjokroaminoto merupakan pimpinan dari organisasi ini. Kartosoewirjo sejak masih kecil dan bersekolah di Bojonegoro sudah mengenal sosok Tjokro dan mengikuti ceramahnya sekali. Dari situ ia langsung menggilai tokoh yang satu ini, banyak membaca tulisannya dan juga mengikuti perkembangan pergerakan Tjokroaminoto.

Tentu saja ini menjadi sangat mempengaruhi pemikiran – pemikiran dari Kartosoewirjo. Kartosoewirjo menaruh respek yang besar kepada Tjokroaminoto, melalui Tjokroaminoto pula Kartosoewirjo kemudian bertemu dan berdialog dengan Soekarno. Seperti kita tahu bahwa banyak tokoh – tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sempat berguru dan belajar kepada Tjokroaminoto. Para pejuang kemerdekaan Indonesia mulai menyadari bahwa perjuangan untuk meraih kemerdekaan akan masih sangat sulit dilakukan karena bangsa Indonesia sendiri sampai saat itu masih sedikit sekali yang sadar akan politik.

Para pemuda memahami ini dan kemudian dalam gerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan, mereka merumuskan empat pemikiran pokok yang harus diperjuangkan dalam kemerdekaan, yaitu : Pertama, kesatuan nasional. Dalam masalah persatuan nasional ini, perlunya bangsa Indonesia untuk mengenyampingkan terlebih dahulu perbedaan – perbedaan yang sempit semacam perbedaan etnis serta kedaerahan. Dikarenakan perlu ada kesatuan aksi melawan Belanda dalam rangka menciptakan Negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu.

Kedua, solidaritas. Masalah solidaritas ini didasari oleh suatu kebulatan tekad bersama senasib dan sepenanggungan dalam kerangka persatuan yang amat kukuh dan kokoh luar dalam antara pribumi tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia.

Ketiga, non-kooperasi. Artinya adalah gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia sama sekali tidak mau berkompromi dengan segala hal yang berbau kolonial. Para pejuang kemerdekaan waktu itu menyadari bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah sukarela dari Belanda dan harus direbut dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri.

Keempat, swadaya. Dengan swadaya gerakan kaum nasionalis dan mengandalkan kekuatan sendiri dan mengembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi dan hokum yang kuat dan berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial. Inilah prinsip yang mendasari semangat perjuangan kemerdekaan waktu itu, dimana tentu saja Kartosoewirjo terlibat dalam ini.

Dalam masa ketika Kartosoewirjo mulai sekolah di NIAS, dia banyak menghabiskan waktu diluar sekolah dengan organisasi pemuda yang dia ikuti, bahkan kuliah yang seharusnya menjadi tujuan utama dia di Surabaya menjadi tidak prioritas lagi bagi Kartosoewirjo.

Di organisasinya, ia mulia aktif terlibat dalam diskusi – diskusi politik. Ia pun bergabung dengan organisasi Sjarikat Islam dibawah pimpinan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto yang merupakan tokoh yang sangat dikagumi oleh Kartosoewirjo.32 Pemikiran – pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi dari Kartosoewirjo.

Lalu ketika pamannya Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan meminjamkan buku – buku komunis kepada Kartosoewirjo, buku itulah yang menyebabkan Kartosoewirjo akhirnya dikeluarkan dari sekolahnya di Surabaya, namun dikeluarkan dari sekolah tidak membuat Kartosoewirjo gentar dan ragu

untuk melanjutkan perjuangannya, dia tetap ingin melawan Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Kartosoewirjo pun tetap aktif di gerakan Jong Java, bahkan dia sempat menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. Lalu kemudian pada tahun 1925, ketika anggota – anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita – cita keislaman mendirikan Jong Islamieten Bond, Kartosoewirjo pun lalu pindah ke organisasi ini karena memang sikap Kartosoewirjo yang menjadikan agamanya sebagai landasan utama dalam hidupnya dan perjuangannya, bukan pada paham nasionalisme, dan tak lama setelah masuk ke Jong Islamieten Bond, Kartosoewirjo terpilih menjadi ketua cabang Jong Islamieten Bond di Surabaya.33 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah seorang orator ulung. Melalui Jong Java dan juga Jong Islamieten Bond kemudian Kartosoewirjo terlibat dalam salah satu peristiwa sejarah gerakan pemuda yang menjadi titik balik perjuangan pemuda, Sumpah Pemuda.

Kartosoewirjo pun terus aktif di organisasi perjuangan kemerdekaan. Dia juga bergabung dengan Sjarikat Islam, organisasi masa yang kemudian menjadikan dirinya partai politik berbasis Islam, sehingga kemudian dikenal dengan Partai Sjarikat Islam (PSI).

Di dalam PSI ini Kartosoewirjo kemudian kenal dengan Oemar Said Tjokroaminoto dan juga Agoes Salim. Mereka adalah tokoh pemimpin di PSI, terlebih Tjokroaminoto, adalah merupakan sosok yang sejak lama dikagumi oleh Kartosoewirjo. Tentu saja sejak bergabung dengan Partai Sjarikat Islam, Kartosoewirjo banyak bertukar fikiran dengan pemimpin PSI mengenai pandangan politik dan juga kesamaan cita – cita untuk mendirikan suatu Negara Islam.

       33 Ibid, hal. 30  

Hal yang sangat berpengaruh dalam jalan perjuangan Kartosoewirjo adalah ketika dia dikeluarkan dari sekolah NIAS di Surabaya, lalu disusul dengan meninggalnya ayah Kartosoewirjo di Bojonegoro sehingga Kartosoewirjo pun harus pulang ke Bojonegoro dan untuk membantu perekonomian ibunya, diapun mengajar di sekolah rakyat di Bojonegoro.

Tak lama setelah itu, Kartosoewirjo diminta langsung oleh Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris Tjokroaminoto, dan Kartosoewirjo pun langsung menerima permintaan itu tanpa ragu. Keakraban secara pribadi terjalin setelah Kartosoewirjo tinggal dirumah Tjokroaminoto dan secara berkelanjutan mendapat transformasi pengalaman politik dari Tjokroaminoto.

C. Kartosoewirjo, Sjarikat Islam dan Politik Hijrah

Pada awal tahun 1927 ketika dikeluarkan dari NIAS, Kartosoewirjo pulang ke Bojonegoro ke rumah orang tuanya. Kepulangan Kartosoewirjo ini setelah sebelumnya mendengar kabar bahwa orang tuanya meninggal dunia.

Untuk membantu perekonomian ibunya yang ditinggal suami, Kartosoewirjo pun membantu dengan menjadi guru particular di Bojonegoro. Sampai di bulan September di tahun yang sama, Kartosoewirjo kembali ke Surabaya dan menerima tawaran Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris pribadinya.

Kemudian Kartosoewirjo menemani Tjokroaminoto pindah ke Cimahi di dekat Bandung. Tentu saja Kartosoewirjo lalu aktif bergabung dengan organisasi Sjarikat Islam yang dipimpin oleh Tjokroaminoto. Dan kepribadian Kartosoewirjo yang tegas dan cerdas membuatnya cepat dikenal dikalangan Sjarikat Islam yang saat itu telah menjadi partai politik dan mengganti namanya menjadi PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer).

Peningkatan karir Kartosoewirjo dikalangan Partai Sjarikat Islam berkembang dengan pesat. Pada bulan desember di tahun yang sama, 1927 di kongres PSIHT yang dilaksanakan di Pekalongan, Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. Dalam kongres itu juga, diputuskan bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia.

Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT, Kartosoewirjo juga bekerja sebagai wartawan di harian Fadjar Asia. Semula ia bertugas sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter.

Seiring dengan tugasnya sebagai sekretaris PSIHT, maka Kartosoewirjo banyak melakukan perjalanan ke propinsi – propinsi. Pada tahun 1928 Kartosoewirjo pergi ke Malangbong, disana dia bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat, Ajengan Ardiwisastera dan juga anaknya Siti Dewi Kalsum yang kemudian dinikahi oleh Kartosoewirjo pada bulan April 1929, dan Kartosoewirjo pun lalu menetap di Malangbong.

S. M. Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Ia membuat tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya.

Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).

Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial.

Prestasi Kartosoewirjo di harian Fadjar Asia juga terus berkembang, di usianya yang masih 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia, dan dia pun aktif menerbitkan artikel – artikel yang secara tegas mengkritisi hal – hal yang terjadi yang dianggapnya sebagai bentuk perlawanan terhadap para penjajah.34

Pada usianya yang masih muda, Kartosoewirjo pun lalu menjadi tokoh yang disegani oleh masyarakat, dia masih muda, pernah bersekolah di NIAS, menjadi sekretaris pribadi untuk Tjokroaminoto, lalu menjadi sekretaris PSIHT dan juga redaktur di salah satu harian yang terkemuka pada waktu itu.

Mengenai Sjarikat Islam, yang sempat berganti nama menjadi Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer, lalu pada 1929 berganti nama lagi menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia dan lebih sering disebut PSII. Karir Kartosoewirjo di PSII terus menanjak, bahkan di kongres 1929, dalam kongres partai, Kartsoewirjo terpilih menjadi wakil ketua di partai tersebut.35

Dalam organisasi Sjarikat Islam, sampai berubah menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia, tradisi non-kooperasi terhadap kelompok penjajah menjadi satu nilai

       34 

yang kuat tertanam di Sjarikat Islam ini. Pada saat kongres pertama partai ini dilaksanakan yaitu tahun 1923 dan 1924, Sjarikat Islam banyak mengembangkan konsep – konsep berdikari atau swadeshi yang banyak terilhami dari perjuangan Mahatma Gandhi di India. Sehingga memang dari awal berdiri partai ini senantiasa mencoba untuk selalu tidak terikat dan tidak bergantung pada kaum kolonial.

Secara praktis maka tentu partai Sjarikat Islam Indonesia ini akan menolak bentuk – bentuk kerjasama dengan kelompok penjajah dan tentu juga menolak semua pengaruh kolonial terhadap partai ini. Namun seiring berjalan waktu dan siasat licik Belanda dalam memecah belah lawannya, lambat laun memberikan pengaruh kepada Partai Sjarikat Islam.

Terdapat pertentangan di dalam tubuh PSII, yaitu antara Dewan Eksekutif di bawah pimpinan Abikoesno Tjokrosoejoso yang tetap memperjuangkan politik non-kooperasi dimana dia tidak mau bekerja sama dengan kelompok kolonial. Dan pihak Dewan Partai dibawah pimpinan Agoes Salim yang cenderung pada sikap untuk bekerja sama dengan kekuasaan kolonial.

Dalam pandangan Agoes Salim, seandainya politik non-kooperasi tetap diteruskan, akan ada kerugian forum politik yang akan mempercepat keruntuhan partai dan dia mendesak agar diadakan suatu referendum tentang masalah ini. Pertentangan ini cukup membawa pengaruh terhadap internal Partai Sjarikat Islam Indonesia, pihak Agoes Salim pun mengangkat isu bahwa haluan politik non-kooperatif yang dijalankan oleh Abikoesno merupakan kebijakan yang hanya mementingkan kepentingan partai dan tidak memperdulikan kepentingan rakyat. Hingga pada akhir tahun 1935, sebelum kongres partai dilaksanakan, Abikoesno melepaskan jabatannya dan langkah ini kemudian diikuti oleh Kartosoewirjo juga.

Namun pada kongres partai ke-22 di tahun 1936, Abikoesno malah terpilih menjadi ketua partai, dan dengan peraturan baru bahwa kongres hanya menetapkan ketua saja, maka Abikoesno pun mutlak menjadi formateur dalam partai itu dan Abikoesno langsung memilih Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Dan pada Januari 1937, Agoes Salim, Moehammad Roem, Sabirin, Sangadji, Muclish dan 23 anggota fraksi Agoes Salim dikeluarkan dari keanggotaan PSII karena pertentangan politik non-kooperasi. Dan ini semakin memicu perpecahan di kubu partai, karena Salim lalu membentuk partai Islam yang baru yang diberi nama Pergerakan Penjadar.

Setelah itu, Abikoesno lalu membuat pernyataan bahwa kongres PSII tahun 1936 telah menyetujui bentuk politik non-kooperasi dan melakukan politik hidjrah

Dokumen terkait