PENGGUNAAN LAHAN
LAHAN POTENSIAL
ten Pasaman Barat semak belukar rawa baru, walau dalam ahui faktor pembatas emak/belukar semak mprehensif baik dari
detail sifat fisik dan emberikan informasi ngga dapat diketahui n sampai biaya yang ya yang dikeluarkan. dalam melakukan
LCP2B.
ntara beberapa peta esesuaian lahan dan Kabupaten Pasaman 1 wilayah kecamatan liki lahan aktual tetapi sebagai LCP2B yaitu secara spasial dapat
3%
I 5%
3%
Untuk Kecamatan Sasak Ranah Pasisie dan Sungai Aur, perlu pertimbangan yang lebih mendalam karena tidak memiliki luas lahan aktual. Penggunaan lahan di 2 wilayah Kecamatan tersebut telah diusahakan untuk tanaman padi sawah akan tetapi ditengah lahan persawahan ditanami kelapa sawit (Gambar 18).
Gambar 17. Peta Lahan Aktual dan Potensial
Gambar 18.Kondisi Lahan dengan Areal Sawah ditengah Areal berupa Perumahan dan Kelapa Sawit
Identifikasi Luas Lahan Sawah Aktual yang Mempunyai Jaringan Infrastruktur Pendukung Pertanian
Identifikasi lahan aktual dan lahan potensial yang akan diusulkan sebagai KP2B berdasarkan infrastruktur pendukung pertanian, membutuhkan data dan informasi berupa jaringan infrastruktur jalan dan irigasi. Tahapan ini akan menghasilkan peta lahan aktual untuk LP2B yang mempunyai jaringan infrastruktur jalan dan irigasi. Hasil analisis secara spasial disajikan pada Gambar 19, dimana sebagian besar atau hampir secara keseluruhan lahan sawah aktual di Kabupaten Pasaman Barat sudah ada jaringan jalan dan irigasinya..
Jalan usahatani merupakan salah satu faktor pendukung peningkatan pertanian. Jalan tersebut diperlukan untuk pengangkutan (transportasi) sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk, pertisida serta mesin dan peralatan pertanian. Hasil produksi pertanian juga seringkali harus diangkut untuk proses lebih lanjut agar kerusakan ataupun kehilangan hasil dapat ditekan. Jalan usaha tani juga digunakan untuk melaksanakan operasi dan pemeliharaan fasilitas irigasi dan drainase.
Gambar 19. Peta Lahan Aktual dan Lahan Potensial yang mempunyai Jaringan Infrastruktur Pendukung Pertanian Pangan Berupa Jalan sebaran Irigasi
Jalan usahatani dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: (1) Jalan utama (main farm road), yaitu jalan yang menghubungkan antara pemukiman atau pusat fasilitas pertanian dengan lahan pertanian, blok lahan dengan blok lahan lainnya ataupun jalan raya dengan blok lahan, (2) jalan cabang (branch farm road), yaitu yang menghubungkan antara petak lahan dengan jalan utama, (3) jalan kecil (small farm road), yaitu jalan kecil di batas petakan untuk kepentingan khusus seperti pemberantasan hama, pemupukan dan sebagainya (Sapei, 2009).
Informasi jaringan jalan dibutuhkan untuk melihat tingkat aksesibilitas lahan aktual dan lahan potensial terhadap pemukiman, industri pengolahan hasil pertanian, sarana produksi pertanian dan sarana dan prasarana lainnya. Dengan adanya jaringan jalan diharapkan dapat meminimalkan jarak dan waktu tempuh sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Lahan yang memiliki akses jalan akan menjadi areal-areal prioritas utama untuk diusulkan sebagai LP2B dan LCP2B. Kondisi riil di lapangan terkait dengan ketersediaan jaringan infrastruktur pendukung pertanian disajikan pada Gambar 20 dan 21.
Sebagian besar area yang akan diusulkan sebagai LP2B dan LCP2B memiliki jaringan jalan. Lahan aktual dan lahan potensial yang akan dijadikan sebagai LP2B dan LCP2B tersebut menjadi sebuah kesatuan wilayah yang dihubungkan oleh adanya jaringan jalan.
Gambar 21. Kondisi Jaringan Irigasi di Kecamatan Luhak Nan Duo
Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, dan penggunaannya. Jaringan irigasi terdiri dari 2 tingkat yaitu: (a) jaringan irigasi utama meliputi waduk atau bendungan, saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier sampai 50 meter dari pintu sadap tersier atau boks bagi tersier, (b) jaringan irigasi usahatani, yaitu jaringan setelah 50 meter dari pintu sadap tersier atau boks bagi tersier (Sapei, 2009).
Jaringan irigasi merupakan salah satu infrastruktur penunjang utama kegiatan pertanian pangan. Jaringan irigasi berfungsi sebagai prasarana untuk meningkatkan produktivitas lahan baik untuk meningkatkan produktivitas per hektar maupun untuk meningkatkan intensitas panen. Data dan informasi jaringan irigasi sangat dibutuhkan untuk mengetahui tingkat ketersediaan sumberdaya air terhadap lahan aktual dan lahan potensial yang akan diusulkan sebagai LP2B dan LCP2B.
Analisis Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten
Tahapan pertama dalam perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah penyusunan usulan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Usulan perencanaan meliputi usulan perencanaan terhadap luas lahan baku sawah, luas kesatuan hamparan, lokasi, produksi, produktivitas dan lain-lain. Dasar yang digunakan dalam usulan perencanaan ini adalah pertumbuhan penduduk, kebutuhan konsumsi pangan (beras), produktivitas lahan, kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil usulan perencanaan ini adalah proyeksi kebutuhan lahan sawah pada jangka waktu tertentu. Jangka waktu yang digunakan untuk perencanaan adalah tahunan, jangka menengah, dan jangka panjang. Untuk jangka menengah dan jangka panjang, rentang waktu yang digunakan didasarkan pada rentang waktu penyusunan dan revisi RTRW yaitu 5 tahun dan 20 tahun.
Untuk skala nasional diketahui ketersediaan lahan baku sawah selama 20 tahun ke depan mengkhawatirkan. Berdasarkan skenario pesimis terlihat adanya kenaikan kebutuhan lahan sawah yang cukup tinggi. Slope tersebut masih berada di bawah slope ketersediaan lahan sawah. Kecenderungan slope kebutuhan lahan sawah yang terus menaik sehingga defisit lahan sangat mungkin terjadi dimasa yang akan datang seperti disajikan pada Gambar 22.
Gambar 22. Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Nasional (Christina, 2011)
-1.000.000,00 2.000.000,00 3.000.000,00 4.000.000,00 5.000.000,00 6.000.000,00 7.000.000,00 8.000.000,00 9.000.000,00 Lu a s La h a n ( Ha ) Indonesia Pesimis Indonesia Optimis Ketersediaan Lahan
Konversi lahan sawah ke peruntukan dan atau komoditas lain tidak bisa dihindari sehingga untuk menanggulangi kemungkinan adanya defisit lahan perlu dilakukan proteksi terhadap lahan-lahan produktif. Dalam pembangunan, beras merupakan komoditas strategis bahkan bisa disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Ketidakstabilan ketersediaan pangan khususnya beras telah memicu kerusuhan akibat kerisauan masyarakat akan kekurangan stok pangan nasional. Untuk itu perlu campur tangan pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang merata dan harga yang stabil. Salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan proteksi terhadap lahan sawah produktif dari kemungkinan alih fungsi lahan. Perlindungan atau proteksi ini tidak akan bisa meniadakan terjadinya konversi, tetapi diharapkan dapat menghambat laju alih fungsi lahan (Christina, 2011).
Untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan beras, produksi beras nasional harus meningkat secara memadai dalam rangka mempertahankan kecukupan pangan. Peningkatan produktivitas beras tersebut merupakan faktor utama bagi peningkatan produksi beras nasional. Pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor, yakni : (a) pertambahan areal panen dan (b) peningkatan produktivitas.
Kabupaten Pasaman Barat sebelum tahun 1990 merupakan kawasan sentra produksi pangan terutama beras dan kedelai di Propinsi Sumatera Barat. Akan tetapi sejak tahun 1990 permasalahan utama yang dihadapi oleh kabupaten ini adalah alih fungsi lahan pertanian pangan ke perkebunan kelapa sawit. Ketersediaan lahan sawah diwilayah ini akan berpengaruh terhadap ketersediaan pangan propinsi (Bappeda Kabupaten Pasaman Barat, 2011).
Analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah di Kabupaten Pasaman Barat menunjukkan hasil yang berbeda pada dua skenario pesimis dan optimis sebagaimana disajikan pada Tabel 24.
Skenario Optimis
Skenario optimis dibagi 2 yaitu sufficient optimis dan kontribusi optimis.
Sufficient optimis merupakan kebutuhan pangan masyarakat Kab. Pasaman Barat itu sendiri dengan memakai skenario optimis, sedangkan kontribusi optimis merupakan kebutuhan pangan Propinsi Sumatera Barat yang diperoleh dari hasil produksi pangan Kabupaten Pasaman Barat, juga dengan memakai skenario optimis. Dari skenario optimis terlihat bahwa kebutuhan lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri maupun berkontribusi secara propinsi sampai tahun 2031 belum melampaui ketersediaan lahan sawah yang ada bahkan cendrung terus menurun.
Penurunan kebutuhan lahan sawah untuk skenario optimis terjadi karena perluasan areal tanam dan kenaikan produktivitas. Ini menandakan bahwa dengan perbaikan prasana pendukung pertanian seperti jaringan irigasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu mengatasi kebutuhan pangan. Namun perlu diperhatikan juga bahwa pada penelitian ini diasumsikan tidak terjadi degradasi lahan dan konversi lahan. Jika kedua faktor tersebut dimasukkan dalam analisis ini hasilnya akan berbeda (Christina, 2011).
Hasil analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah dengan skenario optimis ini, memperlihatkan bahwa perluasan areal luas tanam tidak selalu dengan menambah baku lahan sawah tetapi bisa dengan membangun dan atau memperbaiki/rehabilitasi jaringan irigasi sehingga sawah tersebut mampu ditanami 2 kali setahun. Kab. Pasaman Barat saat ini memiliki IP 1,09. Pada skenario ini, tahun 2031 proyeksi IP di kabupaten ini masih belum mampu mencapai IP 2. Permasalahan lain yang dihadapi oleh petani sekarang adalah manajemen pengelolaan irigasi yang tidak berjalan dengan baik (dapat dilihat pada Lampiran 22). Dengan melakukan pemeliharaan jaringan irigasi maka akan menghemat biaya dibanding harus membangun jaringan irigasi baru, sehingga masih bisa mempertahankan lahan sawah yang masih ada. Proyeksi kebutuhan lahan sawah Kab. Pasaman Barat tertera pada Tabel 24.
Tabel 24. Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Pasaman Barat
Tahun Sufficient Optimis (ha) Kontribusi Optimis (ha) Ketersediaan Lahan (ha) Sufficient Pesimis (ha) Kontribusi Pesimis (ha) 2011 11.461 11.189 27.231 15.392 15.013 2012 11.417 11.149 27.231 15.695 15.314 2013 11.369 11.110 27.231 15.999 15.620 2014 11.317 11.070 27.231 16.303 15.932 2015 11.262 11.031 27.231 16.606 16.251
Tabel 24. (Lanjutan) Tahun Sufficient Optimis (ha) Kontribusi Optimis (ha) Ketersediaan Lahan (ha) Sufficient Pesimis (ha) Kontribusi Pesimis (ha) 2016 11.203 10.992 27.231 16.910 16.576 2017 11.141 10.953 27.231 17.214 16.907 2018 11.076 10.914 27.231 17.517 17.246 2019 11.008 16.910 27.231 16.910 16.910 2020 10.937 16.576 27.231 16.576 16.576 2021 10.863 10.794 27.231 18.428 18.301 2022 10.787 10.755 27.231 18.732 18.667 2023 10.709 10.713 27.231 19.036 19.041 2024 10.629 10.675 27.231 19.340 19.421 2025 10.546 10.637 27.231 19.643 19.810 2026 10.462 10.599 27.231 19.947 20.206 2027 10.376 10.558 27.231 20.251 20.610 2028 10.288 10.520 27.231 20.554 21.022 2029 10.199 10.483 27.231 20.858 21.443 2030 10.109 10.446 27.231 21.162 21.872 2031 10.017 10.409 27.231 21.465 22.309
Faktor produksi yang mempengaruhi produktivitas adalah air, pupuk, bibit, pestisida, dan tenaga kerja/kelembagaan. Pada skenario optimis ini, diasumsikan produktivitas selalu naik 1,35% per tahun. Pada tahun terakhir (2031) produktivitas mencapai 6,626 ton/ha. Hal tersebut dapat tercapai apabila seluruh faktor produksi dapat bekerja secara optimal. Kenaikan produktivitas dapat terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baik tentang benih, organisme pengganggu tanaman (OPT) maupun pengelolaannya misalnya penemuan benih padi yang mampu berproduksi tinggi, pengelolaan usahatani ramah lingkungan seperti System of Rice Intensification (SRI). Khusus benih, pada saat ini di Pulau Jawa sedang dikembangkan dan disosialisasikan benih padi baru yang mempunyai produktivitas 8-9 ton/ha. Benih yang sekarang banyak digunakan yaitu varietas Ciherang telah mencapai tahap pelandaian pada level produktivitas 5,37 ton/ha. Varietas ini akan dikembangkan di luar Jawa, untuk menggenjot produktivitas lahan yang masih dibawah 5 ton/ha.
Skenario Pesimis
Skenario pesimis dibagi 2 yaitu sufficient pesimis dan kontribusi optimis.
Sufficient pesimis merupakan kebutuhan pangan masyarakat Kab. Pasaman Barat itu sendiri dengan memakai skenario pesimis, sedangkan kontribusi pesimis merupakan kebutuhan pangan propinsi Sumatera barat yang diperoleh dari hasil produksi pangan Kabupaten Pasaman Barat, juga dengan memakai skenario
pesimis. Hal berbeda terjadi pada skenario pesimis. Kebutuhan lahan sawah setiap tahunnya cenderung naik, baik untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri maupun berkontribusi terhadap propinsi sebagaimana Gambar 23.
Gambar 23. Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Pasaman Barat
Penyebab kecendrungan naik adalah konsumsi pangan sebesar 140 kg/kapita/tahun, produktivitas dan intensitas pertanaman tetap. Kondisi ini mungkin sekali terjadi karena berdasarkan data yang selama ini ada produktivitas dan luas tanam naik turun dari waktu ke waktu sehingga secara akumulatif bisa dianggap tetap atau tidak berubah. Angka konsumsi pangan yang besar tersebut berdasarkan pada konsumsi energi yang sesuai Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional. Konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun adalah setara 1.400 kkal/kapita/hari atau 64% dari konsumsi yang ditetapkan oleh PPH Nasional. Sesuai dengan standar PPH Nasional, konsumsi karbohidrat dari padi-padian adalah 50% atau setara dengan 1.100 kkal/kapita/hari. Dengan tingkat konsumsi tersebut, maka kebutuhan lahan sawah juga sangat tinggi sehingga apabila diterapkan maka dapat memberatkan Kabupaten Pasaman Barat.
Dengan menggunakan asumsi terjadi konversi lahan sawah seperti yang terjadi selama tahun 2005 - 2010 yaitu seluas 2.287 ha atau 458 ha/tahun maka pada tahun-tahun mendatang kabupaten ini sudah tidak bisa berkontribusi pada level propinsi dan nasional dan akhirnya Kabupaten Pasaman Barat harus mengimpor
-5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 Lu a s La h a n ( h a ) Tahun Sufficient Optimis Kontribusi Optimis Ketersediaan Lahan Sufficient Pesimis Kontribusi Pesimis
beras dari luar daerah atau bahkan dari luar negeri karena sudah tidak bisa
memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Apabila terus berlanjut akan
mengakibatkan kelangkaan pangan. Hal ini sangat merugikan baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Untuk itulah, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya kelangkaan pangan sedini mungkin. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah melakukan zonasi untuk melindungi lahan sawah agar tidak terkonversi menjadi peruntukan atau komoditas lain, upaya diversifikasi pangan, dan menekan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Pasaman Barat termasuk tinggi yaitu 2,2 % dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk nasional yaitu 1,49%. Kedua upaya tersebut pelaksanaannya memerlukan waktu yang lama. Upaya yang harus dilakukan secepatnya adalah mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah tersebut dengan melaksanakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Dari Gambar 23, terlihat bahwa ketersediaan lahan sawah di kabupaten Pasaman Barat untuk 20 tahun mendatang masih aman. Namun perlu diwaspadai adanya kecenderungan kenaikan kebutuhan lahan sawah setelah 20 tahun. Kemungkinan terjadinya defisit lahan sangat mungkin terjadi apabila dilihat dari slope sufficient pesimis yang mengalami kenaikan yang cukup tajam. Ada kecenderungan menurun pada kedua kondisi tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan produktivitas dan penambahan luas tanam (intensitas pertanaman). Produktivitas lahan di kabupaten ini yaitu 4,5 ton/ha dan IP wilayah 1,09. Kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah setempat bagi lahan sawahnya adalah melindungi dan menjaga lahan sawahnya baik dari konversi ke komoditas atau peruntukan lain maupun dari degradasi lahan. Tingginya angka konsumsi beras yang disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang tinggi yaitu 2,2 % selama 8 tahun terakhir.
Pada tahun 2012, kabupaten ini memerlukan lahan sawah mínimum seluas 11.149 ha dan maksimum 15.695 ha. Pilihan ini digunakan untuk mempermudah pengambilan keputusan. Luasan lahan yang dipilih akan menentukan kebijakan yang akan diambil selanjutnya oleh pemerintah daerah kabupaten dalam memenuhi kebutuhan pangan daerahnya.
Analisis Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kecamatan
Paralel dengan analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah kabupaten, dimana proyeksi kebutuhan lahan sawah kecamatan juga memakai 2 skenario yaitu skenario optimis dan skenario pesimis. Setiap skenario juga dibagi 2 yaitu sufficient dan kontribusi. Hasil analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah tingkat kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat, disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Proyeksi Kebutuhan Lahan Sawah Kecamatan
Kecamatan Tahun Suff Opt (ha) Kont Opt (ha) Ket Lahan(ha) Suf Pes (ha) Kont Pes. (ha) Keterangan S. Beremas 2012 752 1 252 1 317 1 012 1 282 Surplus 2031 688 1 141 1 317 1 391 1 753 Defisit R. Batahan 2012 823 1 252 2 608 1108 1 282 Surplus 2031 722 1 114 2 608 1 515 1 753 Surplus K. Balingka 2012 893 1 252 273 1 203 1 282 Defisit 2031 784 1 099 273 1 645 1 753 Defisit S. Aur 2012 1 058 1 252 1 425 1 282 Defisit 2031 928 1 099 1 948 1 753 Defisit L. Melintang 2012 1 438 1 252 5 927 1 936 1 282 Surplus 2031 1 262 1 099 5 927 2 648 1 753 Surplus G.Tuleh 2012 697 1 252 778 938 1 282 Defisit 2031 611 1 099 778 1 283 1 753 Defisit Talamau 2012 887 1 252 2 726 1 195 1 282 Surplus 2031 779 1 099 2 726 1 634 1 753 Surplus Pasaman 2012 2 156 1 252 4 742 2 903 1 282 Surplus 2031 1 892 1 099 4 742 3 971 1 753 Surplus Luhak ND 2012 1 283 1 252 858 1 728 1 282 Defisit 2031 1 126 1 099 858 2 363 1 753 Defisit Sasak RP 2012 454 1 252 611 1 282 Defisit 2031 398 1 099 836 1 753 Defisit Kinali 2012 2 085 1 252 8 002 2 808 1 282 Surplus 2031 1 829 1 099 8 002 3 840 1 753 Surplus
Hasil analisis, diketahui bahwa pada tahun 2012, kecamatan yang mengalami surplus lahan sawah adalah Kecamatan Sungai Beremas, Ranah Batahan, Lembah Melintang, Talamau, Pasaman dan Kinali. Kecamatan yang mengalami defisit lahan sawah adalah Kecamatan Koto Balingka, Sungai Aur, Gunung Tuleh, Luhak Nan Duo dan Sasak Ranah Pasisie.
Analisis secara spasial, disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24. Peta Surplus-Defisit Lahan
Berdasarkan hasil pengolahan data spasial diperoleh informasi bahwa kecamatan-kecamatan yang mengalami defisit lahan bersebelahan secara kontinyu sehingga secara agregat menjadi suatu kesatuan yang kontigus atau saling mempengaruhi. Dalam proses pewilayahan, kesatuan atau kesinambungan hamparan adalah sangat dikehendaki. Wilayah-wilayah yang berkesinambungan secara spasial akan mempermudah pengelolaan. Kecamatan-kecamatan yang surplus lahan sawah terletak pada lokasi yang berbatasan dengan kabupaten tetangga Kabupaten Pasaman Barat.
Kebijakan yang diambil Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat adalah dengan membedakan dan mengelompokkan daerah-daerah yang mengalami defisit lahan dan surplus lahan. Daerah yang mengalami defisit sebaiknya megambil kebijakan dengan menambah areal persawahan, sedangkan daerah yang surlpus lahan dengan cara meningkatkan produksi, indeks pertanaman, perbaikan jaringan irigasi, jalan dan lain sebagainya.
Analisis Pendapat Masyarakat terhadap Penentuan LP2B dan LCP2B
Pengkajian tentang pendapat masyarakat terhadap LP2B dan LCP2B perlu dilakukan untuk penetapannya di Kabupaten Pasaman Barat. Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita akibat peningkatan pendapatan, namun di lain pihak upaya peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim, gejala kelelahan teknologi, penurunan kualitas sumberdaya lahan yang berdampak terhadap penurunan atau pelandaian produktivitas. Berbagai upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah banyak dilakukan. Beragam studi yang ditujukan untuk memahami proses terjadinya alih fungsi, faktor penyebab, tipologi alih fungsi, maupun estimasi dampak negatifnya telah banyak pula dilakukan (Bappenas, 2006).
Untuk dapat melaksanakan intervensi yang terkait dengan ketahanan pangan dan gizi, Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat masih terus meningkatkan sarana
untuk penentuan target intervensi sasaran secara geografis. Pembahasan dan
penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas; (iii) Kendala konsistensi perencanaan.
Dalam penelitian ini untuk mempelajari pendekatan dalam penentuan bobot
dan skor oleh 7 (tujuh) orang expert dari birokrasi, Akademisi dan LSM
menggunakan nilai eigenvektor utama yang merupakan kepentingan relatif tertentu, maka matriks perbandingan berpasangan serta nilai eigenvektor utama dari setiap faktor dan kriteria penentuan persepsi masyarakat terhadap keberadaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat yaitu (1) fisik, (2) infrastruktur, dan (3) sosial ekonomi.
Faktor fisik merupakan salah satu faktor penting dalam perencanaan LP2B dan LCP2B, disebabkan oleh keterkaitan antara karakteristik wilayah yang satu dengan yang lainnya. Perencanaan LP2B dan LCP2B harus berada di kawasan budidaya menurut peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pasaman Barat. Skala penilaian setiap kriteria dan nilai eigenvektor utamanya (E) disajikan pada Tabel 26 dan Tabel 27.
Tabel 26. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor fisik
Kriteria Ketersediaan Lahan
Aktual dan Potensial
Kesesuaian fungsi dalam RTRW
Ketersediaan Lahan
Aktual dan Potensial
1 1,3655
Kesesuaian fungsi dalam RTRW
0,7323 1
Jumlah 1,7323 1,3655
Tabel 26 menunjukkan skala penilaian setiap kriteria pada faktor fisik dengan menggunakan matriks perbandingan berpasangan, penilaian kriteria ketersediaan lahan aktual dan potensial terhadap kesesuaian fungsi dalam RTRW mendapat skala tertinggi dengan nilai 1,3655 (kedua elemen relatif sama penting). Hal itu berarti bahwa nilai berkebalikannya 0,7323 merupakan penilaian kesesuaian fungsi dalam RTRW terhadap ketersediaan lahan aktual dan potensial padi sawah.
Tabel 27. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor fisik
Kriteria Ketersediaan Lahan
Aktual dan Potensial
Kesesuaian fungsi
dalam RTRW E
Ketersediaan Lahan Aktual dan Potensial
0,577 0,577 0,577
Kesesuaian fungsi
dalam RTRW
0,423 0,423 0,423
Jumlah 1,000 1,000 1,000
Tabel 27 menunjukkan nilai eigenvektor utama dari setiap kriteria pada faktor fisik, bahwa ketersediaan lahan aktual dan potensial merupakan prioritas utama persepsi masyarakat dalam perencanaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai eigenvektor utama tertinggi 0,577 kemudian kesesuaian fungsi dalam RTRW dengan nilai eigenvektor utama 0,423. Dari jumlah yang dihasilkan yaitu bernilai 1 pada kolom 4, dapat disimpulkan bahwa nilai tersebut merupakan nilai persentasenya terhadap 1.
Faktor selanjutnya dalam analisis pendapat masyarakat untuk perencanaan LP2B dan LCP2B di Kab. Pasaman Barat adalah faktor infrastruktur dengan kriteria jaringan jalan, jaringan irigasi dan jarak dari ibu kota kabupaten yaitu Simpang Empat. Skala penilaian setiap kriteria dan nilai eigenvektor utamanya (E) disajikan pada Tabel 28 dan Tabel 29.
Tabel 28. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor infrastruktur
Kriteria Ketersediaan
Jaringan Jalan
Ketersediaan Jaringan Irigasi
Jarak dari Ibu Kota Kabupaten Ketersediaan Jaringan Jalan 1 0,856 1,385 Ketersediaan Jaringan Irigasi 1,169 1 1,827
Jarak dari Ibu Kota Kabupaten (IKK)
0,609 0,547 1
Jumlah 2,778 2,403 4,212
Tabel 28 menunjukkan penilaian kriteria ketersediaan jaringan irigasi terhadap jarak dari IKK mendapat skala tertinggi dengan nilai 1,827 (sangat sedikit lebih penting). Hal itu berarti bahwa nilai berkebalikannya 0,547 merupakan penilaian jarak dari IKK terhadap ketersediaan jaringan irigasi. Nilai 1,385 menunjukkan skala penilaian kriteria ketersediaan jaringan jalan terhadap jarak dari IKK. Untuk ketersediaan jaringan jalan terhadap jaringan irigasi mendapat nilai 0,856 (relatif sama penting), dimana nilai berkebalikannya yaitu 1,169 adalah penilaian ketersediaan jaringan irigasi terhadap jaringan jalan.
Tabel 29. Nilai eigenvektor utama setiap kriteria pada faktor infrastruktur
Kriteria Ketersediaan Jaringan Jalan Ketersediaan Jaringan Irigasi Jarak dari IKK E Ketersediaan Jaringan Jalan 0,359 0,359 0,359 0,359 Ketersediaan Jaringan Irigasi 0,421 0,421 0,421 0,421
Jarak dari IKK 0,220 0,220 0,220 0,220
Jumlah 1,000 1,000 1,000
Dari Tabel 29 dapat dilihat bahwa kriteria ketersediaan jaringan irigasi menjadi prioritas utama dalam perencanaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai eigenvektor utama tertinggi 0,421, sedangkan kriteria jarak dari IKK mendapat nilai eigenvektor utama terendah 0,220.
Faktor yang ketiga dalam perencanaan LP2B dan LCP2B di Kabupaten Pasaman Barat adalah faktor sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi ditetapkan berdasarkan 3 (tiga) kriteria yaitu jumlah produksi, indeks pertanaman, subsidi dan pemasaran. Matriks perbandingan berpasangan serta nilai eigenvektor utamanya disajikan pada Tabel 30 dan 31.
Tabel 30. Matriks perbandingan berpasangan setiap kriteria pada faktor sosial ekonomi
Kriteria Produktifitas Indeks Pertanaman Subsidi dan