PENGGUNAAN LAHAN
Kelompok 3: Berdasarkan Pertimbangan Etnis
Pengelompokkan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan pertimbangan etnis dilakukan dengan tujuan untuk mengelompokkan secara umum, lahan-lahan yang homogen berdasarkan karakteristik etnis dan berkesinambungan secara spasial. Lahan yang diusulkan sebagai KP2B terbagi dalam 2 kelompok besar yaitu: kategori lahan yang berada di belahan utara dihuni oleh etnis Mandahiling dan belahan selatan Kabupaten Pasaman Barat dihuni oleh etnis Minang.
Pengelompokkan usulan LP2B dan LCP2B berdasarkan pertimbangan etnis, memunculkan 2 usulan kategori lahan. Kategori I dibelahan utara Kab. Pasaman Barat, berada dalam wilayah administrasi Kec. S. Aur, L. Melintang, K. Balingka, R. Batahan dan S. Beremas seluas 13.519 ha. Kategori II dibelahan selatan Kab. Pasbar wilayah administrasi Kec. Kinali, Pasaman, Talamau, Luhak ND, G. Tuleh dan Sasak RP seluas 15.755 ha, total seluas 29.274 ha.
Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat pada kelompok ini adalah menyesuaikan karakteristik setiap etnis, etnis yang satu berbeda dengan etnis yang lainnya dalam hal menilai pengolahan dan perspektif mereka tentang lahan sawah. Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat harus arif dan bijaksana dalam memandang perbedaan etnis ini, selanjutnya bisa mengambil suatu kebijakan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Pasaman Barat. Usulan kawasan berdasarkan kelompok ini akan sulit untuk dilaksanakan di lapangan karena luasan hamparan kategori lahan yang sangat luas. Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 28.
Tabel 37. Matriks Karakteristik Kategori lahan Kelompok LP2B dan LCP2B Karakteristik Kelompok 1 (Hasil AHP/Proyeksi) Kelompok 2 (batas administrasi kecamatan) Kelompok 3 (pertimbangan etnis)
Jumlah dan Luas Kategori Lahan • Ada 4 LP2B dan LCP2B • I = 20.372 ha II = 2.889 ha III = 5.595 ha IV = 438 ha Jumlah = 29.274 ha • Ada 9 LP2B dan LCP2B • I = 8.483 ha II = 6.804 ha III = 2.726 ha IV = 2.712 ha V = 2.975 ha VI = 1.178 ha VII = 5.085 ha VIII = 901 ha IX = 728 ha X = 88 ha XI = 350 ha Jumlah = 29.274 ha • Ada 2 LP2B dan LCP2B I = 13.519 ha II = 15.755 ha Jumlah = 29.274 ha
Pengelolaan • Pengelolaan lahan
tidak begitu sulit
karena berada
dalam 2-3 wilayah administrasi
kecamatan,
• Pengelolaan lahan dapat lebih
maksimal dan terfokus karena berada dalam 1 wilayah administrasi kecamatan • Pengelolaan sulit karena berada dalam 4 dan 5 wilayah administrasi kecamatan, Kondisi Luasan
Hamparan • Luasan hamparan
lahan lebih besar dibanding prioritas 2
• Luasan
hamparan lahan dalam skala kecil.
• Luasan hamparan lahan paling luas Implementasi • Memungkinkan untuk diaplikasikan karena hamparan lahan tidak terlalu luas. • Lebih mudah diaplikasikan karena lahan berada dalam 1 wilayah administrasi kecamatan • Sulit untuk diaplikasikan karena hamparan lahan sangat luas sehingga
melibatkan berbagai pihak dan kepentingan Ciri-ciri lahan • Lahan-lahan
mudah diidentifikasi apakah sawah irigasi, sawah tadah hujan ataupun lahan potensial saja • Lahan mudah diidentifikasi apakah kecamatan tertentu mengalami surplus lahan
atau defisit lahan
• Lahan-lahan mudah diidentifikasi melalui kepemilikannya apakah warga pribumi atau warga pendatang
Arahan Penetapan LP2B dan LCP2B serta Pola Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Pasaman Barat
Aset penting petani di pedesaan adalah lahan pertanian tempat mereka berusahatani. Pilihan komoditas yang dibudidayakan oleh petani didasarkan pada pilihan rasional dengan berbagai pertimbangan. Oleh karena itu, tidak jarang petani melakukan alih fungsi dari satu jenis tanaman ke jenis tanaman lainnya pada lahan pertaniannya. Masalah yang diajukan yaitu alih fungsi tersebut menghilangkan lokasi-lokasi pertanian tanaman pangan seperti padi yang dapat mengancam ketahanan pangan baik secara lokal, regional, maupun nasional.
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pemerintah telah melakukan pengaturan tentang alih fungsi lahan, yaitu perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara akan dikenakan hukuman pidana dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun hal tersebut belum dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan. Di Kabupaten Pasaman Barat, penurunan luas lahan sawah selama kurun waktu 2005-2010 secara kumulatif sebesar 2.287 ha atau 450-500 ha/tahun. Salah satu alih fungsi lahan sawah yang nyata terlihat adalah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit (Dinas Pertanian Kab. Pasaman Barat, 2010).
Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan terluas di Kab. Pasaman Barat. Berdasarkan data tahun 2012 luas lahan perkebunan kelapa sawit di Kab. Pasaman Barat mencapai 100.642 ha atau 28,46% dari luas penggunaan lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa petani di Kab. Pasaman Barat memiliki minat yang tinggi untuk menanam kelapa sawit. Terjadinya alih fungsi lahan sawah ke tanaman kelapa sawit menurut Kurdianto (2011) disebabkan oleh berbagai hal yaitu pendapatan usahatani kelapa sawit lebih tinggi dengan resiko lebih rendah, nilai jual/agunan kebun lebih tinggi, biaya produksi usahatani kelapa sawit lebih rendah, dan terbatasnya ketersediaan air.
Lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan di Kabupaten Pasaman Barat, petani mengusahakan padi umumnya kurang dari dua kali setahun. Selain intensitas penanaman yang masih rendah, penerapan teknologi budidaya juga belum dilakukan sepenuhnya oleh petani di kabupaten Pasaman Barat, seperti pemupukan yang belum berimbang, kebanyakan petani hanya menggunakan pupuk urea saja.
Kebijakan Pemerintah Kab. Pasaman Barat yang perlu dilakukan untuk melindungi lahan sawahnya adalah meningkatkan intensitas pertanaman sampai 3 kali dalam setahun dan peningkatan faktor-faktor produksi lahan sawah seperti dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Selama ini dari intensitas pertanaman padi sawah rata-rata 1,09 setahun dengan hasil analisis usahatani yang dilakukan rata-rata penerimaan petani sawah adalah 1,5 juta/ha/bulan. Apabila peningkatan intensitas pertanaman sampai dengan 3 kali setahun dilakukan maka rata-rata penerimaan petani meningkat menjadi 4,5 juta/ha/bulan, sehingga bisa melebihi pendapatan petani kelapa sawit yang rata-rata 2 juta/ha/bulan.
Pendekatan PTT merupakan salah satu pemecahan dalam peningkatan pendapatan usahatani padi dan peningkatan produktivitas padi secara berkelanjutan di Kabupaten Pasaman Barat. PTT dipercaya akan mampu menyediakan produksi padi dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat selanjutnya akan meningkatkan pendapatan petani (Widodo dan Mudjisihono, 2005).
Model PTT terdiri dari beberapa komponen teknologi budidaya yang sinergis, yang dapat diterapkan sesuai kondisi agroekosistem, antara lain adalah; (a) perlakuan benih; (b) pemilihan varietas; (c) penanaman tunggal bibit muda; (c) jarak tanam lebih rapat; (d) sistem pengairan; (e) penggunaan bahan organik; (f) penggunaan bagan warna daun dan uji tanah dalam pemupukan; (g) pengendalian gulma dengan gosrok. Implementasi model ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil padi dari sekitar 5,6 menjadi 7,3 – 9,6 ton/ha, dan pendapatan petani meningkat dari Rp, 1,6 juta menjadi Rp. 4,1 juta/ha (Puslitbangtan, 2000).
Disamping permasalahan belum optimalnya pemanfaatan teknologi, intensitas pertanaman rendah dalam meningkatkan ketahanan pangan, kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor semakin ketat, dan rencana alih fungsi lahan sawah yang sangat dahsyat berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota seluas 3,09 juta ha dari 7,8 juta ha lahan sawah. Dari tren neraca lahan sawah cukup mengkhawatirkan, walaupun dari tahun 1981-1999 menunjukan tren peningkatan seluas 1.593.649 ha, namun penurunan tajam terlihat pada kurun 1999 – 2002 yang menunjukkan penurunan 422.857 ha. Pola alih fungsi (konversi) di Pulau Jawa adalah sawah menjadi perumahan 58,7%, menjadi lahan pertanian lainnya 21,8% dan menjadi non perumahan 19,5%. Di luar Pulau Jawa sawah menjadi perumahan 16,1%, menjadi lahan pertanian lainnya 48,6% dan menjadi non perumahan 35,3% (BPS, 2004).
Semakin meningkatnya pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi dan industri, mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kedaulatan pangan. Sesuai dengan pembaruan agraria yang berkenaan
dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumberdaya agraria, perlu perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sesuai TAP MPR No. IX/MPR/2001. Berdasarkan pertimbangan tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sesuai dengan amanat UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang No. 41 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan nasional serta sekaligus merencanakannya sebagai bagian dari penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota. Tarik menarik kepentingan dalam kebijakan pola ruang cendrung memprioritaskan kepentingan investasi ketimbang bagaimana memastikan masyarakat dapat hidup dan mengelola lahan tanpa potensi ancaman kriminalisasi serta memastikan keberlanjutan daya dukung lingkungan yang harusnya dibatasi untuk dieksploitasi. Padahal untuk perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, pasal 23 ayat (2) UU 41 Tahun 2009 dengan tegas mengamanahkan bahwa: “Penetapan LP2B, LCP2B dan KP2B kabupaten diatur dalam Peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang wilayah kabupaten.”
Untuk itu, sebagai implementasi amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang PPLB maka Pemerintah Kab. Pasaman Barat yang digagas oleh Dinas Pertanian dengan persetujuan bersama dengan DPRD harus menetapkan Peraturan Daerah tentang PLP2B. Peraturan Daerah tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terdiri dari substansi pengaturan yakni : perencanaan, penetapan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, perlindungan dan pemberdayaan petani, pembiayaan, peran serta masyarakat, penyidikan, serta ketentuan pidana. Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah di Kabupaten Pasaman Barat tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, maka ada kewajiban substansi materi pengaturan sebaran di setiap kecamatan, desa, atau dusun.